Penyerahan Tubuh
Diaz
Namaku
Diaz Putra. Aku anak tunggal dari seorang pedagang elektronik yang berhasil.
Umurku 15 tahun dan saat ini masih duduk di kelas 3 SMP. Sebagai anak tunggal,
aku sangat dimanja oleh kedua orang tuaku. Aku diberi kendaraan sendiri berupa
motor. Di sekolah, aku termasuk terkenal dan banyak cewek-cewek yang naksir,
kebanyakan kakak2 yang duduk di SMA. Tetapi sejauh ini, aku hanya tersenyum
saja saat didekati mereka. Belum saatnyalah aku pacaran. Ayahku sangat tegas
dalam hal ini. Namun, ternyata nasib tidak selalu dapat diterka. Saat kerusuhan
Mei, toko elektronik ayahku habis terbakar. Ayahku kehilangan segalanya. Dia
tidak memiliki apapun lagi. Akupun terkena imbas. Tak ada lagi kendaraan dan
supir pribadi.
Ayahku
yang memiliki segalanya sekarang tiba2 jatuh miskin. Ditambah lagi, dia harus
membayar hutang pajak yang masih tertunggak. Ayah sangat bingung saat petugas
pajak bernama pak Amir selalu datang setiap hari untuk memperhitungkan harta benda
tersisa yang dapat dijual. Hari itu, tidak biasanya ayah memanggilku ke tempat
kerjanya. Aku melihat pak Amir sedang duduk di sampingnya. Saat itu, aku hanya
mengenakan boxer dan bertelanjang dada. Keindahan tubuh ramping dan dada bidang
khas remaja ku yang terlihat habis disantap oleh pak Amir. Aku abaikan saja
pandangan bandot tua yang usianya mungkin lebih tua dari ayahku sendiri. Ayah berbicara
panjang lebar tentang kesulitannya untuk membayar hutang pajak serta tawaran
pak Amir untuk membantunya keluar dari kesulitannya tersebut. Tapi tawaran itu
ada harganya: tubuh perjakaku ....!!
Aku
tercekat. Rasanya aku berada di dalam mimpi. Ayahku yang sedemikian
melindungiku sekarang malah mau membayarkan hutang pajaknya dengan tubuhku.
Ayahku menatapku dengan pandangan memohon yang membuatku tidak mampu menolak permintaannya.
Akupun tanpa sadar menunduk tanda mengiyakan. Ayahku keluar dari ruangan itu
sambil tertunduk lesu. Saat pintu tertutup, pandanganku beralih ke muka bandot
tua yang sedang tersenyum kegirangan. Diapun memanggil aku untuk mendekat ke
arahnya. Terasa bagai mimpi, saat aku berjalan mendekatinya. Saat aku sudah
berdiri di dekatnya, dia seakan kagum melihat bentuk tubuhku yang ideal.
Kulitku kuning langsat karena aku memang keturunan tionghoa. Tak puas hanya memandangiku,
tangannya pun mulai menjamah tanganku yang mulus dan bersih. Aku diam saja saat
tangannya mulai menjalar ke pahaku. Lalu mulai menyusup masuk celana boxerku.
Aku tidak berani melawan kehendak bandot tua itu. Sehingga diapun merasa mendapat
angin. Dia mulai meraba dada bidangku dan memilin-milin putting kecil ku yang
berwarna pink . Tak tahan lagi, secara paksa
pak Amir membuka boxer ku yang berwarna biru. Akupun sekarang berdiri dengan
hanya mengenakan celana dalam saja. Tubuh laki-laki remaja ku yang mulus
semakin terlihat. Pak Amirpun bangkit dari duduknya dan mulutnya yang berbau
cengkeh melahap bibirku yang merah dan mungil. Aku hamper kehabisan nafas!!
Inilah pertama kalinya aku dicium apalagi oleh sesama jenis. Dan ironisnya,
seorang tua homo. Tangannya yang besar dan berbulu menjamah tubuhku dengan
kasarnya, mulai denga meremas-remas dada ku, memilin dan menarik-narik putingku
dan mengusap-usap pantatku di balik celana dalamku.
Sejenak
dia melepaskan genggamannya. Akau heran tatkala dia membuka celana panjang
serta celana dalamnya. Untuk pertama kalinya, aku melihat alat kelamin pria.
Belum habis rasa kagetku, aku dijengut secara paksa dan dipaksa berlutut
dihadapan penisnya. Aku sempat tertegun saat secara paksa dia memasukkan
penisnya ke mulutku. Aku sempat memuntahkannya karena merasa sangat jijik. Tapi
perlawananku terasa tidak ada gunanya. Aku terpaksa menutup mataku saat mulutku
dipaksa untuk mengulum penis pak Amir yang ternyata sangat besar itu. Mulutku
yang mungil tidak mampu menelan seluruh batang penisnya sehingga aku begitu
gelalapan.
Kepalaku
dipaksa dengan mendorong keluar masuk penisnya. Aku hampir menangis tetapi aku
berkata dalam hati bahwa aku harus tegar. Aku melakukan ini karena ingin
membalas budi ayahku selama ini. Toh ini cuma soal tubuhku saja. Tiada artinya bila
dibanding dengan semua kenikmatan yang aku rasakan.
Mengingat
hal itu, aku mengambil keputusan untuk memuaskan bandot tua ini semampuku agar
dia membantu ayah untuk keluar dari masalahnya. Aku yang tadinya merasa
terpaksa dalam meladeni pak Amir dan hanya bersikap pasif saja, mencoba untuk merubah
sikapku. Batang penis yang tengah berada di mulutku yang awalnya terasa
menggangu, coba aku nikmati. Aku mulai memainkan lidahku untuk menambah
kenikmatan “tuan”ku ini. Pak Amir tersenyum saat merasakan perubahan sikapku
yang mulai aktif itu. Sekarang giliran dia yang memegang peranan. Pak Amir
menyuruh ku berdiri dan dengan rakusnya, dia melahap putting susuku. Ternyata
dia ahli memainkan mulut dan lidahnya.
Aku
mulai terangsang dan tanpa sadar, aku memeluk kepala pak Amir yang mulai botak
itu. Seakan aku ingin menikmati kenikmatan itu lebih lama lagi. Namun, mulut
dan lidahnya mulai menjalar turun ke selangkanganku. Celana dalamku menjadi
basah oleh ludahnya dan tak terasa air pre-cumku pun terpancar keluar karena
aku sudah tidak kuat lagi menahan kenikmatan dari permainan lidah bibir pak
Amir. Ah, bandot tua ini sangat hebat. Aku menjadi senang terhadap keahliannya.
Secara perlahan, pak Amir membuka celana dalamku yang sudah basah itu. Dia
menjilati air precumku bahkan mengisap penis mudaku.
Aku
menjadi tambah bergairah saat kepala penisku dipermainkan oleh lidahnya. Aku hanya
bias merem melek saja tanpa bisa berbuat apa-apa. Tak lama kemudian, akupun
dilemparkan ke sofa. Badanku yang sudah terlanjang didekati olehnya. Aku bisa
melihat penisnya yang menjulang panjang dan besar. Aku merasa sedikit ngeri membayangkan
bagaimana benda sepanjang itu memasuki tubuhku yang kurus ini. Dan benar. Saat
penis pak Amir membelah lubang anusku, aku menjerit nyaring karena sakit yang kurasa.
Tapi pak Amir seakan tidak menghiraukannya. Sodokan demi sodokan dilakukannya dengan
penuh tenaga.
Sakit
yang awalnya kurasa berubah menjadi kenikmatan, sehingga akupun mulai
mengimbangi gerakan pak Amir. Dia agak terkejut melihat respon yang kuberikan,
dan semakin bergairah saja saat dia menyuruhku berganti posisi duduk di
atasnya. Aku yang kini memegang kendali semakin menunjukkan aktivitasku
sehingga sekarang pak Amir yang merem melek. Aku harus memuaskan dia, begitu
yang ada di dalam pikiranku. Dan pak Amirpun tidak bisa menahan lebih lama lagi
pancuran air maninya. Dia menyiramkannya ke atas tubuhku. Aku tidak tahu apakah
aku harus menyesal atau menikmati kejadian intimku yang pertama ini. Sejak itu,
usaha ayah kembali lancar tanpa beban pajak.
Kehidupan
berjalan dengan lancar, tetapi aku malah tidak dapat melupakan kejadian tersebut. Pak Amir sudah
tidak datang lagi ke rumahku. Setiap hari aku membayangkannya, gairah seksku kembali
timbul. Bila terpaksa, aku sering beronani sendiri. Pikiranku sekarang menjadi
mesum sehingga sukar untuk fokus kepada ulangan umum yang tinggal sebentar
lagi. Akibatnya, aku terancam tidak
lulus.