Jakarta, 19 November
2006
Adalah sebuah anugerah
yang tak ternilai yang kudapatkan di usiaku yang ke-30 ini. Rumah yang selama
ini kukontrak sebesar enam juta rupiah per tahunnya kini telah menjadi milikku.
Berawal dari jumlah hutang pemilik kontrakan yang terus bertambah padaku, keinginan
naik haji, hingga kebutuhan-kebutuhan lainnya, membuat pemilik kontrakkan
terpaksa menjualnya padaku dengan harga yang cukup murah.
Rumah yang terdiri
atas tiga kamar, ruang dapur, dan kamar mandi ini rencananya akan kurehab. Satu
kamar yang paling depan kupakai sendiri. Adapun dua kamar lainnya akan aku
sewakan. Lumayan buat tambahan penghasilanku. Selama ini aku tidak berani
menyewakan kamar yang tersisa karena aku masih harus bertanggung jawab terhadap
pemilik kontrakkan. Kini semuanya telah menjadi tanggung jawabku.
TERSEDIA DUA KAMAR KOS
HUBUNGI 08881145XX
Hmm… papan sederhana
buatan tanganku sendiri itu kini sudah terpampang di depan pagar rumahku.
Sengaja aku cantumkan nomor HP-ku. Aku hanya ada di rumah sore dan malam hari
karena aku juga bekerja sebagai pegawai di salah satu kantor milik pemda.
Jakarta, 22 November
2006
“Permisi, Mas! Masih
ada kamar kosong?” Seorang pria berusia hampir 40 tahun menjadi orang pertama
yang menanyakan kamar yang kusewakan.
“Masih, Pak. Silakan
masuk!” ujarku ramah.
Setelah berbincang dan
melihat kondisi kamar, Pak Yayat Suherman sepakat untuk menyewa kamar yang
paling belakang. Ia akan menempati kamar itu bersama istrinya Neneng dan anak
laki-lakinya yang baru masuk STM, Andri.
Semula aku berniat
untuk menyewakan hanya pada penghuni pria tetapi demi pengembalian modal yang
lebih cepat maka aku setuju untuk menyewakan salah satu kamarku pada keluarga
tersebut. Apalagi Pak Yayat setuju dengan harga yang kutawarkan. Nanti kalau
kondisi keuanganku kembali normal baru aku mulai mengajukan syarat-syarat
khusus.
“Lagi ngapain, Om?”
aku menoleh ke pintu kamarku yang terbuka. Andri.
“Eh, Andri. Lagi
nonton, nih. Kamu nggak belajar?” tanyaku sambil mempersilakan masuk anak Pak
Yayat tersebut.
“Nggak ada PR, Om.”
ujarnya santai sambil menjatuhkan tubuhnya di dekatku.
Kami berbincang
ringan. Andri anak yang cukup santai walaupun cenderung pendiam. Wajahnya
sangat biasa. Ia mewarisi wajah ibunya yang menurutku sangat biasa. Padahal Pak
Yayat lumayan ganteng. Namun, ada satu keistimewaan Andri. Gumpalan kenyal di
selangkangannya sangat menonjol. Tidak banyak remaja seusianya yang mempunyai
tonjolan seperti itu. Akh… Lumayan juga kalau aku bisa mendapatkannya…
“Om, aku boleh tidur
di sini?” tiba-tiba Andri berbisik.
“Memangnya di kamar
kamu kenapa?” tanyaku balas berbisik.
“Bapak di rumah.”
jawabnya.
“Lho, memangnya kalau
bapakmu di rumah kenapa?” tanyaku lagi.
“Yaa… Aku nggak enak
aja, Om. Bapak pulang seminggu sekali. Biasanya bapak minta jatah sama ibu.
Kalau ada aku, khan nggak enak…” Aku paham.
“Jadi selama ini kamu
begitu, Ndri? Kalau bapakmu pulang, kamu keluar?”
“Ya gitu, deh… Mau
nggak mau. Soalnya aku pernah nggak ke luar dan pura-pura tidur, eh… mereka
tetap nekat main juga!” Glekk…
“Kamu pernah lihat
bapak ibu kamu ML?” mataku mendelik. Ada terkejut. Ada heran. Ada nafsu.
“Sekali itu aja, Om!”
jawabnya cepat.
“Kamu nggak terangsang
melihatnya?” pancingku.
“Wah, sange berat, Om!
Makanya aku nggak mau lagi…” kulihat Andri mengubah posisi duduknya. Dia
ngaceng!
“Sekarang juga,
khan?!” tembakku. Ia tersenyum. Tidak membantah berarti ya.
“Boleh ya, Om?”
pintanya lagi.
“Saya takut, Ndri…”
godaku.
“Takut apa, Om?”
tanyanya heran.
“Kamu bayangin aja
sendiri. Kamu lagi tidur terus di sebelah kamu ada cowok lagi ngaceng berat.
Bisa-bisa di…”
“Ha…ha…ha… Om Toro
ada-ada saja! Nggaklah, Om!”
“Sekarang bilang
nggak. Nanti kalau sudah tidur?” godaku lagi.
“Ya ampun, Om! Aku
sudah nggak ngaceng lagi, nih!” katanya sambil menggoyang selangkangannya.
Memang, sih… tapi aku sedang punya siasat.
“Jangan bohong, Ndri!
Orang ngaceng sama nggak itu bisa dibedakan! Bejendol begitu dibilang nggak
ngaceng…” pancingku lagi.
“Punyaku memang besar,
Om!” ujarnya polos, “Kalau Om nggak percaya, lihat saja!” tantangnya. Yupp!
Pancinganku berhasil!
“Coba buka! Kalau
benar lagi ngaceng, punya kamu saya genjot sampai keluar dua kali, ya!”
tantangku sambil pura-pura mengancam.
“Iya! Tapi kalau saya
lagi nggak ngaceng, punya Om yang saya genjot, ya?!” balasnya menantang. Sip!
Andri langsung berdiri
di atas lutut. Ia pelorotkan celana pendek sekaligus CD-nya. Aku sudah tahu ia
sudah tidak ngaceng. Namun, aku pura-pura terkejut. Dasar!
“Gede begitu belum
ngaceng, Ndri?” kepalaku kugeleng-gelengkan. Andri tersenyum. Jelas ada
kebanggaan di wajahnya. Pria ingusan yang belum tahu banyak liku-liku seks.
“Andri khan sudah
bilang, Om! Punya Andri itu besar…” lagi-lagi Andri tersenyum bangga. Aku akan
jalankan pancinganku berikutnya! Aku langsung kembali merebahkan tubuhku.
Pura-pura kembali menonton. Andri berdehem. Aku menengok ke arahnya.
“Lupa taruhannya, Om?”
senyumnya mengejek penuh kemenangan.
“Nggak! Khan nggak
harus sekarang dilakukannya” tanyaku sok santai.
“Ya, sih… Tapi ingat
lho, Om! Dua kali!” ia tegaskan dua kata terakhir di dekat telingaku. Aku
pura-pura terkejut.
“Hahh!!! Nggak salah,
Ndri?” tanyaku berlagak kalut.
“Jangan akting, Om! Om
saja bilang kalau aku bohong mau genjot punyaku sampai keluar dua kali. Yang
fair dong, Om!” katanya mengingatkan. Padahal aku sudah tahu.
“Nggak harus malam
ini, khan?” tanyaku pura-pura mengiba.
“Taruhan sekarang
masak dibayar besok!” ketusnya.
“Oke, deh… Kamu kunci
dulu pintunya!” kataku pura-pura pasrah. Andri langsung bangkit dan mengunci
pintu kamar. Gila! Anak satu ini benar-benar konsekuen. Tidak bisa diajak
bercanda. Aku harus hati-hati…
“Celananya nggak usah
dibukalah, Om!” suaranya terkejut. Ooops! Jangan sampai ia mengendus
permainanku ini.
“Nanti kalau keluar,
celananya sayang, Ndri…” suaraku melemah. Alasanku sepertinya bisa dia terima.
Andri langsung menguak kedua kakiku.
“Umur Om berapa, sih?”
Andri bertanya sambil menatapi kontolku. Ia belum memulai aksinya.
“Tiga puluh…” jawabku
tercekat. Kenpa anak ini tanya-tanya umur segala?
“Punya Om kecil
banget! Punya teman-teman saya rata-rata lebih dari punya Om!” cibir Andri
sambil mengangkat dagunya. Hmmpph… Sialan! Menghina ini bocah!
“Ini belum ngaceng,
Ndri!” dustaku. Kontolku sudah 75% ngaceng. Kalaupun bertambah tidak akan
seberapa. Andri terkekeh menyadari kebohonganku. Ia julurkan kakinya yang kekar
ke selangkanganku.
“Ya, deh… Aku
ngacengin dulu biar gede!” hinanya. Telapak kakinya melakukan gerakan memutar
di kontolku. Sumpah! Aku langsung ngaceng 100%! “Dah ngaceng belum, Om?” goda
Andri lagi, “Aku kencengin genjotannya, ya? Biar tambah gede!” kurasakan
kontolku ditekan-tekan dengan cepatnya. Ouch! Nikmat sekali!
“Aduh! Pelan-pelan,
Ndri!” ujarku berpura-pura kesakitan. Namun, sepertinya Andri tidak
mempedulikannya. Ia ingin cepat-cepat aku keluar dan kelemasan.
“Biar tambah gede, Om!
Jadi bisa cepat kawin. Cewek sukanya khan yang besar, Om!” ejeknya
terus-menerus. Aku menikmati sekali walau harus tetap bersandiwara.
“Sudah, Ndri! Sudah
mau keluar…” aku pura-pura meminta dia untuk menghentikannya. Andri merasa
tidak mau dibohongi. Ia percepat genjotannya di kontolku yang terpental-pental.
Ia ingin kontolku muncrat dengan genjotannya. Hal ini membuatku semakin
merem-melek.
Tiga menit sudah.
Kontolku langsung menyemburkan laharnya. Andri cepat-cepat menarik kakinya.
Takut terkena pejuhku.
“Ha…ha…ha… Cepat
benar, Om?!” ledeknya lagi. Aku menunduk. Pura-pura malu padahal tersenyum
puas.
Sesaat kemudian aku
meraih celanaku. Andri menahannya.
“Eitt… Masih satu kali
lagi!” tagihnya.
“Iya, saya tahu!
Istirahat dulu, lah… Lemessss…” Kuhembuskan nafasku berat. Andri tersenyum
penuh kemenangan.
“Pantesan Om Toro
belum nikah. Punya Om kecil dan cepat keluar, sih!” kata-katanya sangat tidak
sopan. Aku diam saja. Berkorban perasaan sedikit tidak apa-apa. Yang penting
aku mendapat kepuasan dan kontol remaja satu ini akan aku kuasai!
“Yang keduanya nanti
tengah malam saja, ya?” pintaku. Andri menggeleng. Ia lalu menguap.
“Saya kalau sudah
tidur susah bangunnya, Om… Jadi, sekarang saja!” katanya sambil mengangkangkan
lagi kakiku.
“Pakai tangan saja,
Ndri! Biar nggak sakit…” bujukku. Andri menggeleng. Pancinganku kali ini gagal.
“Ogah!!!” tegas sekali
suaranya. Jangan sampai ia menyadari kalau…
“Tetap pakai kaki tapi
pelan-pelan, ya? Sudah lemas, nih…” aku alihkan pancinganku. Dia tidak boleh
berhenti di sini. Harus terus!
“Bapakku kalau main
lama, Om! Ibu sampai minta sudahan terus. Om belum lima menit sudah keluar…” Ia
bandingkan bapaknya denganku. Nada suaranya bangga. Bolehlah… Biar
kusanjung-sanjung terus kejantananmu. Setelah itu? Lihat saja!
Genjotan yang kedua
Andri lakukan lebih kasar. Ia ingin membuatku malu yang ke sekian kalinya.
Cepat keluar. Dan ternyata benar!
“Om Toro payah!!!”
hina Andri lagi. Aku sudah keluar lagi. Belum sepuluh menit padahal.
Kuhempaskan tubuhku ke kasur. Celanaku belum kupakai lagi. Sengaja kupunggungi
Andri. Pancingan berikutnya!
“Om! Marah, ya?”
tanyanya khawatir sambil mendekatiku. Aku hanya menggeleng. Andri merebahkan
tubuhnya di depanku. Padahal aku belum memakai celana!
“Kontol Om kecil
banget ya, Ndri?” tanyaku lemah. Andri menatapku kasihan.
“Maaf, Om! Sejujurnya
punya Om memang kecil, cepat keluar lagi!” Andri berbisik, “Diobatin ke Mak
Erot, Om!” solusinya.
“Kamu pernah?” tanyaku
padanya. Ia menggeleng.
“Alami, Om! Punya
bapakku juga gede!” lagi-lagi kebanggaan tersirat di nada suaranya.
“Kamu tadi belum
ngaceng saja sudah segitu, ya? Gimana kalau sudah ngaceng, ya…?” sengaja
kugantung kalimatku.
“Om mau lihat?”
tawarnya. Mau! Mau! Sorakku dalam hati. Sejak tadi aku ingin melihat kontolmu
ngaceng, Ndri!
Andri sekali lagi meloloskan
celana sekaligus CD-nya. Glekk!! Sebongkah benda bulat panjang kemerahan
teracung di selangkangannya. Dahsyat!
“Gede banget, Ndri!”
pujiku. Kudekatkan wajahku ke kontolnya pura-pura menegaskan penglihatanku. Ia
tersenyum bangga.
“Keluarnya lama lagi,
Om!” promosinya.
“Saya nggak percaya!
Gede bukan jaminan tahan lama! Apalagi kamu masih remaja masih belum bisa
mengatur emosi!” celaku. Aku sengaja memancing keegoannya.
“Om Toro nggak
percaya?” tanyanya meninggi.
“Bagaimana bisa
percaya kalau belum ada bukti? Jangan-jangan kontol gede kamu lebih cepat
keluarnya daripada kontol saya yang kecil!” pancingan berikutnya! Kulihat wajah
Andri memerah. Terlihat sekali ia tidak terima perkataanku. Ia condongkan
wajahnya ke wajahku.
“Om Toro buktikan
saja! Kocok punya saya! Kalau belum sepuluh menit saya sudah keluar, Om Toro
boleh genjot saya sampai pejuh saya habis!!!” taruhan yang tersulut emosi.
“Nggak usah sepuluh
menit lah! Bisa melebihi tiga menit saja akan saya penuhi semua keinginan kamu
yang bisa saya lakukan!” taruhanku lebih menggiurkan lagi.
“Oke! Kalau saya
keluar setelah tiga menit, Om harus jadi pelayan saya. Apa saja yang saya minta
harus Om turuti!” ada segurat kesenangan di senyumnya.
“Ya… tapi yang Om Toro
sanggup lakukan dan permintaan kamu juga jangan berlebihan!” kataku khawatir.
“Tenang saja, Om…”
hiburnya.
“Tapi kalau kamu
kalah, kamu juga harus mau jadi pelayan saya, ya?” Andri mengangguk pasti.
“Sudah, mulai saja
Om!” tantangya sambil merenggangkan selangkangannya yang ditumbuhi bulu-bulu
muda. Kontolnya agak terkulai. Namun, tetap terlihat besar dan berisi.
“Kamu mintanya
dikocok. Padahal tadi saya digenjot pakai kaki…” sengaja aku ulur waktu.
“Terserah Om! Mau
dikocok, digenjot, diapain saja silakan! Disepong juga boleh…” Hahhh! Mau! Mau!
Aku tetap tidak
menunjukkan hasrat homoku. Aku genjot kontolnya.
“Satu menit” Andri
menyebutkan waktuku. Kuubah caraku. Kali ini aku kocok dengan cepat. Andri
tersenyum mengejek. Ia pede sekali bahwa usahaku untuk mengeluarkan pejuhnya
tidak akan berhasil cepat.
“Dua menit” terdengar
agak tertawa. Aku tunjukkan kepanikanku dengan mengelap kontolnya. Seolah-olah
tanpa pikir panjang kumasukkan kontol muda itu ke mulutku. Andri tertawa
senang.
“Lima puluh lima… lima
puluh enam… lima puluh tujuh…” Andri sengaja menghitung detik. Aku perganas
hisapanku. Andri tertawa senang sekali. Aku teruskan lumatanku. Pura-pura tidak
tahu bahwa tiga menit telah terlewati sejak tadi.
“Sudah lewat, ya?”
kuangkat wajahku. Andri tertawa terus.
“Sekarang sudah empat
menit, Om!” Aku berniat menjauhi kontol Andri. Pura-pura tentu saja!
“Oke… saya ngaku
kalah…” ujarku sok pasrah.
“Eitt! Ke mana Om?”
cegahnya.
“Om kalah, Ndri! Kamu
memang tahan lebih lama” pujiku.
“Terusin, dong!”
pintanya memaksa.
“Lho? Semua sudah
terbukti. Saya kalah. Nggak usah diterusin lagi!” Aku menyerah pura-pura.
“Sekarang bayar
taruhannya Om! Sepong lagi punya saya, Om! Sampai muncrat! Jangan nanggung.
Kepala bisa pusing!” sambil bicara seperti itu tangannya menarik kembali
kepalaku ke selangkangannya.
Kuturuti kemauannya.
Kusempurnakan kemauanku!
Selama dua minggu ini
Andri sudah tiga kali tidur di kamarku. Selama itu selalu berulang kejadian
pertama tersebut. Namun, tidak lagi diawali dengan taruhan. Andri sudah
mengerti keadaanku. Setiap dia ingin menuntaskan nafsunya, tinggal datang ke
kamarku. Masih sebatas oral dan berjalan satu arah. Aku yang mengoral kontolnya
yang besar itu.
Jakarta, 18 Desember
2006
Kamar tengah akhirnya
terisi. Lagi-lagi sepasang suami isteri. Uda Nasril yang berusia 36 tahun dan
Uni Devita yang masih berusia 26 tahun. Mereka belum memiliki anak. Sepertinya
memang belum lama menikah.
Jakarta, 22 Desember
2006
“Nonton apa, Mas
Toro?” Kulihat Uda Nasril sudah berdiri di ambang pintu kamarku. Seperti biasa
dia bertelanjang dada memamerkan beberapa tato di badannya yang tidak begitu
kekar.
“Ini… lagi ngecek
koleksi VCD dan DVD saya. Masih bagus apa nggak, ya? Jarang disetel, sih!”
jawabku dengan suara agak bergetar. Jujur saja setiap berhadapan dengan Uda
Nasril aku agak grogi. Entah mengapa, setiap orang Padang yang aku jumpai
selalu memiliki sex appeal yang tinggi.
“Bokep?” tanyanya
menuduh.
“Bukan!” jawabku
buru-buru. Malu juga kalau ketahuan sebagai kolektor bokep. Untungnya film yang
sedang kuputar adalah Mengejar Matahari.
“Nggak punya bokep?”
Tanya Uda Nasril santai sambil mengambil salah satu kantung VCD-ku. Ooopps….
Jangan!
“Wuuuiiiihhhh!… Banyak
juga koleksi bokepnya, Mas?!” Terlambat! Kantung yang dipegang Uda Nasril
memang aku khususkan untuk film-film biru. Ada yang semi, hetero, dan
kebanyakan gay…
“Se… Sebagian pu…
punya teman sa… saya, Da!” jawabku terbata-bata. Malu sekali. Sudah ketahuan
sebagai kolektor bokep, eh… bokep gay lagi!
“Bandung Lautan
Asmara, Mahasiswa Trisakti, Kamasutra, Gladiator, …” Uda Nasril membaca satu
per satu judul koleksiku. Masih aman karena VCD dan DVD gay kuletakkan di
tumpukkan belakang…
“Sudah pernah nonton
itu semua, Da?” tanyaku mengalihkan perhatiannya dari kepingan-kepingan di
tangannya. Aku berharap dia tidak meneruskan melihat semua koleksiku sampai
bagian belakang. Namun, pertanyaanku tidak dijawabnya.
“Big Cock, Supergay,
12 Inch, Asian Hole, Black Banana…” Uda Nasril berhenti membaca judul-judul
film di hadapannya. Ia menoleh ke arahku dengan dahi berkernyit. Aku hanya
menunduk. Malu dan takut.
“Daaa…!” suara Uni
Devita terdengar dari kamarnya.
“Iyoo…” Uda Nasril
menjawab. Ia letakkan kantung tersebut. Tanpa berbicara apa pun ia tinggalkan
aku yang seperti maling tertangkap basah.
Jakarta, 31 Desember
2006
Malam tahun baru.
Seperti biasa, di saat manusia lain bersuka cita menyambutnya aku hanya
teronggok di kamar. Pak Yayat sedang dinas luar. Bu Neneng, Uni Devita, dan Uda
Nasril mungkin sudah bergabung dengan warga di RT-ku yang akan membakar ayam di
lapangan. Andri mungkin sudah berkeliaran dengan teman-temannya.
Inginnya aku tidur
saja. Acara televisi sudah membuat jenuh. Awal tahun 2007 masih satu setengah
jam lagi.
“Om Toro!” terdengar
suara Andri di depan pintu kamarku.
“Kamu nggak ikutan
bakar ayam, Ndri?” tanyaku saat membukakan pintu.
“Om Toro sendiri nggak
ikut?” ia balik bertanya.
“Malas, Ndri!
Paling-paling jadi bahan becandaan doang…” keluhku. Ya, kalau berkumpul dengan
warga lain aku selalu jadi bahan gurauan mereka. Laki-laki usia tiga puluh
belum menikah padahal sudah mapan. Pasti dijodoh-jodohkan. Mereka tidak tahu
perasaanku!
“Ya, udah! Andri
temenin mau?” tawarnya padaku. Andri sekarang sudah memposisikan diri sebagai
penghiburku. Meskipun aku tahu, ia juga memanfaatkanku.
“Kamu nggak gabung
sama teman-teman kamu?” tanyaku kembali.
“Aku mau temenin Om
Toro. Boleh, khan?” Andri merebahkan tubuhnya dengan tangan terlipat di
belakang kepala. Refleks kuperhatikan tonjolan di selangkangannya.
“Kamu ngaceng, Ndri?”
pancingku. Andri tersenyum. Ia langsung mengelus-elus selangkangannya.
Menggoda.
Tanpa ragu segera
kuraih pengait celananya. Kubuka sekaligus dengan CD-nya. Menyembullah batangan
kekar yang sudah beberapa kali kumuluti. Kutusuk-tusukkan ujung lidahku di
kedua bijinya. Ia menggelinjang kegelian. Sesekali kusapukan lidahku ke bibir
anusnya. Ia langsung melonjak. Begitu seterusnya sampai ia tak sabar lagi.
“Langsung, Om! Dah
nggak tahan, nih!” tangannya meraih kepalaku. Tangan lainnya mengarahkan
kemaluannya ke mulutku. Dia benar-benar sudah tak tahan.
“Siapa?” aku bertanya
terkejut. Tak ada jawaban. Segera kumasukkan kontol Andri dan kurapikan
celananya. Andri juga terlihat panik. Ia bersembunyi di balik pintu. Aku segera
membukakan pintu. Uda Nasril!
“Koq ngedekem aja di
kamar? Gabung di lapangan, yuk!” Uda Nasril tersenyum. Mudah-mudahan dia tidak
tahu kalau aku bersama Andri di kamar.
“Saya ngantuk banget,
Da!” dustaku.
“Mas Toro sendirian
aja?” Degh! Jangan-jangan Uda Nasril tahu.
“Ee… i…iya…” Brengsek!
Jelas sekali kalau aku gugup.
“Ini seperti sandal
Andri!” Mati aku!
Uda Nasril mendorong
pintu yang hanya kubuka separo. Aku tak tahu harus bagaimana. Uda Nasril
langsung masuk. Saat hendak duduk di karpet ia berbalik dan…
Andri tertunduk. Aku
juga merasakan wajahku tak teraliri darah. Gemetar.
“Kamu ngapain di
sini?” Tanya Uda Nasril. Kami hanya diam.
“Mas Toro apakan Si
Andri?” kali ini pandangan Uda Nasril tertuju ke arahku.
“Sss… sa… ya ti… dak…
apa-apakan…” jawabku ketakutan.
“Jangan bohong!”
bentaknya. Hatiku semakin berkerut.
“Kamu diapain sama
homo ini, Ndri?” kali ini Uda Nasril bertanya pada Andri.
“Nggak diapa-apain,
Da! Aku memang mau begadang di kamar Om Toro…” Ah, Andri pun terlihat jelas
tergeragap.
“Sudah! Nggak usah
bohong! Kontol kamu diisep dia, khan?” jari Uda Nasril tepat berada di
hidungku. Andri mengangguk. Mampuslah aku!
“Sekarang kamu keluar!
Kalau tidak, saya laporkan ke orang tua kamu nanti!” ancam Uda Nasril seraya
mengusir Andri. Andri pun keluar.
“Da! Tolong hal ini
dirahasiakan, ya…”pintaku pada Uda Nasril.
“Mas Toro mau kasih
apa ke saya sebagai penutup mulut?” ucapannya terdengar menghina.
“Saya nggak tahu.
Terserah Uda Nasril…” ujarku pasrah.
“Oke! Terserah saya,
ya!?” wajahnya mendekati wajahku, “Jadikan saya sebagai pengganti Andri!” Gila!
Ternyata Uda Nasril mau juga!
“Khan sudah ada Uni
Devita, Da?!” ingatku.
“Belakangan ini dia
sering kecapekan!” Uda Nasril lekas membuka seluruh pakaiannya. Kulihat
kontolnya tak sebesar Andri meskipun lebih besar dari kontolku. Ia pun duduk
sembari mengangkangkan selangkangannya.
Ada SMS. Segera kuraih
HP-ku. Dari andri?
OM, AQ MO GRBEK KMR OM
BRG TMN2. GA SAH TKT. QTA MO NGRJAIN DA NASRIL.
Segera kuhapus pesan
tersebut.
“Dari siapa?” Tanya
Uda Nasril.
“Teman ngucapin
selamat tahun baru” dustaku lancar.
“Buruan, yo! Nanti
yang lain keburu pulang!” Tangan Uda Nasril sudah menarik kepalaku ke
selangkangannya. Aku menarik kembali kepalaku.
“Saya cek dulu di
luar, Da! Jangan-jangan ada orang…” Aku melongokkan kepala ke luar kamar. Pintu
kututup kembali sambil pura-pura menguncinya. Ya, pura-pura!
“Bagaimana rasa kontol
saya?” Tanya Uda Nasril padaku. Aku masih memaju-mundurkan bibirku.
“Kontol Uda nggak
setegang Andri, ya? Kalau Andri ngacengnya kayak besi. Gede lagi!” sengaja
kulontarkan perasaanku yang sebenarnya.
“Tapi Mas Toro doyan,
khan?” ejeknya sambil menekan lebih keras kepalaku. Aku hampir tersedak hingga
…
Daun pintu kamarku
terbanting. Andri dan empat orang temannya merangsek masuk.
“Mau apa kalian?!” Uda
Nasril membentak. Mereka justru memeganginya. “Heh! Apa-apaan ini?” Ia berusaha
berontak. Namun, tenaga lima orang remaja badung tersebut melebihi kekuatannya.
Satu orang berhasil memegangi tangan dan kaki kanannya. Adapun seorang lagi
memegangi dari sebelah kiri. Satu orang memiting lehernya. Andri membuka celana
dan mengeluarkan kontolnya yang besar sambil meremas-remasnya hingga tegang.
“Ndri! Kamu mau
ngapain? Jangan, Ndri!” aroma ketakutan tercium dari suara serak Uda Nasril. Gila!
Aku tidak menyangka Andri merencanakan balas dendamnya seperti ini.
“Uda Nasril diam saja!
Nikmatin kontol saya yang gede ini! Uni Devita masih perawan, khan? Soalnya
Kontol Uda Nasril nggak bisa tegang. Sekarang biar bisa tegang, saya setrum
dulu pakai kontol saya. Biar ngacengnya sekeras kontol saya! Rekam, Din!” Andri
mulai mengarahkan kontolnya yang sudah mengeras ke dubur Uda Nasril. Udin yang
semula hanya menonton kini mengarahkan HP berkameranya ke selangkangan Uda
Nasril.
“Din, jangan direkam!
Tolong, Din! Jangan!!!” suara Uda Nasril terdengar mengiba. Namun,
remaja-remaja itu sepertinya sudah punya skenario sendiri. Ratapan Uda Nasril
tak mereka hiraukan.
“Fyuh! Sempit juga
bool Uda Nasril, nih?!” Andri terus menghujamkan kontolnya. Baru bagian kepala
kontolnya yang seperti jamur yang tenggelam.
“Sakit, Ndri! Sakit!
Sakiiittttt!!!” Uda Nasril mulai menjerit. Udin terus merekam proses
pemerkosaan Andri terhadap Uda Nasril. Aku hanya menyudut dengan campuran
perasaan kasihan, nafsu, penasaran, terangsang, dan sebagainya.
“Ssst! Jangan berisik!
Mau Uni Devita tahu kalau bool Uda Nasril saya entot? Hah!?” ancaman Andri
membungkam mulut Uda Nasril. Namun, erangan-erangan tertahan masih terdengar
samar. Yah, kontol Andri sangat besar. Apalagi buat anus Uda Nasril yang
mungkin memang bukan homo.
“Arrrgghhh…. Ndri,
sakit! Ssssakkiitttt…. Arrrgh!!!” erangan Uda Nasril terdengar mengencang.
Andri justru mempercepat genjotan kontolnya di dubur pria bertato itu. Ditambah
lagi temannya yang semula memiting leher Uda Nasril justru menjejalkan
kontolnya yang hitam ke mulut Uda Nasril. Udin mengclose-up adegan tersebut.
Aku merasakan kontolku ikut tegang. Seandainya aku yang terbaring di situ dan
bukan Uda Nasril…
Suara petasan dan
kembang api terdengar bersahutan di luar. Suaranya yang bising beriringan
dengan jeritan Uda Nasril yang diperkosa Andri dan temannya dengan kecepatan
luar biasa. Aku yakin Andri melakukannya bukan karena terangsang terhadap Uda
Nasril. Namun, dendam. Ya, ia tersinggung diusir dari kamarku. Padahal saat itu
ia sedang sangat ingin menyalurkan libidonya.
“Oooouuuccchhh….”
Andri mengerang nikmat. Ia sudah muncrat. Kontolnya tetap terhujam di anus Uda
Nasril. Uda Nasril sendiri terlihat kepayahan. Ada cairan darah mengalir dari
dubur perawannya. Ia pasti hancur. Tak lama kemudian teman Andri mencabut
kontolnya dari mulut Uda Nasril yang tak mampu menampung lelehan pejuh remaja
berkulit hitam itu.
“Sekarang pergi!”
seorang teman Andri menariknya berdiri untuk kemudian menendangnya ke arah
pintu. Uda Nasril terhuyung. Dengan langkah mengangkang perih tanpa pakaian ia
keluar. Udin mengikutinya dengan tetap mengarahkan HP-nya ke aurat Uda Nasril.
Andri dan teman-temannya yang lain tertawa puas. Aku hanya bisa menghela nafas.
Tak lama terdengar Uda
Nasril muntah-muntah. Kami sendiri di kamar tertawa-tawa menyaksikan hasil
rekaman Udin. Kali ini aku benar-benar terangsang!