Page Tab Header

Wednesday, October 18, 2017

Pamanku

Umurku 14 tahun saat itu. Aku baru kelas 2 SMP. Kejadian terindah dalam hidupku. Aku tak akan pernah melupakannya seumur hidup. Itu terjadi sekitar seminggu setelah lebaran tahun 2008. Pelajaran hidup yang paling berharga. Dan sangat nikmat.
Aku tinggal di kota Surabaya, dengan kakek dan nenekku. Ayahku adalah anak terakhir, jadi ayahlah yang harus menjaga mereka. Ayahku hanya 3 bersaudara. Kedua kakaknya perempuan. Saat lebaran kami semua berkumpul dirumahku. Rumahku tidak terlalu besar. Hanya ada 4 kamar. Kamarku, kakek-nenek, kamar tamu dan ayah-ibu. Saat lebaran kamarnya penuh dengan keluarga kami. Jadi para laki-laki tidur di depan tv dengan tikar dan bantal. Kamar yang ada untuk anak perempuan.
Paman-paman dan para sepupuku baik padaku, begitu juga dengan bibi-bibiku. Kakak pertama ayahku memiliki satu anak perempuan yang sedang kuliah semester 5. Kakak keduanya memiliki anak perempuan kelas 3 sma dan anak laki-laki kelas 4 sd. Aku dekat dengannya, karena kami sesama laki-laki dan umur kami juga tak berbeda jauh. Tapi ia manja dan sering dengan ibunya.
Empat hari setelah lebaran keluarga kakak pertama ayahku pulang. Jadi rumah kami hanya ada keluarga kakak kedua ayahku. Jadi aku bisa kembali tidur dikamarku. Bibi dan kedua anaknya tidur di kamar tamu. Pamanku masih tidur di depan tv. Lalu ayah menyuruhnya tidur bersamaku di kamarku. Aku sih biasa aja, paman itu juga baik padaku dan juga ramah. Jadi tidak masalah.
Pamanku ini berkulit gelap tapi tidak hitam. Dadanya bidang, badannya berisi tapi tidak atletis dan perutnya sedikit buncit. Ayahku lebih tinggi darinya, mungkin hanya 165 cm. Dan sering tersenyum yang membuatnya terkesan ramah dan baik hati. Saat malam pertama aku tidur dengannya dia banyak cerita masa kecilnya. Dan cerita lucu lainnya. Kadang untuk menemaniku mengerjakan tugas sekolah. Ia minta maaf membuka baju dan celananya karena Surabaya panas banget katanya. Ia hanya memakai celana kolor sepaha dan memakai selimutku sampai dadanya. Aku juga melakukannya, memang itu kebiasaanku. Setelah cerita panjang kamipun tidur. Tidak ada yang terjadi malam itu.
Malam kedua aku ada acara, hanya pergi jalan2 jalan sih. Nonton film di bioskop dengan teman sekolahku. Jadi aku bilang jangan sampai dikunci pintu kamarku. Mungkin aku agak malam pulangnya. Beliau mengiyakan saja. Acara dengan teman-temanku sampai sekitar jam 11 malam. Dan aku langsung pulang. Ibuku yang setengah sadar membukakan pintu. Semua orang sudah tidur malam itu. saat aku memanggil ibuku untuk menanyakan ada makanan apa, beliau sudah tak mau jawab. Sudah tidur lagi. Akupun tak jadi makan dan langsung pergi ke kamarku, tidur.
Pintu kamarku tidak dikunci, aku langsung masuk saja. Ternyata paman tidak lupa. Aku melepas bajuku dan menyalakan lampu. Pamanku sudah tidak karuan. Ia tidur dengan posisi terlentang. Tangan kanannya lurus searah dengan badannya di sebelah kanan. Tangan kirinya masuk ke dalam selimut menyilang. Aku penasaran, jangan2 dia memegang kontolnya. Jadi kubuka selimut pelan2. Ternyata benar, tangan kirinya masuk ke dalam celana kolor bermotif polkadot hitam putih. Celana kolor tersebut sedikit melorot jadi kelihatan kepala kontol yang berada di bawah tangannya. Kepalanaya begitu besar, aku penasaran. Aku ingin lihat keseluruhan kontol tersebut.
Kuturunkan kolor sampai ujung jari-jari tangan kirinya pelan-pelan. Dengan sesekali melihat wajahnya, takut terbangun. Jembutnya terlihat lebat dan sangat banyak. Batang kontolnya juga terlihat sedikit di sela-sela jarinya. Aku akan menggeser sedikit tangannya agar bisa melihat kontol tersebut utuh. Aku sangat penasaran, kontol tersebut terlihat sangat besar. Padahal itu belum ereksi, dan jika ereksi akan jauh lebih besar. Aku duduk di sebelah kirinya dan memegang jempol kirinya pelan-pelan. Aku angkat sedikit demi sedikit dan meenggesernya. Tapi berat, jadi aku hanya akan mengangkat dan melihatnya lalu menurunkannya lagi. Aku pegang jempol kirinya dengan tangan kanan lalu jari-jarinya dengan tangan kiri. Berhasil, tangannya terangkat, dan terlihatlah kontol itu utuh. Sangat besar dan terkulai lemas. Besar dan panjangnya masih lebih besar daripada kontolku dalan keadaan ngaceng penuh. Kuturunkan tangannya ke paha kirinya, jadi kontol tersebut terpampang jelas dimataku.
Aku memperhatikannya sangat lama. Lalu kuberanikan untuk memegangnya. Kupegang dengan tangan kanan kepala kontolnya, lalu batangnya. Hangat, dan batangnya begitu besar. Kontol itu terasa menegang dengan pasti, sedikit demi sedikit bertambah keras dan besar. Aku melihat muka pamanku, matanya terbuka dengan santai dan menatapku dengan tersenyum manis. Dia tidak terlihat bangun tidur.
Langsung kulepaskan peganganku, lalu memakai selimut dan tidur membelakanginya. Ma’afkan aku paman, aku tak bermaksud apa-apa. Hanya penasaran saja.  Aku benar-benar takut. Penasaran kenapa? Tanyanya santai, paman ga marah? Tanyaku berbalik badan. Enggak kok, penasaran kenapa? Aku tersenyum juga, aku menjadi tenang.  Kok bisa kontol paman segede ini? Pasti bibi kualahan jika ‘main’ dengan paman. Kataku bercanda sambil sedikit tersenyum. Ah, kamu bisa aja. Kan kamu belum lihat kalo udah ngaceng. Katanya sambil mengacak-acak rambutku. Memang belum sih, tapi pasti gede banget. Kataku sedikit membayangkan. Kamu mau lihat kalo udah ngaceng ? Tanyanya menggodaku. Boleh? Tanyaku agak takut. Boleh aja, kocokin kontol paman ya! Kamu udah pernah ngocokkan?  Tanyanya sambil membuka selimut, diturunkannya celana kolornya sampai paha. Terlihatlah jelas kontol tersebut. Aku melihatnya sangat lama. Sering paman, tapi ngocok punya sendiri aja. Kataku sambil masih terus melihat kontol tersebut. Jangan Cuma dilihatin aja, kocokin dong. Katanya sambil mengarahkan tangan kananku ke kontolnya. Akupun mulai mengocoknya dengan cepat, dan kontol tersebut mengeras dengan pasti.
Aku semakin semangat, penasaran seberapa besar dan panjang setelah ngaceng penuh. Aku iseng bertanya, sejak kapan paman bangun tadi? Aku penasaran.  Sejak kamu buka pintu. Katanya tersenyum, sangat manis senyumnya. Kenapa paman biarin aku melihat kontol paman? Tanyaku sambil melihat matanya. Paman penasaran saja apa yang akan kamu lakukan. Udahlah jangan banyak tanya, kocokin aja. Sampai muncrat ya! Katanya memohon. Iya paman, muncrat sepuluh kalipun akan aku kocokin terus. Kataku sambil tertawa. Dasar!  Katanya sambil mengacak-acak rambutku lagi.
Aku mengocoknya lama sekali. Paman sudah mulai terangsang, terdengar desahan dari nafasnya. Aku semakin cepat mengocok. Aku ingin melihat spermanya muncrat. Pasti banyak sekali. Lebih cepat lagi dong. Udah ga kuat ni. Kata pamanku sedikit terputus-putus. Badannyapun sudah berkeringat. Aku jadi terangsang melihat badannya berkeringat. Aku memegang kontolku dengan tangan kiriku. Udah ngaceng penuh, aku mengocoknya dengan tangan kiri. Tenang, nanti paman gantian yang kocokin punyamu. Katanya sambil meremas kontolku dengan tangan kirinya. Rasanya nikmat sekali. Aku jadi tidak sabar pengen dikocokin pamanku. Semakin cepat aku mengocok kontolnya.
Desahan paman semakin sering dan semakin keras, keringatnyapun semakin banyak. Terus. Paman ga kuat lagi, lebih cepat lagi. Lebih cepat lagi. Katanya meracau. Aku semakin cepat mengocoknya. Aku merasakan denyutan di kontol besarnya, lalu paman terlihat mengejang. Dan muncratlah sperma paman. Crott…crott…crott… Sperma paman muncrat berkali kali. Sekali muncratpun banyak sekali spermanya. Muncrat ke dada, perut dan pahanya. Ada juga yang ke sprei kasurku. Di tanganku juga banyak yang meleleh. Lalu ia mengambil nafas panjang lalu mengeluarkannya. Nafasnya menjadi teratur. Keringatnya membasahi badannya. Aku mengambil handukku, ku lap semua sperma di badannya. Keringatnya juga. Terima kasih ya… Katanya sambil tersenyum manis. Sama-sama paman, aku juga senang melakukannya kok. Aku masih mengelap seperma dan keringatnya.
Sekarang giliranmu. Katanya sambil bangun. Ia melepas celana kolornya. Sambil berdiri. Lalu meletakkannya di sampingnya. Sekarang paman benar-benar telanjang bulat. Kontolnya terkulai lemas. Baru pertama kali ini aku melihat orang dewasa telanjang di depan mataku. Biasanya hanya di film bokep aja. Aku melepaskan celana kolorku. Dan tidur terlentang. Akan paman kocok dengan cara berbeda. Katanya sambil mengangkangkan kakiku, lalu ia duduk di antara kakiku. Dan mulai memegang kontolku yang sudah menegang dari tadi. Tangannya hangat dan kontolku semakin menegang. Belum pernah ada yang memegang kontolku selain aku sendiri. Pamanku adalah orang pertama yang melakukannya. Lalu paman mengocoknya pelan-pelan.
Imut sekali kontolmu, paman dulu waktu seusiamu juga segini. Katanya sambil mengocok kontolku. Aku tidak tinggi, dan juga tidak terlalu pendek. Badanku berisi tapi tidak kekar. Kulitku juga coklat, terlihat hitam dari teman-temanku. Kontolku tidak terlalu panjang, tapi gemuk dan hitam. Lebih hitam dari kulit coklatku. Masa sih? Berarti kalau sudah besar nanti kontolku bisa segede punya paman? Kataku penasaran. Bisa dong, tenang aja. Katanya sambil membelai jembut halusku dan juga biji pelerku. Katanya mau dikocok dengan cara berbeda? Kalo begini sih sama aja sama aku tadi. Kataku menggoda.  Sabar dong, harus ada pemanasan dulu. Katanya sambil terus mengocok. Aku diam saja menungu, kalo dikocok begini sih aku juga bisa lama seperti pamanku tadi. Aku sudah biasa sih. Udah siap? Tanyanya. Aku bingung. Siap apa paman? Tanyaku, tapi paman sudah meremas pantat besarku. Dan kontolku dibiarkan aja. Lalu kepalanya turun dan mulai menjilati kontolku. Dijilati? Aku tidak percaya, paman mau menjilati kontolku. Jangan paman, jorok. Kataku. Enakkan? Tanyanya. Enak sekali paman tapi… Udahlah, diam aja kamu. Nikmati aja. Katanya pelan. Iya paman. Kataku patuh.
Kontolku masuk semua ke dalam mulutnya, dan kontolku terasa tertarik ke dalam mulut paman. Tangan pamanku terus meremas pantatku. Sesekali paman memasukkan jarinya ke lubang pantatku. Aku jadi semakin terangsang. Biji pelerku dilumatnya juga membuatku jadi semakin gila. Enak sekali. Paman menjilati kepala kontolku sensasinya luar biasa. Aku mendesah keenakan. Paman mengocok kontolku dengan mulutnya, menyedotnya, mengeluarkannya lagi lalu memasukkannya lagi. Begitu seterusnya. Aku menggelinjang2 keenakan. Kepala kontolku mengenai langit-langit mulutnya, membuatku semakin nikmat. Bibir paman juga sampai ke jembut halusku yang baru tumbuh sedikit. Kumisnya membuatku geli dan enak. Secara tidak sengaja aku mendorong kepala pamanku masuk ke kontolku lebih dalam lagi, dan aku mengangkat pantatku agar bisa masuk lebih dalam lagi. Aku mengulanginya lagi dan lagi. Sensasinya sungguh luar biasa. Paman memainkan lidahnya di lubang kencingku. Membuatku semakin nikmat. Remasan pantatku semakin keras. Aku tak kuat lagi menahan rangsangannya. Ahh… aku uhhh… udah ahh… mau uhh… keluar ahh… paman ahh... kataku sambil mendesah keenakan. Paman tidak peduli, ia semakin ganas menjilat, mengemut, menarik dan mendorong kontolku ke dalam mulutnya. Rasanya benar-benar sangat nikmat sekali. Aku tak kuat lagi menahannya. Spermaku sudah mau muncrat. Kontolku sudah berdenyut, dan tubuhku mengejang. Secara reflek aku menarik kontolku dari mulut paman, dan menahan kepala pamanku dengan kedua tanganku. Tapi paman melepaskan tanganku dan dengan cepat kembali melumat kontolku. Aku biarkan saja. Aku tak kuat lagi. Kontolku berdenyut dengan pasti dan crutt…crutt…crutt… sepermaku masuk semua ke dalam mulut pamanku. Dan pamanku meminumnya semua. Dia juga menjilati spermaku yang meleleh di batang kontolku. Akupun berkeringat banyak, kulitku dibasahi oleh keringatku sendiri. Air mataku keluar dan badanku lemas sekali. Aku tak bisa bergerak, benar benar lemas.
Pamanku tahu aku capek, dia berhenti menjilati kontolku yang sudah lemas dan tak ada lagi seperma yang keluar. Kontol pamanku ngaceng kembali. Paman tau aku tak kuat mengocoknya lagi. Paman dengan penuh nafsu menindihku. Ia menggesekkan kontolnya ke kontol lemasku dengan kecepatan luar biasa. Paman sudah sangat terangsang. Ia terus menggeseknya, dan terus membuat kontol kami beradu dan saling begesekan dengan sangat kasar. Kontol pamanku benar-benar tegang dan sangat keras. Aku merasa bersalah, badanku benar-benar lemas saat ini. Tenagaku tak ada lagi untuk mengocoknya. Paman memelukku dengan sangat erat membuatkau hampir tak bisa bernafas. Kedua tangganya memegang pundakku dari belakang dan menariknya dengan sangat bernafsu. Pelukan itu sangat hangat, baru pertama kali aku mengalaminya. Sungguh luar biasa. Gesekan kontolnya dengan kontolku tak berhenti, semakin menggila. Percumnya membuat perutku lengket dan licin. Banyak sekali yang keluar. Kontolku juga lengket karenanya. Selangkanganku menjadi sangat licin. Paman terus menggeseknya dengan nafsu yang sangat besar sekali. Sudah tak terhitung lagi berapa kali biji peler kami beradu. Paman mencium dada, leher ketiak, pipi dan telingaku dengan penuh nafsu.  Sesekali menjilatnya. Gesekan kontolnya tak berhenti. Paman sudah benar-benar sangat terangsang. Ku remas pantatnya seperti yang ia lakukan padaku tadi. Aku remas seirama dengan gesekan kontolnya. Paman berbisik, ahh… masukkan ahh… juga uhh... jarimu.. ohh.. ke dalam… ahh… pantat ahh.. paman ohh… Katanya dengan nafsu yang tak terbendung lagi. Aku melakukannya, kadang jari telunjukk kanan, jari tengah lalu kumasukkan bersamaan. Pamanku mendesah keenakan. Kadang setelah masuk ku obok-obok pantat paman membuat paman mendesah keras keenakan. Kadang aku lepaskan dan kupeluk erat pamanku. Ini berlangsung cukup lama, paman terus saja menggesekkan kontolnya dengan sangat cepat. Aku hanya bisa diam, kadang meremas pantatnya, kadang mengobok-obok pantatnya dan kadang juga memeluknya dengan sangat erat. Gesekan kontolnya semakin ganas dan menggila. Desahan pamanku juga semakin keras dan sangat bernafsu. Gesekan kontolnya juga semakin cepat dan kasar. Sepertinya paman sudah ingin keluar lagi. Aku harus berguna. Kuremas pantatnya dengan tenaga yang tersisa. Paman mendesah keras. Ahh… lagi.. ahh lagi.. ahh.. Racaunya tak karuan. Gesekannya semakin cepat, pelukannya semakin erat. Keringat paman sudah seperti banjir bandang. Badan kami sudah basah oleh keringatnya. Nafas paman semakin memburu, terdengar kasar dan menyeramkan. Kumasukkan jariku ke dalam lubang pantatnya, lalu kuobok obok dengan kasar. Ahh… terus ahh.. terus. Ohh… nikmatnya ohh.. teruskan… ahh... Pamanku sudah sangat bernafsu. Kumasukkan keempat jariku bersamaan, telunjuk dan jari tengah kanan dan kiri. Lalu kuobok2 dengan kasar. Paman mendesah keras, AHH… LAGI OHH.. AHH… pelukan paman semakin erat, aku tak bisa bernafas, gesekan kontolnya menjadi sangat cepat, badannya menegang, dan CROTT… CROT… CROTT… Sperma paman muncrat di dada dan perutku. Banyak sekali. Mungkin lebih 10 kali muncrat.
Pelukan paman mengendur, dan ia benar-benar berhenti bergerak. Ia diam di atas badanku. Kepalanya berada di sisi kanan kepalaku, badan kami berhimpitan. Badanku basah oleh keringat dan sperma pamanku. Kulepaskan tanganku dari lubang pantat pamanku. Lalu kupeluk erat badan pamanku. Benar-benar nikmat. Ini berlangsung cukup lama, nafas paman belum teratur. Kami  istirahat dalam diam. Saat nafas paman sudah teratur. Aku membuka pembicaraan, ma’afkan aku paman. kataku lirih. Mengapa kamu meminta maaf? Harusnya paman yang minta ma’af. Paman sudah tak bisa lagi menahan nafsu paman. Padahal tadi paman hanya ingin membalas kocokanmu, tapi paman sudah tak bisa menahan nafsu lagi. Dan paman ngentotin kamu seperti ini. Paman minta ma’af ya… katanya berbisik.  Tidak paman, seharusnya tadi giliranku untuk mengeluarkan seperma paman, tapi aku capek sekali, sehingga paman yang sudah ngocokin aku harus ngentotin aku juga untuk mengeluarkan seperma paman. Harusnya aku yang melakukannya. Aku benar-benar minta ma’af. Kataku terdengar menyedihkan. Tidak usah dipikirkan, paman berterima kasih padamu. Katanya sambil memelukku dengan erat. Tapi paman… Sttt… Paman menghentikan omonganku yang belum selesai dengan menaruh telunjuknya di atas bibirku. Lalu memelukku dengan lembut. Aku juga melakukannya. Terima kasih paman. Paman diam saja, ia hanya mengeratkan pelukannya. Aku juga melakukannya.
Setelah cukup lama berpelukan, aku bertanya pada pamanku. Paman mau minum? Kataku berbisik. Boleh. Tolong ambilkan ya… Paman menjatuhkan badannya ke samping, dan tidur terlentang. Aku mengambil handuk tadi dan mengelap keringat dan sperma di tubuh paman. Kuremas kontolnya sekali dengan gemas. Terima kasih ya, dasar nakal. Katanya sambil mengacak-acak rambutku saat kukulum kontolnya. Aku hanya tersenyum. Aku juga membersihkan badanku dengan handuk itu. Aku telanjang bulat mengambil minum ke dapur. Aku yakin tak ada yang akan terbangun di tengah malam seperti ini. Aku minum kira-kira seperempat botol 2,5 lt. Lalu kuisi penuh dan kubawa kekamarku.
Paman masih terlentang seperti tadi saat kutinggalkan. Kuberikan botol air minum kepadanya. Lalu ia duduk dan meminumnya. Aku sudah tak sabar lagi, tenagaku sudah pulih. Aku rentangkan kaki pamanku lalu kutarik pahanya sehingga paman agak terlentang sambil bersandar ke kepala dipanku. Lalu dengan penuh nafsu kukulum kontolnya, pamanku masih minum. Sabar dong! Katanya lalu minum lagi. Aku tak peduli, kukulum dengan ganas. Kujilat-jilat batangnya dari kepala sampai pangkal kontolnya. Lalu biji pelernya juga. Kedua tanganku sudah meremas pantatnya dengan keras dan bernafsu. Kontol paman tak masuk seluruhnya ke dalam mulutku. Mungkin aku hanya bisa mengulum sepertiganya saja. Aku masih tersedak saat awal mengulumnya. Jangan dimasukkan semuanya. Kata pamanku. Aku ingin merasakan semuanya. Kataku tak mau kalah. Lalu kulakukan seperti paman memperlakukan kontolku tadi. Mengulum, menjilat, mengemut, dan mengocoknya dengan mulutku. Berlahan tapi pasti kontol paman menggeras. Percumnya juga keluar sedikit demi sedikit. Asin rasanya. Kadang aku mengocoknya dengan dua tangan, atas dan bawah sangat besar kontol paman ini. Paman mulai mendesah keenakan. Tanganku mulai kumasukkan ke dalam lubang pantat pamanku. Kuobok-obok sampai paman mendesah keras keenakan. Aku juga masih mengulum kontol pamanku. Kepala kontol pamanku berwarna merah bata gelap dengan kulit kontol yang benar-benar gelap. Urat-urat kontolnya terlihat jelas. Saat kugenggam terasa sangat keras. Kukulum batang dari samping sambil sesekali kugigit kecil. Biji pelernya kuemut bergantian kanan dan kiri. Dan pantatnya kuremas dengan sangat keras. Aku melakukannya berulang ulang sampai aku puas.  Paman mulai mendesah seirama dengan kocokan mulutku. Semakin lama semakin keras. Paman menekan kepalaku ke dalam kontolnya sambil memajukan pantatnya sehingga aku tersedak. Paman kaget dan meminta maaf. Aku tak peduli dan terus mengulum kontol pamanku. Aku harus meminum semua seperma pamanku kali ini. Harus. Lalu paman melakukannya lagi, aku tersedak lagi. Kali ini ia tidak minta ma’af. Sudah sangat bernafsu. Dia ga peduli lagi denganku. Akupun tak memikirkannya. Aku terus mengulumya dengan ganas. Nafas paman sudah semakin memburu, desahannya juga semakin keras, sodokannya terhadap mulutku sudah tak terkontrol lagi, beberapa kali aku tersedak. Paman sudah berkeringat lagi, badannya penuh dengan keringat yang menetes menuruti lekuk tubuh pamanku. Semakin bernafsu aku melihatnya. Kucopot tanganku dari lubang pantat pamanku, ia terlihat sedikit kecewa. Kukulum kontol bagian atas dan kukocok dengan ganas di batang yang tidak masuk ke dalam mulutku dengan tangan kananku. Paman mendesah keras. Ahh.. terus.. ahh.. ohh… terus… ahh.. Aku semakin gila melakukannya. Semakin ganas aku mengulumnya. Paman semakin bringas, gerakan badannya jadi tak terkontrol. Ia menggelinjang seperti kaki seribu. Dan mendesah dengan sangat keras, AHH.. AHH.. AHH.. Disusul dengan muncratan sperma dalam mulutku yang begitu banyak. CROTT… CROTT… CROOT… Muncratan pertama mengenai langit-langit mulutku. Aku hampir tersedak, tapi aku tak mau kehilangan satu muncratanpun. Aku mempertahankannya. Dan semua muncratan itu masuk ke dalam mulutku.  Sampai lelehan di batang kontol pamanku aku jilati tanpa sisa. Rasanya asin, dan tak enak tapi akupun menelannya. Pamanku tadi juga menelan spermaku. Aku harus melakukannya. Pamanku ngos-ngosan dan minum lagi. Lalu mengatur nafasnya.
Aku terkulai lemas di pahanya dan sesekali mengulum kontol lemas pamanku, dan juga memainkan biji pelernya. Setelah minum paman menarikku ke atasnya dan kami berpelukan sambil terlentang. Pelukannya begitu hangat dan sangat nikmat. Kuertakan pelukanku, aku sudah ngaceng dari tadi, jadi kugesek-gesekkan kontolku ke kontol lemas pamanku dengan kasar. Aku sudah sangat bernafsu. Kupeluk erat pamanku lalu kugesekkan kontolku tanpa ampun. Kamu ini benar-benar gila. Sudah ngaceng lagi ya kontolmu? Sekarang paman akan mengocokmu lagi dengan gaya yang jauh lebih nikmat. Paman yakin kamu belum pernah merasakan kenikmatan itu. Aku tak peduli, aku terus menggesekkan kontolku sambil kueratkan pelukanku. Aku juga mencium dada, leher, telinga pipi pamanku seperti paman memperlakukanku tadi.  Aku benar benar sudah tak punya akal sehat lagi. Keringat kami sudah bercampur. Aku semakin gila menekan kontolku. Paman memelukku erat lalu menjauhkanku dari badannya. Lalu ia bangun. Sabar ya, istirahat aja dulu. Sekarang giliran paman. Kamu diam saja di situ, tunggu sebentar.
Paman berkeliling ke kamarku, memeriksa meja dan tempat aku menyimpan buku atau barang-barang berharga. Sepertinya ia tidak menemukan yang ia cari. Lalu membuka lemariku, ia mengacak-acak tempat parfumku. Lalu mengambil minyak rambutku. Ia meratakan ke tangannya. Lalu kembali ke kasur, mungkin ia akan mengocokku dengan gel itu. Aku minum lalu duduk tenang. Ia menyuruhku terlentang lagi. Ia mengocokku dengan gel itu, rasanya benar-benar luar biasa.  Aku menggelinjang keenakan karenanya. Sedang asik-asiknya aku menikmatinya. Paman berhenti mengocokku. Aku heran, paman mengoleskan gel itu ke pantatnya. Astaga, aku akan menyodominya. Aku belum pernah merasakannya. Aku jadi berdebar-debar memikirkannya. Setelah kira-kira merata paman mengangkangiku. Ia memegang kontolku dengan tangan kananya lalu mengarahkan ke lubang pantatnya. Lalu menekankan badannya ke kontolku. Tapi susah, walaupun kontolku pendek, tapi gemuk. Jadi paman tidak dapat langsung memasukkannya. Paman menyuruhku mengarahkan kontolku ke pantatnya. Ia memasukkan kedua telunjuknya ke dalam lubang pantatnya. Ia melebarkan lubang pantatnya selebar mungkin. Dan mengarahkannya ke kepala kontolku. Hanya sedikit di bagian kepala kontol atasku yang masuk. Tapi itu sudah cukup, paman lalu menekankan badannya ke kontolku. Dengan sekali hentakan sepertiga kontolku masuk. Paman terlihat menahan sakit, lalu melanjutkan ke hentakan kedua. Hanya bertambah sedikit yang masuk. Paman meringis kesakitan. Tidak usah paman. Sakit nanti. Kataku memohon, tapi satu katapun tak didengar oleh pamanku. Paman mulai dengan hentakan ketiga. Sangat keras, sehingga dengan satu hentakan itu seluruh kontolku masuk ke dalam pantat pamanku. Paman terlihat menahan sakit yang sangat luar biasa. Mungkin hanya kontolkukah yang pernah masuk kesana. Jadi terlihat sangat menyakitkan. Paman berhenti sejenak, menunggu pantatnya menyesuaikan keadaan. Aku tak bisa membayangkan rasanya. Kontolku seperti digenggam dengan tangan yang erat sekali. Dan rasanya hangat. Benar-benar nikmat. Genggaman di kontolku bergelombang dari pangkal sampai ke kepala kontolku.  Sensasinya sungguh luar biasa. Hangatnya pantat itu tak pernah kurasakan seumur hidup. Tak pernah ada sesuatupun yang kurasakan senikmat itu seumur hidupku. Setelah dirasa cukup menyesuaikannya, paman mulai memompa kontolku naik-turun. Sungguh sangat nikmat sensasinya. Rasanya kontolku mengaduk-aduk pantat pamanku. Rasa hangat itu terus ada di sana. Benar-benar nikmat. Paman terus memompa dengan ganas. Ekspresi paman terlihat sangat menikmatinya. Ekspresi itu terlihat lebih nikmat dari saat kukulum atau kukocok kontolnya. Mungkin kontolku yang masuk ke dalam pantatnya juga memberikan sensasi yang sangat nikmat. Paman begitu menikmatinya. Ia mendesah saat kontolku masuk seluruhnya. Lalu mendesah lagi saat masuk berikutnya. Jadi desahan paman seirama dengan masuknya kontolku ke dalam pantatnya. Peluh paman menetes ke perut dan selangkanganku. Membuatku semakin terangsang. Juga saat daging di pantatnya mengenai selagkanganku, aku tak bisa menahan nikmatnya. Aku semakin terangsang karenanya. Ini berlangsung cukup lama. Paman sampai kelelahan. Dan mencopot kontolku dari pantatnya. Ia minum lagi. Saat ia ingin memasukkan kontolku ke pantatnya lagi, aku duduk. Dan minum juga. Aku memohon agar pamanku terlentang. Pamanku binggung tapi melakukannya. Lalu ku angkat pantat paman. dan aku berusaha memasukkan kontolku kesana lagi. Usaha pertama gagal, doronglah lebih keras lagi, kamukan laki-laki. Nanti akan lebih melelahkan dari ini kalau sudah menikah. Aku tak mepedulikannya. Aku langsung melakukan usaha kedua. Ku arahkan kepala kontolku ke pantat paman, lalu kudorong dengan sekuat tenaga. Berhasil. Kehangatan pantat yang hilang sejenak tadi kembali lagi. Lalu aku memompanya dengan sekuat tenaga. Sensasinya sungguh luar biasa. Aku belum pernah merasakan sensasi yang luar biasa seperti ini. Kupompa dengan sisa tenagaku. Aku memompa secepat yang aku bisa. Kehangatan pantat itu sungguh menyiksaku. Spermaku sudah ingin muncrat, aku ingin bertahan sedikit lebih lama. Ronde ini sangat nikmat, aku tak mau berlangsung sebentar saja. Kuturunkan tempo pompaku. Seperma itu terasa menjauh. Melihat turunnya tempoku paman heran. Udah capek? Okelah… Paman mencopot kontolku dari pantatnya. Bukan begitu paman, aku hanya…. Sudahlah, ga perlu malu, kamu masih smp. Wajar, nanti kalau sudah besar juga bisa kok tahan lama. Katanya memotong pembicaraanku yang belum selesai. Sambil berdiri, lalu menyuruhku terlentang lagi. Aku enggan melakukannya, aku sedikit marah karena diremehkan. Jangan marah dong, paman akan melakukan hal lain lagi. Kamu pasti suka. Senyum dong. Aku tidak tersenyum sama sekali. Paman mengarahkan kontolku ke pantatnya lagi seperti posisi awal tadi. Dengan sekali hentakan seluruh kontolku tenggelam dibuatnya. Walaupun aku sedikit marah, kehangatan pantat itu masih kurindukan. Jadi aku menikmatinya saja. Paman tidak memompa seperti tadi, tapi dengan kondisi seluruh kontolku tenggelam ke dalam pantatnya, paman memutar-mutar pantatnya. Kontolku diputar-putar di dalam pantatnya. Sungguh luar biasa rasanya. Kontolku seperti tongkat untuk membersihkan botol. Dinding pantat itu bergantian mengenai kontolku. Kanan kiri atas bawah. Sungguh luar biasa. Aku tak kuat menahan spermaku lagi. Crutt… crutt.. crutt…Semuanya muncrat ke dalam pantat pamanku. Pamanku semakin ganas memutar pantatnya, sampai muncratan terakhir sepermaku. Ekspresi paman benar-benar menikmatinya. Sepertinya pantat yang dimasuki kontol rasanya benar-benar nikmat. Lelehan sperma di pantat pamanku jatuh ke kontol dan selangkanganku. Banyak sekali lelehannya. Aku lemas dan berkeringat. Tapi nikmat itu sungguh tak tergantikan. Paman mengambil handuk dan membersihkan sperma di pantatnya juga di kontol dan selangkanganku.
Lalu paman minum lagi. Paman menghabiskan minumnya. Aku juga ingin minum, jadi aku mengambil lagi ke dapur. Saat aku sampai di kamar, paman sudah dalam posisi tidur. Selimutnya sudah dipakai sampai dadanya. Hanya kepala yang masih terlihat. Aku langsung naik dan ikut berselimut di belakangnya. Kupeluk dengan erat dari belakang. Paman meremas pantatku dengan tangan kanannya penuh nafsu. Aku merasakan pamanku belum puas. Aku pura-pura memeluknya, lalu kucari kontol pamanku. Dapat. Kontol paman masih ngaceng dengan sangat keras. Ayo paman ronde terakhir. Kataku sambil membalikkan badannya. Paman nurut saja, lalu memelukku dengan erat. Tidak usah. Nanti tidak ada habisnya sampai pagi. Paman memelukku penuh nafsu, aku yakin paman belum puas. Kugesek-gesekkan pahaku yang berada di antara pahanya. Kontol paman adalah sasaranku. Paman semakin gelisah menahan nafsu. Ayolah paman, aku janji ini yang terakhir malam ini. Kataku manja, sambil kupeluk dengan penuh nafsu. Dasar nakal. Paman mengatakan sambil menindihku. Lalu menggesek-gesekkan kontolnya ke kontolku yang lemas penuh nafsu. Aku memeluknya dengan erat. Paman mulai menjilat, mengecup dada, leher telinga dan sebagainya. Paman sudah terbakar nafsu. Tekanan kontolnyapun semakin cepat. Nafasnya memburu dan desahannya semakin lama semakin keras. Aku tidak mau paman muncrat dengan cara ini lagi, harus dengan cara lain. Kontol paman harus masuk ke pantatku. Harus. Aku memeluk erat dan bilang, sebentar ya… Paman heran dan tidur terlentang sambil terus melihatku turun dari ranjang. Aku pergi ke lemariku dan mengambil minyak rambutku. Kuratakan di tanganku. Melihatku paman marah, Paman ga mau kalo yang itu. nadanya sedikit marah. Kenapa? Tanyaku heran. Pantatmu terlalu kecil, ga akan muat. Memangnya kamu pernah buang air besar sebesar kontol paman ini? Bisa robek nanti. Rasanya benar-benar sakit. Nadanya menunjukkan kalau itu sangat berbahaya. Ga apa-apa paman aku bisa menahannya. Kataku enteng. Mustahil. Sakitnya pantat paman belum hilang sekarang. Apalagi yang jauh lebih besar. Paman masih marah. Ayolah paman, sekali ini saja. Aku memohon. Ini akan menyakiti dirimu sendiri, lagian paman sudah lebih banyak muncrat daripada kamu. Paman sudah puas. Tidak usah kita lanjutkan. Sekarang paman benar-benar marah. Kontol paman tak bisa bohong. Ayolah paman, tidak usah masuk semua, kepala kontol paman saja sudah cukup. Aku cuma ingin tau rasanya. Aku benar-benar memohon. Kita lakukan nanti saat kamu sudah SMA. Paman janji. Katanya penuh keyakinan. Aku ingin merasakannya sekarang, paman. Lagian hanya kepala kontol paman saja, tak akan sakit kok. Kataku meyakinkan. Okelah, hanya kepalanya ya… Paman menyerah. Yes, dalam hatiku. Aku senang paman mau melakukannya. Kuratakan gel ke kontol pamanku, seluruh batang kontol paman. Hanya kepalanya, ngapain semuanya? Kata paman sedikit kaget. Kan udah kuambil, masa dibalikin ke sana. Kataku beralasan. Padahal aku ingin merasakan semuanya. Paman diam saja, nurut. Lalu kuberikan juga di sekitar pantatku. Aku tidur terlentang dan mengangkang, paman aja yang nekan. Paman sendiri yang menentukan seberapa boleh masuk kontol paman ke pantatku. Paman mulai mengocok kontolnya. Rupanya pertengkaran kecil tadi membuat kontolnya lemas. Setelah dikira cukup kuat paman mulai menekannya ke dalam pantatku. Percobaan pertama gagal, pantatku benar-benar kecil. Tak akan muat oleh kontol paman yang besar itu, walaupun hanya kepalanya aja. Percobaan kedua hampir berhasil, tapi saat hampir masuk terpleset kontol paman ke atas. Benar-benar mustahil. Percobaan ketiga paman menekan di tempat yang salah, jadi gagal. Percobaannya banyak sekali, dan akhirnya paman meyerah. Ini mustahil, ga usahlah. Kita lakukan yang tadi aja. Kata paman menyerah. Kalo gitu coba paman yang terlentang. Aku yang masukkan. Paman nurut aja dan langsung terlentang. Aku mulai mengangkanginya, mengarahkan kontolnya ke pantatku. Empat jariku kumasukkan paksa ke lubang pantatku. Rasanya perih. Lalu kulebarkan selebar mungkin. Melihatku paman sedikit ngeri, lalu kusuruh paman mengarahkan kontolnya ke pantatku. Percobaan pertama hampir berhasil, tapi besarnya kontol paman membuat pantatku menutup kembali dengan cepat. Aku melakukannya lagi, pantatku kuarahkan ke kontol pamanku. Lalu berat tubuhku aku tumpukan ke kontol paman. Setengah kepala kontol itu masuk. Aku tekan untuk kedua kalinya, kepalanya masuk semua. Rasanya benar-benar gila. Pantatku terbakar. Tapi kontol itu terasa cocok disana. Aku menikmatinya. Paman menunjukkan ekspresi yang sangat nikmat. Sambil memejamkan mata paman nyengir. Sepertinya walaupun hanya kepalanya saja rasanya sungguh nikmat. Aku menyesuaikan sejenak. Aku putar-putar pantatku yang membuat paman mendesah keras keenakan. Kontol itu membuat pantatku merasa lebih besar. Rasanya benar-benar nikmat. Saat paman memejamkan mata aku mengambil kesempatan untuk menambah kedalaman. Kutekan sekuat tenaga, dan bless. Sepertiga kontol paman masuk. Rasanya benar-benar nikmat. Sakitnya tak bisa dibandingkan dengan nikmat yang kudapatkan. Aku samasekali tidak keberatan jika semuanya masuk ke dalam pantatku. Pasti akan nikmat sekali. Melihat itu paman bangun dan langsung mencopot kontolnya dari pantatku. Ia benar-benar marah sekarang. Paman ga mau lagi melakukannya. Paman langsung tidur dengan selimut menutup seluruh badannya. Aku menyesal melakukannya. Lalu aku tiduran di sebelahnya tanpa selimut. Ma’afkan aku paman. rasanya benar-benar nikmat. Aku tergoda untuk mencoba lebih dalam. Ma’afkan aku. Paman diam saja. Selimutnya tak bergerak. Ayolah paman, aku tak merasa sakit sedikitpun. Aku menikmatinya. Paman tak perlu merasa bersalah. Paman tetap diam. Aku minta ma’af. Aku janji tak akan melakukannya lagi. Paman tetap diam. Aku menanggis, aku menyesal melakukannya. Setelah ini paman ga akan mau menyerahkan kontolnya lagi kepadaku. Aku sangat menyesal. Gara-gara nafsu dan sedikit kesombongan aku akan kehilangan kontol paman untuk selamanya. Hiks… ma’afkan.. hiks.. aku.. paman.. hiks.. Aku meminta ma’af sambil menanggis tersedu. Paman luluh juga, ia membuka selimutnya menyuruhku masuk. Setelah aku masuk ia mendekapku dengan kehangatan tubuhnya. Kontolnya sudah tak ngaceng lagi.  Hei, sudahlah. Laki-laki pantang menaggis. Katanya berbisik. Terima kasih paman. Kataku lirih. Kami berpelukan lama sekali. Aku tak mau melepaskan pelukan itu. Setelah sekian lama paman memelukku lebih erat, tapi ada nafsu di sana. Pahaku mencari kontol paman, dan ternyata kontol itu sudah ngaceng. Aku binggung mau mulai dari mana. Pamanku ga akan berani memintaku. Aku yakin dia masih mau melakukan itu. Harus aku yang inisiatif. Kupeluk paman lebih erat sambil kucium dadanya. Paman mengeratkan pelukannya. Paman terangsang. Aku mulai mencium ke segala tempat, ketiak, dada, leher, telinga, dan pipinya. Paman jadi brigas, ditindihnya aku penuh nafsu. Dibalasnya ciuman-ciuman tadi dengan lebih bernafsu dan nafasnya semakin memburu. Kuremas pantatnya sekuat yang aku bisa. Paman mendesah keras. Kulakukan berulang ulang. Lalu kumasukkan jariku ke dalam lubang pantatnya. Paman semakin gila menggenjot kontolku. Kontolku juga ngaceng, jadi kontol kami beradu dan saling mengeluarkan percum. Perut dan selangkangan kami lengket dan licin. Paman semakin bringgas menekan kontolnya, gerakannya semakin cepat. Kuremas lagi pantat pamanku sekeras-kerasnya. Paman mendesah dan semakin liar menghajar kontolku. Kumasukkan empat jariku sekaligus lalu kuobok-obok pantatnya. Paman semakin cepat menggesekkan kontolnya ke kontolku. Keringat kami sudah bercampur, dan sudah basah sprei di bawahku. Keringat paman membuatku semakin bernafsu. Ini berlangsung terus-menerus dan paman tak kunjung mengeluarkan spermanya. Akhirnya paman lelah, dan berhenti. Lalu ia terlentang di sampingku. Mungkin maksudnya gentian, jadi aku lansgung inisiatif menaikinya. Aku mulai melakukan apa yang paman tadi lakukan. Paman meremas pantatku dengan keras membuatku semakin terangsang. Kupercepat gesekanku. Dan aku sudah mulai mendekati muncratnya spermaku. Paman memasukkn jarinya ke dalam pantatku dan mengobok-oboknya dengan kasar. Pantatku terasa robek. Aku semakin gila dibuatnya. Kupeluk erat pamanku dan tubuhku mengejang, dan crutt.. crutt.. crutt.. spermaku membasahi perut, dada, dan kontol kami. Aku lemas sekarang, dan kubiarkan tubuhku terkulai lemas di atas badan pamanku.
Ternyata kontol paman masih ngaceng. Langsung aku bangkit dan mengulumnya. Tapi tak bertenaganya aku membuat paman tak merasa nikmat. Sudahlah, istirahatlah di atas paman dulu. Aku menurut saja. Dan aku lemas di atas tubuh paman. Aku terus memeluknya, tak akan kulepaskan. Akhirnya aku tidak jadi kehilangan kontol paman untuk selamanya. Lama kami melakukan itu. Pamanku membelai rambutku sambil berbisik, Tadi kamu bilang tidak sakit? Boleh paman mencicipi pantatmu? Aku kaget mendengarnya. Aku mendongakkan kepala melihat paman yang jadi sedikit meras bersalah mengatakannya. Aku masih diam, kaget. Kalo sakit ya udah. Kata paman kecewa. Enggak paman sangat nikmat, ayo kita lakukan sekarang. Kataku sambil mengulum kontol paman yang sudah kembali lemas. Aku terus mengulumnya, akhirnya kontol paman benar-benar ngaceng dengan sangat keras. Aku bangkit mengambil minyak rambutku, tapi paman memegang tanganku. Biar paman saja yang melakukannya. Kamu istirahat saja. Paman berdiri dan mengambil minyak rambutku. Meratakan ke seluruh kontolnya dengan agak kasar. Rupanya paman sudah tak tahan lagi ingin menikmati pantatku. Lalu paman mengambil sedikit lagi untuk pantatku. Aku di suruh terlentang. Paman meratakan ke sekitar pantatku, lalu memasukkan jarinya bergantian. Aku mendesah keenakan karenanya. Pertama satu jari, lalu dua, lalu tiga , dan kekempat jarinya sekaligus. Rasanya benar-benar nikmat. Lalu paman memegang paha kananku dengan tangan kirinya, tangan kanannya mengarahkan kontolnya ke pantatku. Lalu menekankan kontolnya ke pantatku. Kepalanya masuk, paman mendesah ke enakan akupun juga. Sangat nikmat rasanya. Saat hentakan kedua paman mendesah sangat keras, AHH… Pantatku terasa terbakar, tapi aku menahannya. Jika aku merasa sakit pasti paman akan menghentikan aksinya. Sudah setengah kontol paman yang masuk ke pantatku. Aku sangat menikmatinya. Paman melanjutkan hentakan ketiga. Dengan satu hentakan kontol paman masuk seluruhnya. Paman menjadi sangat bringgas. Paman diam sejenak memberkan waktu pantatku menyesuaikan buldoser yang menghantamnya. Setelah itu paman memompa dengan sangat ganas. Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Antara sakit yang luar biasa hingga nikmat yang tak terlukiskan. Aku mendesah, semakin sakit rasanya. Aku harus menahannya, paman akan benar-benar marah jika aku terlihat kesakitan. Paman semakin gila, pompaan kontolnya sudah tak terkontrol lagi. Sangat cepat. Ekspresi paman tak pernah aku lihat. Ekpresi seperti itu belum pernah ia keluarkan. Sepertinya posisi inilah yang sebenarnya membuat paman sangat nikmat. Paman semakin menggila memompa kontolnya. Desahannya jauh lebih bernafsu dari sebelumnya. Paman berhenti memompa dan menciumi dada, telinga dan pipiku dengan kontol masih menancap mantap di pantatku. Sensasinya sungguh luar biasa. Lalu paman memompa lagi, dengan nafsu yang lebih besar. Kedua tangan pamanku memegang pinggangku dengan erat, sepertinya paman tak mau kehilangan pantatku. Ia terus menahan posisi pantatku agar leluasa mengentotnya. Pantatku terasa terbakar sekarang, sakitnya tak tertahankan. Aku tak kuat lagi menahannya. Istirahat bentar paman, sakit sekali… kataku memohon. Paman tak mempedulikanku, semakin keras paman memompaku. Aku tak kuat lagi, aku belum pernah merasakan sakit seperti ini. Aku menanggis, lagi. Aku terus menanggis sambil terus-terusan berkata, sakit.. paman… Aku terus mengatakannya, tanpa henti. Aku hanya akan berhenti saat paman sudah mengeluarkan kontol besarnya ke pantatku. Paman terlihat antara bernafsu dan marah. DIAM… kata pamanku tegas. Aku belum pernah melihat paman semarah itu. Aku diam, dan terus menahan sakitku. Paman semakin terlihat menyeramkan, sepertinya paman sangat sangat menikmati pantatku. Desahannya sangat bernafsu dan keras. Kebringgasan paman ini jauh lebih liar. Aku yakin sekali pantatku berdarah. Perihnya ga mau hilang. Paman semakin menggila, genjotannya makin dahsyat. Ini berlangsung lama sekali, paman benar-benar tak mempedulikanku. Paman mencopot kontolnya, aku merasa lega. Paman membalikkan badanku. Posisiku sekarang tengkurap. Isakan tangisku tertahan kasurku. Paman menarik pinggangku, aku bertumpu kedua lututku. Aku menanggis keras saat paman kembali memasukkan kontolnya ke pantatku. Tangisanku tertahan kasur. Teriakanku tak terdengar. Paman semakin gila memompa. Aku tak menanggis lagi. Aku mencoba menikmatinya. Aku mencoba menghilangkan rasa sakitnya, dan mencoba mengikuti irama paman memompa kontolnya. Semakin lama sakitnya hilang. Nikmat itu datang dengan pasti. Aku mulai merasa nikmat. Aku mulai mendesah seirama dengan sodokan paman. ternyata sangat nikmat, nikmat ini belum pernah aku rasakan. Lebih nikmat daripada saat kontolku masuk ke pantat pamanku. Aku mulai meracau. Terus.. ahh… terus… ahh… lebih ohh… dalam… lagi… ahh… Semua teriakan kenikmatan itu tertahan kasurku. Tak terdengar jelas. Paman semakin erat memegang pinggangku, frekuansi sodokannya semakin cepat. Aku semakin gila menikmatinya. Kontol paman benar-benar nikmat. Paman mencekram pinggangku sangat erat, dan memompa dengan kecepatan yang sulit dibayangkan. Paman kejang dan CROTT… CROTT… CROTT… Muncratan sperma itu memenuhi pantatku, pantatku basah oleh sperma. Banyak juga yang meleleh dari lubang pantatku. Sebelum semua sperma itu keluar paman mencopot kontolnya. Lalu menelentangkan aku dan memelukku dari samping. Aku jadi miring juga posisi tidurku. Paman memelukku sangat erat. Ma’afkan paman. Paman sudah ga kuat lagi menahan nafsu paman. Pantatmu sangat nikmat. Paman membuatmu menaggis. Paman minta ma’af. Ma’afkan paman, paman janji ga akan melakukannya lagi. Ini yang terakhir, paman janji. Paman minta ma’af. Paman menyesal telah melakukannya. Paman benar-benar minta ma’af. Ma’afin paman ya… Paman mengatakan itu semua tanpa jeda. Paman terus memohon, agar aku mema’afkannya. Paman memang sedih dan terlihat sangat menyesal, tapi paman tidak menanggis. Aku tidak menjawab, aku hanya memeluknya dengan erat. Badan paman terasa hangat, keringat paman masih bercucuran di badannya. Sisa muncratan seperma yang keluar dari kontol paman menempel di perutku. Aku yakin masih banyak sperma yang meleleh di kontolnya. Kamu mau mema’afkan paman? Paman bertanya lagi. Aku memeluk paman lebih erat dan mengangguk kecil. Terima kasih ya. Terima kasih banyak. Kamu boleh menikmati kontol paman kapanpun kamu mau. Katanya sambil memelukku lebih hangat. Aku senang mendengarnya. Kapanpun aku mau, paman akan menyerahkan kontolnya kepadaku. Aku tak bisa membayangkannya.
Aku bangun, mengambil handuk dan membersihkan sperma yang menempel di perutku. Aku juga mencoba membersihkan sperma yang ada di sekitar pantatku. Perih rasanya, aku menahannya. Aku tak mau membuat paman merasa bersalah. Saat aku lihat handuk itu, ada noda darah yang menempel disana. Aku tak memikirkannya. Lalu aku juga membersihkan sperma yang ada di badan pamanku. Kulempar handuk itu ke lantai. Aku tidur di sebelah kiri paman dan menarik selimut sampai dada kami. Aku memeluk pamanku. Paman melingkarkan tangan kanannya ke dadaku dan menumpangkan kaki kanannya ke kakiku. Setengah dada paman menindihku, paha kanannya menindih kedua pahaku. Kontol lemas paman menempel di pinggangku. Benar-benar hangat rasanya. Aku memeluk pamanku lebih erat. Aku tak akan melepaskannya. Rasanya nikmat kok paman, aku ga mau malam ini yang terakhir. Aku membuka pembicaraan. Bohong. Paman tadi jelas melihatmu menanggis sambil terus memohon agar paman berhenti. Paman ga akan melakukannya lagi. Katanya tak percaya. Waktu nanggis sih benar-benar sakit. Tapi makin lama sakitnya hilang. Rasanya semakin nikmat. Aku membela diri. Tidak usah bohong, sampai paman muncrat  kamu tak berhenti menanggis. Saat paman balik tadi kamu menanggis keras. Paman masih tidak percaya. Memang, tapi setelahnya aku menikmatinya kok. Lebih nikmat dari waktu aku menyodomi paman. Udahlah, pokoknya aku akan melakukannya kapanpun aku mau. Paman janji gitukan? Kataku mendongak, aku tatap matanya. Iya deh, kapanpun kamu mau paman akan kasih kontol paman ini. Terserah mau kamu apakan. Paman janji dan lebih baik paman mati daripada melanggarnya. Kata paman sambil mencium ubun-ubunku. Aku senang mendengarnya. Terima kasih paman. Kataku sambil mengeratkan pelukanku. Paman juga melakukan hal yang sama. Kami tidur dalam pelukan yang hangat.
***

Tok tok tok
“Doni! Bangunkan pamanmu.”
Tok tok tok
“Doni! Doni! Doni! Bangunkan pamanmu.”
Bibiku mengetuk pintu dan menyuruhku membangunkan paman. Aku membangunkan paman dengan malas. Aku menggoyangkan badannya, bangun paman kataku. Aku tidur lagi.
Tok tok tok
“Doni! Bangunkan pamanmu. Kalo ga mau bangun buka pintunya. Biar bibi yang membangunkannya.”
Aku kaget, habis kalau bibi sampai masuk. Aku bangun.
“Ga usah Bi, aku bisa kok membangunkan paman.” Teriakku. Paman, Bangun. Kataku sambil terus menggoyangkan badannya. Tapi paman hanya berubah posisi, dari tengkurap menjadi terlentang dengan tangan kanan di kasur dan tangan kiri menarik selimut sampai dadanya. Aku punya ide. Aku menyalakan musik. Suaranya tidak terlalu keras dari luar, cukup keras di dalam kamarku. Kutarik selimut yang paman pakai. Paman tidak bergerak sedikitpun. Aku duduk di atas dada paman menghadap kakinya. Aku tengkurap di atas badan paman, aku mulai mengulum kontol pamanku. Kujilati ganas semua bagian kontol itu. Biji pelernya tak luput dari sapuan lidahku. Lalu kukulum kepala kontol paman. aku menikmatinya. Kukocok dengan tangan kananku dengan cepat. Paman mendesah beraturan dengan mata masih terpejam. Kontol paman ngaceng perlahan. Makin lama makin keras. Jembut paman makin jauh dengan mulutku. Aku bisa mengulum kepalanya sambil mengocok batangnya. Paman sadar sepenuhnya. Paman memiringkan badan, aku jatuh kesamping. Paman menarik pinggangku dan langsung mengulum kontolku tak kalah ganas. Aku menggelinjang ke enakan. Aku mengulum kontol paman tak mau kalah. Aku menjadi sangat menyukai mengulum kontol. Sensasinya luar biasa. Aku sangat menikmatinya. Paman bangun dan menerlentangkan aku. Kontol kami ngaceng keras sekali. Paman mengulum kontolku sejenak, lalu mengarahkan kontolku ke pantatnya. Tanpa pelumas paman memaksa kontolku masuk. Paman memasukkan jarinnya ke pantatnya lalu membukanya paksa. Lalu mengarahkan kontolku masuk kesana. Baru kepala kontolku yang masuk paman menekan sangat kuat sehingga kontolku masuk seluruhnya. Paman mulai menggoyang kontolku ke segala arah. Kalau ini pengalaman pertamaku pasti aku langsung muncrat. Tadi malam adalah yang pertama. Aku bisa menahannya lebih lama, menikmatinya. Lama paman mengocok kontolku dengan pantatnya. Akupun sudah meracau ga karuan. Sangat nikmat rasanya. Paman mencopot kontolku lalu tidur terlentang. Aku paham aku mengangkanginya dan mencoba mengarahkan pantatku ke kontol paman. tapi paman mencegahnya lalu paman mengangkat kedua kakinya. Memegangnya dengan kedua tangannya. Aku paham sekarang. Aku disuruh mengentotnya dengan posisi itu. Aku melakukannya. Kuarahkan kontolku dengan tangan kanan, sekali hentakan kontolku masuk setengah. Hentakan kedua terbenamlah seluruhnya. Aku mulai memompanya dengan kecepatan yang belum pernah aku lakukan. Aku meracau tak karuan. Aku terus memompa kontolku dengan ganas. Aku merasa menjadi lelaki sejati. Ngentot dengan ganas layaknya pria dewasa. Aku gengsi jika cepat muncrat atau pelan memompanya. Jadi aku terus memompa dengan kecepatan penuh. Paman menyuruhku berhenti. Aku mencopot kontolku. Paman nungging, menyerahkan pantatnya kepadaku sepenuhnya. Aku mulai mengentotnya. Kami sudah seperti sepasang suami istri yang baru menikah. Yang ada di otak hanya ngentot. Aku melakukannya dengan ganas. Aku merasa akan segera muncrat. Aku menjadi semakin gila. Kupompa dengan sisa tenagaku.
Tok tok tok
“Doni! Bangunkan pamanmu.”
“Iya bi, nanti kubangunin.” Aku kaget dan mencopot kontolku.
“Pamanmu ga bisa dibangunin sekali. Suruh mandi juga, langsung sarapan. Kamu juga, jangan tidur lagi. Pamanmu itu ngasih contoh yang jelek aja bisanya.” Teriaknya sambil meninggalkan kamarku.
“Iya Bi. Paman pasti bangun kok.” Kataku sambil memasukkan kontolku lagi. Walaupun jelek yang penting nikmat. Paman mengatakannya sambil tersenyum. Aku juga tersenyum dan terus memompa kontolku. Aku sudah tak kuat lagi. Keringatku bercucuran seperti banjir. Kucengkram erat pinggang pamanku. Kumasukkan sedalam-dalamnya kontolku. Crutt.. crutt… crutt… Spermaku muncrat ke dalam pantat pamanku. Banyak sekali kukira. Rasanya seperti kosong kontolku. Aku sudah memuntahkan semua spermaku. Aku memeluk paman dari belakang tanpa mencabut kontolku. Aku lelah sekali. Paman menjatuhkanku, lalu dengan nafsu yang tak terbendung ia menindihku. Lalu mencium dadaku, leher, telinga dengan ganas. Kontolnya yang sangat keras terus digesek-gesekkan ke kontolku. Tangannya memelukku erat sekali. Aku diam saja, aku istirahat. Kubiarkan paman melakukan apapun yang ia mau terhadap tubuhku. Aku heran paman ga langsung menyodomiku. Padahal itulah yang menurutku paling paman inginkan. Mungkin paman masih takut aku kesakitan. Paman terus saja memompa kontolnya tanpa memasukkannya kemanapun. Terasa tak adil. Aku bangun dan tanpa mempedulikan pamanku aku mengulum kontolnya. Itu lebih baik kurasa. Paman meracau tak karuan. Belum lama berlangsung paman mengangkatku seperti menggendong bayi. Aku heran, tapi aku nurut saja. Paman membawaku ke kamar mandi. Aku diturunkan dan sisiram dengan air seolah aku masih bayi. Aku dimandikan pamanku. Paman mengambil sabun lalu menyabuni seluruh tubuhku. Lalu memelukku, kontol paman masih ngeceng dengan keras sekali. Aku mengambil sabun lalu gantian menyabuni seluruh tubuh paman. Aku sengaja kontol paman adalah tempat terakhir yang kusabuni. Lalu aku menyabuninya sambil terus mengocoknya. Paman terus-terusan mendesah. Dan sesekali nyengir yang menandakan kenikmatan yang datang terus-terusan. Aku berhenti melakukannya. Paman sedikit kecewa. Aku memegang pinggir bak mandi lalu menyodorkan pantatku pada paman. Kita lakukan itu lagi setelah kamu bertambah besar. Katanya sambil membalikkan badanku dan memelukku. Paman terus menyodokkan kontolnya ke kontol lemasku. Ganas sekali. Sabun itu membuat licin dan sangat nikmat. Aku melepaskan diri, kusodorkan lagi pantatku kepadanya seperti tadi. Aku membungkuk karenanya. Aku bisa melihat kontol paman dari sela kedua pahaku. Paman sudah janji, atau akan melanggarnya sekarang? Paman jadi aneh, antara senang dan menyesal. Tapi dengan pasti ia mengarahkan kontol besarnya ke pantatku. Sabun membuat proses penetrasi ini berlangsung cepat. Paman sudah mendesah sangat keras saat kontolnya masuk seluruhnya ke pantatku. Akupun begitu. Terasa sangat nikmat, sepertinya pantatku sudah mulai terbiasa. Sensasinya sungguh luar biasa. Lalu paman memompanya dengan kecepatan yang sulit dipercaya. Benar-benar mengerikan. Paman sangat menikmati setiap sodokan kontolnya. Desahannya seirama dengan masuknya kontol ke pantatku. Aku semakin gila dibuatnya. Kontolku ngaceng lagi. Aku mengocoknya dengan tanganku sendiri. Paman menghentikannya. Spermamu harus masuk ke pantat paman. Katanya tegas. Lalu memompa dengan kecepatan luar biasa. Cengkramannya keras sekali. Desahan paman juga semakin keras dan menggila. Paman memasukkan kontolnya sedalam mungkin ke dalam pantatku lalu menyemprotkan spermanya. CROTT… CROTT… CROTT… Paman memelukku dari belakang. Aku melepaskan diri. Langsung saja aku masukkan kontolku ke dalam pantat pamanku. Kupompa dengan sisa tenagaku. Paman juga meracau tak karuan. Aku tak kalah bringgas. Sodokanku makin mantap dan aku merasa bisa ngentot lebih lama dari sebelumnya. Kenikmatan pantat paman tidak senikmat waktu pertama kali. Aku bisa menahan muncratnya spermaku. Aku terus memompa dengan ganas. Kontolku terasa dipijat dengan kehangatan yang luar biasa. Denyutan pantat paman kurasakan. Sangat nikmat sekali. Aku mencopot kontolku. Lalu terlentang di lantai. Paman langsung saja mengangkangiku, lalu menghajar kontolku dengan gerakan yang sangat liar. Semakin lama semakin nikmat rasanya. Aku mengaduk-aduk pantat paman. rasanya nikmat sekali. Paman mencopot kontolku, lalu berbalik arah. Paman menghadap kakiku, lalu kembali memasukkan kontolku ke dalam pantatnya. Lalu memompanya dengan gaya berbahaya. Rasanya sungguh berbeda. Sensasinya luar biasa. Aku tak kuat menahannya lebih lama. Crutt… crutt…. Crutt… Spermaku membanjiri pantat paman. paman terus saja memompa kontolku. Seperti memerasnya, mengeluarkan sperma yang masih ada di sana. Aku sangat menikmatinya. Setelah keluar semua paman membangunkanku dan memeluknya. Paman sangat berterima kasih padamu. Paman belum pernah merasakan kenikmatan bermain seks sehebat ini. Paman benar-benar berterima kasih. Katanya sambil memelukku dengan keras. Aku juga kok paman. aku belum pernah melakukan semua yang kita lakukan. Paman memberikn pengalaman yang baru. Aku tak mau mendapatkannya dari orang lain. Kataku sambil mengeratkan pelukanku. Lalu kami mandi, saling menyabuni badan dan aku terus saja mengulum kontol paman. Aku sangat senang melakukannya. Walaupun kontol itu tak ngaceng lagi. Aku hanya suka sekali melakukannya. Lalu kami keluar, ganti baju dan sarapan. Diluar kamar seolah tidak terjadi apa-apa antara kami. Paman benar-benar bisa membawa diri. Aku tak sabar menunggu malam tiba. Kontolku terus-terusan ngaceng. Pengalamanku ini tak akan pernah hilang seumur hidup. Aku senang, dari sekian banyak manusia mungkin hanya aku yang mengalaminya. Aku menjadi semakin penasaran. Apakah memek lebih nikmat dari lubang pantat? Aku harus membuktikannya sendiri. Lain waktu, aku pasti mengetahuinya. Tak lama lagi.

Sunday, September 24, 2017

Istri Kawan Lancapkan

Istri Kawan Tolong Lancapkan


10.00 pm - Kami sampai kat rumah kedai
10.30 pm - Kawan, istri dan dua orang anaknya datang ke rumah kedai
11.00 pm - Kami tidor berlima dalam satu bilik.
01.00 am - Kawan main istri dia atas meja

Lepas tu, dia kejutkan saya (yang tengah buat-buat tidur), dia kata isri dia nak pegang konek saya.
Saya bangun, dan pi basuh konek saya.
Istri tengah main istri dia atas meja, saya berdiri kat tepi meja. Suami ambik tangan istri dia, dan bawa ke konek saya. Istri dia pun genggam konek saya dan tolong lancapkan.

He he, Continue ...

Friday, September 15, 2017

Pak Cik Konek Besar

Pak Cik Konek Besar


-
Saya tengah tunggu bas, balik ke Seletan.
Ambik bas kat Terminal Seremban.

Dia macam gah dengan konek dia yang besar tu.
Dia tanya, besar tak konek dia?
Saya jawap, entah lah, tak nampak.

Dia pun bagi signal mata, ikut dia pi tandas kat parkson tingkat bawah.
Bila saya tunjuk konek saya, dia terkejut.
Dia ambik konek saya dan dia nyoyot macam tak nak lepaskan.
Rupanya, konek saya lagi ebsar dari konek dia. Ha ha

Dia anak tujuh orang, dok Rantau.
Orangnya pendek, kulit agak gelap.



Thursday, June 15, 2017

Isteri Ditebuk Riang

Isteri Ditebuk Riang



Aku adalah seorang isteri yang setia. Namun setia dan sabar ada hadnya. Suamiku ada masalah jiwa. Dia mungkin mengalami inferiority complex. Padaku dia tetap suamiku namun padanya aku lebih tinggi taraf dan kedudukan dari dirinya. Inilah masalahnya sehingga suamiku, Hasan tidak sedar akjan diri dan tingkah lakunya.

Wahai suamiku, sesungguhnya engkau adalah tergolong dalam kalangan yang amat kusayangi. Sukamu adalah kegembiraanku dan dukamu adalah kesedihanku jua. Ketahuilah olehmu sayangku, Sesungguhnya kehidupan ini penuh dengan onak dan duri serta seribu kemungkinan yang telah ditakdirkan tuhan. Dalam seribu kemungkinan itu, kita adalah salah satu darinya.

Tidak seorang pun diantara kita yang tahu akan rezeki, jodoh serta ajal maut dirinya sendiri. Oleh itu, bersabarlah kiranya telah tiba takdir Tuhan untuk orang yang kita sayangi. Ujian Allah itu ada hikmah di sebaliknya. Dan redhalah kiranya ketentuan Allah telah tiba untuk dirimu sendiri. Siapalah kita di sisi Tuhan untuk mempertikaikan takdir dan ketentuannya.

Sayang, Dunia ini bukanlah hanya milik kita. Tapi ia telah dianugerahkan tuhan untuk seluruh makhluknya untuk diuji, siapakah diantara kita yang paling bersyukur? Hitunglah olehmu akan anugerah Tuhan. Pastinya tiada terhitung. Telah kupohon dari Tuhan agar suamiku berubah. Agar suamiku memberi sedikit perasaan dan tumpuan padaku.

Bukan aku minta kekayaan. Jauh sekali harta benda. Yang kupohon perhatian, kasihsayang dan apresiasi aku sebagai isteri yang telah memberikan kepadanya tiga orang cahayamata. Aku tidak boleh menyalahkan sesiapa. Aku yang bertugas sebagai seorang penolong pengarah di sebuah jabatan kerajaan. Gaji aku agak lumayan, lebih besar dari gaji suamiku.

Aku diperhamba oleh suamiku. Baik duit ringgit dan juga tubuh badanku. Aku menyayangi dan menyintai dia namun dia, suamiku take for granted. Semua hal rumah aku yang tanggung-dari sekcil bil sehinggalah sebesarnya. Malah rumah yang kami diami ini adalah pembelian hasil dari loan kerajaan yang aku berkelayakan memilikinya. Aku sendiri hairan kenapa suami aku bertindak begini. Dia hanya tahu membayar hutang keretanya sahaja.

Ishh.. Kalau hendak diceritakan banyak yang menyakitkan hati. Tension namun tekanan ini terpaksa aku hadapi juga mahu atau tidak mahu.

“Ko jangan lebih.. Nanti aku tingalkan ko..” Begitu nada cabaran atau ancaman suamiku.

Lelaki yang aku kasihi dan sayangi, kini sanggup meloentarkan kata-kata sedemikian setelah aku turut sama membantu membina rumahtangga ini. Hatiku pedih bagai dihiris. Tidak pernah aku melawan lelaki yang aku kasihi dan sayangi.

“Jangan ingat ko yang kuar duit belanja, ko nak lebih-lebih. Aku suami, aku boleh buat apa aku suka, aku ketua keluarga, kalau aku tak izinkan ko bekerja, kau tak boleh act juga,” herdik suamiku, Hasan (38 tahun) lagi.

Hasan memandang kepada Tini(33 tahun) menyampah. Tini, wanita yang dikasihi dan dicintainya satu waktu dulu, kini menjadi isterinya dan melahirkan iga orang zuriatnya. Dia menyampah kerana dia merasakan Tini mula mencabar kedudukannya. Statusnya. Tini sudah berjawatan dan dia masih berada di tahap itu, seorang posmen biasa.

Aku frust. Aku mula bosan. Bila waktu terluang aku berjinak-jinak dengan chatting. Aku lebih gemar berada dalam chenel veteran webnet masa itu. Dalam chatting aku boleh mengeluarkan apa yang terbenam atau terbuku dalam dadaku.

Ramai chaters yang mahu berkenalan. Aku melayan juga. Ramai yang chatting SEX-ada yang aku layan ada yang aku tidaklayan. Namun aku berpegang kepada chaters pertama yang aku chat. Nick dia Man1Luv-seorang lelaki veteran berusia (45 tahun), Abang N, berkeluarga dan seperti diriku bermasalah juga.

Kami sering bertukar maklumat dan masalah. Abang N sering menasihatkan. Kami masing-masing sukakan keluarga dan menyayangi keluarga kami.

“Loving does’nt means owning. Mengasihi tak semestinya memiliki. We can love each other in our own way. Itu sahaja comitmentnya,” kata Abang N padaku.

Aku menghayati kata-katanya. At least ada lelaki yang memberikan perhatian. Yang memberikan sedikit nasihat dan pandangan. Dan I like it. Pada ku filsofi dan kata-kata itu menangkap hatiku. Agak nervous juga nak berdate dengan Abang N. Malumlah bab datang ni sudah dekat sepuluh tahun tidak dibuat. Date untuk kerja adalah. Tapi date liesure ini jarang. Namun peluang date ini berlaku apabila aku berada di kawasan utara-di Penang sebenarnya. Dan kebetulan Abang N juga berada di Penang waktu itu.

Infact-kami chatting bila waktu terluang. Paling tidak kami SMS selalu juga. Itulah pendekatan dan perhubungan kami membuatkan kami rasa akrab walaupun belum pernah berjumpa. Wow segak, kacak dan berpendidikan tinggi Abang N. Boleh tahan and appealing. Cair juga walaupun aku rasa aku muda but it is nice to have a man senior than you for a friend.

So kali pertama we met at Cititel Penang. Kekok juga aku walaupun Abang N menyuruh kita menjadi kawan biasa atau kawan lama. Buangkan rasa malu yang menahan atau menghalang kita supaya lebih terbuka dan tidak formal. Aku mencuba dan setelah beberapa waktu dengan Abang N, aku rasa comfortable dengannya.

“You’re swit.. Nice figure. Presentable.. What more do u want?” kata Abang N memuji aku sambil tersenyum dan memegang gelas jus tembikainya.
“Biasa je Bang. Normal wanita, tapi hubby dah tak sukerr,” jawabku pula.
“Come on, sampai satu waktu kita kena cari apa yang kita suka nak buat. Suami atau isteri juga ada rasa mau keluar, mau mencari apa yang dimahukan,” tambah Abang N yang berkemeja batik malam tu.

Kebetulan kami duduk di hotel yang sama. Aku simple sahaja orangnya, taklah tinggi tapi gempal sikit berblaus hijau muda, tudung hijau nipis dan kain hitam. Bersandal. Aku rasa selesa dan comfortable dengan Abang N. Kami kenal lama juga melalui chatting. SMS begitu juga. Though kami sama-sama in Kl but kami belum pernah date atau berjumpa. Kami selalu juga bertalifon. Itu sahaja but NO meeting.

Biasalah chatting. Bila kita dah comfortable dengan chater regular kita hal salam kelambu pun kita citerkan. Semua ni akibat tension dan ketakpuasan yang kita hadapi. Sex peribadi suami isteri juga dihamburkan. No two ways about that.

Maka adalah fantasia-fantasia yang dicerita dan kisahkan. Aku menjadi berani dewngan Abang N dalam chatting. Selalu bertanya pengalamannya. Aku juga berpengalaman hanya dengan suamiku. Abang N bertanya direct mahu mencuba. Aku tidak menjawab. Hati mahu tapi rasa berani tu belum ada.

Namun unsangkarable.. Aku pula yang tidak tahu malu. Lupa malu sebab asyik masyuk dan senang sekali berada dengan Abang N. You know what? Kisah-kisah sex dan fantasia yang kami chat dan fonkan menjadi kenyataan walaupun kali pertama aku bertemu dengan Abang N.

Pertama kissing Abang N. Mak oii membuatkan aku kelemasan dan cukup melayang terawang-awang. Tersekat nafas bila dikapuk dan dibelai lalu dicumbui dan dicium, tambah dipeluk. Kelemasan itu menghangatkan deria rasa. Sentuhan-sentuhan Abang N ke bahagian-bahagian yang belum pernah diterokai selama ini membuatkan aku hancur.

“Tini.. Small tits and nice boobs, round, firm and lovely dear, i like it” puji Abang N sambil menyonyot puting tetek dan meramas susuku.

Aku berasa terangkat menerima pujian Abang N. Setuhan tapak tangan, sedntuha bibir dan jilatan lidahnyake tubuhku membuatkan aku khayal dan mula bernafsu. Aku lupa dunia luar yang kuhadapi ialah Abang N di dalam bilik hotel mewah.

“Umhh cipap you wangi, tembam, tundun you tinggi Tini,” puji Abang N sambil menjilat lurah cipap ku, kemudian memainkan lidahnya dalam lubang farajku.
“Makk.. Naper u lick kat situ Bang? It feels nice.. So nice..” kataku sambil merenggek dan mengeluh.
“Husband you tak lick atau tongue kat situ?” Tanya Abang N, “How do you feel..”
“Nice I love it. Dah gelii.. Husband tak lick camtu. Acah-acah sahaja” jawabku dan mula merasa ngilu dan geli dijilat kemudian menggelejat dan mengeliat bila Abang N menyedut lubang cipapku bagaikan hendak terkeluar organ-organ di dalam tubuhku.

“Urghh.. Baang N.. Urghh I kuarr, you are a good licker..” kataku berani, aku sendiri terkejut dengan keberanianku. Abang N adalah lelaki kedua dalam hidupku yang menyenbtuh tempat sulit dan tubuhku.

Dan dengan perbuatan Abang N sedemikian aku menjerit dan mengerang kuat setelah mendapat klimaks. Cipapku berlendir dan Abang N masih meneruskan jilatan dan sedutannya. Kami berkucupan dan bertukar rasa. Aku benar-benar horny.

“Abang after ten years of marriage this is my 1st time I climax, yess Abang..” kataku sambil mengeluarkan airmata gembira.
“Is that so Tini, I m surprised..” kata Abang N menyepuh wajahku mengerling manja. Aku macam rasa bahagia diulit lelaki senior ini. Nice dan membahagiakan.

Yes.. Selama perkahwinanku, aku beranak tetapi aku tidak pernah tahu klimaks seperti apa yang aku rasa dengan Abang N. Hanya dengan jilatan dan tongueing dia sahaja aku dah klimaks. Berbeza dengan cara make love suamiku, Hasan. Kuno dan tidak sekriatif Abang N.

Abang N meneruskan jilatannya. Dia aroused nafsuku semula. Aku kembali horny. Abang N menjilat seluruh bahagian belakang tubuhku. Geli yang amat sangat. Dia menjilat lubang anal dan tongueing juga. Mak oii sedap geli amat sangat sangat. Gilerr.. Aku menjerit-jerit dan tubuhku mengigil. Never I experience semacam itu. Pukiku terus berlendir. Dan Abang N rakus menjilat dan menyedutnya.

“Oo Abang N, nice.. Nice.. Sedapp,” ujarku dalam desahku. Tubuhku terhinggut-hingut. Lebih mengeliat ke kiri dan ke kanan, mengertap bibir dan gigi, lidah dan mulut Abang N sudah berada di cipapku. Aku kengiluan dan kegelian. Dinding farajku membuka dan berlendir.

Kini aku memegang zakar Abang N. “O migodd.. Besar kote Abang. Suami I nyer tak cam Abang nyer. Boleh masuk ke Bang kat cipap Tini ni?”
Abang N ketawa kecil, “I am preparing to penetrate you well.”

Dan bila Abang N mencecah dan memutarkan kepala kotenya ke clitorisku, aku mengeliat dan merasa ngilu sedap dan kemudian meletakkan kepala kotenya ke pangkal lubang farajku, baru aku mulai merasa gusar. Namun aku menanti dan bersedia mengankangkan kakiku luas-luas.

Abang N menekan zakarnya ke lubang farajku.

“Auhh.. Abang N.. Sakit..”
“Rileks Tini, it is ok.. Nanti you akan rasa sedap.”

Yes. Tidak dinafikan. Aku menikmati mltiple climax bila dihenjut dengan irama yang perlahan dan kuat. Aku merasa pedih di bahagian bibir faraj, aku merasa sendat dan senak bila zakar Abang N bersarang dalam lubang farajku. Keras dan kiuat bagaikan rasa panas besi dalam cipapku. Aku mengapuk dan melilit kakiku di belakang tubuh Abang N yang mempompa batangnya ke lubang cipapku dan aku mengangkat buntutku untuk menerima tujahan keluar masuk zakar Abang N.

“Urgghh.. Abang nn.. Sedapp.. Sakit.. Sedapp..”
“Arghh.. Oo.. Ketat lubang cipap you, Tinii.. Ketatt”
“Oohh Bang nak kuar.. Bangg Nn..”
“Yess.. Yess kita kuar sama-sama sayangg..”
www.lucahstory.xtgem.com
Aku memperkemaskan diriku untuk klimaks dengan tujahan dan pompaan Abang N. Begitu juga Abang N. Aku dapat merasakan friction dinding lubang cipapku dengan geselan batang zakar Abang N.

“Urghh.. Urghh. Urghh.. Kuarr bangg Nn”
“Yess.. Me too..” Abang N menghenjut kuat dan kasar sampai ke pangkal zakarnya melekat ke tun dun cipapku.
“Oo Bang N.. Sedappnyaa.. Ist time sesedap ini difuck”

Aku akui. Yess-aku akui Abang N fuck me well dan sedap. Aku benar-benar kelesuan. Aku benar-benar bahagia dapat menerima kote Abang N yang besar, panjang dan keras itu. Aku selalu menginginkannya. As said by Abang N, to love is not to own. Yes I mula sayangkan Abang N, tapi bukan memilikinya. He is free and I am a free lady.

Kini aku tidak kisah apa suamiku buat. Gasak dia. Aku maintain apa yang aku perlu maintain. But at least I am happy now. Aku tidak perlu murung dan tensen akibat sikap suami yang sedemikian. I know where to get my love.

Sesungguhnya tidakku miliki emas permata walaupun sebesar biji kurma untuk ku hadiahkan buatmu, namun sudilah kiranya dirimu menghayati pesananku ini buat pedoman dalam melayari bahtera kehidupan yang penuh bergelombang ini. I always love you Abang N.

Pembaca setia, Tini akhirnya bercerai juga dari suaminya. Bukan kemahuan dia tetapi begitulah kehendaknya.




.

Friday, June 2, 2017

Lelaki-Lelaki Ponorogo




Lelaki-Lelaki Ponorogo


Asap rokok mengepul memenuhi ruangan. Seorang bocah lelaki berdiri diantara kerumunan orang yang membentuk lingkaran. Diantara kedua kakinya, terdapat kuda anyam yang tergolek lunglai. Sesaat, sunyi. Hanya terdengar desau angin yang memekik. Lantas gamelan pun mulai berdenting. Makin keras, dan makin keras. Si bocah lelaki mulai menari, gerakan tangannya gemulai seirama alunan kendang dan kenong. Kepalanya menggedik seirama gong yang ditabuh kencang. Salompret melengking. Seruling memekik. Kuda anyam perlahan mengayun. Si bocah lelaki berputar dan kian larut dalm tari Jathilan.
——————————————————————————
note; salompret: semacam seruling panjang yang ujungnya seperti bentuk kumis, biasa digunakan untuk mengiringi tarian reog bersama kenong, kempul dan gong.

Jathilan: nama lainnya tarian jaran kepang. Merupakan bagian dari pertunjukan tari reog. Biasanya ditarikan oleh wanita. Tapi pada jaman dulu, penari jathilan adalah lelaki.

—————————————————————————————————————————————————————————
LAYANG SIJI: Awal Dari Sebuah Takdir
————————————————————————————————————————————————————————–

PONOROGO, JAWA TIMUR. 1974.

MATAHARI terkatung diatas langit. Baru saja ia terbangun dari persembunyiannya di Gunung Pringgitan. Sesekali angin mendesau menghempas ranting-ranting Mahoni yang kering.

Kelas kami masih senyap dan sunyi. Kami semua hanya terdiam saat Bu Warniti, wali kelas kami pagi itu menanyakan Waluyo, si ketua kelas yang tak kelihatan batang hidungnya. Biasanya ia paling pagi datang ke kelas ini. Namun hingga sekarang ia juga menampakkan batang hidungnya.

Tak seorangpun dari kami tahu kemana si Waluyo. Biasanya kalau dia sakit, pasti Ibunya akan datang memberitahu. Tapi sekarang, ia menghilang tanpa pemberitahuan sama sekali. Aneh.

“Masa ndak ada yang tahu si waluyo kemana?”

Bu Warniti kembali menanyakan pertanyaan itu kepada kami. Tapi sekali lagi ia tak menemukan jawaban. Kami hanya diam. Karena memang kami tak tahu dimana si ketua kelas itu berada.

“Yawes. Kalau begitu, pimpin doa temen-temen kamu, Ndar.”

Bu Warniti menunjuk kearahku. Aku, yang notabene wakil ketua kelas langsung kebagian menyiapkan anak-anak berdoa sebelum memulai pelajaran.

***

Teng!teng!teng!

Lonceng sekolah kami, yang terbuat dari potongan rel kereta api itu berbunyi. Tanda pulang sekolah. Aku segera mengemasi buku, pensil, dan peralatan lain kedalam tas warna hitamku begitu guru terakhir meninggalkan kelas. Aku hendak melangkah pulang, namun langkahku terhenti. Aku mendengar si Santoso dan kawan-kawannya tengah membicarakan Waluyo.

“Eh,Eh, tau ndak si Waluyo kenapa tidak masuk sekolah hari ini?”

Santoso yang berbadan gemuk itu naik keatas meja, menghadap ke teman-temannya seolah sedang pidato.

Aku menghampiri mereka.

“Emangnya si Waluyo ngapo ra mlebu?“, tanyaku.

Emangnya kenapa si waluyo nggak masuk?

Santoso menatapku dan teman-temannya. Kami semua terdiam. Menunggu jawaban darinya.

“Tadi pas aku berangkat sekolah, aku kan lewat depan rumahnya si Waluyo. Aku denger-denger dia mau pindah ke Dolopo. Dia mau dijadikan gemblak sama Warok Sentani. Itu, lho, yang punya sanggar reog yang terkenal di Dolopo itu.”

“Gemblak, gemblak kui opo? Panganan sing songko ketan trus diwei kambil karo gulo?“, selorohku karena tak tahu apa yang sedang dibicarakan Santoso.

Gemblak itu apaan? Makanan dari ketan yang dikasih kelapa sama gula?

Tiba-tiba Santoso menatap tajam ke arahku. Aku terpaku. Tatapannya seperti harimau yang hendak menerkam mangsa.

“Heh goblok! Gemblak itu ya kamu itu, Ndar.”

“Aku? Maksudmu?”

“Kamu kan dirawat sama Pak Lek Danu. Dia bukan siapa-siapa kamu, sodara juga bukan. Tapi dia mau merawat dan menyekolahkanmu. Apalagi kalo bukan menjadikanmu sebagai gemblak. Menjadikan kamu sebagai simpanan, sebagai klangenan (jimat).”

Dheg!

Tiba-tiba aku gentar mendengar ucapan Santoso barusan. Jantungku berdegup. Nyaris tak dapat bicara.

“Taa..tapi Pak Lek merawatku karena kasihan sama aku, ndak ada alasan lain.”

“Sekarang dia hanya merawatmu karena kasihan, tapi sebentar lagi, kalau kamu naik kelas dua, kalau umurmu sudah 13 tahun, apa kamu yakin Pak Lek mu itu cuma merawatmu sebatas kasihan?” Santoso menyeringai.

Aku tak tahan. Sungguh-sungguh tak tahan jika harus mendengarkan perkataan Santoso lebih lama lagi. Aku benar-benar tak sanggup mendengarkan dia menjelek-jelakkan Pak Lek. Aku bergegas pergi, sembari menyambar tasku secepat kilat. Meninggalkan Santoso dan teman-temannya yang masih duduk terbengong.

“Nyapo bocah iku?”

Anak itu kenapa?

***

Brakk!

Aku membanting lawang dengan keras begitu sampai rumah. Aku bergegas masuk ke kamarku tanpa memperdulikan Pak Lek yang sedang menghirup ‘tingwe’ di kursi tamu. Aku membanting tas begitu masuk kamar. Tanpa melepas seragam biru-putihku, aku hempaskan tubuh kecilku diatas kasur, aku menangis sesenggukan. Aku hanya ingin menangis. Tak ada hal lain.

“Lho, lho,lho, muleh-muleh kok nyludur wae to, Ndar? Sragame ra dicupot sisan, ono opo to Le?”

Lho, lho, pulang2 kog nyelonong aja to ,Ndar? Mana seragamnya gak dilepas lagu, ada apa to, Nak?

Kudengar langkah Kaki Pak Lek memasuki kamarku. Ia mendekat dan duduk di sebelahku. Sementara aku masih tengkurap di atas kasur, menyembunyikan tangisku.

“Kowe nangis to, Ndar?”, Pak Lek mengelus lembut kepalaku.

“Pak Lek?”

“Iyo..”

“Apa benar, Pak Lek merawatku cuma buat menjadikan ku sebagi gemblak?” kuberanikan mengangkat wajah, menatap lelaki di hadapanku.

“Kenapa kamu bisa ngomong seperti itu to, Ndar?”

“Katanya Santoso, Pak Lek merawatku karena pengen menjadikan aku sebagai jimat, sebagai simpanan. Apa itu benar Pak Lek?”

“Uwes lah,Ora usah dirungokne opo jare Santoso.”

Sudahlah, gak usah dengerin omongan Santoso

Pak Lek mencoba menenangkanku. Dengan lembut dielusnya kepalaku. Ia paling tahu, bahwa segala kegundahan hatiku bisa seketika sirna oleh satu usapan lembutnya.

Namanya Danu Sentani Satyodhewo. Tapi ia lebih suka aku memanggilnya Pak Lek Danu. Umurnya nyaris empat puluh tahun. Ia selalu mengenakan blangkon dan batik kemanapun ia pergi. Diatas bibirnya, terdapat kumis tebal yang menjadi simbol seorang warok.

Pak Lek yang merawatku sedari kecil hingga sekarang. Aneh memang. Pak Lek tak punya hubungan saudara denganku, tapi ia mau membesarkan aku dan menyekolahkan ku. Padahal aku bukan siapa-siapa nya. Aku hanyalah anak yang lahir dari hubungan kumpul kebo ibuku dengan seorang lelaki yang tak pernah kuketahui. Ibuku pun bahkan jijik denganku. Dan menyerahkanku pada Pak Lek Danu untuk dirawatnya.

Pak Lek mengajarkan ku menari Jathilan dan Tari reog. Pak Lek juga yang mengajarkanku bagaimana nembang, mengajar menghempaskan kuda anyam, dan bagaimana menggerakan badan agar sesuai dengan irama kendang dan kenong. Dan Pak Lek, lah, yang memberiku nama yang begitu indah, Wendar Aji Sasmita.
——————————————————————————
note;
rokok tingwe; istilah untuk rokok buatan sendiri. Biasanya dibuat dari tembakau kering dicampur cengkeh yang dibungkus dengan kertas sigaret dan digulung sedemikian rupa sehingga membentuk batang rokok.

warok; dalam pertunjukan reog, warok sering disebut sebagai sosok berkumis tebal yang memakai blangkon. Biasanya memakai celana hitam dengan kolor yang berukuran super gede.

Pak Lek; paman.
——————————————————————————

“Pak Lek itu sayang sama kamu, kalau ndak, mana mau Pak Lek waktu ibumu nitipin kamu.”

Pak Lek Danu masih menghisap rokoknya. Aku duduk di sampingnya. Nyaris aku terbatuk oleh asap rokoknya.

“Memangnya kenapa kalau Pak Lek menjadikan kamu gemblak? Apa kamu ndak mau? Jadi gemblak itu enak lo.” Pak Lek setengah melirik ke arahku.

“Tapi Pak Lek, aku masih ndak tahu gemblak itu opo.”

“Hem… Dengerin Pak Lek. Kamu tahu kan, kalo Pak Lek ini warok?”

Aku mengangguk takzim.

“Nah, seorang warok itu wajib memelihara gemblak. Sebab itu kewajiban bagi seorang warok untuk tetap dapat mempertahankan dan meningkatkan kesaktian.”

“Tapi, katane Santoso jadi gemblak itu tak ubahnya menjadi simpanan, jadi jimat.”

Pak Lek menatapku sambil tersenyum. Dengan lembut, diusapnya kedua pipiku.

“Jadi gemblak itu adalah tugas mulia , Ndar. Tidak sembarangan orang bisa jadi gemblak, harus orang-orang terpilih. Dia harus bersih, tampan, dan juga pintar.”

Aku masih terdiam mendengar kata-kata Pak Lek Danu. Sekarang ia seruput kopi kotol miliknya.

“Kamu wes maem durung ,Ndar?”

Kamu udah makan belum ndar?

Aku menggeleng. “Belum.”

“Yaudah ayo kita beli sate ke Ngebel, kamu ganti baju dulu sana, pak Lek mau ngambil pit jengki dulu.”

Pak Lek berlalu, sementara aku bergegas membuka seragam SMP ku. Mengaduk- aduk isi lemariku yang terbuat dari bambu, mengambil baju kesayanganku; sebuah celana hitam dengan sulur berwarna-warni de tepiannya dan sebuah kaos bergambar Reog Ponorogo.

Selepas memakai baju, segera kuhampiri Pak Lek yang sudah menunggu di depan rumah sambil menyiapkan pit Jengki-nya. “Ayo, Pak Lek”, ajakku.
——————————————————————————
note;
pit jengki; sepeda kumbang.
—————————————————————————

——————————————————————————LAYANG LORO: Namaku Wendar, dan Aku Seorang Gemblak
——————————————————————————

Aku masih terpaku memandangi Pak Lek Danu. Ia terduduk diantara segerombolan lelaki sebayanya. Mereka tertawa-tawa. Dihadapan mereka, tersaji kopi kotol dan singkong goreng yang masih mengepulkan asap. Sesaat aku memandangi mereka. Ternyata seperti itulah jika para warok sedang berkumpul dan ngobrol, batinku.

Kemudian aku melengos. Kembali menghadap ke sebuah cermin kecil di depanku. Perlahan, kuusapkan kapas basah di tangan kananku pada wajahku, mencoba menghapus sisa-sisa pulasanmake up waktu pentas tadi. Baru saja aku selesai menampilkan tari Jathilan bersama teman-temanku. Sejenak, kupandangi pantulan wajahku pada cermin. Benar-benar sukar dipahami. Entah kenapa wajahku bisa sangat sempurna. Kedua mata yang laksana mentari terang jika membelalak. Hidung yang laksana tebing curam menggelincirkan nurani. Dan bibir tipis yang menjadi muara segala kendahan. Wajahku bukan hanya tampan. Tapi juga cantik.

“Kamu ndak ikut ngumpul sama Pak Lek mu, Ndar?”

Tiba-tiba seorang lelaki berumur sekitar sembilan belasan menghampiri dan duduk disampingku. Tangannya menyodorkan segelas teh panas dan pisang goreng. Namanya Mas Narno, dia temanku menari jathilan, dan dia……. Juga seorang gemblak. Sama sepertiku yang akhirnya menjadi gemblak Pak Lek Danu.

“Mbo..Mboten, mas. Teng mriki mawon”, ucapku terbata, berusaha menampilkan bahasa krama ku sebaik mungkin.
(nggak, mas. Disini saja).

“Ooalah, yowes”. Mas Narno tersenyum tipis menatapku. “Ayo dipangan gedhang gorenge”.

(ayo dimakan pisang gorengnya).

“In..injih Mas, suwun”.

(i..iya mas, makasih).

Sesaat Mas Narno menatap kearahku. Lama. Matanya seperti menelusuri tiap jengkal diriku. Kemudian ia tersenyum, melihat diriku yang salah tingkah oleh tatapannya.

“Pak Lek mu itu beruntung sekali, yo, Ndar”. Ucap Mas Narno pelan.

“Be…beruntung piye to mas?”.

(beruntun gimana to mas?).

“Ya beruntung. Dia punya gemblak yang sempurna macam kamu. Kamu itu ngganteng, pinter, penurut dan berbakti pula.”
Aku tersipu mendengar kata- katanya. Mas Narno meneruskan kata-katanya. “Kamu harusnya juga bangga, Ndar jadi gemblaknya Pak Lek. Pak Lek itu terkenal paling sayang lo sama gemblaknya.”

“Sampeyan ngertos saking pundi, Mas?”. Tanyaku penasaran tentang Pak Lek.

(kamu tahu dari mana mas?).

“Hehehe.” sekilas Mas Narno tersenyum. Ah. Senyumnya begitu menawan. Wajahnya pun tak kalah tampan. Kulitnya putih bersih dan terawat. “Dulu, Mas pernah jadi gemblaknya Pak Lek mu sebelum mas dibeli sama Warok Ludiro.” Mas Narno menunjuk kearah lelaki disamping Pak Lek. “Jadi Mas tahu giman Pak Lek itu memperlakukan gemblak peliharaannya. Percayalah, kamu akan merasa beruntung.”

Aku hanya mengangguk sangsi. Aku masih belum mempercayai ucapan Mas Narno. Aku memang tahu perlakuan Pak Lek terhadapku sebagai anak angkatnya memang baik, tapi aku tak pernah tahu seperti apa dia memperlakukanku sebagai gemblak.

“Mas…?”, ucapku kemudian memecah keheningan.

“Ya, Ndar?”.

“Apa mas ndak malu jadi gemblak? Kan banyak yang ngejek kita kalo jadi gemblak. Wong aku aja berhenti sekolah gara-gara teman sekolahku terus mengejekku.”

Mas Narno terkekeh mendengar ucapanku. Dan kemudian ia menatap mataku tajam.

“Ndar, kamu tahu ndak. Ketika lelaki-lelaki Ponorogo itu lahir dari perut ibunya, mereka punya dua takdir Ndar; kalo ndak jadi Warok, ya jadi gemblak”.

“Jadi, menjadi gemblak itu takdir?”

“Yah… Ndak seratus persen juga sih. Tapi bagaimanapun juga kita ndak bakal bisa mengelak. Orang kita udah dipilih. Kita udah terikat sama takdir kita sebagai gemblak kog, heheh…”, Mas Narno tersenyum kecut.

Jadi Gemblak itu tugas mulia ,Ndar. Kamu ndak perlu isin (malu)”, tambah Mas Narno.

Aku yang mendengar kata- kata Mas Narno itu hanya mengangguk takzim.

“Mas tadi bilang, katanya Mas pernah jadi gemblak Pak Lek sebelum dibeli sama Warok Ludiro. Apa gemblak itu diperjual- belikan?”, tanyaku penasaran dengan perkataan Mas Narno tadi.

Sesaat Mas Narno terdiam. Mencoba menemukan dan merangkai kata- kata yang tepat untuk menjelaskan kepadaku.

“Ndar.”

“Injih, Mas.” (ya, mas).

“Yang namanya gemblak itu. Ada yang namanya gemblak berkualitas tinggi, ada yang endak. Dan hanya gemblak terbaik yang ingin dimiliki seorang warok. Makanya, biasanya, diadakan jual- beli atau pertukaran gemblak. Biasanya mereka membayar 3 ekor sapi untuk kontrak 3 tahun”, terang Mas Narno.
Aku hanya mengangguk, mencoba memahami penjelasan yang lumayan rumit untuk anak berumur enam belas tahun sepertiku.

“Tapi Mas yakin Pak Lek Danu ndak bakal gelem (mau) menukarmu dengan apapun. Mas tahu Pak Lek sangat menyayangimu.”

“Ah, Mas niki iso wae”, jawabku tersipu.
(ah, mas ini bisa aja).

Kami berdua kemudian saling berpamitan karena Pak Lek menghampiriku dan mengajakku pulang. Mas Narno hanya tersenyum dan melambaikan tangan.

“Ati- ati, Ndar”. (hati- hati, Ndar).
***

“Kamu tadi ngobrol opo wae karo Mas Narno, Ndar?”.

(kamu tadi ngobrol apa aja sama mas narno, ndar?).

Pak Lek terus mengayuh pit jengkinya menelusuri pematang sawah yang diselimuti rerumputan teki yang hijau. Sementara aku duduk di boncengan belakang, melihat butir- butir padi yang mulai menguning disekeliling.

“Mboten Pak Lek, mboten matur nopo- nopo”. Kueratkan genggaman tanganku pada pinggang Pak Lek yang kokoh.

(gak pak lek, gak ngomong apa-apa).

“Tenane?”. (yang bener?)

“Injih, Pak Lek.”

“Kamu itu jangan terlalu deket Sama Mas Narno, Pak Lek ndak suka.” Pak Lek terus mengayuh sepeda tanpa berpaling kepadaku sedikitpun.

“Emange wonten punopo Pak Lek? Nopo mergi Mas Narno niku mantan gemblak Pak Lek? Terus Pak Lek mboten seneng?”.

(emangnya ada apa Pak lek? Apa karena mas narno mantan gemblak pak lek, terus pak lek gak suka?).

Pak Lek terdiam sebentar. Sementara aku kian penasaran.

“Pak Lek cuma ndak mau kalo Mas Narno itu mbujuki (mengadu-domba) yang ndak – ndak ke kamu tentang Pak Lek. Pak Lek ndak mau kamu lantas jadi benci Pak Lek nantinya.”

“Pak Lek, Mas Narno itu baik. Dia ndak sedikitpun menjelek- jelekkan Pak Lek. Malah dia muji- muji Pak Lek. Sudahlah Pak Lek ndak usah curiga begitu sama Mas Narno.” ucapku ketus. Tak terima kalau Mas Narno dibilang suka menjelek- jelekkan orang.

“Pak Lek curiga karena Pak Lek ndak mau Wendar benci sama Pak Lek.”

“……”, aku terdiam mendengar perkataan Pak Lek.

“Karena Pak Lek sayang sama kamu, Ndar.”

“Aku juga sayang sama Pak Lek”.
Jawabku setengah tersipu.

Sepeda kumbang yang kami tunggangi terus melaju diantara jalanan yang berkelok. Menerobos udara panas yang membakar kulit. Aku semakin erat memeluk pinggang Pak Lek. Sementara ia terus mengayuh. Peluhnya menetes. Tapi ia tak perduli.
bahasa krama; bahasa halus yang biasa digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua.



(TELU)
LELANANGING LANANG
(lelakinya lelaki)

Rembulane sumunar ndhadari Lintang-lintang angebaki tawang Pating gelebyar cahyane Wanci ratri wus larut Swara angin sembribit ngidit Saya nggegerit manah Wong kang nandang wuyung Ketaman lara asmara Duh kusuma, wilangan sanga lan kalih Mugi welas mring kula Rembulan bersinar dengan terang Bintang2 memenuhi langit Cahayanya berkilat terang Memang hari telah larut Suara angin berhembus kencang Semakin mengiris hati Orang2 yang sedang kasmaran Dilanda sakit cinta Duh kekasih, hitungan sembilan dan kedua Semoga engkau kasihan pada diriku SAYUP-sayup kudengar suara tembang diantara gelap malam. Temaram lampu sentir yang redup menggelogok hatiku dengan suasana syahdu. Aku bangkit dari amben (ranjang) dan melangkah menuju pintu. Aku melongok pintu kayu yang sedikit terbuka. Disana, di kursi depan, Pak Lek Danu menyanyikan bowo Wuyung. Suaranya menggetarkan hati. Aku merinding oleh asap rokonya. Entah kenapa, setiap tarikan suara Pak Lek seolah batang- batang rumput teki yang menggesekkan harmoni keindahan. Syahdu. Tembang- tembang Jawa memang selalu menggetarkan jiwa.

“Koe durung turu to , Ndar?”, Pak Lek menoleh kearahku yang terpaku di ambang pintu.

(kamu belum tidur to ndar?).

“De..dereng. Dereng saget tilem Pak Lek”.

(Be…belum. Belum bisa tidur pak lek).

“Yawes, mreneo.” Pak Lek melambaikan tangannya kearahku.
(yaudah, kesini).

Aku segera berlari kearah Pak Lek, mendekatinya, dan duduk di pangkuannya.

“Aku pengen Pak Lek cerita sama aku. Seperti dulu ketika Pak Lek mendongengkan aku sebelum tidur”,ucapku pelan.

“Hemm… Yawes… Pak Lek mau cerita sama kamu. Tapi kamu dengerin ya, jangan tidur…”, Pak Lek menowel hidungku gemas. Aku hanya menjerit kecil dan tertawa.

“Kamu pernah dengar asal- usul reog , Ndar?”.

“Belum Pak Lek.”

“Yaudah dengarkan.”
***

“Pada jaman dahulu, di Ponorogo ini, ada sebuah kerajaan, Ndar. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja besar yang bernama Raja Kelono Sewandono. Nah, suatu hari, sang raja menyukai dan ingin mempersunting seorang putri dari kerajaan Kediri. Seorang gadis cantik yang bernama Dewi Ragil Kuning. Ketika Raja Kelono Sewandono dan para pasukannya pergi ke Kediri hendak melamar Ragil Kuning, tiba-tiba tiba mereka dihadang oleh raja Kediri yang tidak setuju Ragil Kuning dipinang oleh Kelono Sewandono. Raja itu, namanya Raja Singo Barong, tak rela, karena sebenarnya dia juga mencintai gadis itu. Akhirnya mereka berdua pun berperang untuk mendapatkan si gadis cantik itu. Raja Kelono dengan pasukannya yang terdiri atas bujang anom dan warok. Sedang Singo Barong dengan pasukannya yang terdiri atas singa, harimau, burung merak dan pasukan berkuda.”

“Lalu siapa yang akhirnya menang Pak Lek?”, tanyaku penasaran.

“Pada Akhirnya, Raja Kelono Sewandono lah yang menang dan mendapatkan Dewi Ragil Kuning.”

“Jadi itu alasannya pada akhir pertunjukan reog, pasti dikisahkan kalau barongan kalah dan jatuh tersungkur?.”

“Ya seperti itulah.”

“Jadi kalau Wendar nari Jathilan. Wendar itu ibarat pasukannya Singobarong yang gagah perkasa Pak Lek?”, tanyaku menggebu.

“Benar le, makanya, kamu harus serius nari jathilannya. Kamu harus jadi lananging lanang Ndar. Kamu harus jadi seperti pasukannya Singo barong yang gagah berani.” jelas Pak Lek.

Aku hanya mengangguk. Dan tertidur dalam pangkuan Pak Lek.
lampu sentir; lampu minyak. Tapi biasanya dibuat dari botol ‘kratingdaeng’ dan diberi sumbu kompor dengan bahan bakar minyak tanah.
bowo; lirik lagu dalam bahasa jawa yang dinyanyikan tanpa musik. Hampir sama seperti deklamasi, namun dengan irama.
ada beberapa versi cerita tentang asal- usul reog, tapi yang kupakai disini adalah alur cerita yang digunakan dalam pementasan reog.

(PAPAT)
SEJATINE WONG LANANG
(Lelaki yang sesungguhnya)
AWALNYA, Pak Lek hanya menyelusupkan jemari- jemarinya kedalam lubang bajuku. Namun kemudian, Pak Lek malah memasuk- masukkan yang lain pada lubang yang lain.

Malam itu hujan tak henti- hentinya turun dari langit gelap. Aku menatap lampu sentir diatas meja yang tertiup- tiup angin dingin. Cahayanya redup. Temaram. Aku meringkuk didalam kain sarung, menunggu Pak Lek yang belum pulang juga sampai larut begini.

“Pak Lek dimana…. Wendar takut…..” bisikku lirih.

Tiba- tiba terdengar suara pintu diketuk. Aku terperanjat. Kemudian terdengar suara khas Pak Lek diantara suara bising air hujan.

“Ndarr…. Kamu belum tidur kan ‘ le (nak)? Buka pintunya Ndar….”.

Aku bangkit dari duduk. Sambil membebatkan kain sarung ditubuhku aku berjalan menuju pintu depan.
Kubuka pintu dan muncullah Pak Lek Danu yang basah kuyup. Aku segera meyuruh Pak Lek masuk.

“Pak Lek saking pundi mawon? Kog ngantos teles kebes ngeten?”, ucapku sambil menutup pintu.

(Pak Lek dari mana saja? Kog sampai basah begitu?).

“Pak Lek habis dari sanggar, biasalah, acara syukuran Warok Suro.” ucap Pak Lek sambil berjalan masuk kedalam kamar untuk berganti pakaian.

Ah. Aku mencium bau alkohol dari mulut Pak Lek saat ia berbicara. Pasti tadi dia dan teman- temannya pesta angciu waktu di sanggar. Kebiasaan Pak Lek tak pernah berubah. Sementara Pak Lek berganti baju, aku kembali duduk diatas kursi anyam yang terbuat dari rotan.

“Ndar… Koyone (kayaknya) Pak Lek masuk angin iki. Kamu bisa ngerokin Pak Lek kan?”.

Terdengar teriakan Pak Lek dari dalam kamar.

“Saget Pak Lek. Sekedap”. Jawabku sambil membereskan piring dan gelas bekas makan ku tadi.
(bisa Pak lek, sebentar).
***
Aku berjalan gontai dari dapur menuju ke kamar Pak Lek. Aku bisa mencium bau minyak serimpi menyeruak dari kamarnya. Harum. Tapi juga mistis.
Diatas ranjang, aku melihat Pak Lek telah terbaring tengkurap dengan hanya mengenakan kain sarung. Sesaat mataku tepaku melihat lekukan tubuh indah Pak Lek. Kulitnya sawo matang dan terlihat bersih. Lekukan tubuhnya begitu sempurna, terpahat tanpa celah sedikitpun. Jika ada wanita yang melihatnya telanjang begini. Aku yakin, mereka pasti tergila- gila dengan Pak Lek.

“Nah, kui neng mejo ono lengo gas karo duit satus.” ucap Pak Lek memecah lamunanku.
(nah itu di meja ada minyak tanah dan uang seratus).

Segera aku menuju meja. Mengambil sebuah piring kecil berisi minyak tanah dan uang koin seratus rupiah bergambar gunungan. Dan bergegas naik ke ranjang dan uduk di samping Lek.
angciu; arak jawa, minuman keras yang terbuat dari fermentasi beras.

Perlahan- lahan, kuusapkan minyak tanah kepunggung Pak Lek dan mulai mengeroknya dengan koin seratus rupiah itu. Pak Lek hanya terdiam, tak bergeming. Padahal aku menekan kerokan itu dengan kuat, tapi rasanya itu bukan apa- apa baginya.
Sesaat hanya keheningan yang melingkupi kami berdua. Hanya ada suara gemerisik air hujan yang tak kunjung reda. Dan suara desah nafas kami berdua.
Sesekali kupandangi wajah Pak Lek dari belakang. Entah kenapa aku jadi suka mencuri pandang kearahnya. Wajahnya yang tampan dan perkasa tampak kuyu. Begitu pula kumis tebal yang bertengger diatas bibir nya. Kurasa aku mulai menyayangi Pak Lek seperti aku menyayangi ayahku sendiri. Ya, aku menyayanginya sebagai seorang ayah. Tak lebih. Untuk saat ini.

“Sampun Pak Lek.” (sudah pak lek)

Ucapku begitu menyelesaikan kerokan terakhir pada punggung Pak Lek Danu. Sekarang, di punggungnya nampak garis- garis bekas kerokan yang merah.

Pak Lek lantas membalikkan badan dan melihat aku yang sedang menguap- nguap. Aku terkantuk- kantuk.

“Kamu sudah ngantuk to, Ndar?”.

“Injih, Pak Lek,” jawabku sambil mengucek kedua mataku yang lengket.

“Yawes mrene, bobo ning andinge Pak Lek”, katanya sambil menepuk- nepuk tikar disebelahnya.

Aku pun segera mendekat kesamping Pak Lek, merebahkan tubuhku yang remuk, dan menyingkapkan kain sarung agar menutupi tubuhku. Aku berbalik memiringkan tubuhku, membelakangi Pak Lek Danu.
***
Perlahan namun pasti, kurapatkan kedua mataku yang terasa kian lengket. Secepatnya aku harus segera tidur, karena besok aku harus ke sanggar lagi, latihan menari dan nembang.

Tapi tiba- tiba Pak Lek memelukku dari belakang. Aku terdiam. Tubuhnya yang bertelanjang dada kini rapat dengan tubuhku. Kurasakan ia menggigil, mungkin karena efek hujan yang perlahan merangsek dinding bambu dan menerobos kamar Pak Lek. Aku tetap diam, tanpa membalikkan wajahku.

Semakin lama, pelukan Pak Lek kian erat. Aku nyaris tak bisa bernafas. Ia posisikan bantalnya agar sejajar dengan bantalku. Kini, wajahnya tepat berada di belakang kepalaku. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa rambutku.
***
Awalnya, Pak lek hanya menyelusupkan jemari- jemarinya kedalam lubang bajuku. Tapi kemudian, ia mulai memasukkan yang lain pada lubang yang lain. Tangannya perlahan menyusup kedalam bajuku, mengelus dada dan tubuh bagian atasku. Aku tertegun. Tak bisa berkata. Namun kemudian, tangan Pak Lek berhenti pada putingku yang mungil. Tanpa menyibak bajuku, ia meraba dan memelintir puting susuku dengan lembut. Aku hanya memejamkan mata. Aku ketakutan, tak berani menolak.

“Pakk…. Pak Lek mau… Ngapaaiinn…..??”, ucapku pelan karena ketakutan. Aku coba geser tubuhku menjauh. Namun tangan Pak Lek tetap tak berhenti mengerjai tubuhku.

“Ssssshhttt…. Kamu tenang saja ,Ndar, Pak Lek ndak bakal ngapa- ngapain kamu”, jawab Pak Lek tak kalah pelan, sementara tubuhnya semakin melekat padaku. Pak Lek juga mulai menggesek- gesekkan kelaminnya yang terbebat sarung tipis ke pantatku.

Aku kian ketakutan. Aku tahu. Entah apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa diam dan menutup mata. Aku tak mau Pak Lek marah. Aku tak mau… Aku tak mauu…

***
Dan aku merasakan Pak Lek mulai membuka gulungan sarung diperutnya. Dilonggarkannya sarung itu dan dipelorotkannya. Pak Lek sekarang benar- bemar telanjang tanpa sehelai kain pun.

Ia lekatkan selangkangannya ke pantatku. Ia gesek perlahan dan menekan- nekannya kearahku. Kurasakan ada sesuatu yang keras diantara selangkannya. Itu penis Pak Lek yang sudah mengeras.

Lalu tangan Pak Lek mulai turun dari dadaku. Menuju perut, mengelusnya sebentar dan turun lagi hingga menemukan kait celana pendekku. Dengan lembut dibukanya kait tersebut hingga terlepas. Dan Pak Lek memelorotkan celana dan celana dalamku… Aku menjerit dalam hati, Ya Tuhan! Apa yang akan Pak Lek lakukan padaku….???
Begitu berhasil memelorotkan celanaku, Pak Lek menarikku kearahnya. Bongkahan pantatku menempel pada selangkangannya. Sementara penisnya yang mengeras mengobok- obok garis pantatku.
***
Pelan, Pak Lek mulai mengelus- eluskan batangnya pada garis pantatku. Penisnya kian mengeras. Sementara aku, kian bergetar ketakutan. Kedua tangannya naik lagi. Menyelusup kedalam bajuku dan kembali menjamah setiap senti dadaku. Aku menggelinjang. Tangannya terus memelintir dan mencubit kedua putingku, sementara kemaluannya dengan liar terus berserobok mencari- cari lubang anusku.

“Aakkkhhhhh……..!!!”, aku setengah menjerit saat merasakan kepala penis Pak Lek menjebol bibir anusku. Tanpa pelicin, ia terus mendesakkan batang kudanya memasuki lubangku. Aku meringis, rasanya perih bukan main
Ia terus menekan- nekannya hingga…..blesss…. Semua batang panjangnya terbenam kedalam tubuhku.

“Aaaakkkhhhhh…….hhhh..hhh….”, Kudengar Pak Lek melenguh. Pelan, namun kencang membisiki telingaku. Nafasnya kian memburu. Dan dengan cepat, ia terkam leher belakangku. Lidahnya yang basah menyapu tengkuk ku dengan ganas. Aku gelimpangan. Rasanya geli. Namun nikmat.

Tanpa aba- aba Pak Lek segera menggerakkan pinggulnya maju dan mundur. Awalnya pelan. Namun kian lama makin kencang.

“Uuuhhh…. Akkkkkhhhh….. Sss…sssaaaa….kittt…Pak…lekkk…”. Aku mengerang setiap batang Pak Lek bergesekan dengan bibir pantatku. Rasanya pedih sekali. Sakit sekali.

…….. Dan Pak Lek kian mempercepat gerakannya. Penisnya kian cepat membobolku. Selangkangannya kian keras menghantam bongkahan pantatku. Hingga menimbulkan suara yang membangkitkan gairah…. Semakin cepat… Semakin panas…. Semakin liar dan akhirnyaa………

“AUUKKKKHHHHHH…..ARRRRRGGGHHHHHH……OOOOOHHHHHHH…..HHHHHHHHHHHHHHHH…….”.

Pak Lek melenguh panjang sambil menempelkan tubuhnya ke tubuhku dengan erat. Tangannya menarik putingku dengan kencang. Sebentar ia mengejang. Menggelinjang, dan mengerang…..

Hingga akhirnya kurasakan cairan hangat meleleh diantara belahan pantatku bersamaan kemaluan Pak Lek yang menyembul keluar





“KENAPA PAK LEK TEGA MELAKUKAN ITU????? KENAPAA????”.

AKU terus memaki- maki Pak Lek. Aku mencakar- cakar tubuhnya dan memukul- mukul dadanya. Aku emosi. Benar- benar emosi. Tak kusangka Pak Lek yang kuanggap sebagai ayahku sendiri tega melakukannya. Ia telah tega melecehkanku dan merampas harga diriku sebagai seorang lelaki. Aku tak pernah menyangka Pak Lek akan menyetubuhiku. Aku tak mengiranya sama sekali.

“JARENE PAK LEK SAYANG KARO WENDAR… TAPI ENDI BUKTINE????
… PAK LEK A**……. AKU PEGEL KARO PAK LEK!!”.
(katanya pak lek sayang sama wendar, tapi mana buktinya??? Pak lek anj***….. Aku benci sama pak lek!!!!)

Aku terus meraung- raung sambil mengarahkan kepalan tinjuku ke tubuh Pak Lek. Namun sia- sia. Tenagaku tak seberapa baginya, hingga tinjuanku memantul, dan malah aku yang roboh. Aku tersungkur sambil terus menangis. Gigiku gemeratak oleh kemarahan.

“Maafin Pak Lek Ndar……. Pak Lek harusnya bisa menahan nafsu Pak Lek….. Harusnya Pak Lek ndak melakukannya pada kamu….. Maafin Pak Lek Ndar………”.

Pak Lek berdiri di hadapanku dengan wajah menunduk. Tubuhnya berguncang, ia sesenggukan.

“Tolong maafin Pak Lek…. Kamu boleh apain Pak Lek…. Kamu boleh tendang Pak Lek… Kamu juga boleh pukul Pak Lek…. Tapi tolong…. Maafin Pak Lek….”. Tiba-tiba tubuhnya roboh. Ia kini bertekuk lutut dihadapanku. Wajahnya merah seakan dipenuhi rasa sesal yang menggunung. Ia mendekatiku, dan kemudian memelukku.
***
“LEPASKAAANN…. JANGAN SENTUH WENDAR……..!!!!!!!”.

SEGERA kulepaskan pelukan Pak Lek dari tubuhku. Aku benar- benar jijik pada Pak Lek. Seakan- akan Pak lek adalah penyebar virus mematikan. Aku tak mau dipeluk atau disentuh oleh Pak Lek lagi. Aku sudah trauma. Kini rasa sayangku pada nya telah menguap dan terkikis habis. Hanya ada rasa benci.
***
Aku lantas bangkit, mengerahkan sisa- sisa tenagaku yang tinggal separuh. Kulangkahkan kakiku pergi meninggalkan Pak Lek. Aku ingin pergi. Tak tahu kemana. Entahlah. Yang pasti tempat yang jauh dari rumah ini. Aku tak ingin melihat Pak Lek lagi.

“Ndaaaarrr…. Koe arep neng ngendi????”, teriak Pak Lek.

(ndarr… Kamu mau kemana).

……namun tak ku hiraukan sedikitpun.

…………opo aku isih iso diarani wong lanang yen aku wes ambruk karo lanangan liyo…….

(apa aku masih pantas disebut lelaki jika aku sudah roboh oleh lelaki lain)
KEDUA kaki mungilku terus mengayun tanpa arah. Kerikil- kerikil kecil dan tanah yang basah oleh hujan semalam langsung menyapa telapak kakiku yang telanjang. Sendal jepitku putus, kubuang entah kemana.

“Pak Lek jahat…..”.

Gumamku perlahan sambil mengusap lelehan keringat dan air mata. Aku terus berlari. Tak tau hendak kemana. Yang pasti jauh dari rumah, jauh dari Pak Lek. Meskipun harus pergi keluar kampung pun, aku berani. Emosi dan rasa benciku telah mengalahkan segala. Tapi tiba-tiba aku linglung. Langkahku perlahan melemah, dan ambruk ke tanah.
***
“Ah Ndar… Kamu sudah siuman le….”.

Pelan- pelan kubuka kedua mataku. Berat. Namun akhirnya aku bisa membukanya. Dan kurasakan kepala bagian belakang ku amat sangat nyeri. Aku celingukan melihat sekeliling dan kutemukan Mas Narno sedang duduk disampingku.

“A… Aku dimana mas?”, tanyaku dengan suara lemah.

“Kamu ada di sanggar, Ndar. Tadi ada anak lelaki yang mengantarmu kesini. Katanya dia nemuin kamu pingsan di jalan dekat kampung sebelah. Kamu mau kemana to, Ndar kog sampe nyasar kesana?”.

“A… Anak lelaki?”, ucapku sembari mengangkat kedua alisku.

“Iya… Dia masih nunggu di luar kog, mau mas panggilin?”. Mas Narno segera bangkit dari duduknya dan bergegas keluar kamar. Namun tiba- tiba…..

“Mas……”

Mas Narno berhenti dan menoleh kepadaku.

“Jangan kasih tahu Pak Lek ya kalau aku disini.”

Mas Narno mengernyit.
“Memangnya kenapa?”

“Pokoknya jangan kasih tahu Pak Lek.” ucapku sambil menunduk.

“Iya sudah…. Mas ndak bakal bilang kog sama Pak Lek mu.” jawab Mas Narno sambil lalu. Dia segera keluar kamar.

Sesaat terdengar suara Mas Narno memanggil seseorang. Mereka bercakap- cakap sebentar dan kemudian kudengar ia menyuruh seseorang tersebut untuk masuk kedalam kamar dan menemuiku………
***
Krieeett……..
Pintu berderit perlahan dan terbuka. Aku melongok, mencoba melihat siapa yang muncul dari balik pintu. Dan kemudian, muncullah seorang anak lelaki berwajah tampan. Kutaksir umurnya delapan belas tahun. Setahun lebih muda dari Mas Narno. Kuperhatikan tubuhnya yang kokoh. Ia tampan. Benar- benar tampan. Kulitnya putih tanpa bercak sedikitpun. Dan tampak mulus dan bersih.

“Syukur kowe wes sadar, aku wedi nek koe gak sadar- sadar. Wedi koe nyapo- nyapo.” si bocah berjalan mendekatiku yang masih terbaring diatas amben.

(syukurlah kamu sudah sadar. Aku takut kalo kamu gak sadar2, takut kamu kenapa- napa).

“Heheh”, aku tertawa kecil. “Suwun ya uwis nolong aku.”

(terima kasih ya udah nolong aku).

“Podo- podo”. (sama- sama).

Sesaat kami berdua tertawa- tawa dan mengobrol. Aneh memang. Aku tak pernah mengenalnya sebelumnya. Tapi tiba- tiba saja kami berdua akrab dan cepat menyatu. Ia tak pernah berhenti membuatku tertawa oleh celotehan- celotehannya. Dan ia….. Tak pernah gagal membuatku terpesona oleh parasnya yang sempurna…. Ah…. Aneh… Apakah aku menyukainya???? Gila…. Jika iya…. Berarti aku sudah benar- benar gila.

“Sopo jenengmu?”, ia memecah tawa kami. Menatap lurus ke arahku sembari mengulurkan tangan,

(siapa namamu?)

“Wendar…. Kamu?”, jawabku membalas jabataya.

“Prabowo…. Panggil saja Bowo.”
***

(ENEM)
AKU MUK PINGIN BEBAS
(Aku hanya ingin bebas) Duh wong bagus, pepujaning ati Mung sliramu kang tansah nglelewo Rino kelawan wengiku Rasane wong lagi gandrung amung eling siro wong manis Batin ora kurowo Nandang loro wuyung Enggalo paring usodo Mring awakku kang lagi nyidam sari Ugo nandang asmoro Duh orang tampan pujaan hati Hanya kau yang selalu menggoda Siang dan malamku Rasanya orang sedang jatuh cinta Hanya ingat dirimu yang manis Batin tak kuasa Menahan sakit cinta Cepatlah beri kepastian Pada diriku yang sedang bingung Juga kasmaran “Jadi kenapa kamu bisa sampai nyasar ke kampung sebelah dan pingsan ditengah jalan begitu?”.

Bowo masih menatap tajam ke arahku. Berusaha mengorek informasi detail tentang kejadian memalukan itu. Ya, buatku itu sangat memalukan. Aku nyasar di kampung yang tak pernah kudatangi sekalipun, dan malah pingsan di tengah jalan. Untung saja ia segera menemukanku dan membawaku ke sanggar.

“Ceritanya panjang.” jawabku singkat. “Tapi omong- omong, dari mana kau dapat inisiatif untuk membawaku ke sanggar ini. Apa kau kenal Mas Narno?”.

Bowo menggaruk- garuk kepalanya sebentar. Seakan akan memikirkan sesuatu. Kemudian ia berbalik menatapku kembali.

“Aku tak kenal Mas Narno atau siapapun di sanggar ini.”

“Terus?”.

“Aku sering lihat kamu lathian nari Jathilan disini. Setiap aku pulang sekolah, aku selalu lewat sini dan aku lihat kamu. Aku memperhatikanmu.”

Aku terdiam mendengar kata- katanya.

“Jadi kubawa saja kamu kesini. Aku kan ndak mungkin bawa kamu ke rumahmu. Iso di gandring aku karo pak lan mbok ku, hehehehe….(bisa dihajar habis- habisan aku sama ayah ibuku). Nanti dikira aku nyulik anake uwong (anak orang).”

Aku ikut tertawa melihat senyumnya. Aneh. Ia seakan menggerakkan seluruh anggota tubuhku. Ketika ia tertawa, entah kenapa aku juga ikut tertawa. Dan ketika ia serius, entah kenapa aku juga ikut serius. Ah… Ini gila……

“Jadi kenapa koe (kamu) sampai pingsan ditengah jalan begitu?”. Tanya Bowo. Rupanya dia masih penasaran dengan kronologis kejadian menyebalkan itu.

Aku menghela napas sebentar.
“Sebenernya……..aku………..”.

KRIEEETTTTT……!!!
Tiba- tiba pintu kamar terbuka dan Mas Narno muncul dari balik pintu. Ia berjalan mendekati kami dan berpaling menghadap Bowo.

“Bowo… Kamu dicariin Pak Joyo tuh, disuruh cepet pulang katane….sudah ditunggu di depan lho “, kata Mas Narno pelan sambil menunjuk keluar.

“Oh… Injih Mas. Nggih mpun, kula wangsul riyin nggih?”. Bowo lantas segera bangkit dan berpamitan kepadaku.

(oh, iya mas. Yaudah aku pulang duluan ya?).

“Ati- ati ya, Wo.” ucapku.

“Iya… Cepet sembuh ya, Ndar?”.

“Iya, suwun.” (terima kasih).

Bowo kemudian beranjak keluar kamar dan segera menuju ke halaman depan. Setelah langkah kakinya tak terdengar lagi, aku segera berbalik ke Mas Narno.

“Mas Narno kenal sama Bowo?”, tanyaku penasaran. Kulihat Mas Narno menatapku aneh.

“Ya jelas kenal lah, Ndar. Dia kan kadang juga suka ikut latihan nari sama nembang disini. Kamu nya aja yang nggak pernah ngelihat dia.”

Ah, rupanya Bowo bohong padaku soal melihatku setiap ia pulang sekolah.

“Ja… Jadi Bowo itu…”

“Iya, Ndar. Dia juga seorang Gemblak… Sama kayak kita…. Dia gemblaknya Warok Joyo yang mimpin kelompok reog di Ngaseman.”
***

(PITU)
PAK LEK SAYANG KAMU, NDAR…
“AYO to Ndar…… Tolong maafin Pak Lek….. Sudahlah, mbok jangan marah marah begitu…….”.

Sekali lagi Pak Lek merengek padaku. Namun tak kuhiraukan sama sekali. Aku masih marah padanya. Masalah hilangnya ‘kelelakian’ ku bukanlah masalah sepele. Jadi tak semudah itu kumaafkan Pak Lek.

“Ndar…. Pak Lek mohon…..”

Tapi aku tetap tak bergeming. Diam. Kulihat ia mulai menyerah. Ia tak berhasil melelehkan batu keras di dalam hatiku.

“Yaudah Ndar kalau kamu ndak mau maafin Pak Lek…. Ndak ada gunanya Pak Lek terus merengek- rengek sama kamu….”

Aku masih saja diam. Ia kemudian bangkit.

“Yang penting Pak Lek udah sungguh – sungguh minta maaf sama kamu……”

Pak Lek mulai melangkah pergi dariku.
“Pak Lek melakukan itu karena Pak Lek sayang sama kamu, Ndar… Ndak lebih….”

Deggg!!!
Tiba- tiba saja jantungku berdegup mendengar perkataan terakhir Pak Lek. Tiba-tiba tubuhku mendadak lemas. Kaki dan tanganku gemetaran. Gigiku bergemeratak. Benarkah Pak Lek melakukan itu karena dia menyayangiku???? Aku tiba- tiba dirundung keraguan. Tapi kalau Pak Lek menyayangiku….. Pasti dia takkan tega melakukannya padaku. Ahhh! Aku kian bingung. Kugusak kepalaku untuk menghilangkan sedikit kebingungan.
***
Tep. Tep. Tep.
Suara langkah kaki yang beradu dengan lantai kayu membuyarkan lamunanku. Aku mendongak. Rupanya Mas Narno. Dia berjalan mendekatiku yang masih duduk di ranjang sanggar ini.

“Pokoknya aku ndak gelem (mau) pulang ke rumah Pak Lek.”
ucapku sebelum Mas Narno sempat berkata. Aku tahu pasti dia ingin membujukku agar memaafkan Pak Lek dan mau pulang ke rumah Pak Lek. Tapi aku tetap bersikukuh. Aku tidak akan pulang kerumah Pak Lek.

“Sebenarnya kamu itu kenapa to sampai segitu marahnya sama Pak Lek Danu?”.

Aku hanya terdiam. Menatapnya. Kemudian dengan pelan, mulai berkata.

“Karena dia telah merebut kesejatian ku sebagai lelaki Mas… Pak Lek sudah menggagahiku… Pak Lek sudah melecehkan ku….. Sekarang aku sudah ndak pantas lagi disebut sebagai lelaki…….”, ucapku setengah amarah.

Sesaat Mas Narno tersenyum padaku. Tangannya meraih jemariku dan digenggamnya.

“Ndar…. Kamu tahu ndak. Sejatine wong lanang iku dudu uwong kang iso bebas amratelak ne kabebasane. Ananging sejatine wong lanang iku, yaiku uwong kang iso tabah lan kuat anjalani opo sing wis dadi tekdire tanpo luh satitiko.”

(lelaki sejati itu bukanlah lelaki yang bisa dengan bebas menggembar- gemborkan kelelakiannya. Tapi lelaki sejati itu, adalah orang yang bisa kuat dan tabah menjalani takdirnya tanpa mengeluh sedikitpun).

Aku terpaku mendengar penjelasan Mas Narno.

Mas Narno kemudian duduk disampingku. Perlahan dielusnya kepalaku seakan aku ini adiknya. Aku mendadak tenang.

“Kamu jangan pernah sekalipun berpikir kalau kamu jadi gemblak, maka kamu akan kehilangan harga dirimu sebagai lelaki, Ndar. Justru ketika kamu jadi gemblak, kamu harus membuktikan pada dirimu sendiri kalau kamu itu lelaki. Kamu pasti bisa menjalani takdir tanpa nangis dan mengeluh”.

“Tapi Mas…..”

“Tapi opo, Ndar?”, Mas Narno menoleh kearahku.

“Tapi kenapa Pak Lek Melakukannya padaku? Aku laki- laki, dan Pak Lek juga laki- laki. Kenapa Pak Lek ndak mencari wanita lain? Pak Lek kan tampan.”

Mas Narno hanya tersenyum simpul mendengar perkataan ku. Ia menghela napas sebentar, dan menghembuskannya perlahan.

“Ndar..”

“Dalem Mas”. (iya mas).

“Kamu pernah lihat Pak Lek jalan sama wanita? Dan apakah kamu juga pernah lihat Pak Lek membawa seorang wanita?”.

Aku menggeleng. “Ndak pernah Mas.”

“Ketika seseorang berikrar menjadi seorang warok, maka dia harus siap dengan tiga pantangan ,Ndar..”

Aku mengernyit. “Pantangan?”.

“Seorang warok itu dilarang melakukan tiga perbuatan agar dia tetap bisa menjaga kekuatan dan keperkasaannya sebagai warok.”

Aku terdiam.

“Mereka dilarang melakukan perbuatan maksiat, bermabuk- mabukkan, dan berhubungan dengan wanita.”

“Lalu…?”

“Karena itulah Pak Lek mu ndak pernah mau menyentuh wanita sedikitpun. Dia bahkan belum punya istri , padahal dia sudah hampir empat puluhan.”

“Tapi Mas, aku tetap ndak bisa menerima kalau Pak Lek menyetubuhi lelaki.”

Mas Narno kembali tersenyum. Aku penasaran.

“Ndar. Manusia itu ndak selamanya bisa menahan nafsu. Sekuat apapun seseorang menahan hasratnya, maka suatu saat ia akan tiba di suatu batas dimana dia tak bisa lagi menahannya.”

Mas Narno menerawang sembari bercerita. Seakan ia tengah memutar kembali memori- memori dalam pikirannya yang telah lama teronggok.

“Dan yang dimiliki seorang warok hanyalah gemblak. Maka kepada siapa lagi mereka akan berlabuh kalau tidak sama gemblaknya…”

“Mas… Aku……”

“Sudahlah, Ndar. Jika Pak Lek memintamu untuk bersetubuh, anggap saja itu merupakan bagian dari pengabdian dari kita sebagai gemblak. Jangan sampai kita dianggap durhaka. Kita tahu seperti apa pengorbanan seorang warok untuk merawat kita. Mereka merawat kita. Memberi makan yang enak- enak kepada kita, memberikan kita pakaian yang bagus- bagus. Dan mereka menyekolahkan kita.”

Kepalaku tertunduk. Aku tak bisa berkata apa- apa. Ucapan Mas Narno seakan mengelupas seluruh sisik kemunafikan dalam hatiku. Aku paham. Aku mengerti. Aku tak pernah bisa lari dari hal seperti ini. Karena itu merupakan bagian dari pengabdianku sebagai gemblak.

“Mas Narno….” Aku tiba- tiba menoleh kearah lelaki tampan itu.

“Ya , Ndar…”

“Pak Lek mana, aku mau minta maaf sama Pak Lek.”

Mas Narno tersenyum. Menampakan deretan gigi putihnya. Tangannya menggusak rambutku.

“Pak Lek mu masih diluar tuh, dia nungguin terus. Katanya ndak mau pulang sampai kamu maafin dia.”

Aku segera bangkit dari amben. Melangkahkan kakiku dengan cepat menuju Pak Lek.
***

(WOLU)
AKU…. JUGA SAYANG PAK LEK
PISAU takkan pernah tajam sebelum diasah. Begitupun diriku. Sebelum mendengar perkataan Mas Narno waktu itu, aku seperti manusia normal yang tak bisa melihat sekelilingnya. Padahal aku tidak buta. Namun aku tak pernah bisa melihat realitas yang harus kuhadapi. Aku tak pernah memahami bagaimana tugas dan peran seorang gemblak pada waroknya. Dan yang paling parah…… Aku tak pernah tahu bagaimana rasa sayang Pak Lek terhadapku. Entah sudah keberapa kalinya aku mencoba menghitung kebaikan Pak Lek padaku. Namun aku agal. Kebaikan Pak Lek kepadaku tetap tak terhitung.
***
“Sampun, Pak Lek linggeh mawon teng kursi. Ben Wendar sing ndamel kopi. Mangke Wendar aturaken marang Pak Lek.”
Aku bergegas merampas panci perebus air dari tangan Pak Lek saat Pak Lek hendak meletakkannya pada kompor.

(sudah. Pak lek duduk saja. Biar wendar saja yang buat kopi. Nanti wendar enterin ke pak lek).

Pak Lek hanya tersenyum dan menatapku heran. Baginya, aku mendadak aneh. Padahal sebelum- sebelumnya, aku hanya mau melakukan sesuatu jika diperintahnya. Namun sekarang, tiba- tiba saja aku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku memang sudah bertekat. Tekat bulat. Aku harus membalas semua kebaikan Pak Lek selama ini. Aku sudah memaafkannya. Dan sekarang giliranku untuk membuktikan kalau aku adalah gemblak terbaiknya. Aku juga harus membuktikan pada Pak Lek, kalau aku juga menyayanginya.

“Kamu ini kenapa to, Ndar, kog jadi aneh gitu.” pak Lek menjatuhkan dirinya ke kursi sambil tetap terheran menatapku.

“Mboten nopo- nopo Pak Lek. Moso ngewangi Pak Lek iku gawean aneh???”. Kilahku.

(gak kenapa- napa pak lek. Masa ngebantuin pak lek itu perbuatan aneh?).

“Ya ndak sih. Cuman ndak biasanya aja kamu kayak gitu , Ndar. Memang e Mas Narno ngomong apa sama kamu kemarin sampe- sampe kamu mau maafin Pak Lek dan mendadak jadi baik begini.”

Kuletakkan kopi dan gula pasir kedalam gelas sebelum menuanginya dengan air putih yang sudah mendidih. Ku aduk sebentar dan segera kuangsurkan pada Pak Lek yang terduduk.

“Mas Narno ndak bilang apa- apa sama Wendar. Dia cuma ngasih tau wendar kalau Pak Lek itu sayang Wendar.”

Pak Lek tersenyum. Wajahnya dinaungi kelegaan.

“Apa bener Narno ngomong begitu sama kamu?”

Aku mengangguk. “Iya Pak Lek.”

“Kamu ndak bohong?”

Aku menggeleng. “Ndak Pak Lek. Selama ini Pak Lek tuh udah berprasangka buruk sama Mas Narno. Mas Narno itu baik Pak Lek.”

Sekilas Pak Lek Danu menatapku. Matanya yang tajam menelusuk akal ku. Membuatku terpaku bisu.

“Iya…. Mas Narno orang yang baik. Pak Lek udah salah sangka sama dia selama ini.”

Aku tersenyum. Ini satu langkah yang baik. Pak Lek sudah mulai bisa mengetahui kebaikan Mas Narno. Aku lega. Mas Narno memang orang baik, jangan sampai ada orang yang mengtakannya jahat.

“Omong- omong, kamu nanti latihan ke sanggar ndak?”.

“Latihan Pak Lek, memangnya kenapa?.”

“Ndak kenapa- kenapa. Hari ini Pak Lek ndak latihan ke sanggar. Pak Lek mau ke Dolopo, ngambil pinjeman gamelan dari sana. Nanti Pak Lek anterin kamu saja y, Ndar. Kamu berani kan latihan tanpa -Pak Lek?”.

“Injih Pak Lek”. (iya Pak Lek). Aku mengangguk dan bergegas menuju kamarku untuk mengambil perlengkapan latihan tariku.

***
AKU berjalan pelan sambil menyusur ke segala penjuru koridor ruangan sanggar. Masih sepi. Hanya sekitar dua-tiga orang yang nampak sudah datang untuk latihan. Mataku terhenti pada sebuah papan di atas pintu masuk ruang latihan. Papan itu bertuliskan; ‘SANGGAR REOG PONOROGO ANGUDHI LARAS’ dalam aksara jawa. Dibawahnya, terdapat semacam majalah dinding yang memuat banyak foto- foto kegiatan sanggar. Mataku menatap sebuah foto hitam putih yang tertempel di mading tersebut; fotoku sedang menari dengan kawan- kawanku pada acara ‘Grebek Sura’ beberapa bulan lalu. Aku tersenyum sebentar. Kemudian mataku kembali menelusur barisan- barisan foto tanpa warna itu. Dan berhenti lagi pada sebuah foto; Foto Pak Lek dan tiga orang lelaki sedang mengangkat sebuah batu berukuran sebesar kepala manusia. Dibawah foto itu, tertulis ‘PELETAKAN BATU PERTAMA SANGGAR REOG ANGUDHI LARAS’, juga dalam huruf jawa. Aku mendengus. Ah, rupanya Pak Lek adalah orang penting di sanggar ini.
***
“Ndar…..”.
Sebuah suara khas tiba- tiba membuyarkan lamunanku. Aku menoleh kearah sumber suara. Dan nampaklah seorang bocah lelaki dengan tinggi sekitar 171 cm dengan paras tampan berdiri dihadapanku. Di kepalanya, bertengger sebuah blangkon yang menyempurnakan wajahnya. Tubuhnya yang kokoh dibebat basofi bergaris dan celana pendek warna hitam.

“Bowo… Kog kamu ada disini?”, tanyaku pura- pura.

“Hehe…. Aku lupa ngasih tau kamu Ndar kalo….”

“… Kalo kamu juga latihan nari Jathilan disini”, cerocosku memotong sebelum Bowo sempat menyelesaikan omongannya.

“Dari mana kamu tahu kalau aku suka latihan disini?”. Bowo menatapku penasaran.

“Mas Narno yang bilang…. Kog kamu ngapusi (bohongin) aku sih, Wo… Katanya kamu ngeliat aku kalau pulang sekolah…”

Bowo hanya tertawa. “Hehe…. Maafin aku Ndar kalo ngebohongin kamu. Habisnya aku jengkel sih kamu ndak kenal sama aku, padahal kita sering latihan bareng, tapi aku ndak diperhatiin. Jadi ya terpaksa aku ngebohongin kamu… Hehehe…..”

Aku ikut tertawa dengannya. Seperti sebelum- sebelumnya, ia mengendalikan seluruh panca inderaku. Entah bagaimana caranya, ia selalu bisa menghanyutkanku…….
Baginya, aku seperti layang- layang yang tertiup angin. Ia membuatku pontang- panting. Ia membuatku tak berdaya.

“Aku mau bicara sesuatu sama kamu Ndar…….” Tiba- tiba Bowo menatapku serius.

“Bicara apa Wo?”.

“Ehmmm…… Anuu…….”

Tapi belum sempat Bowo menyelesaikan perkataannya, terdengar suara Pak Dhe Lindhu, pemimpin sanggar sekaligus guru kami menyuruh kami semua untuk segera masuk ke ruang latihan. Kami baru tersadar kalau ternyata anak- anak lain sudah pada datang.

“Ya sudah… Kita masuk dulu… Kita latihan dulu…. Nanti saja ngobrolnya… Hehehe”. Ajak Bowo sambil terus menampilkan senyum manisnya.

“I… Iya sudah”. Aku mengagguk salah tingkah olehnya.

Kemudian kami berdua beranjak. Berjalan beriringan menuju ruang latihan. Aku masih memikirkan perkataan terakhir Bowo tadi. Dia mau bicara apa ya……… Aku melangkahkan kaki. Tapi masih penasaran.
Umpama sliramu sekar melati
Aku kumbang nyidam sari
Umpama sliramu margi, wong bagus
Aku kang bakal ngliwati Seumpama dirimu adalah bunga melati,
Aku adalah seekor kumbang yang sedang jatuh hati,
Seumpama dirimu adalah jalan, kekasih,
Aku lah yang akan melewatinya,
…….”dug..dug…tereret…dug..dugg…tererererereret……. Plak….plak…tung… Tung… Dug……”
~~~
GENDANG dan kempul berdentang riuh. Kenong dan Salompret menjerit perlahan. Diikuti alunan kempul dan aneka gamelan lain, kami mulai menggerakkan badan.
***
AKU, Bowo, dan para penari Jathilan lain mulai mengayunkan tangan dan kaki kami. Perlahan, leher dan kepala kami menggedik. Kaki menghentak. Kuda anyam pada kedua kaki kami mengibas perlahan. Kami hanyut dalam tarian. Hanya ada suara tetabuhan. Hanya ada langgam jawa. Dan hanya ada suara Pak Dhe Lindhu yang memberi aba- aba pada kami.

“Siji-loro…loro-telu…telu-papat….papat-limo……….”
Sepanjang kami semua latihan, aku tak henti- hentinya melirik Bowo. Aneh. Seketika saja aku jadi kagum dengannya. Ia begitu lihai menarikan setiap gerakan tari jathilan. Ia juga mahir memain- mainkan kuda anyam itu. Aku hanya bisa menelan ludah. Aku kagum padanya.

***
….tek tek tek… Tangg..tangg… Dukk.duk… Dukk… Jraanggggg………..

Gamelan berakhir. Aku terkapar duduk di lantai kayu. Disampingku, Bowo menenggak kendi (tempat air) berisi air putih yang tadi dibawakan Pak Lek untukku. Tetesan air membasahi bibirnya, turun ke dagu dan membasahi sebagian lehernya. Aku menatapnya. Menelusuri setiap lekuk wajahnya yang indah. Wajahnya putih bersih. Dengan garis wajah yang begitu lelaki. Pada dagu dan atas bibirnya, sudah muncul bulu- bulu kumis yang halus. Ah. Tiba- tiba jantungku berdesir.

“Kamu sudahg berapa lama latihan nari disini, Ndar?”. Bowo memecah lamunanku tentangnya.

Aku terkesiap. Salah tingkah. Aku tak mendengar ucapan Bowo.

“Eh… Kamu tadi ngomong opo, wo?heheh, maaf aku ndak denger.”

Bowo tersenyum menatapku.

“Kamu kog bengong gitu to Ndar ngeliatin aku. Kenapa to? Aku jelek ya? Apa aku medheni (nakutin)?”.

“Eh…. Ndak, ndak kog, siapa yang bilang kamu jelek? Aku cuma lagi pengen ngelamun aja kog…..”

Duh ndar…. Kamu goblok eram (banget) le… Ngelamun kog PENGEN….. Duh…. Bowo pasti curiga sama aku. Gawat kalo Bowo tahu aku ngeliatin dia…. Ucapku dalam hati.

“Kamu sudah berapa lama latihan nari di sanggar ini?”, Bowo mengulangi pertanyaannya.

“Oh..” mulutku membulat. “Aku sudah hampir lima bulan latihan disini, memang kenapa Wo?”.

“Ah, ndak apa- apa kog.” Bowo memalingkan pandangannya dariku. Sekarang wajahnya menghadap ke depan. Rupanya wajahnya tetap tampan meski dilihat dari samping.

Sesaat kami diam. Aku memperhatikannya. Sedang dia tetap menerawang ke depan. Hingga tiba- tiba…..

“Sudah berapa lama kamu jadi gemblaknya Pak Lek Danu, Ndar?”. Bowo berkata seolah berbisik. Pelan.

Aku terkesiap. Kenapa Bowo tiba- tiba menanyakan hal itu.

“Apa kamu bahagia Ndar jadi gemblak? Bagaimana menurutmu?”. Bowo terus memberondongku sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya satu pun.

“Aku rasa…. Aku tak pernah suka menjalani kehidupan sebagai gemblak…..”.

Bowo menatapku tajam. Menunggu jawaban dariku.

“Kenapa kamu nanya kayak gitu,Wo?”. Aku menatapnya dengan tatapan heran.

“Ndak kenapa- kenapa Ndar, aku cuma pengen tau perasaan kamu saja. ”

Aku tertegun. Bowo ingin tahu perasaan ku? Ah. Jantungku berdegup kencang. Lebih dari kecepatan angin.

“Aku bahagia kok jadi gemblaknya Pak Lek Danu. Aku selalu bahagia kalau didekat dia.” Jawabku singkat. Kulihat Bowo belum puas akan jawabanku.

“Kamu bohong, Ndar.”
Bowo menatapku tajam.

“Darimana kamu tahu kalau aku bohong?”.

Kukeraskan suaraku. Sehingga tatapan Bowo berubah.

“Ndak ada seorangpun lelaki Ponorogo yang senang jadi dgemblak Ndar….”
***

(SONGO)
ANGURI- URI KABEBASAN
(Mengelu- elukan kebebasan)
KEMBALI kupejamkan mata untuk kesekian kalinya. Namun sial. Aku tetap gagal. Mata ini kian sulit untuk terpejam. Entah kenapa kepalaku dipenuhi kata- kata Bowo tadi siang.

“Ndak ada seoranggpun lelaki Ponorogo yang mau dijadikan gemblak, Ndar”.

Perkataan itu seolah menggedor-gedor pintu pemikiranku. Memelintir sel- sel otakku hingga kepalaku pusing. Pening. Aku menggelepar. Nafasku berat. Aku bangkit dari amben. Kutengok Pak Lek, dia sudah tidur.

“Apa perkataan Bowo itu benar?”, tanyaku dalam hati.

Ah. Sial. Kenapa aku jadi memiirkan dia. Dan kenapa pula aku harus pusing hanya karena perkataannya yang belum tentu benar. Kurasa aku memang sudah gila. “Aku……. Aku…….. Aku seneng karo koe….. Ndar……….”.

(a….a…aku suka sama kamu, ndar………)

Ucapan itu terucap pelan dari bibir tipis Bowo. Dia menghadap sebuah bantal guling. Seolah sedang berbicara padanya. Ia tersenyum sebentar. Kemudian dilemparnya guling itu hingga jatuh dari amben.

“Kamu jangan ngayal buat mendapatkan Wendar, Wo…. Kamu itu laki- laki. Wendar juga laki- laki, apa pantas jika kalian berdua saling mencintai?”. Ucap Bowo pada dirinya sendiri.
Tiba- tiba terdengar suara pintu diketuk. Membuyarkan Bowo dari lamunan indah. Segera ia bangkit berdiri untuk membuka pintu.

Klek! Pintu terbuka. Dan nampaklah seorang pria yang berusia sekitar empat puluh dua dengan balutan kaos hitam dan kolor.

“Pak Dhe….. Ada apa?”. Ucap Bowo kepada lelaki itu.

“Kamu yang ada apa. Kenapa ndak ikut turun sama yang lainnya? Kamu ndak mau ikut makan?”. Lelaki itu mendekati Bowo dan mndekatkan wajahnya pada wajah Bowo. Ia ingin mencium pipi Bowo. Namun Bowo segera menghindar.

“Jangan lakukan itu disini Pak Dhe… Malu kalau dilihat sama yang lain….” ujar Bowo rikuh.

“Lho… Kenapa? Kamu dan yang lain kan sama- sama gemblak Pak Dhe… Kenapa mesti malu?”.

Lelaki yang dipanggil ‘PaK dhe’ itu melingkarkan tangannya pada pinggul Bowo. Sekali lagi Bowo menepisnya.

“Ya udah Pak Lek duluan, nanti aku nyusul ke bawah.”

Si lelaki empat puluh dua tahun itu menatap heran pada Bowo. Menyusurkan pandangannya dari atas sampai bawah.
“Kamu ini kenapa to Wo, kog jadi aneh begini?”.

“Ah.. Ndak kenapa- kenapa Pak Dhe…”. Bowo mencoba tersenyum dihadapan waroknya itu.

Si lelaki menghela nafas kencang.
“Yang bener?”.

“Injih.” (iya). Bowo mengangguk.

“Ya wes. Tak tunggu neng ngisor karo cah- cah yo.”

(yaudah, aku tunggu dibawah sama anak- anak ya?). “Arghhh…..!”.
Wendar melenguh perlahan saat Pak Lek Danu menjejam- jejam tubuh bagian belakangnya. Pak Lek terus menghentak Wendar. Kian keras, keras, dan keras. Hingga akhirnya Pak Lek mengejang….. Dan ambruk diatas tubuh Wendar.
Namun tiba- tiba seseorang mendobrak pintu kamarnya. Bowo. Dia langsung menghajar Pak Lek begitu melihat mereka bersetubuh. Tanpa ampun Bowo meninju muka Pak Lek. Dan Wendar hanya bisa berteriak menyaksikan kejadian itu.
***
“JANGANNNNNN… HENTIKANNNNN!!!!”.
Wendar tiba- tiba membuka matanya dengan histeris. Nafasnya tersengal- sengal. Keringatnya membanjiri tubuh.
Ia menoleh kekanannya. Pak Lek masih tertidur pulas. Ah, rupanya ia hanya bermimpi Bowo menghajar Pak Lek.

“Bowo……… Pak Lek……”. Bisik Wendar sembari mencengkeram seprai yang terbuat dari jarit berbatik suronatan.






AKU berjalan pada lantai kayu yang berderit- derit. Kususuri tiap jengkal jalan menuju kamarku. Dan kini aku berdiri tepat didepan pintu kamarku. Kubuka pintu kamar yang terbuat dari triplek bercat cokelat tua. Pintu terbuka dan kulangkahkan kakiku masuk kedalam ruangan berukuran sedang itu.
***
Kakiku menjejak. Tanganku menyusur. Kutatapi amben yang telah lama tidak kutiduri ini. Seprai dan bantal- bantalnya masih tertata rapi. Aku tersadar. Memang akhir- akhir ini aku lebih sering tidur bersama Pak Lek dikamarnya. Aku sudah menjadi teman tidur Pak Lek. Menjadi bantal dan guling baginya.

Tanganku terus menyusur. Dan berhenti pada sebuah foto kecil hitam-putih yang dibingkai anyaman rotan. Aku tersenyum kecut. Fotoku berseragam merah- putih. Foto dimana untuk pertama kalinya aku disekolahkan Pak Lek . Kala itu umurku enam tahun. Aku baru masuk kelas satu SD.
***
Disamping foto itu, terdapat foto berukuran sama yang juga terbingkai anyaman rotan. Foto seorang wanita tersenyum dalam balutan kebaya kuno. Wanita itu berdiri disamping Pak Lek Danu. Wanita itu, ibuku.
***
“Ibumu itu wanita yang cantik, Ndar….. Dia juga baik.”

Aku teringat kata- kata Pak Lek bertahun- tahun lalu. Ketika aku mulai menanyakan dimana ibuku.

“Tapi sayang. Dian kurang beruntung. Dia ndak punya pilihan lain selain bekerja menjadi seorang pelacur. Dia bahkan ndak tahu siapa lelaki yang sebenarnya ia cintai, Ndar.”

Aku yang saat itu masih kecil hanya menatap polos pada Pak Lek. Berharap ia menceritakan padaku lebih banyak lagi.

“Sampai akhirnya ibumu jatuh cinta sama seorang laki- laki dan hidup bersama dalam satu rumah tanpa ikatan pernikahan.”

“Lalu?”.

“Dan ibumu hamil kamu, Ndar.” pak Lek berhenti sejenak. Menerawang- nerawang.

“Tapi…” Pak Lek meneruskan. “Tapi ketika kehamilan ibumu berusia sepuluh bulan. Ayahmu pergi meninggalkan ibumu hanya karena dia dijodohkan dengan wanita lain.”

“….” aku terdiam. Beku.

“Dan sampai akhirnya kau lahir. Ibumu tak tahu harus bagaimana sebab semua sanak saudaranya mengutuk kelahiran mu, Ndar. Tak ada seorangpun dari mereka yang mau merawatmu. Karena kamu anak hasil kumpul kebo.”

“Sampe akhirnya ibumu bertemu dengan Pak Lek dan menitipkanmu. Aku ndak tega sama ibumu karena dia terus maksa Pak Lek buat membesarkanmu. Dan akhirnya Pak Lek mau merawatmu.”

“Jadi dimana ibuku sekarang Pak Lek?”.

Pak Lek menghela napas.
“Entahlah. Pak Lek ndak pernah bertemu lagi dengan ibumu, Ndar.”
***
(SEPULUH)
SEPURANE……..
(Maaf……) BOWO mengendap- endap didepan kamarnya. Ia menjinjitkan kakinya diatas lantai kayu. Berharap langkah nya tidak menimbulkan suara. Pelan ia melewati kamar Pak Dhe Joyo. Ia mengintai padapintu yang terbuka sedikit. Pak Dhenya masih tidur.
Dan Bowo terus melangkah tanpa suara. Ia menuju pintu keluar. Menengok ke kanan dan ke kiri. Memastikan bahwa tak seorangpun melihatnya. Tangannya sudah menyentuh gagang pintu. Bowo tinggal menariknya saja, tapi tiba- tiba……..

“Kamu mau kemana, Wo…?”.

Sebuah suara terdengar dari belakang. Bowo menoleh ke arah sumber suara. Disana, tepat dibelakangnya, seorang pemuda seusianya berdiri sembari berkacak pinggang.

“Kamu mau kabur ya…?”.

Segera Bowo meraih gagang pintu itu. Ia hendak berlari. Namun sial. Pemuda tadi berhasil memegang tangannya. Sehingga Bowo tak bisa lari.

“Lepaskan aku Jar…. Lepaskan… Biarkan aku pergi dari sini…. Tolong lepaskan aku….”. Bowo meronta, berusaha melepaskan diri dari Anjar, pemuda itu. Namun ternyata tenaga Anjar lebih kuat darinya, sehingga apa yang ia lakukan sia- sia. Ia tetap tak bisa melepaskan diri.
***
BRUKKKK!!!!!
Tubuh Bowo dihempaskan pada lantai kayu yang keras. Dagunya menghantam lantai. Bibirnya berdarah. Ia melongok keatas. Tepat dihadapannya, Pak Dhe Joyo melihatnya dengan tatapan amarah. Ia berdiri dengan angkuh. Di sampingnya, ada tiga orang gemblak lain . Sementara Anjar, masih memegangi kedua tangannya. Menghalaunya agar ia tak kabur.

“Bowo…. Bowo…. Kamu itu bodoh apa gimana to? Orang Pak Dhe sudah memberimu segalanya lho. Pak Dhe sudah merawatmu, menyekolahkanmu, dan menghidupi mu seperti anak- anak lain. Tapi kamu masih saja mencoba untuk kabur. Emangnya Pak Dhe ini kurang apa?”. Warok Joyo menghisap cerutunya sembari menatap tajam kearah Bowo.

“Ada satu hal yang ndak Pak Dhe kasih sama Bowo.” Bowo masih berusaha melepaskan diri. Namun nihil.

“Opo?”.

“PAK DHE NDAK NGASIH KEBEBASAN SAMA BOWO! PAK DHE SUDAH MEREBUT KEBEBASANKU! PAK DHE………”

……..PLAKKK!!!
Sebuah tamparan mendarat pada pipi kanan Bowo. Pak Dhe Joyo menamparnya. Bowo tertunduk. Tubuhnya terkapar ambruk.

“Kebebasan apa yang kamu bicarakan, Wo………”.
Pak Dhe Joyo mendengus. “Sampai kapan pun kamu ndak bakal ngerti apa itu kebebasan…..”

Pak Dhe tertawa. Sementara Bowo terus membenamkan wajahnya pada lantai kayu. Ia hancur. Benar- benar hancur. Wajahnya yang tampan kini lebam dan berlumur air mata. Bibirnya mengalirkan darah.

“Pak Dhe sudah merampas kebebasan Bowo… Pak Dhe sudah merampas kebebasan Bowo sebagai lelaki………..” ucap Bowo pelan.

“Hahahaha…..” Pak Dhe Joyo kembali tertawa. “Siapa yang ngajari kamu ngomong pinter kayak gitu. Siapa…..?????”.

Bowo diam. Hanya terdengar isakan dari balik wajahnya.

“Aku pengen bebas Pak Dhe……”. Tangis Bowo kian keras. “Aku pengen menjalani kehidupan seperti anak lelaki lainnya…. Aku pengen Pak Dhe………”.

“Menjalani kehidupan seperti anak lelaki lainnya katamu? Heh, sontoloyo! Kalo kamu ditakdirin jadi gemblak, ya sudah jalani saja. Ora usah neko- neko. (gak usah macem- maem).”

Pak Dhe Joyo kemudian menyuruh Anjar untuk melepaskan Bowo. Hingga Bowo sekarang tersungkur pada lantai kayu yang kasar. Ia masih menangis. Sesenggukan.

“Kali ini kamu Pak Dhe maafkan. Tapi kalo kamu mencoba kabur lagi…. Awas saja koe (kamu).”

Pak Dhe Joyo berlalu bersama gemblak- gemblaknya. Meninggalkan Bowo sendirian di kamar dalam tangis.
***
Begitu suara langkah Pak Dhe Joyo menghilang, Bowo mencoba bangkit. Kepalanya pening. Seluruh wajahnya sakit dan lebam. Hampir saja ia ambruk lagi, namun kedua tangannya masih kuat menopang badannya. Begitu berhasil bangkit, ia merangkak pada sudut kamar. Bowo menangis. Kedua tangannya gemetar memeluk kaki kaki rapuhnya. Air matanya mulai meleleh. Ia menyebut sebuah nama:

“Ndar……… Tolongin aku Wendar……….” bisik Bowo pelan. “Apa kamu ngerasain apa yang aku rasakan Ndar….. Apa warokmu juga memperlakukan mu seperti ini…..??? Tolong aku ndar……”.
Bowo larut dalam monolognya. Tangannya kian erat merengkuh kakinya. Tangisnya makin kencang. Dan air matanya kian banjir.

“Aku pengen kabur sama kamu, Ndar…. Aku pengen bisa bebas jadi laki- laki…… Sama kamu…. Sama kamu……..” Yoben ajur awakku,
Yoben remuk atiku,
Aku ra peduli,
Aku ra maido,
Muk siji seng tak pingini,
Nyawang sliramu, ning andek ku Biar hancur badanku,
Biar remuk hatiku,
Aku tak peduli,
Aku tak mempermasalhkannya,
Cuma satu yang aku inginkan,
Melihat dirimu, ada di sampingku

***

“Ndar, Pak Lek neng sanggar disik ya? Pak lek enek perlu karo Pak Lindhu, mengko koe nyusul wae ya?“.

(ndak, pak lek ke sanggar duluan ya, pak lek ada perlu sama pak lindhu, kamu nanti nyusul saja ya?).

Kudengar suara Pak Lek yang berasal dari depan rumah. Ia telah duduk diatas sepeda kumbang kesayangannya. Aku yang sedang ada di dapur mencuci piring bekas sarapan tadi hanya menyahutnya.

“Injih Pak Lek. Mangke Wendar nyusul.” teriakku sekencang mungkin sambil terus menggosok- gosokkan serabut kelapa pada piring aluminium di depanku.

Suara kerincing lonceng pada sepeda Pak Lek kian terdengar menjauh, menjauh, dan sekarang tak terdengar. Tumben Pak Lek berangkat duluan ke sanggar. Biasanya dia selalu berangkat kesana bersamaku. Tapi sudahlah, tadi dia sudah bilang kalau dia ada perlu dengan Pak Lindhu. Mungkin urusan sanggar.
AKU mencari- cari diantara kerumunan orang- orang yang memenuhi sanggar ini. Hari ini, kebetulan adalah geladi resik kami untuk pertunjukan Ruwat Nagari (upacara keselamatan desa) nanti. Jadi cukup banyak orang- orang dari sanggar lain yang juga latihan disini. Sebab kami akan tampil bersama- sama.
***
Mataku terus menyusur kerumunan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Ke depan dan belakang. Namun tetap tak kutemui dia. Bowo sama sekali tak kelihatan batang hidungnya. Aku menghampiri seorang bocah lelaki, yang kuketahui dekat dengan Bowo.

“Eh, Pras, kamu tahu ndak si Bowo kemana? Dia hari ini ikut latihan disini to?”, tanyaku pada Prasetyo. Bocah lelaki itu.

Tapi Pras menggeleng. “Aku ndak reti (tau) Ndar. Tadi aku lewat depan rumahe, tapi semua pintunya di kunci, ndak ada orang kelihatannya disitu. Mungkin pada pergi.”
Hahh??? Bowo pergi? Pergi kemana kira- kira anak itu. Apa Bowo dan Pak Joyo latihan di tempat lain? Ah. Kenapa juga tiba- tiba aku mencari- carinya. Toh tanpa dia aku juga tetap bisa latihan. Tapi relung terdalam hatiku tiba- tiba saja merindukannya. Aneh. Seketika saja aku jadi merasa takut jika tak mampu bertemu dengannya.
***
“Ndar…… Kamu sudah datang ya… Ayo langsung masuk saja… Pak Lek mu nungguin dari tadi lho”.
Terdengar suara Mas Narno dari belakang. Aku menoleh. Dan benar. Mas Narno berdiri disana sambil melambaikan tangannya. Aku bangkit dan berjalan mengikutinya menuju ruang latihan.

“Ma Narno…..” ucapku sembari berjalan.

“Iya Ndar. Ono opo?” (ada apa).

“Mas lihat Bowo ndak, dia latihan disini apa ndak ya?”.

Mas Narno berhenti. Lalu menoleh padaku. “Memangnya kenapa Ndar?”
AKU terdiam. Mas Narno terus menatapku dengan tatapan tajam. Aku menunduk. Bisa kurasakan wajahku panas, merah karena malu. Mas Narno pasti curiga padaku. Tiba- tiba saja aku menanyakan Bowo.

“Ndak… Ndak kenapa kenapa mas, cuma nanya saja.”
jawabku salah tingkah.

Mas Narno hanya tersenyum menatapku yang salah tingkah. Ia menggusak rambutku hingga acak- acakan.

“Bowo pasti latihan disini kog nanti. Barangkali aja dia masih di jalan. Kenapa? Kamu kangen ya sama Bowo, heheh.” Mas Narno mengangkat sebelah alisnya, menggodaku. Aku kian tertunduk.

“Mbo… Mboten Mas...” (tidak, mas). Jawabku.

“Yawes, kamu mau langsung masuk apa kemana dulu?”, Mas Narno menatapku.

“Mas duluan saja, aku mau diluar dulu, nungguin Bowo, mau ada perlu sama dia”.

Mas Narno lantas melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang latihan. Sementara aku berdiri menatapnya hingga menghilang.
***
Kulangkahkan kaki menuju pelataran sanggar yang berbentuk saung dengan lantai kayu beratap ijuk kering. Aku duduk disana. Sendirian. Menatap ke arah pagar masuk sanggar, berharap aku melihat Bowo datang ke sanggar ini.

“Wo… Kamu kemana..???”, batinku.
Dalam hati terdalamku, aku memanggil- manggil Bowo. Aku tak tahu. Kenapa aku tiba- tiba saja mencari- cari nya. Aneh. Tapi ini kenyataan.
***
Tiba- tiba kulihat sebuah andong berhenti di depan pagar sanggar. Beberapa bocah lelaki turun dari andong dan bergerak masuk menuju sanggar. Dan aku lihat Bowo… Aku benar- benar melihat Bowo turun dari andong. Diikuti Warok Joyo di belakangnya. Aku menghembus nafas lega. Ternyata Bowo benar- benar datang untuk latihan disini. Segera aku bangkit dari dudukku, menghambur ke arahnya.

“Bowo…..”, panggilku senang.

“Wendar? Kamu sudah datang.”

“Ehem.” tiba- tiba terdengar suara deham di belakang kami. Aku baru sadar kalau Warok Joyo ada bersama kami. Aku tersenyum kecut padanya. Sedikit ketakutan, aku berbicara padanya.

“Anu Pak Dhe…. Aku boleh pinjem Bowo nya sebentar ndak Pak, aku mau ada perlu sebentar.”

Sebentar Warok Joyo menatapku. Kemudian ia tersenyum.

“Yawes, tapi sebentar saja ya, kan kalian mau latihan sepuluh menit lagi.”

“In… Injih Pak Dhe.” jawabku menangguk.

“Pak Dhe duluan ya, Ndar.”

“Injih Pak Dhe.”

Kemudian Warok Joyo meninggalkan kami berdua dan masuk kedalam sanggar untuk berkumpul dengan warok- warok lain.

“Ada apa to, Ndar, kog pake perlu- perlu segala, memangnya perlu apa?”. Bowo menatapku penasaran. Aku segera menggenggam tangannya dan menariknya pergi.

“Sudah, nanti saja aku jelaskan, sekarang ikut aku.”

***
AKU dan Bowo terus mengayun kaki keluar pagar sanggar. Melewati jalanan berdebu yang dipenuhi batu batu kerikil. Dan berhenti pada sebuah gubuk kecil di pinggiran sawah. Tak ada orang disekitar sini. Yang ada hanya hamparan padi yang ujung- ujungnya mulai menguning. Kurasa, inilah tempat yang tepat untuk aku berbincang pada Bowo tentang perasaan ku.
***
“Kenapa to, Ndar, kog pake lari- lari ke sawah segala? Memangnya ndak bisa diomongin di sanggar?”.

Bowo menatapku aneh. Sebelah alisnya terangkat, mengisyaratkan sebuah interupsi atas apa yang atelah aku lakukan padanya. Menariknya ke sawah sepi seperti ini. Konyol. Mungkin itu pikirnya.

“Ndak bisa Bowo. Aku ndak bisa ngomongin ini disanggar, aku ndak mau ada seorangpun melihatku mengatakan ini padamu.”

Aku kikuk. Wajahku bersemu. Sementara Bowo terus melihatku dengan tatapan penasaran. Aku merasa kian ditelanjangi olehnya.

“Memangnya, kamu mau ngomong opo to, Ndar?”.

Aku terpaku. Diam. Jantungku berdegup hebat. Kuhela nafas sedikit. Berharap debarannya berkurang. Namun sial. Tubuhlu malah bergetar. Dentuman di hatiku kian kencang.

“Ndar?”

“Eh… I… Iya….”.

“Kamu kenapa to? Kamu sakit?”.

“Ah… Ndak kog… Aku ndak apa- apa.”

Bowo meraih pundakku dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya menggenggam tanganku. “Memangnya kamu mau ngomong apa, kog sampe gugup begitu?.”

Masih menunduk. Aku berbisik.

“Tapi ka… Kamu jangan marah ya, Wo……”.

Kudengar Bowo tertawa kecil. Sekilas kulirik senyumannya yang menggoda. Demi Tuhan dia memang tampan.
“Kenapa aku harus marah? Memangnya kamu mau ngomong apa.”

Beberapa detik aku diam. Otakku bekerja keras untuk menyusun kata- kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku pada Bowo. Keringat membanjiri lekukan pelipis dan leherku.

“Wo…..”. Bisikku pelan.

“Iya, Ndar…”

“Kamu tahu ndak. Semenjak kamu nolongin aku waktu pingsan di jalan. Kurasa, ada sesuatu yang aneh dalam diriku.”

“Sesuatu yang aneh? Apa maksudmu, Ndar??”.

“Semenjak pertama kalinya mataku bertatapan dengan matamu. Dan semenjak wajahku berjumpa dengan wajahmu. Sepertinya…… Sepertinya……..”. Aku gelagapan. Rasanya tak sanggup meneruskan kata- kataku.

“Sepertinya kenapa Ndar?”.

“Wo….”

“Iya Ndar…”

“Sepertinya….. Aku……seneng (suka)…. Sama kamu…… Wo….”

Begitu menyelesaikan kata- kataku, aku kian dalam menunduk. Berusaha menyembunyikan air mataku yang telah meleleh darinya. Dari Bowo. Aku benar- benar malu. Aku juga menyesal dengan apa yang kukatakan barusan. Kamu bodoh, Ndar. Kamu itu laki- laki. Kenapa bilang suka pada laki- laki? Bagaimana jika Bowo marah? Dia akan segera membunuhmu.
***
Kupejamkan mataku. Menunggu apa yang terjadi. Barangkali sebentar lagi Bowo akan memukulku, atau bahkan mencekikku hingga mati. Aku siap. Aku sudah rela. Yang penting aku sudah mengutarakan perasaanku.
Namun lama menunggu. Tak ada yang terjadi. Kubuka mata. Kulihat Bowo menerawang jauh ke angkasa biru. Dia terdiam. Seakan merenung- renung sesuatu.

“Kamu… Marah ya Wo…. Maafkan aku…. Kamu jangan marah…. Aku memang goblok….”. Aku mengkeret dihadapannya.

Bowo menarik nafas sejenak. Dan memalingkan wajahnya menghadapku.
“Kamu tahu kan Ndar, kalau kita berdua laki- laki?”.

“Te… Tentu saja, Wo.” aku mengangguk.

“Yang namanya laki- laki itu, diciptakan ya buat perempuan.”

Sekali lagi aku mengannguk. Namun kali ini tanpa suara.

“Sebenarnya, aku juga meraskan hal yang sama padamu saat kita pertama bertemu, Ndar…. Aku juga suka sama kamu….. Tapi ada sesuatu yang membuat aku ragu, Ndar.”
“Ragu kenapa, Wo?”.
Kuberanikan memegang tangannya yang kokoh. Kali ini, aku berani menatap matanya.
***
Bowo masih menerawang jauh. Angin sawah yang sejuk menghempas rambutnya yang tebal. Hingga poninya menutupi hamparan keningnya yang nonong (lebar). Terdengar pula suara burung- burung emprit dan kelontang botol- botol kaca yang digantung di sepanjang atap gubuk untuk mengusir bangau.

“Aku ragu jika aku dapat memiliki kamu, Ndar….. Kita ini gemblak. Kita berdua budak. Tugas kita ya melayani warok. Kita tidak boleh jatuh cinta. Kita ndak boleh mencintai. Apalgi mencintai lelaki.”

aku hanya menatapnya. Tanpa kata.

“Kita cuma boleh mengabdikan diri pada Warok, Ndar. Kita hanya boleh memberikan dan menyerahkan diri kita pada mereka. Sebelum nanti kita dibebaskan………”.

Bowo membalas genggamanku. Aku kian erat menggenggamnya.

“Aku juga ingin menyayangimu, Ndar. Aku juga ingin mencintaimu. Tapi apakah aku bisa? Apakah aku boleh?”. Bowo perlahan terisak. Namun tanpa air mata.

“Aku ndak tahu, wo. Aku hanya ingin bersamamu. Aku ndak peduli apapun yang terjadi.”

Kudekatkan tubuhku pada Bowo. Kepalaku kutempelkan pada pundaknya. Sementara tanganku merangkul lengannya yang kuat.
Ia hanya terdiam. Menyandarkan kepalanya padaku.

“Apa kata Pak Lek mu kalau dia tahu kita seperti ini, Ndar.”

“Jangan sampai, Wo. Jangan sampai ada seorangpun yang tahu kita seperti ini.” jawabku.

Bowo lantas membalas pelukanku. Diputarnya kepalanya menghadapku. Kali ini, matanya bertubrukan dengan mataku.

“Aku mencintaimu, Ndar…”

Bowo mendekatkan pipinya padaku. Ditempelkannya pipinya yang lembut dengan pipiku. Kemudian dengan lembut beranjak mencium keningku.

“Aku juga mencintaimu, Wo….”
bisikku sambil mempererat pelukanku di tubuhnya. note;
lonceng botol, biasnaya dibuat dari bekas botol kaca yang pada lehernya diikatkan tali dengan bandul batu. Sehingga ketika ditiup angin. Batu akan menghantam pelan botol sehingga membunyikan suara. Biasnya digunakan untuk mengusir burung yang suka memakan padi.
(SEWELAS)
PAK LEK, MAAF…… TERDENGAR suara dentuman gamelan memekakkan telinga. Memenuhi ruangan. Menggetarkan dinding- dinding dan lantai kayu. Dengkingan salompret dan seruling mengiris- iris karsa. Dan gesekan biola jawa menyebarkan hawa mistis yang mencekam. Aku melongok dari jendela kedalam ruang latihan. Sementara Bowo dibawahku terus menahan berat karena menggendongku. Mataku menyapu sekeliling. Beberapa bocah sedang berdiri menarikan tari Jathilan. Sementara, para lelaki yang sudah agak tua membentuk barisan melingkar sambil memukul- mukul dan memainkan gamelan.
***
“Latihannya…….. sudah dimulai ya, Ndar..??”, bisik bowo dengan suara tertahan karena menahan beban.

Aku menengok kearahnya. “Sudah, Wo. Kita terlambat nih, Pasti Pak Lek sama Pak Dhe mu marahin kita nanti. Kataku sambil memberi isyarat pada Bowo agar menurunkanku dari gendongannya.

“Terus gimana dong? Kita masuk saja apa gimana?”, Tanya Bowo sambil memijit mijit pundaknya yang pegal.

Namun tiba- tiba Mas Narno muncul sebelum aku sempat menjawab. Mas Narno menghampiri kami dan segera memasang muka galak.

“Kalian berdua ini dari mana saja to? Sudah jam latihan kog malah keluyuran main…. Niat tampil di Ruwat Nagari ndak sih???”.

Kami berdua menciut. Seperti maling ketahuan.

“Se… Sepurane Mas…. Maeng aku karo wendar enek perlu. Dadi rodok telat tekane.” jelas Bowo sedikit takut.

(ma, maaf mas, tadi aku sama wendar ada perlu, jadi agak telat datangnya.)

Mas Narno menghela napas.
“Yawes, sekarang kalian langsung masuk. Ditungguin dari tadi lho. Pada mau dihajar sama warok kalian po pye (ya?). Kalau niat tampil ya harus serius latihan”.

“Injih mas.”
Kami berdua mengangguk. Takut. Kemudian segera beranjak mengikuti Mas Narno masuk kedalam ruang latihan.
***

Aku duduk terpisah dengan Bowo begitu sampai di dalam ruang latihan. Bowo duduk bersama Warok Joyo dan gemblak- gemblaknya. Sementara aku duduk disamping Pak Lek Danu.

“Kamu ini dari mana saja to, Ndar. Kog ndak bilang Pak Lek kalau mau pergi.” tanya Pak Lek yang sedang membaca sebuah buku yang judulnya ditulis dengan aksara jawa yang rumit. Aku tak tahu buku apa itu. Pengentahuanku tentang aksara jawa belum terlalu banyak.

“Emm.. Anu Pak Lek… Maaf… Tadi ada perlu sebentar sama Bowo.”
jawabku sambil merogoh buntelan yang berisi propeti tari milikku.

“Bowo?”. Tiba- tiba Pak Lek mengalihkan pandangannya dari buku itu ke padaku. Rokok tingwe yang disesapnya terus mengepulkan asap.

“Injih Pak lek. Gemblaknya Warok Joyo.”

“Kamu boleh deket- deket sama Mas Narno. Tapi kamu ndak boleh deket- deket sama gemblak lain. Apalagi sama si Bowo itu. Pak lek ndak suka.”

Aku terkesiap mendengar apa yang baru saja Pak Lek katakan.

“Kenapa aku ndak boleh berteman sama mereka Pak Lek. Kan mereka juga sama kayak Wendar….”

“Pokonya kalau Pak Lek bilang ndak boleh, ya ndak boleh….” terdengar Pak Lek menekankan suaranya sehingga suaranya terdengar kencang dan kasar. Wajahnya mengisyaratkan kemarahan. Aku diam. Ketakutan. Belum pernah aku lihat wajah Pak Lek yang seperti itu.




ENTAH kenapa Pak Lek jadi marah- marah begitu kami pulang dari sanggar. Sepeda onthel yang biasa ia sandarkan pada cagak (tiang) depan rumah, ia ambrukkan begitu saja. Ia juga segera masuk ke kamarnya tanpa mengajakku. Aneh. Aku hanya termangu menatap Pak Lek. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Apa yang telah membuatnya jadi semurka ini.
***
Kuberanikan diri melongok pintu kamar Pak Lek yang sedikit terbuka. Kulihat Pak Lek menyesap air putih dalam kendi. Disekelilingnya, bantal dan seprai terlihat berantakan. Pak Lek pasti telah membanting- bantingnya.
Klek…..!
Kubuka pintu perlahan dan kulangkahkan kakiku memasuki kamar. Diatas ranjangnya Pak Lek terlentang. Nafasnya tak beraturan. Wajahnya masih dipenuhi amarah. Aku takut. Namun kupaksa untuk mendekatinya.

“Pak Lek…. Pak Lek kenapa to?”. Setengah takut aku memandangi Pak Lek. Dia masih saja diam. Tak menjawab. Kedua tangannya ia tangkupkan diatas wajahnya.

“Pak Lek….?”.

Namun Pak Lek tetap diam.

“Pak Lek kenapa to marah marah gini? Memangnya Wendar punya salah apa sama Pak Lek?”.

Tanganku menyentuh punggung kokohnya. Mencoba sekuat hatiku untuk meluluhkan hati Pak Lek yang membeku.

“Kenapa kamu tega sama Pak Lek, Ndar? Kenapa…..???”.
Tiba- tiba Pak Lek bangkit dan duduk menghadapku. Aku tertegun. Kaget.

“Te… Tega sama Pak Lek… Apa maksudnya Pak Lek???”. Tanyaku tak mengerti apa yang dimaksud Pak Lek.

“Padahal Pak Lek ini sudah mencoba buat sayang sama kamu. Pak Lek sudah berusaha buat memperhatikan dan membahagiakan kamu. Tapi kenapa kamu tega menduakan Pak Lek, Ndar? Apa Pak Lek ndak membuatmu bahagia?”.

Deg, jantungku berdegup tak beraturan. Pak Lek cemburu. Pak Lek cemburu kepadaku.

“Pak Lek sayang sama kamu, Ndar…. Kenapa kamu tega menghianati Pak Lek?”.

Aku mendengus. Sembari menatap wajah pias Pak Lek. Aku tak tahu harus bicara apa. Tenggorokan dan kerongkongan ku tercekat.

“Kenapa kamu tega menghianati Pak Lek ,Ndar… Kenapa…….”.

“Ma… Maksud Pak Lek apa?”. Tanyaku tak mengerti. “Aku ndak pernah berpikir untuk menghianati Pak Lek sedikitpun. Aku tetap gemblak Pak Lek. Apa maksud Pak Lek menuduhku seperti itu.”

Pak Lek menatap lekat wajahku. Aku baru tahu. Jika cemburu, Pak Lek bisa sangat menakutkan. Dia begitu nampak beringas. Wibawanya yang biasanya ia tunjukkan padaku, mendadak berubah kemurkaan.

“Kamu suka sama Bowo kan?”.

Ucapan Pak Lek begitu menusuk jantungku. Hatiku tiba- tiba saja perih. Dari mana Pak Lek tahu tentangku dan tentang Bowo.

“Kenapa Pak Lek ngomong begitu?”.

“Jawab saja yang jujur ,Ndar…. Kamu suka sama Bowo kan?”. Suara Pak Lek mulai bergetar. Parau. Ia mulai terisak.

“Pak Lek…. Aku…..”

“Tega kamu Ndar, tega kamu………”

“Aku sayang sama Pak Lek… Aku cuma sayang sama Pak Lek…… Ndak ada yang lain….”

“Ndak usah bohong ndar….. Pak Lek tahu…. Kamu suka sama Bowo…. Pak Lek tahu bagaimana tatapan mu terhadapnya……. ”
“Pak Lek ngomong apa sih???”, cetusku keras. Kupandang Pak Lek dengan tatapan menyeringai. Aku benar- benar tidak menyangka kalau Pak Lek akan berkata demikian.

“Jangan pernah Pak Lek ngomong kayak gitu lagi…. Wendar ndak suka Pak Lek…….”.

“Tapi itu kenyataan kan, Ndar…. Kamu suka sama Bowo kan, Ndar??”.

“Apa salah kalu Wendar menyukai Bowo…. Apa salah Pak Lek? Bukannya setiap orang berhak buat jatuh cinta????”.

Pak Lek seketika tertegun mendengar kata- kataku. Sesaat ia menghela nafas panjang.
“Tapi kamu salah kalau kamu jatuh cinta sama dia, Ndar…….”.

“Salah kenapa Pak Lek?”.

“Kalian ini kan laki- laki…..”

Aku mendengus.
“Lalu apa aku sama Pak Lek juga bukan laki- laki? Pak Lek sayang sama Wendar, dan Wendar juga menyayangi Pak Lek. Bukankah itu sama salahnya???”.

Pak Lek hanya menatapku kaku. Aku terus memberondongnya. Aku sebal. Tak seharusnya Pak Lek melarangku untuk suka dengan orang lain.
“Pak Lek ngomong apa sih???”, cetusku keras. Kupandang Pak Lek dengan tatapan menyeringai. Aku benar- benar tidak menyangka kalau Pak Lek akan berkata demikian.

“Jangan pernah Pak Lek ngomong kayak gitu lagi…. Wendar ndak suka Pak Lek…….”.

“Tapi itu kenyataan kan, Ndar…. Kamu suka sama Bowo kan, Ndar??”.

“Apa salah kalu Wendar menyukai Bowo…. Apa salah Pak Lek? Bukannya setiap orang berhak buat jatuh cinta????”.

Pak Lek seketika tertegun mendengar kata- kataku. Sesaat ia menghela nafas panjang.
“Tapi kamu salah kalau kamu jatuh cinta sama dia, Ndar…….”.

“Salah kenapa Pak Lek?”.

“Kalian ini kan laki- laki…..”

Aku mendengus.
“Lalu apa aku sama Pak Lek juga bukan laki- laki? Pak Lek sayang sama Wendar, dan Wendar juga menyayangi Pak Lek. Bukankah itu sama salahnya???”.

Pak Lek hanya menatapku kaku. Aku terus memberondongnya. Aku sebal. Tak seharusnya Pak Lek melarangku untuk suka dengan orang lain.
“Tapi Pak Lek cuma pengen kamu sayang sama Pak Lek, Ndar……. Pak Lek ndak mau kamu berpaling sama orang lain……. Karena Pak Lek menyayangi kamu kamu, Ndar……. Karena Pak Lek mencintai kamu……..” bisik Pak Lek perlahan.

“Maafkan Pak Lek kalau tiba- tiba jadi marah begini….. Pak Lek kayak gini karena Pak Lek ndak mau kehilangan kamu, Ndar….. Pak Lek ndak mau………”.

Batinku terenyuh. Jantung dan tubuhku gemetaran. Seluruh sel- sel tubuhku jadi lemas.

“Maafin Pak Lek, Ndar….. Maafin Pak Lek………”

Pak Lek segera merengkuh tubughku kuat- kuat. Aku hanya diam terpaku. Biar saja Pak Lek mencurahkan perasaannya sekarang. Toh. Aku juga yang salah.

“Jangan pernah kamu berpikir buat ninggalin Pak Lek, Ndar…. Jangan pernah………”

kubalas pelukannya. Hingga kami berdua kian hanyut dalam pelukan hangat. Pak Lek mencium keningku. Dan kian mempererat pelukannya.

“Pak Lek janji…. Pak Lek akan membahagiakan kamu Ndar…. Pak Lek janji…………”

“Iya Pak Lek…….. Maafkan Wendar…. Maafkan Wendar…….”
***
PLAKKKKK!!!!!
SEBUAH tamparan keras kembali mendarat di pipi kanan Bowo. Ia ambruk. Pelipisnya menghantam lantai kayu. Bibirnya berdarah- darah.

“Kamu sudah mulai berani sama Pak Dhe Wo…..!!!!!!! KAMU SUDAH MULAI BERANI SAMA AKU, LE!!!!!!”.
Warok Joyo terus menendang- nendang tubuh Bowo yang terkulai lemah dihadapannya.

“APA MAKSUDNYA SURAT INI, WO…. APA MAKSUDNYAAA….. JELASKAN SAMA PAK DHE… KENAPA KAMU MENULIS SURAT SEPERTI INI KEPADA WENDAR….. KAMU SUDAH GILA YA!!!!”.tukas Warok Joyo sambil mengacungkan sebuah lembaran kertas berwarna putih kusam.

Sementara Bowo hanya terdiam menahan sakit. Ia masih tersungkur lemah pada lantai kayu.

“Setelah kamu berulang kali mencoba kabur dari Pak Dhe…. Sekarang kamu malah mau mencintai Wendar?????? Kamu benar- benar sontoloyo, hahhh???!!!!”.

Warok Joyo kembali menendang tubuh Bowo. Terdengar erangan kecil daro Bowo.

“Apa kamu ndak tahu kalau tugasmu itu cuma untuk mengabdi kepadaku. Kamu ndak boleh jatuh cinta sama siapapun. Apalagi sama Wendar sialan itu……… “.

“Ke… Kenapa…. Pak Dhe….”.
Bowo mulai bangkit. Namun tenaganya masih terlalu lemah ia kembali ambruk dan terkulai.

Warok Joyo menurunkan kakinya, berjongkok dan dengan kasar menjambak rambut Bowo. Bowo kesakitan. Namun Warok Joyo malah menjambaknya kian keras.

“Kamu itu gemblak….. Kamu ndak boleh suka sama orang lain… Kamu cuma boleh suka sama warokmu, Wo… Ngerti kamu hah????”.

Kepala Bowo terhempas ke lantai. Pelipisnya berdarah. Wajahnya kian hancur lebur.

“Pak Dhe ndak bakal membiarkan kamu jatuh cinta sama Wendar…. Ndak bakal pernah….. Pak Dhe akan membawamu ke Dolopo…. Ke tempat yang jauh dari si Wendar sontoloyo itu….. Biar kamu ndak bisa ketemu dia lagi, Wo…. Hahahahahaha……”.

Tawa Warok Joyo meledak. Ia kemudian beranjak pergi. Meninggalkan Bowo yang meringis kesakitan di lantai kayu. Bowo meraskan kesakitan yang sangat pada wajahnya. Perlahan pandangannya menjadi kabur. Ia pingsan.

****
(ROLAS)
PILIHAN YANG SULIT

MALAM itu aku terkapar di peraduanku dengan gelisah. Berkali- kali ku gulingkan badanku untuk mengusir kegelisahan. Namun nihil. Pikiranku masih saja terombang- ambing diatas awan. Aku benar- benar dihadapkan pada pilihan yang sulit. Aku harus memilih antara Bowo atau Pak Lek Danu. Pilihan yang sulit memang. Aku menyayangi Pak Lek. Tapi aku juga tak bisa meninggalkan Bowo. Ia menjanjikan kebebasan terhadapku. Aku tak tahu kebebasan seperti apa yang ia maksud. Yang pasti. Dia telah berjanji untuk membuatku benar- benar hidup sebagai lelaki bebas. Bukan seorang gemblak yang selalu terkungkung tradisi dan aturan kuno.
***
“Hhhaaaahhhh……..”
Kuhempaskan nafasku kuat- kuat. Sedikit meregangkan otot dan sel syarafku yang tegang. Kulirik Pak Lek Danu yang telah tertidur disampingku dengan hanya mengenakan kain sarung. Aku tersenyum getir. Entah ini kali keberapa aku harus melayani hasrat birahinya. Aku……. Tiba- tiba kembali memikirkan tentang ke’lelaki’an ku. Masih pantaskah aku disebut lelaki? Jika aku terus menjadi objek nafsu manusia yang berjenis kelamin sama denganku. Ah… Masa bodoh. Bukankah aku sudah mencoba untuk melupakan hal itu.
***
Dan seketika itu pula aku jadi teringat Bowo. Bocah lelaki itu entah kenapa selalu muncul dalam pikiranku. Jantungku selalu berdesir tiap mengingat wajahnya. Dan aku juga tak tahu kenapa kelaminku selalu menegang tiap membayangkan tubuhnya yang kokoh. Kurasa aku memang sudah gila. Namun gila dengan alasan yang realistis.
***
“Aku janji,Ndar…. Suatu saat… Jika aku bisa bersamamu… Aku pasti akan membuatmu bebas Ndar… Kita berdua akan bebas. Kita berdua akan menjalani kehidupan kita tanpa dikekang oleh aturan- aturan para Warok yang merawat kita. Aku janji.”

Tiba- tiba saja aku teringat perkataan Bowo itu. Aku masih ingat betul saat ia mengucapkannya. Saat itu, ia hendak pulang dari sanggar setelah kami latihan bersama. Dia menggenggam erat tanganku. Dan berjanji. Dan akupun membalasnya dengan senyuman.

“Iya, Wo…. Aku percaya sama janji kamu….”.
***
BOWO masih saja celingukan dari balik pintu kamarnya. Tangannya memegangi pipinya yang lebam dan sakit. Ia menoleh keluar pintu. Ke kanan dan ke kiri. Ia menhela napas lega. Tak ada seorangpun yang masih terjaga. Pak Dhe joyo pun nampaknya sudah terlelap. Ia lantas melangkah pelan keluar kamarnya menuju ke sebuah kamar di samping kamarnya. Kamar itu, milik Wawan. Temannya sesama gemblak Pak Dhe Joyo. Berbeda dengan Anjar dan gemblak lain yang memusuhi dan membuntutinya, Wawan lebih dekat dan membela Bowo. Ia selalu baik dan mau membantu Bowo kapanpun. Bahkan saat ia mau kabur dulu, sebenarnya ia bisa hampir berhasil juga atas bantuan Wawan. Namun ternyata, nasib baik memang belum berpihak padanya.
Perlahan Bowo mengetuk pintu kamar Wawan. Pelan. Ia tak mau ada orang lain yang mendengarnya. Kemudian pintu berderit dan terbuka. Muncullah sesosok bocah lelaki yang lebih pendek dari Bowo. Rambutnya keriting. Dan pada hidungnya, bertengger kacamata minus yang bentuknya kuno.
“Ada apa Wo… Kog malem- malem begini kamu belum tidur…”. Ucap Wawan sembari menguap.

“Shhhh… Pelan- pelan aja ngomongnya… Nanti Pak Dhe dengar….” Bowo segera memberikan isyarat pada Wawan agar ia mengecilkan suara.
“Iya… Iya…”, jawab Wawan berbisik.

“Aku mau minta bantuan sama kamu.”

“Bantuan? Bantuan apa Wo?”.

Bowo merogoh saku celananya yang hitam. Kemudian menyerahkan sebuah kertas kusam yang dilipat rapi pada Wawan. “Kamu kan besok latihan ke Angudhi Laras, aku minta tolong ya, tolong kasih ini ke Wendar ya……”

Wawan menerima kertas tersebut. Sesaat ditimang- timangnya kertas tersebut dan menatap Bowo dengan tatapan menyudutkan. “Surat apa ini?”.

“Sudahlah…. Kasih saja….”

“Tapi kenapa ndak kamu saja yang ngasih ke Wendar Wo…??”

“Kamu ndak tahu ya Wan. Pak Dhe sudah melarangku untuk latihan disana. Pak Dhe sudah ndak mengijinkan aku buat ketemu Wendar. ”

Wawan tetap menatap Bowo.
“Jadi besok kamu ndak latihan?”.

“Ndak, Wan. Besok aku akan tetap dirumah. Pintu kamarku akan dikunco Pak Dhe dari luar sehingga aku ndak bisa kemana- mana. Jadi tolong sampaikan surat ini ke Wendar. Aku mohon… Sebelum aku benar- benar dibawa Pak Dhe ke Dolopo.”

Wawan mengangguk dan lantas memasukkan kertas yang diberikan Bowo tadi ke saku bajunya. “Ya sudah, aku akan kasih ke Wendar besok.”

“Iya. Terima kasih ya, Wan.”

“Sama- sam…….”

Belum sempat Wawan menyelesaikan kata- katanya. Tiba- tiba terdengar suara pintu kamar Pak Dhe Joyo terbuka. Setengah terkaget Wawan segera menyuruh Bowo untuk masuk kembali kedalam kamarnya. Biar saja Wawan yang menghadapi Pak Dhe agar tidak curiga.

“Lho..lho.. Kamu kog belum tidur to, Wan… Ini sudah jam dua belas malam lho…”
Pak Dhe Joyo menghampiri Wawan yang masih berdiri diambang pintu kamarnya. Bibirnya menyesap cerutu.

“Be… Belum Pak Dhe… Tadi habis dari belakang, tiba- tiba saja ngelak (haus). Jadi aku ngambil minum tadi.” jelas Wawan berpura- pura.

“Ooalah…”

“Lha Pak Dhe sendiri kog belum tidur??”.

“Pak Dhe lupa ngunci pintunya si Bowo. Bisa- bisa dia mau kabur lagi kalau ndak dikunci pintu kamarnya. Dia kan orange ndak kenal menyerah to Wan. Pak Dhe mau jaga- jaga saja.”

Pak Dhe Joyo lantas menuju pintu kamar Wendar yang bersebelahan dengan kamar Wawan. Dimasukannya kunci kedalm lubang di bawah gagang pintu. Diputarnya kunci tersebut kekanan, dan klek. Pintu telah terkunci. Bowo sudah tidak bisa kabur lagi.

“Besok Bowo akan tetap dikamar ini sampai kita pulang dari latihan. Biarin dia didalam seharian.”

“Tapi, bagaimana kalau Bowo nanti lapar Pak Dhe?”, sela Wawan dengan nada panik.

“Biarin saja dia kelaparan. Bahkan kalu dia mati pun, biarkan. Itulah akibatnya kalau berani menentang Warok Joyo.” Tegas Pak Dhe dengan tatapan mengerikan. Dia tertawa pelan sambil terus menyesap cerutu yang kian mengepulkan asap.

“Kalau kamu berani ngebantuin Bowo… Maka kamu akan mengalami hal serupa, Wan… Ngerti kamu?”.

“In… Injih Pak Dhe…”. Wawan mengangguk ketakutan.
KEESOKAN paginya.
Ruang latihan sanggar Angudhi Laras sudah ramai dengan orang- orang sedari tadi pagi. Hari ini adalah geladi resik sebelum pementasan Ruwat Nagari besok. Beberapa orang dari sanggar lain pun sudah memenuhi ruang latihan, hampir semuanya penuh sesak.
***
Aku baru saja turun dari sepeda onthel yang dikemudikan Pak Lek Danu. Kami baru sampai. Segera Pak Lek menyandarkan sepedanya pada sebuah pohon Terembesi dan mengunci rodanya dengan rantai dan gembok. Begitulah kebiasaanya mengamankan sepedanya. Pak Lek kemudian berjalan masuk menuju sanggar. Aku mengikutinya dari belakang. Sesaat aku melirik pelataran sanggar yang luas. Aku melihat sebuah andong mewah terparkir disana. Andong milik Warok Joyo. Ah. Bowo pasti sudah sampai disini sedari tadi. Kuharap aku segera bisa melihat wajahnya. Aku sudah kangen padanya.
***
Tep.tep.
Kakiku baru saja menjejak masuk kedalam pintu sanggar. Tiba- tiba aku mendengar suara cempreng yang memanggil- manggil namaku. Aku berhenti, sementara Pak Lek terus masuk ke ruang latihan. Biarkan dia masuk duluan.
Aku menoleh kearah sumber suara. Dan mendapati sesosok bocah lelaki berambut keriting dan berkacamata minus. Tingginya nyaris sama denganku.

“Kamu…. Wendar kan..??”. Bocah lelaki itu setengah menunjuk kearahku.

“I.. Iya… Kamu siapa, kog tahu namaku?”.

“Aku Wawan, gemblaknya Warok Joyo. Temannya Bowo.” bocah lelaki itu menyodorkan tangannya. “Aku baru kali ini ikut latihan disini. Tapi aku sudah sering lihat kamu waktu njemput Bowo.”

“Oh… Temannya Bowo ya…”.

“Iya.” ia mengangguk.

“Terus Bowo nya kemana?”. Tanyaku penasaran.

“Justru itu… Aku ingin menyampaikan sesuatu sama kamu.”
Kemudian Wawan merogoh saku celananya sebentar. Ia mengorek isinya. Kemudian menyerahkan sebuah kertas kusam yang dilipat rapi ke padaku. Aku menerima kertas itu sembari melayangkan pandangan ke Wawan. “Apa ini?”.

“Itu surat dari Bowo. Buat kamu. Dia sudah ndak latihan disini lagi. Aku yang akan menggantikan posisinya. Pak Dhe Joyo sudah melarang dia buat bertemu kamu, Ndar,….”

“Apa?”. Aku menelan ludah. Sungguh aku tak mempercayai kata- kata Wawan barusan. “Kamu pasti lagi bercanda kan Wan?”.

Tapi Wawan menggeleng. Ia serius. “Aku beneran serius Ndar… Kamu dan Bowo sudah ndak boleh bertemu lagi. Bahkan aku dengar…… Pak Dhe mau ngebawa si Bowo ke Dolopo biar dia melupakan kamu, Ndar.”

Aku terpaku diam. Tiba- tiba saja aku kehilangan semangat. Ya, kabar barusan seakan telah menyedot habis kekuatanku. Bagaimana jika aku tak bisa ketemu Bowo lagi?.

“Yasudah, aku pamit duluan Ndar, nanti aku dicariin Pak Dhe.” wawan beranjak kembali ke ruang latihan. Sementara aku masih terbengong menatap kepergian Wawan dan sebuah surat di tangan kananku.

“iya Wan… Monggo (silahkan).
***
AKU terduduk lunglai diatas lantai kayu sanggar. Aku bisa mendengar bunyi bunyi tetabuhan dari dalam ruang latihan. Latihan sudah dimulai. Tapi aku masih ingin disini. Biar nanti aku dicari Pak Lek. Aku masih ingin menyendiri.
MATAKU masih saja memandang hampa pada lipatan kertas tipis di tanganku. Sesaat kutimang- timang surat dari Bowo itu. Kemudian perlahan, kubuka lipatan- lipatannya sehingga kini kertas itu terbua lebar. Kupandangi tulisan – tulisan cakar ayam yang memenuhi hampir seperempat bagian kertas itu. Mataku fokus menelusuri tiap deretan kata- kata. Sing tek tresnani,
Wendar.

Masio awake dhewe ora iso nyatu saiki. Tapi percoyoo, ing sawijining dino ngarep, aku bakal teko lan jemput awakmu. Aku bakal nepati janjiku. Aku bakal andudohke koe kabebasan sing tenanan. Kabebasan urip dadi lelananging lanang.
Percoyoo, Ndar.
~Bowo~ Yang kusayangi, Wendar.

~Meskipun kita tak pernah bisa bersatu saat ini. Tapi percayalah, bahwa suatu saat nanti, aku akan datang menjemputmu. Aku akan menepati semua janjiku. Dan aku akan memperlihatkan kepadamu kebebasan yang sesungguhnya. Kebebasan menjadi seorang lelaki sejati.~

Tiba- tiba saja mataku terasa perih. Dadaku bergemuruh oleh gelombang perasaan yang menghempas seluruh rasa rinduku pada Bowo. Gemetaran tanganku memegang surat itu. Bibirku terisak. Pelan. Nafasku semakin berat.

“Bowo……… Aku merindukanmu……..”. Bisikku perlahan sembari mengusap linangan air mata yang akhirnya jatuh tak tertahan.

“iya, Wo……Aku bakal nunggu kamu sampai kapan pun, Wo…. Sampai kapanpun……….”
Tangisku pecah diantara alunan seruling yang kian kencang terdengar dari dalam ruang latihan. Bunyi gendang seakan menggedor dan menggebuk- gebuk batinku. Aku ambruk menyandar tembok kayu. Kuremas kertas ditanganku dengan kuat. Aku percaya. Bowo pasti akan membuktikan janjinya padaku. Aku benar- benar percaya.
***
“Uuuuuuukkkkhhhhhh…………..hhh”
Bowo kembali merintih sambil mengguling- gulingkan badannya. Mencoba mengusir rasa sakit yang luar biasa. Tangannya kuat mencengkeram perutnya. Badannya terasa lemah. Ia tak punya tenaga sama sekali.

“Ampuni aku Pak Dhe…. Ampuuuuni akuu…………….”.
Bowo melenguh lemah sembari terus memegangi lambungnya. Dari tadi malam sampai sore ini dia belum menelan sebutir nasi pun. Kerongkongannya juga kering karena tak setetes airpun menyiraminya. Ia masih terkunci di kamar ini. Pak Dhe dan teman- temannya belum kembali dari latihan di sanggar. Jam dinding menunjuk angka enam. Langit sudah petang. Perutnya kian meronta dan menjerit. Jika Pak Lek belum pulang juga, mungkin Bowo bisa mati kelaparan.

“Ammm…..puuuunnnn….pakkkk….ddddheeee……”.
Tubuh Bowo kembali begrguling diatas amben yang hanya dilapisi tikar anyam. Peluhnya menetes deras di tubuhnya. Badannya mengejang. Tatapannya kabur. Kepalanya pusing. Perutnya kian seperti ditusuk- tusuk pisau. Ia menggigil. Dan kemudian…… Bowo pingsan.
***

“Pak Dhe… Ayo kita pulang….. Kasihan Bowo Pak Dhe… Dia pasti sedang kelaparan sekarang.”

Sekali lagi Wawan merengek pada Warok Joyo. Ia ingin cepat segera pulang. Ia kasihan pada Bowo. Pikirannya tak tenang. Jangan- jangan telah terjadi sesuatu pada temannya itu.

“Kamu ini kenapa to, wan… Mbok ya tenang sedikit kenapa? Pak Dhe kan masih pengen ngobrol sama teman- teman Pak Dhe…. Lagian kan masih sore ini.”
Warok Joyo tak menghiraukan Wawan sama sekali. Ia tetap sibuk menghisap cerutu dan mengobrol dengan teman- temannya sesama Warok.

“Tapi aku kasihan sama Bowo Pak Dhe… Dia belum makan sampai sore begini… Aku takut dia kenapa- napa….”

tiba- tiba Warok Joyo menatap Wawan tajam. Tatapannya menyiratkan kemarahan.

“Apa kamu mau Pak Dhe kurung kayak Bowo?.”

Wawan terdiam. Ia takut dengan ancaman Pak Dhe. “En…. Endak Pak Dhe….”

“Kalau gitu… Tetap disini…. Biarkan Bowo dirumah… Ndak usah mikirin dia….”, Pak Dhe Joyo lantas bangkit dan menuju kearah teman- temannya bergerombol dan berkumpul. Kemudian mereka berbincang.
***
Aku mencari- cari ruang latihan. Pelahan kuayunkan kaki menuju ruangan yang besarnya mirip aula kantor desa kami. Aku mau menemui Pak Lek dan mengajaknya pulang. Sudah sore. Aku belum mandi dan makan. Makanya aku ingin segera pulang kerumah.
***
Kakiku terus melangkah. Namun tiba- tiba langkahku terhenti tepat di depan ruang latihan. Aku mendengar suara Pak Lek dan Warok Joyo. Mereka nampak sedang bicara serius. Kulihat sekeliling. Sudah tak ada orang lain yang terlihat disini. Mungkin semuanya sudah pulang kerumah masing- masing. Hanya terlihat beberapa orang yang memang dekat rumahnya dari sini. Mereka sedang duduk- duduk di halaman sanggar dan mengobrol
***
Aku menunduk dibawah jendela. Menempelkan telingaku pada tembok kayu. Berharap aku bisa mendengar perbicangan apa yang terjadi antara Pak Lek Danu dan Warok Joyo. Dan ternyata. Aku berhasil. Samar- samar. Aku bisa mendengar percakapan antara mereka berdua.

“Sepertinya…. Telah terjadi kesalahan antara gemblakku dan Gemblakmu Danu……..”.
Terdengar suara Warok Joyo yang berat memulai dialog.

“Iya… Aku sudah tahu.” timpal Pak Lek.

“Hem…. Kamu tahu kan, ndak seharusnya Bowo itu punya hubungan khusus sama Wendar….. Ndak pantas seorang gemblak mencintai gemblak lain……”.

“Iya…. Aku ngerti Joyo… Aku juga ndak suka lho sama hubungan mereka.”

“Makanya Danu…… Besok, sehabis pentas Ruwat Nagari… Aku akan langsung memboyong Bowo ke Dolopo…. Kuharap kamu bisa menjaga Wendar……. Dan menghentikan hubungan mereka yang terlarang……..”.

Kudengar Pak Lek menghela napas sejenak. Kemudian menimpali lagi perkataan Warok Joyo. “Baguslah kalau begitu. Dengan begitu, Wendar dan Bowo ndak bakal punya kesempatan buat berhubungan lagi. Biarkan mereka saling melupakan.”

“Iya. Makanya aku juga minta sama kamu. Tolong jangan beri kesempatan buat Wendar mengingat- ingat Bowo… Aku mohon.”

“Pasti Joyo… Aku ndak bakal sedikitpun memberi kesempatan buat Wendar menyebut nama Bowo.”

lantas mereka berdua tertawa.