Sungguh, sama sekali sebelumnya
aku tidak pernah membayangkan akan menghirup udara kehidupan di balik terali
besi yang disebut penjara. Apalagi, istilah penjara yang kukenal selama ini
memberikan konotasi kejahatan, kekasaran, kegetiran, kemalangan, serta masa
penantian pembebasan dari kungkungan rentang jarak dan waktu. Menjadi bagian
dari rangkaian cerita-cerita yang lekat dengan masalah penegakan hukum dan
perlindungan atau pengembangan kekuasaan.
Namun, yang kumaksud dengan
pengertian penjara dalam cerita di sini bukan dalam artian secara definisi
kamus. Semacam tempat pengasingan yang membatasi kebebasan hak individu. Untuk
hal-hal yang bersifat umum harus diakui kebenaran kenyataan itu. Namun untuk
hal yang "khusus" penjara adalah semacam suaka birahi yang bagaikan
sorga dunia. Betapa tidak. At least, as for me, di sana aku seolah menemukan
habitat yang selama ini selalu kuimpikan. Berada dalam lingkungan yang memang
kudambakan. Hidup bersama dengan hanya kaum lelaki. Kala Gairah Birahi (KGB)
aku tidak menemukan suatu kesulitan berarti mencapai suatu penuntasan. Dengan
mudah aku bisa mendapatkan lawan bercumbu, andaikata saja adegan make love
sejenis disamakan dengan pertandingan tinju atau kickboxing.
Kenyataan yang sangat jauh
berbeda kurasakan pada saat aku memiliki kebebasan yang seutuhnya sebagai
seorang manusia di dunia bebas. Tidak seperti saat itu, sedang terampas haknya
dengan dalih supremasi hukum. Di alam kebebasan yang sesungguhnya, aku malah
menghadapi banyak kendala bertalian dengan penyaluran hasrat birahiku yang
tergolong nyeleneh ini. Menyukai perkelaminan dengan sesama jenis.
Di dalam kehidupan terpenjara,
ketika para penghuni dihadapkan pada kesulitan pilihan mengatasi penyaluran
kebutuhan biologis yang menggelegak, ketiadaan wanita, peluang dan kesempatan
yang ada seolah menjadi anugerah terindah bagiku. Trying something different.
Kalimat sakti tersebut kugunakan untuk melakukan encouragement bagi peminat
pemula yang masih diliputi keraguan. Berawal dari hanya sekadar membantu
memenuhi hasrat keingintahuan oknum hetero sampai kepada mereka yang memang
betul-betul membutuhkan pelepasan dan penyaluran ketegangan jiwa.
Untuk melakukan hal seperti ini
tidak perlu suatu hal yang bersifat kuratif. Melakukan pendekatan dan membina
hubungan baik. Itu kuncinya. Apabila perasaan kedekatan sudah diciptakan maka
tidur berdampingan dapat menjadi awal pembuka untuk gerilya (berupa
usapan-usapan pada daerah sensistif). Jika birahi sudah terbakar, umumnya, tidak
ada akan penolakan lagi pada sasaran. Hal ini lebih baik daripada melakukan
tindakan pemaksaan yang grusa-grusu dan kasar. Disamping tidak seorangpun
menyukai tindakan demikian juga akan menyalahi tatanan sosial yang sudah ada.
Sementara, oknum hetero mengutip
kalimat tersebut sebagai pembenaran petualangan seks sejenis yang dilakukannya.
Toch hanya bersifat darurat. Tidak selamanya. Tiada rotan, akarpun jadilah.
Begitulah kira-kira pemikiran apologia yang dapat disimpulkan. Tetapi Anda juga
harus mengerti, Tidak serta merta hanya karena pernah mencoba melakukan kisah
petualangan tersebut, kemudian menobatkan mereka (oknum) sebagai kaum yang
"berbeda". Seperti halnya aku ini, terlahir dari alam (by nature)
menyukai dan menikmati hubungan perkelaminan sesama jenis.
Ada juga yang, sebenarnya, tidak
menyukai hubungan perkelaminan sesama jenis, namun karena kegairahan birahi
yang tersulut, toch, mereka dapat menikmatinya juga. Setidaknya, dengan bukti
ereksi dan ejakulasi akibat persetubuhan semu dengan sesama lelaki, yang
dilakukan secara orogenital, body contact maupun anal intercourse. Meskipun
setelah kembali ke dunia bebas mereka biasanya back to nature. Perkecualian
bagi mereka yang kemudian menjadikan "pengalaman" tersebut sebagai
modal dari bagian gaya hidup baru di alam bebas sana. Menjadi sosok manusia
marginal atau biseks.
Sejauh pribadi yang menjalani
menyadari kenyataan tersebut maka kehidupan biseks bahkan gay sekalipun
seyogyanya bukan lagi menjadi suatu permasalahan. Berbeda apabila yang
bersangkutan tidak menerima kenyataan dimaksud. Apalagi bila ditambah dengan
ketidakmampuan menyalurkan dorongan libido sejenis dengan keberanian menerabas
citra ke"normal"an karena bercinta dengan sesama jenis. Maka lengkap
sudah penderitaan hidup kaum biseks dan atau gay. Hidup dalam pendaman naluri
berkelamin yang tiada pernah berkesampaian. Solusinya, tidak ada pilihan lain,
kecuali mencoba mewujudkan hasrat tersebut dan berusaha enjoy dalam menjalani
hidup.
Kisah yang kutulis ini, sekali
lagi bukan dan tidak mencerminkan stereotipe kehidupan penjara yang
sesungguhnya. Anda tidak boleh menyamaratakan "alumni" sebagai orang
yang selalu atau pasti suka dan pernah atau akan terlibat dengan kehidupan seks
semacam ini. Karena kenyataannya, ada juga yang sangat antipati dengan perilaku
seks seperti yang kulakukan dan kuceritakan ini.
Untuk sikap penolakan seperti di
atas aku mengacungkan ke empat ibu jari. Salut sekali dengan keteguhan dalam
prinsip dan keyakinan. Mereka tetap tahan tidak bergeming dari kegamangan iman,
godaan, dan dorongan kebutuhan penyaluran hasrat berkelamin yang menggelora,
yang akhirnya cukup terpuaskan dengan tindakan masturbasi ataupun menggantinya
dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat daripada sekadar membayangkan
kemesuman.
Ada semacam kesepakatan tidak
tertulis (konvensi) di dalam penjara, bahwa tindakan seks sejenis yang
dilakukan tanpa persetujuan salah satu pihak terkait akan memberikan peluang
bagi pelanggar mendapatkan hukuman yang berat dari sistem dan lingkungan. Lain
persoalannya, apabila hubungan sebadan tersebut dilakukan atas dasar keinginan
bersama dan tidak dilakukan secara terang-terangan/vulgar/pamer/show off.
Semata-mata aturan tersebut dijalankan untuk menghormati penghuni lain yang
tidak sepaham dengan aliran seks sejenis. Demikian pula dengan institusi, yang
walau tidak membenarkan tindakan ini, juga tidak dapat mencegah atau melarang
terjadinya praktek-praktek terselubung semacam ini. Agaknya, salah satu
dinding-dinding kamar penjara dapat menjadi saksi bisu yang reliable.
Kisah yang aku alami juga belum
tentu sama dengan kisah mantan penghuni penjara yang lainnya. Seperti sudah
kujelaskan di awal cerita, bahwa tidak semua mantan napi sependapat dengan
hal-hal yang kulakukan ini. Ada juga yang sangat menentang. Tentu saja dengan
alasan yang berbeda-beda. Ini menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat
disangkal.
Alam pemikiran demokratis
mengajarkan kita untuk saling menghormati adanya perbedaan pendapat ini. Namun
tidak berarti adanya perbedaan pendapat ini menghalalkan timbulnya anarkisme.
Demi menjunjung tinggi nilai-nilai seperti inilah membuat konvensi tetap
terpelihara.
Karena itu, sekali lagi aku juga
mohon maaf kepada mereka yang menabukan perkelaminan sejenis yang kulakukan di
dalam penjara. Mempunyai orientasi seks yang berbeda bukanlah suatu cita-cita
dalam hidupku. Namun, aku tetap harus memberi kualitas dalam kehidupanku
daripada harus terpuruk sendiri hanya karena memelihara citra
"normal" yang palsu. Selain itu, aku juga tidak pernah memaksa mereka
yang memang tidak berminat. Kepada kaum sesama atau para simpatisan penikmat
hubungan seks sejenis, anggap saja kisah ini sebagai bahan perenungan pencarian
jati diri.
Aku juga tidak menyebut soal
cinta, yang kedengarannya melankonis dan klise untuk kehidupan kaum pria di
dalam penjara. Dalam cinta senantiasa ada romantisme. Sementara, penjara adalah
dunia terbatas yang tidak kondusif terhadap tindakan romantisme sesama
penghuni. Untuk sekadar menyalurkan hasrat birahi tidak perlu didahului lagi
dengan ritus yang memanterakan untaian kata "cinta".
Hanya dengan berbekal keinginan
dan persetujuan bersama, adanya peluang tempat dan waktu – agar tidak terlihat
vulgar dan show off – semua tindakan perangsangan, erotisme ataupun pergumulan
seks menjadi sangat mungkin untuk dilakukan. It sounds easy. Namun harus dengan
kehati-hatian. Intuisi memegang peranan penting agar tidak terjebak dalam
perangkap konvensi yang sebenarnya dapat dihindarkan.
Berlainan dengan erotisme, yang
dapat dilakukan seorang diri. Menggunakan jemari tangan atau sekadar
menggesek-gesekan kemaluan pada dinding, lantai, atau bantal sekalipun. Demi
menciptakan efek perangsangan pada alat kelamin agar ereksi dan kemudian
ejakulasi. Menyalurkan keinginan birahi yang bergejolak.
*****
Tempat yang digunakan untuk
"memenjarakan" aku terdiri dari beberapa blok dengan banyak kamar
atau ruangan. Kamar yang aku huni di tempat penampungan sementara ini berisi
sepuluh orang. Kamar-kamar yang lain juga berisi jumlah yang sama. Kehadiran
mereka di sini dengan latar belakang sebab yang berbeda-beda. Namun, umumnya,
karena tindakan kriminal dan penyalahgunaan obat psikotropika. Begitu pula
dengan status sosial/marital, edukasi, pekerjaan, religi dan etnis yang
beragam.
Akan halnya dengan keberadaanku
di penjara, sebetulnya, lebih banyak di dorong keinginan membuktikan cerita
burung adanya "surga dunia", selain terlanjur bernasib sial (?)
kedapatan membawa barang terlarang saat dilakukan razia di suatu diskotek
terkenal ibukota. Hal yang tidak dapat kusangkal adalah, ditemukannya barang
bukti tersebut di saku celanaku. Asalnya adalah titipan teman. Namun, karena
pada dasarnya aku memang tidak ingin melibatkan orang lain, maka aku mengakui
barang itu adalah milikku, yang aku gunakan sendiri.
Padahal, kenyataan yang
sesungguhnya, aku sama sekali tidak menyukai penggunaan zat-zat addictive semacam
itu. Sekadar membayangkannya pun tidak pernah, apalagi mecoba menggunakannya.
Aku memang tidak ingin tubuh dan hidupku terkontaminasi dengan zat-zat sedative
artificial semacam itu. Dengan konsep berkelamin sejenis yang kujalani ini saja
aku sudah merasa tidak murni lagi sebagai manusia secara kodrati. Apalagi bila
masih harus ditambah dengan penggunaan zat-zat semacam itu. Seperti apa nanti
aku jadinya? No way. Konskwensi yang kuterima adalah, terampasnya kebebasan
dasar yang paling nyata: bersosialisasi di dunia luar. Meskipun di lain pihak,
aku mendapatkan bentuk kompensasi kebebasan yang lain. Memiliki kesempatan luas
menyalurkan kecenderungan naluri hasrat birahi sejenisku yang menggelora.
Sampai hari ketiga aku berada di
dalam penjara semua berjalan biasa-biasa saja. Sehingga pada saat tengah malam,
ketika semua sudah terlelap dalam tidur, aku terbangun dari tidurku yang
nyenyak. Kebelet pipis. Aku bangkit berjalan menuju WC, yang memang ada di
dalam sekat kamar dengan penghalang dinding, di dalam ruangan yang sama.
Kulihat di sudut sana sudah ada seseorang berdiri membelakangiku. Rupanya juga
sedang buang air kecil. Pandanganku menyapu keremangan malam. Setelah dekat,
dari sosok tubuhnya, aku baru mengetahui kalau orang tersebut adalah Kurnia.
Aku berdehem, dengan maksud memberitahukan kehadiranku padanya. Tapi ia seolah
tidak mendengar. Tidak peduli sama sekali terhadap kehadiranku. Sekadar menoleh
kearahkupun tidak. Masih saja tetap dalam posisi semula. Berdiri
membelakangiku.
Aku berjalan menghampiri dan
berdiri tepat disampingnya. Aku melirik kearahnya.
"Elueuh.. eleuh.. kunaon
eta, euy..", pekikku dalam hati.
Ternyata, Kurnia sedang
ngloco/onani/merancap/masturbasi. Jantungku berdegup dan darahku terasa
mendesir menyaksikan sebongkah batang kemaluan menegang dengan besarnya.
Menyeruak dari genggaman jemari tangan yang bergerak maju mundur. Kepala
penisnya memantulkan kilau merah keunguan dengan titik-titik precum menyembul
dari ureter. Suara gemerisik gesekan tangan dengan batang penis itu serta
helaan nafas yang memburu melengkapi suasana sensasional malam itu.
"Eh.., lu, Kur..?",
tenggorokanku terasa tercekat ketika kuberanikan diri membuka percakapan,
menyapanya.
Sementara, Kurnia, hanya sekilas
menoleh dan tersenyum kecil sambil tetap membiarkan batang kemaluannya
berselancar dengan riangnya di dalam gengaman jemarinya.
"Sayang, atuh, dibuang-buang
gitu..", aku memberanikan diri mengomentari tindakannya itu.
"Lu mau?!?",
sekonyong-konyong, dengan gaya acuh, Kurnia berbalik arah memberi isyarat
padaku untuk menghisap kemaluannya yang saat itu seperti sedang meronta-ronta
ingin lepas dari genggamannya.
"Yes, this what I
mean!", seruku dalam hati.
Aku tersenyum menatapnya. Tanpa
membuang waktu lagi, aku segera merunduk jongkok. Mengambil alih batang
kemaluan dari genggaman tangannya. Hilang sudah keinginanku semula untuk
kencing.
Cuping lubang hidungku mengembang
ketika mengendus semerbak aroma kelakian yang menggairahkan menyebar dari arah
selangkangan Kurnia. Terlihat semakin jelas bongkahan penis yang mendongak
dengan perkasa, menyeruak dari kerimbunan pubicnya yang ikal kelam dan lebat.
Sambil menghirup dan menikmati aroma khas itu, bibir dan lidahku segera
menyeruput dan menggumuli batang kemaluan yang menegang dengan tekstur guratan
otot-otot disekelilingya.
"Nyummy.. nyumy..
nyummy", Aku mengelamoti glans seolah menikmati es lollypop yang lezat.
Kepalaku bergerak maju mundur
menimbultengelamkan kepala penis Kurnia ke dalam kehangatan dan kegairahan
birahi melalui kuluman mulutku. Bunyi berdecak dan kecipak bibir dan lidahku
bersahutan dengan suara desah dan lenguhan kenikmatan Kurnia. Sesekali Aku
membuang pandang ke atas. Menyaksikan ekspresi wajah kenikmatan Kurnia. Kedua
belah tangan Kurnia bergerak-gerak meremas rambut di kepalanya sambil mulutnya
mengerang dan mendesah.
Matanya terpejam dan ujung
lidahnya menjulur-julur keluar dari mulutnya yang setengah membuka mengeluarkan
desah suara, "Aach.. shhzz. ooch.. ahchh..".
Badannya menggelinjang limbung ke
kiri dan kanan mengimbangi cumbuanku yang semakin menggila.
Pada saat yang sama, jemariku
meluncur menyusuri batang penisnya. Menekan dengan lembut kulit kelaminnya.
Bermula dari glans menuju ke arah bawah. Selanjutnya bersemayam di pangkal
batangnya yang tegang itu. Dengan cara penekanan seperti itu, gurat-gurat otot
di sepanjang batang penis menjadi lebih jelas terlihat. Kemudian dengan sedikit
jilatan kasar lidahku menyapu dan mengelitik otot-otot itu. Maju mudur dari
bawah ke atas dan sebaliknya.
Kurnia makin meracau, terbukti
dari ucapan-ucapannya yang menjadi tidak jelas terdengar selain hanya deretan
kata-kata, "Oouwh.. ochh.. enghzz.. fhs.. sshzz.. enyaak.. ouch..
terruuss.. oowug.. acchs.." yang meluncur deras dari bibirnya.
Aku terkejut ketika secara
tiba-tiba, tangan Kurnia merenggut dan menekan kepalaku kearah selangkangannya.
Tubuhnya terguncang dengan dengus nafas memburunya yang tersengal-sengal seraya
memuntahkan cairan hangat gurih dimulutku. Aku hampir tersedak oleh semburan
deras lahar birahinya dan sempat kesulitan bernafas karena hidungku tersumbat
oleh kelebatan pubic Kurnia yang menutupi dan menggelitik lubang hidungku.
Paduan sensasi rasa yang luar biasa kurasa. Aku terduduk lunglai di lantai.
Kelelahan. Kedua bilah bibirku terasa tebal, dan jontor. Lidahku terasa kelu
dan pegal. Butir-butir keringat mengalir membasahi tubuhku. Betul-betul olah
syahwat yang melelahkan.
Belum selesai aku melakukan
cooling down, mendadak Kurnia membungkuk ke arahku. Aku tidak menyangka jika
kemudian ia meraih dan memelukku. Melumat bibirku. Lidahnya dengan liar
menggapai-gapai langit-langit mulutku, seolah hendak menguras sisa spermanya
yang masih melekat di mulutku. Hisapan mulutnya pada bibir dan lidahku
melemaskan kembali organku yang semula terasa kelu dan kebal. Jemarinya gesit
menjelajah lekuk tubuhku, menurunkan celana boxer yang kupakai serta
menyingkirkan celana dalamku. Aku menggelinjang dan tubuhku terasa gerah
terbakar cumbuan Kurnia yang menggelora.
Aku kagum juga pada Kurnia. Meski
sudah ejakulasi, ternyata batang kemaluannya masih tetap ereksi. Aku melihat
penisnya masih terayun-ayun tegak menantang dengan seksinya. Sambil memagut
bibirku kurasakan jemari Kurnia merayap menggelitik lubang pelepasanku.
Kemudian ia menyuruhku berdiri dan meletakkan satu kakiku bertumpu pada dinding
bak mandi. Dalam posisi itu, celah diantara kedua bongkah pantatku membuka.
Rectumku terasa mengembang lebar. Aku merasakan dinginnya malam menerpa dan
menyelusup celah itu.
Aku kaget ketika kurasakan ujung
lidah Kurnia yang basah dengan binalnya menggelitik tepi rectum, sementara
jemarinya tanpa keraguan mengusap-usap batang kemaluan dan pubicku. Ditimpali
pula dengan gesekan kumis dan sedotan bibirnya pada permukaan rectumku. Sekujur
tubuhku bergetar menahan sensasi kenikmatan yang ditimbulkan. Masih di ruangan
kamar mandi, kami beringsut pindah ke tempat yang tidak basah. Kurnia segera
merebahkan diri. Batang penisnya tegang mengarah ke atas. Sambil melumuri
penisnya dengan air liur ia memintaku jongkok di atas selangkangannya.
Kurasakan jemarinya yang basah dengan saliva mulai melumuri dan merangsang
rectumku.
Ujung jarinya terasa mencoba
menguak lubang analku. Bergerak-gerak membuat arah lingkaran dan menggelitik
dinding collon. Aku melemaskan rectum dan collon sehingga jemari Kurnia leluasa
menjelajahi lekuk-lekuk di dalamnya. Kemudian kurasakan kedua jari Kurnia sudah
mulai dapat menyusuri rongga kenikmatanku. Aku mendesah dan melenguh merasakan
kenikmatan yang sangat. Aku berusaha merilekskan tubuh dan mengarahkan lubang
duburku arah penis Kurnia. Perlahan namun pasti, aku mulai bergerak ke bawah
menggapai glans penis itu serta mencoba menenggelamkannya ke dalam lubang
Kenikmatan Gairah Birahi.
Kurasakan kenyerian yang sangat.
Perutku terasa melilit karena mendapat tekanan batang kemaluan Kurnia. Rectumku
terasa pedih, panas dan perih. Walau aku sudah mencoba bersikap serileks
mungkin, namun collonku masih kesulitan melumat seluruh penis Kurnia. Keringat
tubuhku mulai menitik. Aku mengumpulkan air liur dan meludahkannya ke telapak
tanganku. Kutambahkan salivaku ke batang penis Kurnia dan permukaan rectum. Kemudian
dengan semangat perjuangan, secara mendadak aku menghentak sekuat tenaga,
sehingga keseluruhan batang kemaluan Kurnia akhirnya melesak masuk ke dalam
cengkeraman lubang kenikmatanku.
Keringat membanjiri tubuhku
menahan kenyerian, karena penis Kurnia yang terlalu besar diameternya.
Selanjutnya dengan sedikit mencondongkan tubuh ke depan dengan bertumpu pada
kedua belah kakiku yang terlipat, aku bergerak memajumundurkan tubuhku di atas
selangkangan Kurnia. Rectumku kudenyut-denyutkan agar dapat memberikan efek
remas dan pijatan ala mak erot, atau semacam empot-empotan pada batang kemaluan
Kurnia.
Gerakan dan gesekan-gesekan yang
kami lakukan memberikan efek sensasional yang luar biasa. Lenguhan dan desahan
suara penuh nikmat mengiringi perjalanan mengayuh birahi mengantar kami menuju
titik perhentian.
"Ooohh.. aah.. sshzz.. ngh..
fhs.. aach.. ennghss..".
Kata-kata tak bermakna namun
mendebarkan hati siapapun pendengarnya itu menghiasi setiap gerakan dan
goyangan persetubuhan yang kami lakukan. Jemari Kurnia mengelus-elus punggungku
yang basah oleh keringat. Sesekali jemarinya disodorkan kemulutku dan segera
kuhisap-hisap dan kugelitik ujung jarinya dengan lidahku. Sekelebat ingatan
tayangan tivi goyang Inul Daratista membuatku terpacu meniru melakukan goyang
ngebornya. (Namun, sejujurnya, goyangan ngebor ala "Inul" itu tidak
dapat sepenuhnya diterapkan. Pasalnya, kemaluan Kurnia akan terlepas dari
cengkeraman rectumku apabila aku bergoyang seheboh Inul. Akhirnya aku hanya
bergoyang ala mengulek sambel di cobek. Dengan cara itu, penis Kurnia tetap
dapat bersemayam ditempatnya, menikmati buaian empot-empot kontraksi otot
collon dan rectumku). Kurnia mengimbanginya dengan memutar-mutar dan
mendorong-dorong pinggulnya ke atas. Menjadikan senggama sejenis ini seolah
bagai tarian erotik di pentas cinta, ditingkah pacuan dengus nafas dan detak
jantung yang kian memburu.
Menciptakan variasi gaya
bercinta, perlahan kami bergerak hati-hati mengubah posisi senggama. Menjaga
agar penis Kurnia tidak terlepas dari cengekeraman rectumku. Aku menjatuhkan
badan ke tubuh Kurnia. Meluruskan kaki yang tadi terlipat. Selanjutnya sambil
tetap berdekapan kami memutar tubuh ke samping dan kemudian berbalik. Sekarang
aku terbaring terlentang dan Kurnia bertumpu dengan kedua belah tangannya
berada di antara ke dua belah pahaku yang mengangkang. Kurnia mengaitkan kedua
kakiku ke pundaknya. Pinggangku menjadi agak tertarik ke atas. Penis Kurnia
masih bersemayam dalam collonku. Kini ia mulai bergerak memompa diriku.
Kenyerian yang muncul pada awal penetrasi tadi kurasa telah sirna berganti
dengan kenikmatan yang sangat.
Sambil terus memompa Kurnia
mencumbui diriku. Mulutnya bergantian menghisap-hisap puting susuku, menelusuri
leher dan melumat bibirku. Jemari tangannya bergerilya menyusuri lekuk tubuh
dan sesekali meremas-remas dadaku. Kurnia menciptakan irama senggama yang
nikmat, tiga empat kali cabut benam dengan sekali gesek dan tekan goyang yang
dalam. Perhitungan Kurnia sangat tepat sehingga penisnya tidak terlepas dari
remasan rectumku. Pubicnya yang lebat dan kasar memberikan tambahan sensasi
gelitik di bongkah pantatku. Tidak terhitung lagi berapa kali helaan nafas dan
desah, lenguh yang lepas dari mulut kami bagai lantunan lagu acapella.
Seolah terbang ke langit tinggi
dan berjalan tanpa menjejakkan kaki ke bumi. Melayang. Aku limbung. Demikian
pula dengan Kurnia. Sampai akhirnya, Kurnia memuntahkan seluruh hasrat
birahinya di dalam relung tubuhku. Aku dapat merasakan puncak gelora ketika
batang kemaluannya terguncang-guncang, menggelepar dan menyentak memancarkan
cairan kenikmatan persenggamaan. Diiringi lenguhan suara yang panjang, tubuh
Kurnia mengejang dan tangannya mencengkeram erat pundakku. Kupeluk tubuh Kurnia
yang rebah di atas tubuhku. Kudengar dengus nafasnya masih tersengal-sengal.
Keringat membanjir membasahi lantai kamar mandi.
Aku mencegah Kurnia mencabut
penisnya dari tubuhku, Biarlah ia bersemayan sejenak sementara dengan jurus
empot-empotan collon dan rectumku aku mencoba memberikan pengakhiran yang
nyaman untuk Kurnia.
"Terima kasih, Nug",
Kurnia berbisik di telingaku.
"Lu belum keluar kan?",
sambung Kurnia.
Aku cuma tersenyum. Dan Kurnia
tidak melanjutkan pembicaran selain tetap memeluk dan menindih tubuhku. Namun
tidak beberapa lama kemudian kurasakan ia bergerak-gerak kembali seperti hendak
mencabut penisnya. Aku membiarkannya. Aku ingin tahu apa yang akan
dilakukannya. Kuakui sejak tadi aku memang belum ejakulasi.
"Sini, gantian gue sepongin
punya lu?", kata Kurnia tiba-tiba.
Ucapan Kurnia sungguh mengejutkan
diriku. Aku tidak mengira ia akan mau berbuat hal yang sama dengan yang
kulakukan padanya.
"Kenapa lu, heran? Lu pan
udah mau ngebantuin gue, masak sih, gue, tega kagak mau ngegituin lu?",
lanjut Kurnia kemudian dengan acuhnya.
"Pertama liat lu datang,
sebenarnya gue udah naksir lu. Tapi gak lucu juga dong, kalo baru ketemu
langsung gue ajak lu maen. Iya kalo lu mau. Kalo kagak? Nah, gue yang tengsin,
man!", Kurnia menepuk-nepuk bahuku.
"Tapi radar di hati gue
tetap bilang kalo lu tuh, bisa buat di ajak main beginian, dan gue kagak salah
nebak kan?", sambung Kurnia kemudian.
"Ok deh, Kurnia, gimanan
kalo giliran gue besok malam aja ya. Lu tadi denger kan, di luar udah
kedengeran bel bunyi empat kali. Bentar lagi anak-anak pada bangun. Dari pada
ntar kitanya tengsin", sahutku.
Kurnia mengecup bibirku dan
kemudian berdiri mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan
mengenakannya kembali, Sementara aku tetap di kamar mandi membersihkan sperma
Kurnia yang masih tertinggal di dalam collonku. Aku jongkok mengejan dan
kuarasakan cairan hangat sperma mengalir keluar. Terus kulakukan sampai aku
yakin semua keluar. Sambil mandi pagi aku membersihkan collon dan rectumku.
Kembali terasa pedih, namun kenyerian itu terkubur oleh rasa kenikmatan
persenggamaan sejenis yang kami lakukan tadi (Tapi sungguh mati, aku tidak tahu
kalau tanpa sepengetahuanku, ternyata ada beberapa pasang mata lain yang
menelanjangi semua adegan yang kulakukan tadi. Aku baru tahu ketika siang hari,
pada saat makan, Dhana, salah seorang diantaranya menghampiriku dan membisikan
keinginannya main denganku. Buatku pucuk di cinta ulam tiba. Pasalnya, aku juga
sudah menaruh hati pada beberapa orang tersebut. Dari sepuluh penghuni kamar
itu empat orang diantaranya pernah bermain-main denganku. Angka ratio
prevalensi yang cukup signifikan).
Di tempat penampungan sementara
itu aku hanya berada satu bulan setengah lamanya. Sempat juga aku merayakan
ulang tahun di dalam sel. Sahabatku dari luar membawakanku kue tart. Itu adalah
kejadian ulang tahun yang memberikan kesan tersendiri bagiku. Berulang tahun di
dalam penjara. Ketika itu aku bahkan difoto dengan memakai baju tahanan warna
biru sambil memegang kue tart ulang tahun.
*****
Seminggu setelah ulang tahunku
aku dipindah ke lembaga pemasyarakatan kelas 1. Di tempat yang baru ini aku
beruntung tidak di tempatkan di blok. Namun di sebuah kamar dengan hanya enam
orang penghuni yang semuanya asik gaul menurutku. Aku juga heran, ternyata
kehidupan penjara tidak seseram yang kubayangkan sebelumnya. Singkat kata,
irama kehidupan yang kujalani tidak berubah, hanya tempat aku hidup saja yang
berubah.
Salah seorang sahabatku, Wisnu,
sempat iri ketika aku menceritakan pengalamanku ini saat ia datang membesukku.
Bahkan, karena antusiasnya ia
sempat meninju lenganku seraya berkata, "Sialan, lu, giliran bercinta gak
ajak-ajak gue deh..". Ketika aku menceritakan adegan-adegan di dalam
penjara.
"Auch..". Aku terpekik.
Rupanya pekikan suaraku sempat
membuat pengunjung lainnya berpaling ke arahku. Aku jadi tersipu malu, dan
Wisnu tertawa menyaksikan ulahku. Wisnu sempat juga kukenalkan dengan beberapa
orang yang pernah "main" denganku.
Apabila di tempat penampungan
sementara aku hanya dapat bercinta pada malam hari maka di lapas ini kebebasan
lebih banyak kumiliki. Aku dapat memadu cinta pada siang hari. Memanfaatkan
waktu jam besuk. Misalnya saja, ketika penghuni kamar lainnya sedang keluar
menerima kunjungan atau berolah raga, aku tetap di diam di kamar berasik masyuk
dengan Aka.
Aka adalah sosok muda usia yang
menarik perhatianku. Bentuk tubuh proposional. Potongan rambut crew cut dengan
jambul model film Tin-Tin. Kulit coklat bersih. Tutur bahasa yang santun, Semua
itu tidak dapat menyembuyikan latar belakang sosial dan edukasinya. Ia memang
berasal dari kalangan berada dan terpelajar. Karena di sini aku tidak bicara
soal pelanggaran pasal-pasal KUHP dan sejenisnya, maka aku tidak merasa perlu
menceritakan alasan Aka masuk ke dalam sel. Awal mula hubungan ketika aku
mendapatkan Aka sedang meringkuk di divan dengan tubuhnya yang demam.
Sepertinya ia sedang masuk angin. Aku menawarkan diri untuk mengerik dan
memijat badannya. Ia tidak keberatan. Saat kusentuh keningnya memang terasa
agak hangat.
"Tuh.., kamu pasti masuk
angin, Ka. Mau aku kerik badanmu?", kataku menawarkan diri.
Aka tidak menyahut selain mengangguk
seraya melepaskan t-shirt yang dikenakannya. Kemudian ia berbaring tengkurap.
Dengan uang logam limaratusan rupiah dan balsam balpirik kayu putih aku mulai
mengerik punggung Aka. Tidak memerlukan waktu lama semua punggung Aka sudah
bagaikan kulit kuda zebra. Hanya ini bukan hitam putih, namun coklat dan merah
kehitaman. Selesai mengerik punggungnya aku memintanya agar membalikan badan
untuk mengerik bagian depannya. Ketika sudah membalikkan badan itu aku dapat
menyaksikan dari dekat secara keseluruhan tubuh Aka yang mempesona. Tidak kurus
dan juga tidak gemuk. Perutnya tidak berlemak dan dadanya bidang kenyal.
Aka berbaring telentang dengan
menyilangkan kedua tangan di bawah kepalanya. Bulu ketiaknya yang lebat, lurus
dan legam tumbuh berserak disekitar pangkal lengannya. Menebarkan aroma
maskulin. Dengan posisi seperti itu keseksi-an tubuh Aka jelas tergambar.
Apalagi ketika aku melirik ke arah bawah, terlihat siluet bongkah batang
kemaluannya yang menggelembung di balik celana hawai-nya. Kentara ia sedang
tidak memakai celana dalam (di penjara hampir jadi hal yang biasa melihat aneka
kontur penis membayang dibalik celana. Sebab selalu saja ada yang tidak memakai
celana dalam).
Aka tersenyum sayu menatapku saat
kami tak sengaja beradu pandang. Aku tersipu (saat itu aku sungguh merasa salah
tingkah). Namun segera kutepis angan nakalku itu. Aku kembali mengerik tubuh
depan Aka hingga tuntas. Sikap Aka yang pasrah dan kooperatif membuatku cepat
menyelesaikan tugas mengerik badannya. Wow, betul-betul warna merah hitam yang
merata di sekujur tubuhnya.
Setelah itu aku meminta Aka
tengkurap kembali. Kini aku mulai memijatnya. Dari pundak, punggung, mengarah
ke pinggang. Kemudian berputar-putar disekitar bongkah pantatnya yang kenyal
dan padat. Aku meremas-remas bongkah pantat itu. Menekan titik-titik
rangsangnya. Aku tahu kalau Aka mulai menginginkan lebih saat terlihat ia mulai
meregangkan kedua belah kakinya. Berlainan dengan posisi awal pemijatan yang
merapatkan kedua belah kakinya.
Tanganku bergerak ke arah bawah
bongkah pantatnya. Jemariku mencoba menguak celah diantara ke dua bongkah itu
sambil tetap meremas, menekan dan memijat.
Efeknya mulai terasa ketika dari
bibir Aka aku mendengar desahan suara, "Ach.. och.. sshhzzs.. aachh..
nghss.. ouch.." seraya tubuhnya bergerak mengelinjang ke kiri dan ke
kanan.
Perlahan tapi pasti aku mulai
menaikan pipa celana hawainya ke atas untuk mencapai paha bagian dalamnya.
Semakin lama semakin terangkat ke atas sehingga jemariku dapat dengan mudah
meraba paha bagian dalam dan menyentuh buah zakarnya yang terlihat menyembul
dan terhimpit tubuhnya.
"Dibuka aja kolornya ya biar
lebih gampang?", kataku dengan suara setengah tersekat kepada Aka.
"Terserah.. ach.. och..
sshhzz. emmhs.. aacchh..", sahut Aka dengan suara bergetar sambil
mendesah-desah menikmati remasan jemariku di bongkah pantatnya.
Ketika kupelorotkan celana
hawainya itu, aku hampir berhenti bernafas melihat pemandangan indah yang
terpampang dihadapanku. Deretan pubic ikal menyeruak dari belahan bongkah
pantatnya itu. Bagai deretan tanaman pinus di bukit manoreh. Sambil terus memijat
dan meremas aku mencoba menguak belahan itu. Mataku dengan nanar mencari-cari
letak duburnya yang tersembunyi oleh kelebatan pubicnya. Begitu terlihat, tanpa
permisi lagi, kepalaku langsung merunduk. Mendekatkan kedua cuping hidungku
seraya menghirup aroma semerbak yang terpancar dari zona sensitive itu.
"Hem.. sshz.. oocchh.."
tubuhku terasa terbakar.
Aku tidak dapat mengendalikan
diri lagi. Tanpa kusadari lidahku sudah menjulur menjilat-jilat (rimming)
lubang anal Aka. Aku tidak peduli lagi dengan konvensi dan sejenisnya. Aku
merasa sudah mendapat lampu hijau dari desahan-desahan suara Aka sebelumnya.
Memang, pada mulanya Aka sempat
terlonjak. Tampak terkejut. Berbalik badan menatap tajam ke arahku, penuh
keheranan. Ketika mendadak merasakan basah ujung lidahku menjelajahi analnya.
Pada saat itu, sebenarnya, aku juga kaget. Aku takut kalau Aka tidak terima
dengan perbuatanku dan lantas memancing keributan. Namun, untungnya, tidak
terjadi hal seperti yang kutakutkan.
Kebekuan hanya berlangsung
sebentar. Karena sesaat kemudian Aka segera kembali pada posisi semula. Bahkan,
kini ia mulai mengangkat pinggangnya dan meyorongkan pantatnya ke arahku. Aku
makin leluasa menjilatinya. Decak dan kecipak suara bibir dan lidahku
bersahutan dengan suara rintihan kenikmatan Aka.
"Ach.. ouch.. shshsszz..
nghhgs.."
Sambil terus mengelamoti
pantatnya, jemariku mencoba merayap ke penisnya. Ternyata batang kemaluannya
sudah tegak membatu. Wah, lumayan juga ukurannya. Dapat kurasakan dari jemariku
yang kewalahan menggenggamnya.
Langsung aku menggapai tubuhnya
agar berbalik arah. Kini Aka sudah terlentang ke arahku dengan penisnya yang
ereksi sempurna tersembul dari kerimbunan pubic yang ikal dan lebat. Seksi
sekali. Mendadak Aka merenggut tubuhku ke arahnya. Ia segera memeluk tubuhku
dan memagut bibirku. Aku merasakan bibirku digigit dan dihisap-hisap. Kemudian
ujung lidahnya menerabas masuk menggelitik rongga mulutku. Makin memberikan
sensasi rangsang yang menggairahkan. Kami berguling-gulingan. Saling menekan
dan memeluk. Tapi aku masih tetap berpakaian. Semacam body contac namun tidak
ada penetrasi. Istilahnya sih, petting.
Aku menyelusupkan kepala ke balik
lengannya. Menjilat dan menghirup aroma kemaskulinan yang mengairahkan. Aka
menggelinjang dan melenguh. Setelah itu aku beringsut ke bagian bawah.
Menyergap bongkah penisnya yang sudah mengacung sejak tadi. Menjamahnya dengan
pagutan gairah penuh dahaga. Aka terengah-engah mendesah dan melenguh.
Jemarinya mengelus dan menjambak-jambak rambutku.
"Aaghh.. oogh.. shhzz.. eengh..
ffsshh.."
Tapi kami masih sadar bahwa
hubungan sejenis ini tidak boleh diketahui oleh orang lain atau bahkan sipir.
Karena itu, apabila semula dalam posisi berbaring, kini Aka berdiri, sambil
membuang padangan ke arah pintu keluar. Sehingga aku pun mengikuti arah gerak
tubuhnya. Kini aku berdiri dengan bertumpu pada kedua lututku yang tertekuk.
Kepalaku tetap beregerak majumundur meluluhlantakkan hasrat birahi Aka yang
sedang terbakar gairah.
Kuluman, pagutan, sepongan yang
kulakukan dipadu dengan goyangan pinggul Aka makin membuat suasana bertambah
panas. Sontak tubuh Aka mendadak kejang dengan kedua tangannya menekan kuat
kepalaku ke arah selangkangan. Terasa penisnya memancarkan cairan kejantanan
yang tumpah ruah di dalam mulutku.
"Sshhzz.. hahh.. ssfh..
aaghh.. aaghh.. uufh..", desah suara Aka bergetar saat menyemprotkan
spermanya.
Mulutku dengan rakus menghisap,
melumat dan mengenyot glans Aka agar menghadirkan sensasi empot-empotan yang
sempurna. Seiring dengan tandasnya sperma Aka di mulutku, batang penisnya
terasa mulai menyusut dan kembali ke ukuran semula. Aku membiarkan Aka
menariknya dari kulumanku.
Dengan punggung tanganku aku
menyeka bibirku yang terkena ceceran cairan kejantanan Aka.
"Thanks, Nug. Ntar malam
lagi ya?".
Aku tidak menyahut kecuali
mengedipkan sebelah mata seraya melemparkan celana hawai ke arahnya. Setelah
itu aku bergegas keluar kamar bergabung dengan penghuni lain yang sedang berada
di luar menerima kunjungan. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Aku yakin
pula bahwa setelah ejakulasi tadi Aka sudah tidak masuk angin lagi.
"Wes.. ewes.. ewes.. buablas
napsune.."