Page Tab Header

Wednesday, March 22, 2017

Penjara





Sungguh, sama sekali sebelumnya aku tidak pernah membayangkan akan menghirup udara kehidupan di balik terali besi yang disebut penjara. Apalagi, istilah penjara yang kukenal selama ini memberikan konotasi kejahatan, kekasaran, kegetiran, kemalangan, serta masa penantian pembebasan dari kungkungan rentang jarak dan waktu. Menjadi bagian dari rangkaian cerita-cerita yang lekat dengan masalah penegakan hukum dan perlindungan atau pengembangan kekuasaan.

Namun, yang kumaksud dengan pengertian penjara dalam cerita di sini bukan dalam artian secara definisi kamus. Semacam tempat pengasingan yang membatasi kebebasan hak individu. Untuk hal-hal yang bersifat umum harus diakui kebenaran kenyataan itu. Namun untuk hal yang "khusus" penjara adalah semacam suaka birahi yang bagaikan sorga dunia. Betapa tidak. At least, as for me, di sana aku seolah menemukan habitat yang selama ini selalu kuimpikan. Berada dalam lingkungan yang memang kudambakan. Hidup bersama dengan hanya kaum lelaki. Kala Gairah Birahi (KGB) aku tidak menemukan suatu kesulitan berarti mencapai suatu penuntasan. Dengan mudah aku bisa mendapatkan lawan bercumbu, andaikata saja adegan make love sejenis disamakan dengan pertandingan tinju atau kickboxing.

Kenyataan yang sangat jauh berbeda kurasakan pada saat aku memiliki kebebasan yang seutuhnya sebagai seorang manusia di dunia bebas. Tidak seperti saat itu, sedang terampas haknya dengan dalih supremasi hukum. Di alam kebebasan yang sesungguhnya, aku malah menghadapi banyak kendala bertalian dengan penyaluran hasrat birahiku yang tergolong nyeleneh ini. Menyukai perkelaminan dengan sesama jenis.

Di dalam kehidupan terpenjara, ketika para penghuni dihadapkan pada kesulitan pilihan mengatasi penyaluran kebutuhan biologis yang menggelegak, ketiadaan wanita, peluang dan kesempatan yang ada seolah menjadi anugerah terindah bagiku. Trying something different. Kalimat sakti tersebut kugunakan untuk melakukan encouragement bagi peminat pemula yang masih diliputi keraguan. Berawal dari hanya sekadar membantu memenuhi hasrat keingintahuan oknum hetero sampai kepada mereka yang memang betul-betul membutuhkan pelepasan dan penyaluran ketegangan jiwa.

Untuk melakukan hal seperti ini tidak perlu suatu hal yang bersifat kuratif. Melakukan pendekatan dan membina hubungan baik. Itu kuncinya. Apabila perasaan kedekatan sudah diciptakan maka tidur berdampingan dapat menjadi awal pembuka untuk gerilya (berupa usapan-usapan pada daerah sensistif). Jika birahi sudah terbakar, umumnya, tidak ada akan penolakan lagi pada sasaran. Hal ini lebih baik daripada melakukan tindakan pemaksaan yang grusa-grusu dan kasar. Disamping tidak seorangpun menyukai tindakan demikian juga akan menyalahi tatanan sosial yang sudah ada.

Sementara, oknum hetero mengutip kalimat tersebut sebagai pembenaran petualangan seks sejenis yang dilakukannya. Toch hanya bersifat darurat. Tidak selamanya. Tiada rotan, akarpun jadilah. Begitulah kira-kira pemikiran apologia yang dapat disimpulkan. Tetapi Anda juga harus mengerti, Tidak serta merta hanya karena pernah mencoba melakukan kisah petualangan tersebut, kemudian menobatkan mereka (oknum) sebagai kaum yang "berbeda". Seperti halnya aku ini, terlahir dari alam (by nature) menyukai dan menikmati hubungan perkelaminan sesama jenis.

Ada juga yang, sebenarnya, tidak menyukai hubungan perkelaminan sesama jenis, namun karena kegairahan birahi yang tersulut, toch, mereka dapat menikmatinya juga. Setidaknya, dengan bukti ereksi dan ejakulasi akibat persetubuhan semu dengan sesama lelaki, yang dilakukan secara orogenital, body contact maupun anal intercourse. Meskipun setelah kembali ke dunia bebas mereka biasanya back to nature. Perkecualian bagi mereka yang kemudian menjadikan "pengalaman" tersebut sebagai modal dari bagian gaya hidup baru di alam bebas sana. Menjadi sosok manusia marginal atau biseks.

Sejauh pribadi yang menjalani menyadari kenyataan tersebut maka kehidupan biseks bahkan gay sekalipun seyogyanya bukan lagi menjadi suatu permasalahan. Berbeda apabila yang bersangkutan tidak menerima kenyataan dimaksud. Apalagi bila ditambah dengan ketidakmampuan menyalurkan dorongan libido sejenis dengan keberanian menerabas citra ke"normal"an karena bercinta dengan sesama jenis. Maka lengkap sudah penderitaan hidup kaum biseks dan atau gay. Hidup dalam pendaman naluri berkelamin yang tiada pernah berkesampaian. Solusinya, tidak ada pilihan lain, kecuali mencoba mewujudkan hasrat tersebut dan berusaha enjoy dalam menjalani hidup.

Kisah yang kutulis ini, sekali lagi bukan dan tidak mencerminkan stereotipe kehidupan penjara yang sesungguhnya. Anda tidak boleh menyamaratakan "alumni" sebagai orang yang selalu atau pasti suka dan pernah atau akan terlibat dengan kehidupan seks semacam ini. Karena kenyataannya, ada juga yang sangat antipati dengan perilaku seks seperti yang kulakukan dan kuceritakan ini.

Untuk sikap penolakan seperti di atas aku mengacungkan ke empat ibu jari. Salut sekali dengan keteguhan dalam prinsip dan keyakinan. Mereka tetap tahan tidak bergeming dari kegamangan iman, godaan, dan dorongan kebutuhan penyaluran hasrat berkelamin yang menggelora, yang akhirnya cukup terpuaskan dengan tindakan masturbasi ataupun menggantinya dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat daripada sekadar membayangkan kemesuman.

Ada semacam kesepakatan tidak tertulis (konvensi) di dalam penjara, bahwa tindakan seks sejenis yang dilakukan tanpa persetujuan salah satu pihak terkait akan memberikan peluang bagi pelanggar mendapatkan hukuman yang berat dari sistem dan lingkungan. Lain persoalannya, apabila hubungan sebadan tersebut dilakukan atas dasar keinginan bersama dan tidak dilakukan secara terang-terangan/vulgar/pamer/show off. Semata-mata aturan tersebut dijalankan untuk menghormati penghuni lain yang tidak sepaham dengan aliran seks sejenis. Demikian pula dengan institusi, yang walau tidak membenarkan tindakan ini, juga tidak dapat mencegah atau melarang terjadinya praktek-praktek terselubung semacam ini. Agaknya, salah satu dinding-dinding kamar penjara dapat menjadi saksi bisu yang reliable.

Kisah yang aku alami juga belum tentu sama dengan kisah mantan penghuni penjara yang lainnya. Seperti sudah kujelaskan di awal cerita, bahwa tidak semua mantan napi sependapat dengan hal-hal yang kulakukan ini. Ada juga yang sangat menentang. Tentu saja dengan alasan yang berbeda-beda. Ini menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal.

Alam pemikiran demokratis mengajarkan kita untuk saling menghormati adanya perbedaan pendapat ini. Namun tidak berarti adanya perbedaan pendapat ini menghalalkan timbulnya anarkisme. Demi menjunjung tinggi nilai-nilai seperti inilah membuat konvensi tetap terpelihara.

Karena itu, sekali lagi aku juga mohon maaf kepada mereka yang menabukan perkelaminan sejenis yang kulakukan di dalam penjara. Mempunyai orientasi seks yang berbeda bukanlah suatu cita-cita dalam hidupku. Namun, aku tetap harus memberi kualitas dalam kehidupanku daripada harus terpuruk sendiri hanya karena memelihara citra "normal" yang palsu. Selain itu, aku juga tidak pernah memaksa mereka yang memang tidak berminat. Kepada kaum sesama atau para simpatisan penikmat hubungan seks sejenis, anggap saja kisah ini sebagai bahan perenungan pencarian jati diri.

Aku juga tidak menyebut soal cinta, yang kedengarannya melankonis dan klise untuk kehidupan kaum pria di dalam penjara. Dalam cinta senantiasa ada romantisme. Sementara, penjara adalah dunia terbatas yang tidak kondusif terhadap tindakan romantisme sesama penghuni. Untuk sekadar menyalurkan hasrat birahi tidak perlu didahului lagi dengan ritus yang memanterakan untaian kata "cinta".

Hanya dengan berbekal keinginan dan persetujuan bersama, adanya peluang tempat dan waktu – agar tidak terlihat vulgar dan show off – semua tindakan perangsangan, erotisme ataupun pergumulan seks menjadi sangat mungkin untuk dilakukan. It sounds easy. Namun harus dengan kehati-hatian. Intuisi memegang peranan penting agar tidak terjebak dalam perangkap konvensi yang sebenarnya dapat dihindarkan.

Berlainan dengan erotisme, yang dapat dilakukan seorang diri. Menggunakan jemari tangan atau sekadar menggesek-gesekan kemaluan pada dinding, lantai, atau bantal sekalipun. Demi menciptakan efek perangsangan pada alat kelamin agar ereksi dan kemudian ejakulasi. Menyalurkan keinginan birahi yang bergejolak.

*****

Tempat yang digunakan untuk "memenjarakan" aku terdiri dari beberapa blok dengan banyak kamar atau ruangan. Kamar yang aku huni di tempat penampungan sementara ini berisi sepuluh orang. Kamar-kamar yang lain juga berisi jumlah yang sama. Kehadiran mereka di sini dengan latar belakang sebab yang berbeda-beda. Namun, umumnya, karena tindakan kriminal dan penyalahgunaan obat psikotropika. Begitu pula dengan status sosial/marital, edukasi, pekerjaan, religi dan etnis yang beragam.

Akan halnya dengan keberadaanku di penjara, sebetulnya, lebih banyak di dorong keinginan membuktikan cerita burung adanya "surga dunia", selain terlanjur bernasib sial (?) kedapatan membawa barang terlarang saat dilakukan razia di suatu diskotek terkenal ibukota. Hal yang tidak dapat kusangkal adalah, ditemukannya barang bukti tersebut di saku celanaku. Asalnya adalah titipan teman. Namun, karena pada dasarnya aku memang tidak ingin melibatkan orang lain, maka aku mengakui barang itu adalah milikku, yang aku gunakan sendiri.

Padahal, kenyataan yang sesungguhnya, aku sama sekali tidak menyukai penggunaan zat-zat addictive semacam itu. Sekadar membayangkannya pun tidak pernah, apalagi mecoba menggunakannya. Aku memang tidak ingin tubuh dan hidupku terkontaminasi dengan zat-zat sedative artificial semacam itu. Dengan konsep berkelamin sejenis yang kujalani ini saja aku sudah merasa tidak murni lagi sebagai manusia secara kodrati. Apalagi bila masih harus ditambah dengan penggunaan zat-zat semacam itu. Seperti apa nanti aku jadinya? No way. Konskwensi yang kuterima adalah, terampasnya kebebasan dasar yang paling nyata: bersosialisasi di dunia luar. Meskipun di lain pihak, aku mendapatkan bentuk kompensasi kebebasan yang lain. Memiliki kesempatan luas menyalurkan kecenderungan naluri hasrat birahi sejenisku yang menggelora.

Sampai hari ketiga aku berada di dalam penjara semua berjalan biasa-biasa saja. Sehingga pada saat tengah malam, ketika semua sudah terlelap dalam tidur, aku terbangun dari tidurku yang nyenyak. Kebelet pipis. Aku bangkit berjalan menuju WC, yang memang ada di dalam sekat kamar dengan penghalang dinding, di dalam ruangan yang sama. Kulihat di sudut sana sudah ada seseorang berdiri membelakangiku. Rupanya juga sedang buang air kecil. Pandanganku menyapu keremangan malam. Setelah dekat, dari sosok tubuhnya, aku baru mengetahui kalau orang tersebut adalah Kurnia. Aku berdehem, dengan maksud memberitahukan kehadiranku padanya. Tapi ia seolah tidak mendengar. Tidak peduli sama sekali terhadap kehadiranku. Sekadar menoleh kearahkupun tidak. Masih saja tetap dalam posisi semula. Berdiri membelakangiku.

Aku berjalan menghampiri dan berdiri tepat disampingnya. Aku melirik kearahnya.
"Elueuh.. eleuh.. kunaon eta, euy..", pekikku dalam hati.
Ternyata, Kurnia sedang ngloco/onani/merancap/masturbasi. Jantungku berdegup dan darahku terasa mendesir menyaksikan sebongkah batang kemaluan menegang dengan besarnya. Menyeruak dari genggaman jemari tangan yang bergerak maju mundur. Kepala penisnya memantulkan kilau merah keunguan dengan titik-titik precum menyembul dari ureter. Suara gemerisik gesekan tangan dengan batang penis itu serta helaan nafas yang memburu melengkapi suasana sensasional malam itu.

"Eh.., lu, Kur..?", tenggorokanku terasa tercekat ketika kuberanikan diri membuka percakapan, menyapanya.
Sementara, Kurnia, hanya sekilas menoleh dan tersenyum kecil sambil tetap membiarkan batang kemaluannya berselancar dengan riangnya di dalam gengaman jemarinya.
"Sayang, atuh, dibuang-buang gitu..", aku memberanikan diri mengomentari tindakannya itu.
"Lu mau?!?", sekonyong-konyong, dengan gaya acuh, Kurnia berbalik arah memberi isyarat padaku untuk menghisap kemaluannya yang saat itu seperti sedang meronta-ronta ingin lepas dari genggamannya.
"Yes, this what I mean!", seruku dalam hati.
Aku tersenyum menatapnya. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera merunduk jongkok. Mengambil alih batang kemaluan dari genggaman tangannya. Hilang sudah keinginanku semula untuk kencing.

Cuping lubang hidungku mengembang ketika mengendus semerbak aroma kelakian yang menggairahkan menyebar dari arah selangkangan Kurnia. Terlihat semakin jelas bongkahan penis yang mendongak dengan perkasa, menyeruak dari kerimbunan pubicnya yang ikal kelam dan lebat. Sambil menghirup dan menikmati aroma khas itu, bibir dan lidahku segera menyeruput dan menggumuli batang kemaluan yang menegang dengan tekstur guratan otot-otot disekelilingya.
"Nyummy.. nyumy.. nyummy", Aku mengelamoti glans seolah menikmati es lollypop yang lezat.
Kepalaku bergerak maju mundur menimbultengelamkan kepala penis Kurnia ke dalam kehangatan dan kegairahan birahi melalui kuluman mulutku. Bunyi berdecak dan kecipak bibir dan lidahku bersahutan dengan suara desah dan lenguhan kenikmatan Kurnia. Sesekali Aku membuang pandang ke atas. Menyaksikan ekspresi wajah kenikmatan Kurnia. Kedua belah tangan Kurnia bergerak-gerak meremas rambut di kepalanya sambil mulutnya mengerang dan mendesah.
Matanya terpejam dan ujung lidahnya menjulur-julur keluar dari mulutnya yang setengah membuka mengeluarkan desah suara, "Aach.. shhzz. ooch.. ahchh..".
Badannya menggelinjang limbung ke kiri dan kanan mengimbangi cumbuanku yang semakin menggila.

Pada saat yang sama, jemariku meluncur menyusuri batang penisnya. Menekan dengan lembut kulit kelaminnya. Bermula dari glans menuju ke arah bawah. Selanjutnya bersemayam di pangkal batangnya yang tegang itu. Dengan cara penekanan seperti itu, gurat-gurat otot di sepanjang batang penis menjadi lebih jelas terlihat. Kemudian dengan sedikit jilatan kasar lidahku menyapu dan mengelitik otot-otot itu. Maju mudur dari bawah ke atas dan sebaliknya.
Kurnia makin meracau, terbukti dari ucapan-ucapannya yang menjadi tidak jelas terdengar selain hanya deretan kata-kata, "Oouwh.. ochh.. enghzz.. fhs.. sshzz.. enyaak.. ouch.. terruuss.. oowug.. acchs.." yang meluncur deras dari bibirnya.

Aku terkejut ketika secara tiba-tiba, tangan Kurnia merenggut dan menekan kepalaku kearah selangkangannya. Tubuhnya terguncang dengan dengus nafas memburunya yang tersengal-sengal seraya memuntahkan cairan hangat gurih dimulutku. Aku hampir tersedak oleh semburan deras lahar birahinya dan sempat kesulitan bernafas karena hidungku tersumbat oleh kelebatan pubic Kurnia yang menutupi dan menggelitik lubang hidungku. Paduan sensasi rasa yang luar biasa kurasa. Aku terduduk lunglai di lantai. Kelelahan. Kedua bilah bibirku terasa tebal, dan jontor. Lidahku terasa kelu dan pegal. Butir-butir keringat mengalir membasahi tubuhku. Betul-betul olah syahwat yang melelahkan.

Belum selesai aku melakukan cooling down, mendadak Kurnia membungkuk ke arahku. Aku tidak menyangka jika kemudian ia meraih dan memelukku. Melumat bibirku. Lidahnya dengan liar menggapai-gapai langit-langit mulutku, seolah hendak menguras sisa spermanya yang masih melekat di mulutku. Hisapan mulutnya pada bibir dan lidahku melemaskan kembali organku yang semula terasa kelu dan kebal. Jemarinya gesit menjelajah lekuk tubuhku, menurunkan celana boxer yang kupakai serta menyingkirkan celana dalamku. Aku menggelinjang dan tubuhku terasa gerah terbakar cumbuan Kurnia yang menggelora.

Aku kagum juga pada Kurnia. Meski sudah ejakulasi, ternyata batang kemaluannya masih tetap ereksi. Aku melihat penisnya masih terayun-ayun tegak menantang dengan seksinya. Sambil memagut bibirku kurasakan jemari Kurnia merayap menggelitik lubang pelepasanku. Kemudian ia menyuruhku berdiri dan meletakkan satu kakiku bertumpu pada dinding bak mandi. Dalam posisi itu, celah diantara kedua bongkah pantatku membuka. Rectumku terasa mengembang lebar. Aku merasakan dinginnya malam menerpa dan menyelusup celah itu.

Aku kaget ketika kurasakan ujung lidah Kurnia yang basah dengan binalnya menggelitik tepi rectum, sementara jemarinya tanpa keraguan mengusap-usap batang kemaluan dan pubicku. Ditimpali pula dengan gesekan kumis dan sedotan bibirnya pada permukaan rectumku. Sekujur tubuhku bergetar menahan sensasi kenikmatan yang ditimbulkan. Masih di ruangan kamar mandi, kami beringsut pindah ke tempat yang tidak basah. Kurnia segera merebahkan diri. Batang penisnya tegang mengarah ke atas. Sambil melumuri penisnya dengan air liur ia memintaku jongkok di atas selangkangannya. Kurasakan jemarinya yang basah dengan saliva mulai melumuri dan merangsang rectumku.

Ujung jarinya terasa mencoba menguak lubang analku. Bergerak-gerak membuat arah lingkaran dan menggelitik dinding collon. Aku melemaskan rectum dan collon sehingga jemari Kurnia leluasa menjelajahi lekuk-lekuk di dalamnya. Kemudian kurasakan kedua jari Kurnia sudah mulai dapat menyusuri rongga kenikmatanku. Aku mendesah dan melenguh merasakan kenikmatan yang sangat. Aku berusaha merilekskan tubuh dan mengarahkan lubang duburku arah penis Kurnia. Perlahan namun pasti, aku mulai bergerak ke bawah menggapai glans penis itu serta mencoba menenggelamkannya ke dalam lubang Kenikmatan Gairah Birahi.

Kurasakan kenyerian yang sangat. Perutku terasa melilit karena mendapat tekanan batang kemaluan Kurnia. Rectumku terasa pedih, panas dan perih. Walau aku sudah mencoba bersikap serileks mungkin, namun collonku masih kesulitan melumat seluruh penis Kurnia. Keringat tubuhku mulai menitik. Aku mengumpulkan air liur dan meludahkannya ke telapak tanganku. Kutambahkan salivaku ke batang penis Kurnia dan permukaan rectum. Kemudian dengan semangat perjuangan, secara mendadak aku menghentak sekuat tenaga, sehingga keseluruhan batang kemaluan Kurnia akhirnya melesak masuk ke dalam cengkeraman lubang kenikmatanku.
Keringat membanjiri tubuhku menahan kenyerian, karena penis Kurnia yang terlalu besar diameternya. Selanjutnya dengan sedikit mencondongkan tubuh ke depan dengan bertumpu pada kedua belah kakiku yang terlipat, aku bergerak memajumundurkan tubuhku di atas selangkangan Kurnia. Rectumku kudenyut-denyutkan agar dapat memberikan efek remas dan pijatan ala mak erot, atau semacam empot-empotan pada batang kemaluan Kurnia.

Gerakan dan gesekan-gesekan yang kami lakukan memberikan efek sensasional yang luar biasa. Lenguhan dan desahan suara penuh nikmat mengiringi perjalanan mengayuh birahi mengantar kami menuju titik perhentian.
"Ooohh.. aah.. sshzz.. ngh.. fhs.. aach.. ennghss..".
Kata-kata tak bermakna namun mendebarkan hati siapapun pendengarnya itu menghiasi setiap gerakan dan goyangan persetubuhan yang kami lakukan. Jemari Kurnia mengelus-elus punggungku yang basah oleh keringat. Sesekali jemarinya disodorkan kemulutku dan segera kuhisap-hisap dan kugelitik ujung jarinya dengan lidahku. Sekelebat ingatan tayangan tivi goyang Inul Daratista membuatku terpacu meniru melakukan goyang ngebornya. (Namun, sejujurnya, goyangan ngebor ala "Inul" itu tidak dapat sepenuhnya diterapkan. Pasalnya, kemaluan Kurnia akan terlepas dari cengkeraman rectumku apabila aku bergoyang seheboh Inul. Akhirnya aku hanya bergoyang ala mengulek sambel di cobek. Dengan cara itu, penis Kurnia tetap dapat bersemayam ditempatnya, menikmati buaian empot-empot kontraksi otot collon dan rectumku). Kurnia mengimbanginya dengan memutar-mutar dan mendorong-dorong pinggulnya ke atas. Menjadikan senggama sejenis ini seolah bagai tarian erotik di pentas cinta, ditingkah pacuan dengus nafas dan detak jantung yang kian memburu.

Menciptakan variasi gaya bercinta, perlahan kami bergerak hati-hati mengubah posisi senggama. Menjaga agar penis Kurnia tidak terlepas dari cengekeraman rectumku. Aku menjatuhkan badan ke tubuh Kurnia. Meluruskan kaki yang tadi terlipat. Selanjutnya sambil tetap berdekapan kami memutar tubuh ke samping dan kemudian berbalik. Sekarang aku terbaring terlentang dan Kurnia bertumpu dengan kedua belah tangannya berada di antara ke dua belah pahaku yang mengangkang. Kurnia mengaitkan kedua kakiku ke pundaknya. Pinggangku menjadi agak tertarik ke atas. Penis Kurnia masih bersemayam dalam collonku. Kini ia mulai bergerak memompa diriku. Kenyerian yang muncul pada awal penetrasi tadi kurasa telah sirna berganti dengan kenikmatan yang sangat.

Sambil terus memompa Kurnia mencumbui diriku. Mulutnya bergantian menghisap-hisap puting susuku, menelusuri leher dan melumat bibirku. Jemari tangannya bergerilya menyusuri lekuk tubuh dan sesekali meremas-remas dadaku. Kurnia menciptakan irama senggama yang nikmat, tiga empat kali cabut benam dengan sekali gesek dan tekan goyang yang dalam. Perhitungan Kurnia sangat tepat sehingga penisnya tidak terlepas dari remasan rectumku. Pubicnya yang lebat dan kasar memberikan tambahan sensasi gelitik di bongkah pantatku. Tidak terhitung lagi berapa kali helaan nafas dan desah, lenguh yang lepas dari mulut kami bagai lantunan lagu acapella.

Seolah terbang ke langit tinggi dan berjalan tanpa menjejakkan kaki ke bumi. Melayang. Aku limbung. Demikian pula dengan Kurnia. Sampai akhirnya, Kurnia memuntahkan seluruh hasrat birahinya di dalam relung tubuhku. Aku dapat merasakan puncak gelora ketika batang kemaluannya terguncang-guncang, menggelepar dan menyentak memancarkan cairan kenikmatan persenggamaan. Diiringi lenguhan suara yang panjang, tubuh Kurnia mengejang dan tangannya mencengkeram erat pundakku. Kupeluk tubuh Kurnia yang rebah di atas tubuhku. Kudengar dengus nafasnya masih tersengal-sengal. Keringat membanjir membasahi lantai kamar mandi.

Aku mencegah Kurnia mencabut penisnya dari tubuhku, Biarlah ia bersemayan sejenak sementara dengan jurus empot-empotan collon dan rectumku aku mencoba memberikan pengakhiran yang nyaman untuk Kurnia.
"Terima kasih, Nug", Kurnia berbisik di telingaku.
"Lu belum keluar kan?", sambung Kurnia.
Aku cuma tersenyum. Dan Kurnia tidak melanjutkan pembicaran selain tetap memeluk dan menindih tubuhku. Namun tidak beberapa lama kemudian kurasakan ia bergerak-gerak kembali seperti hendak mencabut penisnya. Aku membiarkannya. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Kuakui sejak tadi aku memang belum ejakulasi.
"Sini, gantian gue sepongin punya lu?", kata Kurnia tiba-tiba.
Ucapan Kurnia sungguh mengejutkan diriku. Aku tidak mengira ia akan mau berbuat hal yang sama dengan yang kulakukan padanya.
"Kenapa lu, heran? Lu pan udah mau ngebantuin gue, masak sih, gue, tega kagak mau ngegituin lu?", lanjut Kurnia kemudian dengan acuhnya.
"Pertama liat lu datang, sebenarnya gue udah naksir lu. Tapi gak lucu juga dong, kalo baru ketemu langsung gue ajak lu maen. Iya kalo lu mau. Kalo kagak? Nah, gue yang tengsin, man!", Kurnia menepuk-nepuk bahuku.
"Tapi radar di hati gue tetap bilang kalo lu tuh, bisa buat di ajak main beginian, dan gue kagak salah nebak kan?", sambung Kurnia kemudian.
"Ok deh, Kurnia, gimanan kalo giliran gue besok malam aja ya. Lu tadi denger kan, di luar udah kedengeran bel bunyi empat kali. Bentar lagi anak-anak pada bangun. Dari pada ntar kitanya tengsin", sahutku.

Kurnia mengecup bibirku dan kemudian berdiri mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan mengenakannya kembali, Sementara aku tetap di kamar mandi membersihkan sperma Kurnia yang masih tertinggal di dalam collonku. Aku jongkok mengejan dan kuarasakan cairan hangat sperma mengalir keluar. Terus kulakukan sampai aku yakin semua keluar. Sambil mandi pagi aku membersihkan collon dan rectumku. Kembali terasa pedih, namun kenyerian itu terkubur oleh rasa kenikmatan persenggamaan sejenis yang kami lakukan tadi (Tapi sungguh mati, aku tidak tahu kalau tanpa sepengetahuanku, ternyata ada beberapa pasang mata lain yang menelanjangi semua adegan yang kulakukan tadi. Aku baru tahu ketika siang hari, pada saat makan, Dhana, salah seorang diantaranya menghampiriku dan membisikan keinginannya main denganku. Buatku pucuk di cinta ulam tiba. Pasalnya, aku juga sudah menaruh hati pada beberapa orang tersebut. Dari sepuluh penghuni kamar itu empat orang diantaranya pernah bermain-main denganku. Angka ratio prevalensi yang cukup signifikan).

Di tempat penampungan sementara itu aku hanya berada satu bulan setengah lamanya. Sempat juga aku merayakan ulang tahun di dalam sel. Sahabatku dari luar membawakanku kue tart. Itu adalah kejadian ulang tahun yang memberikan kesan tersendiri bagiku. Berulang tahun di dalam penjara. Ketika itu aku bahkan difoto dengan memakai baju tahanan warna biru sambil memegang kue tart ulang tahun.

*****

Seminggu setelah ulang tahunku aku dipindah ke lembaga pemasyarakatan kelas 1. Di tempat yang baru ini aku beruntung tidak di tempatkan di blok. Namun di sebuah kamar dengan hanya enam orang penghuni yang semuanya asik gaul menurutku. Aku juga heran, ternyata kehidupan penjara tidak seseram yang kubayangkan sebelumnya. Singkat kata, irama kehidupan yang kujalani tidak berubah, hanya tempat aku hidup saja yang berubah.

Salah seorang sahabatku, Wisnu, sempat iri ketika aku menceritakan pengalamanku ini saat ia datang membesukku.
Bahkan, karena antusiasnya ia sempat meninju lenganku seraya berkata, "Sialan, lu, giliran bercinta gak ajak-ajak gue deh..". Ketika aku menceritakan adegan-adegan di dalam penjara.
"Auch..". Aku terpekik.
Rupanya pekikan suaraku sempat membuat pengunjung lainnya berpaling ke arahku. Aku jadi tersipu malu, dan Wisnu tertawa menyaksikan ulahku. Wisnu sempat juga kukenalkan dengan beberapa orang yang pernah "main" denganku.

Apabila di tempat penampungan sementara aku hanya dapat bercinta pada malam hari maka di lapas ini kebebasan lebih banyak kumiliki. Aku dapat memadu cinta pada siang hari. Memanfaatkan waktu jam besuk. Misalnya saja, ketika penghuni kamar lainnya sedang keluar menerima kunjungan atau berolah raga, aku tetap di diam di kamar berasik masyuk dengan Aka.

Aka adalah sosok muda usia yang menarik perhatianku. Bentuk tubuh proposional. Potongan rambut crew cut dengan jambul model film Tin-Tin. Kulit coklat bersih. Tutur bahasa yang santun, Semua itu tidak dapat menyembuyikan latar belakang sosial dan edukasinya. Ia memang berasal dari kalangan berada dan terpelajar. Karena di sini aku tidak bicara soal pelanggaran pasal-pasal KUHP dan sejenisnya, maka aku tidak merasa perlu menceritakan alasan Aka masuk ke dalam sel. Awal mula hubungan ketika aku mendapatkan Aka sedang meringkuk di divan dengan tubuhnya yang demam. Sepertinya ia sedang masuk angin. Aku menawarkan diri untuk mengerik dan memijat badannya. Ia tidak keberatan. Saat kusentuh keningnya memang terasa agak hangat.
"Tuh.., kamu pasti masuk angin, Ka. Mau aku kerik badanmu?", kataku menawarkan diri.

Aka tidak menyahut selain mengangguk seraya melepaskan t-shirt yang dikenakannya. Kemudian ia berbaring tengkurap. Dengan uang logam limaratusan rupiah dan balsam balpirik kayu putih aku mulai mengerik punggung Aka. Tidak memerlukan waktu lama semua punggung Aka sudah bagaikan kulit kuda zebra. Hanya ini bukan hitam putih, namun coklat dan merah kehitaman. Selesai mengerik punggungnya aku memintanya agar membalikan badan untuk mengerik bagian depannya. Ketika sudah membalikkan badan itu aku dapat menyaksikan dari dekat secara keseluruhan tubuh Aka yang mempesona. Tidak kurus dan juga tidak gemuk. Perutnya tidak berlemak dan dadanya bidang kenyal.

Aka berbaring telentang dengan menyilangkan kedua tangan di bawah kepalanya. Bulu ketiaknya yang lebat, lurus dan legam tumbuh berserak disekitar pangkal lengannya. Menebarkan aroma maskulin. Dengan posisi seperti itu keseksi-an tubuh Aka jelas tergambar. Apalagi ketika aku melirik ke arah bawah, terlihat siluet bongkah batang kemaluannya yang menggelembung di balik celana hawai-nya. Kentara ia sedang tidak memakai celana dalam (di penjara hampir jadi hal yang biasa melihat aneka kontur penis membayang dibalik celana. Sebab selalu saja ada yang tidak memakai celana dalam).

Aka tersenyum sayu menatapku saat kami tak sengaja beradu pandang. Aku tersipu (saat itu aku sungguh merasa salah tingkah). Namun segera kutepis angan nakalku itu. Aku kembali mengerik tubuh depan Aka hingga tuntas. Sikap Aka yang pasrah dan kooperatif membuatku cepat menyelesaikan tugas mengerik badannya. Wow, betul-betul warna merah hitam yang merata di sekujur tubuhnya.

Setelah itu aku meminta Aka tengkurap kembali. Kini aku mulai memijatnya. Dari pundak, punggung, mengarah ke pinggang. Kemudian berputar-putar disekitar bongkah pantatnya yang kenyal dan padat. Aku meremas-remas bongkah pantat itu. Menekan titik-titik rangsangnya. Aku tahu kalau Aka mulai menginginkan lebih saat terlihat ia mulai meregangkan kedua belah kakinya. Berlainan dengan posisi awal pemijatan yang merapatkan kedua belah kakinya.

Tanganku bergerak ke arah bawah bongkah pantatnya. Jemariku mencoba menguak celah diantara ke dua bongkah itu sambil tetap meremas, menekan dan memijat.
Efeknya mulai terasa ketika dari bibir Aka aku mendengar desahan suara, "Ach.. och.. sshhzzs.. aachh.. nghss.. ouch.." seraya tubuhnya bergerak mengelinjang ke kiri dan ke kanan.
Perlahan tapi pasti aku mulai menaikan pipa celana hawainya ke atas untuk mencapai paha bagian dalamnya. Semakin lama semakin terangkat ke atas sehingga jemariku dapat dengan mudah meraba paha bagian dalam dan menyentuh buah zakarnya yang terlihat menyembul dan terhimpit tubuhnya.
"Dibuka aja kolornya ya biar lebih gampang?", kataku dengan suara setengah tersekat kepada Aka.
"Terserah.. ach.. och.. sshhzz. emmhs.. aacchh..", sahut Aka dengan suara bergetar sambil mendesah-desah menikmati remasan jemariku di bongkah pantatnya.

Ketika kupelorotkan celana hawainya itu, aku hampir berhenti bernafas melihat pemandangan indah yang terpampang dihadapanku. Deretan pubic ikal menyeruak dari belahan bongkah pantatnya itu. Bagai deretan tanaman pinus di bukit manoreh. Sambil terus memijat dan meremas aku mencoba menguak belahan itu. Mataku dengan nanar mencari-cari letak duburnya yang tersembunyi oleh kelebatan pubicnya. Begitu terlihat, tanpa permisi lagi, kepalaku langsung merunduk. Mendekatkan kedua cuping hidungku seraya menghirup aroma semerbak yang terpancar dari zona sensitive itu.
"Hem.. sshz.. oocchh.." tubuhku terasa terbakar.
Aku tidak dapat mengendalikan diri lagi. Tanpa kusadari lidahku sudah menjulur menjilat-jilat (rimming) lubang anal Aka. Aku tidak peduli lagi dengan konvensi dan sejenisnya. Aku merasa sudah mendapat lampu hijau dari desahan-desahan suara Aka sebelumnya.

Memang, pada mulanya Aka sempat terlonjak. Tampak terkejut. Berbalik badan menatap tajam ke arahku, penuh keheranan. Ketika mendadak merasakan basah ujung lidahku menjelajahi analnya. Pada saat itu, sebenarnya, aku juga kaget. Aku takut kalau Aka tidak terima dengan perbuatanku dan lantas memancing keributan. Namun, untungnya, tidak terjadi hal seperti yang kutakutkan.
Kebekuan hanya berlangsung sebentar. Karena sesaat kemudian Aka segera kembali pada posisi semula. Bahkan, kini ia mulai mengangkat pinggangnya dan meyorongkan pantatnya ke arahku. Aku makin leluasa menjilatinya. Decak dan kecipak suara bibir dan lidahku bersahutan dengan suara rintihan kenikmatan Aka.
"Ach.. ouch.. shshsszz.. nghhgs.."
Sambil terus mengelamoti pantatnya, jemariku mencoba merayap ke penisnya. Ternyata batang kemaluannya sudah tegak membatu. Wah, lumayan juga ukurannya. Dapat kurasakan dari jemariku yang kewalahan menggenggamnya.

Langsung aku menggapai tubuhnya agar berbalik arah. Kini Aka sudah terlentang ke arahku dengan penisnya yang ereksi sempurna tersembul dari kerimbunan pubic yang ikal dan lebat. Seksi sekali. Mendadak Aka merenggut tubuhku ke arahnya. Ia segera memeluk tubuhku dan memagut bibirku. Aku merasakan bibirku digigit dan dihisap-hisap. Kemudian ujung lidahnya menerabas masuk menggelitik rongga mulutku. Makin memberikan sensasi rangsang yang menggairahkan. Kami berguling-gulingan. Saling menekan dan memeluk. Tapi aku masih tetap berpakaian. Semacam body contac namun tidak ada penetrasi. Istilahnya sih, petting.

Aku menyelusupkan kepala ke balik lengannya. Menjilat dan menghirup aroma kemaskulinan yang mengairahkan. Aka menggelinjang dan melenguh. Setelah itu aku beringsut ke bagian bawah. Menyergap bongkah penisnya yang sudah mengacung sejak tadi. Menjamahnya dengan pagutan gairah penuh dahaga. Aka terengah-engah mendesah dan melenguh. Jemarinya mengelus dan menjambak-jambak rambutku.
"Aaghh.. oogh.. shhzz.. eengh.. ffsshh.."
Tapi kami masih sadar bahwa hubungan sejenis ini tidak boleh diketahui oleh orang lain atau bahkan sipir. Karena itu, apabila semula dalam posisi berbaring, kini Aka berdiri, sambil membuang padangan ke arah pintu keluar. Sehingga aku pun mengikuti arah gerak tubuhnya. Kini aku berdiri dengan bertumpu pada kedua lututku yang tertekuk. Kepalaku tetap beregerak majumundur meluluhlantakkan hasrat birahi Aka yang sedang terbakar gairah.

Kuluman, pagutan, sepongan yang kulakukan dipadu dengan goyangan pinggul Aka makin membuat suasana bertambah panas. Sontak tubuh Aka mendadak kejang dengan kedua tangannya menekan kuat kepalaku ke arah selangkangan. Terasa penisnya memancarkan cairan kejantanan yang tumpah ruah di dalam mulutku.
"Sshhzz.. hahh.. ssfh.. aaghh.. aaghh.. uufh..", desah suara Aka bergetar saat menyemprotkan spermanya.
Mulutku dengan rakus menghisap, melumat dan mengenyot glans Aka agar menghadirkan sensasi empot-empotan yang sempurna. Seiring dengan tandasnya sperma Aka di mulutku, batang penisnya terasa mulai menyusut dan kembali ke ukuran semula. Aku membiarkan Aka menariknya dari kulumanku.

Dengan punggung tanganku aku menyeka bibirku yang terkena ceceran cairan kejantanan Aka.
"Thanks, Nug. Ntar malam lagi ya?".
Aku tidak menyahut kecuali mengedipkan sebelah mata seraya melemparkan celana hawai ke arahnya. Setelah itu aku bergegas keluar kamar bergabung dengan penghuni lain yang sedang berada di luar menerima kunjungan. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Aku yakin pula bahwa setelah ejakulasi tadi Aka sudah tidak masuk angin lagi.
"Wes.. ewes.. ewes.. buablas napsune.."

Thursday, March 16, 2017

Papa Si Kembar


Papa Si Kembar



Awalan

"Ka, bangun." Bimo mengguncang-guncang lengan kaka kembarnya itu, Bima.

Kesal karena Bima cuma menggeliat-geliat tanpa membuka mata, Bimo mendorong Bima hingga jatuh dari kasur.

BRAKK..

"Ck, apaan sih De? Ini baru jam berapa?" Bima mendecak kesal.

"Sst.." Bimo meletakkan telunjuknya di depan bibir merahnya, memberikan isyarat kepada Bima agar diam. "Denger gak ka?" tanya Bimo dengan sedikit berbisik.

Bima diam, menajamkan indera pendengarnya mencari tahu suara apa yang dimaksud Bimo. "Eumm... ahh" dia kaget karena suara desahan nikmat yang ia tangkap, walaupun suara itu rada samar. "Apa itu desahan papah?" tanyanya dengan kebingungan. "Kita harus cari tahu." Sambungnya kemudian bangkit dari duduknya, dan menempelkan telinganya kedinding yang menjadi pembatas kamar Si Kembar itu dengan kamar papahnya yang berstatus bujangan.

"Kaka yakin? mungkin papah sedang mimpi basah." Bimo mencari alasan agar tak mengikuti kemauan Bima untuk mencari tahu, atau lebih tepatnya mengintip kamar papah mereka yang berada di sebelah kamar mereka itu.

"Aaaahhh.." desahan panjang seperti orang yang sudah mencapai puncak kenikmatan terdengar dari telinga Bima yang masih menempelkan telinganya di dinding.

"Itu bukan mimpi basah, kamu dengar kan suara desahan barusan?" Bantah Bima, dan tanpa menunggu Bimo untuk menjawab pertanyaannya, Bima menarik tangan Bimo dan mereka mengendap-endap menuju pintu dan membuka knop pintu perlahan. Keluar dari kamar Si Kembar dengan penuh hati-hati berjalan kearah pintu kamar papah mereka yang berada di sebelah kanan tak jauh dari pintu kamar mereka.

Bima duduk di depan pintu kamar papahnya dan Bimo berdiri dengan menundukkan badannya, Bima mendekatkan mata kanannya ke lubang kunci yang terletak dibawah gagang pintu, hingga beberapa saat Bimo menggeser kepala Bima dan melakukan hal serupa yang tadi dilakukan Bima. Mereka tidak dapat melihat keseluruhan isi kamar papah mereka itu, tapi kasur papah mereka rapi dan tidak ada siapa-siapa, hanya ada kemeja dan celana yang ditanggalkan di atas kasur itu.

Bima dan Bimo berdiri, masuk kamar, dan langsung berbaring di atas kasur mereka masing-masing. Kamar mereka memiliki dua kasur yang di beri jarak oleh lemari pakaian mereka. Tak ada pembicaraan apa lagi pembahasan tentang papah bujangan mereka itu, mungkin mereka berpikir papah mereka hanya menuntaskan hasrat dengan tangan, kemudian membersihkan tumpahan benih-benih manusia itu di kamar mandi.

Ya, papah mereka bujangan. Mereka tahu kalau mereka adalah anak yang di adopsi dari Panti Asuhan. Mereka di adopsi 7 tahun yang lalu ketika mereka berumur 10 tahun oleh Kevin Putra Jason pria tampan yang sekarang berumur 32 tahun. Kevin merupakan seorang pendiri dari sebuah perusahaan yang bergerak diberbagai bidang. Kevin menjalankan usaha batu bara, kemudian stasiun televisi, juga memproduksi kebutuhan manusia di bidang fashion, brandnya cukup terkenal walau hanya di Asia. Kevin bisa dibilang cukup sukses di usia yang muda.

Bima Putra dan Bimo Putra, Kevin mengadopsi Si Kembar itu karena ia sangat ingin memiliki anak kembar tapi dia belum berminat untuk menikah. Kevin memilih Bima dan Bimo untuk diadopsi karena dia tak ingin mengurus bayi, dan juga paras Si Kembar ini sangat tampan sejak pertama kali ia lihat.

-------------
Jo Jung Suk As Kevin Putra Jason





Maafkan ketidakprofesionalan saya sebagai penulis, dan baru update cerita sekarang. Dan terimakasih buat yang baca, vote dan komen.

......
Ayam berkokok, hari mulai terang. Di kamar itu terlihat dua insan berpelukan, masih memejamkan mata melepas lelah usai memadu kasih tadi malam.

_____________________

"Kriiiiiing, kriiiing," suara alarm mendominasi kamar yang berisi insan kembar itu.

"Bimo! Matikan alarmnya!" perintah sang kaka. Namun alarmnya masih berdering."Bimo!" teriaknya lagi. Merasa tidak ada respon ia pun mengarahkan pandangan ke ranjang sang adik yang masih tidur tanpa merasa terganggu dengan bunyi bising alarm itu. Kemudian bangkit untuk mematikan alarm.

_____________________

"Hoaammm.." Kevin melepas rangkulannya terhadap sang kekasih, meregangkan tangannya. Ia letakkan telapak tangan di pipi cucu adam di sampingnya, kemudian memonyongkan bibirnya mengecup dahi pria muda itu. "Sudah pagi, bangun sayang," dilihatnya sang kekasih mulai mengerjapkan mata ia pun pergi ke kamar mandi.

________________________

Keluar dari kamar mandi, hanya dengan boxer dan handuk yang sedang ia gunakan untuk mengusap-usap kepalanya. Bima menghampiri ranjang si adik dan mengibas-ngibaskan rambutnya yang masih basah di sekitar wajah saudara kembarnya itu.

"Apaan sih Ka? Usil banget jadi orang," keluh sang korban kibasan rambut basah.

"Bangun! Cepat mandi sana!"

Bimo tidak merespon perintah sang kaka dengan kata-kata, tapi langsung bangkit dan pergi ke kemar mandi.

________________________

"Si kembar biasanya sarapan apa By?" orang yang masih duduk di pinggir kasur langsung melontarkan pertanyaan kepada orang yang baru keluar dari kamar mandi.

"Sarapan roti dengan segelas susu saja," jawab Kevin sambil mengusap rambut basahnya. "Sana mandi!"

"Gak ah, aku gak bawa pakaian ganti. Mau cuci muka sama gosok gigi saja." Pria yang duduk di pinggir kasur itu bangkit menghampiri Kevin, mengecup bibirnya, kemudian pergi ke kamar mandi.
_______________________
Dua orang yang berwajah mirip itu sudah rapi dengan seragam sekolahnya, keluar kamar menyusuri anak-anak tangga turun menuju dapur. Mereka menangkap wajah tak biasa di tatapan mereka, wajah yang baru pertama kali mereka lihat sedang duduk di samping Kevin, papah mereka.

"Pagi Ka, Pagi De," Kevin yang sadar kembarnya itu menatap heran ke arah kekasihnya yang duduk di sampingnya langsung menyapa mereka.

"Pagi Pah," Sapa keduanya yang kemudian menyunggingkan senyum. Tak berapa lama mereka sudah duduk di seberang papah dan pemuda yang duduk di samping papahnya itu.

Kevin menyenggol tangan kekasihnya dengan sikut, karena dari tadi kekasihnya itu diam tertunduk malu. Sang kekasih yang paham maksud Kevin pun mendongakkan kepalanya dan tersenyum canggung ke arah Bima Bimo.

"Ka, De, kenalin. Ini calon dady kalian," Kevin memperkenalkan kekasihnya pada si Kembar.

"Pah, papah seriusan ini calon dady kita? Ini dia umurnya berapa?" sedikit terkejut Bima langsung melontarkan pertanyaan, ia penasaran.

"Ade kaget pah, bener deh. Ade kirain dia bakal jadi saudara kita," Bimo menatap intens ke arah orang yang ia sangka bakal jadi saudaranya itu. "Kamu kok mau sama papah kita? kamu dipaksa ya?" tanya Bimo dengan polosnya.

"Ade, kok gak sopan gitu?" tegur Kevin. "Biasakan panggil dia Dady. Dia ini udah kuliah semester akhir, dan jelas lebih tua dari kalian," Kevin merangkul bahu kekasihnya, dan tersenyum bangga.

Anda juga mungkin menyukai
Aloved Yes I Love - Boyxboy oleh jalilfunny
Aloved Yes I Love - Boyxboy
Oleh jalilfunny
13.9K 392
OmGay oleh Salsa2104
OmGay
Oleh Salsa2104
2K 29
HADIAH UNTUK ADIKU oleh azmarko22
HADIAH UNTUK ADIKU
Oleh azmarko22
3.8K 234
Let Me Love You (On Hold) oleh queerasjay
Let Me Love You (On Hold)
Oleh queerasjay
16.6K 570
boyxboy (elaborate) oleh ChairilArigAyo
boyxboy (elaborate)
Oleh ChairilArigAyo
3.2K 58
Elite oleh Aang0z
Elite
Oleh Aang0z
218 19
JAMES oleh AryaMandala
JAMES
Oleh AryaMandala
2.4K 110

Makin terkejutlah si Kembar mendengar pernyataan dari papah mereka.

"Hehe, maaf pah. Tapi seriusan pah, aku kira dia seumuran kita. Mukanya gak nunjukin kalo dia udah kuliah," sahut Bimo.

"Bakal aneh deh pah kalo kita panggil dia Dady," komentar Bima.

Orang yang jadi bahan pembicaraan cuma bisa diam, senyum-senyum canggung. Dia gak nyangka juga kalo si Kembar bakal mengira begitu.

"Hahahaha, ya begitulah. Papah beruntung dapetin pemuda manis dan unyu seperti ini," Kevin mencium pipi kekasihnya yang merah padam, tapi yang dicium langsung melontarkan tatapan tajam ke Kevin.

"Hubby, aku manly loh?!" Akhirnya pemuda yang belum di ketahui namanya itu bicara juga.

"Hehe, iya-iya." Kevin mengalah.

"Jadi, nama calon Dady kita ini siapa?" Bimo bertanya dengan senyum dan tatapan bahagia ke arah calon Dadynya itu.

Bima juga memasang wajah yang sama dengan Bimo, ia juga penasaran dengan nama calon Dadynya itu. "Ah lucunya calon Dadyku," batin Bima melihat wajah kekasih papahnya yang salah tingkah dipandang si kembar seperti itu.

"Nama Kakak Ardion Pangestu, biasanya di panggil Dion," pemuda itu memperkenalkan diri dengan wajah yang mulai percaya diri. Dion memang unyu, gemesin. Tapi dia beneran manly banget, juga agak dingin orangnya.

"Loh? kok kaka sih sayang? Dady, kamu itu bakal jadi Dady mereka," Kevin protes dan gemas dengan kekasihnya itu.

"Aku canggung By," datar--,

"Haha, kaka lucu banget sih." Bima tidak tahan lagi, akhirnya ia berkomentar tentang kelucuan cadadnya itu.

"Kita manggilnya Kaka Dion aja ya Pah, Ka Dion gak cocok kalo kita panggil Dady," sambung Bimo.

"Tapi kalo nanti Papah udah nikah sama ka Dion kalian ini, kalian harus manggil dia Dady! Oke?" Kevin memberi tekanan ketika mengucapkan "Ka Dion". Dia gemas, melihat tingkah lucu kekasihnya ini, dan melihat antusiasme anak kembarnya. Sepertinya perjalanan cinta Kevin yang sekarang bakal berjalan mulus.

"Oke Papah sayang," Bimo menyetujui, dan Bima mengacungkan jari jempolnya.

"Ya sudah cepetan habisin sarapannya. Entar telat berangkat sekolahnya." Kevin meminum susunya lalu senyum penuh bahagia menatap tiga orang yang ada di sekitarnya. "Aku akan memulai hidup yang baru, biarkan masalalu menjadi sejarah dan pelajaran," batinnya kemudian.

Mereka sudah selesai sarapan, si kembar juga sudah pamit berangkat kesekolah. Bi Minah dan Bi Sum juga sudah datang mulai melakukan tugas-tugas mereka di rumah yang dihuni oleh seorang Papah tampan dan si kembar itu.

Kevin dan Dion yang baru saja mengantarkan si kembar ke depan untuk berangkat sekolah kembali masuk dan duduk di ruang keluarga.

"Benerkan yang aku bilang? si kembar itu bukan orang-orang ribet, dan gak bakal mengintimidasi kamu karena pacaran sama papah mereka yang tampan ini." Kevin merangkulkan tanganya di pundak Dion.

"Hehe, iya By. Lega sekarang rasanya," Dion menyandarkann kepalanya di bahu Kevin. "Hubby jam berapa berangkat kerjanya?"

Kevin melirik jam tangannya yang sekarang menunjukkan pukul 6.59. "Jam delapan aja deh, sekalian nganterin kamu pulang," Kevin mengambil remote tv lalu menekan tombol power. "Oh iya, jadi gimana? gak ada alesan lagikan buat nolak ajakan hubby tinggal di sini?"

"Emmm... entar deh By, aku masih ragu," Dion mengangkat kepalanya.

"Ragu kenapa lagi sih sayang?" Kevin menatap mata Dion, lembut~.

"Ya, aku sama si kembarkan baru ketemu hari ini. Masa aku langsung tinggal di sini. Tunggu beberapa minggu deh sampe aku akrab sama si kembar."

"Beberapa minggu itu lebih tepatnya berapa minggu? hubbykan gak sabar pengen peluk kamu setiap tidur," Kevin memasang wajah sok imut.

"Ih, hubby apaan sih," pipi Dion memerah. "Emmm. Empat minggu deh By, Gimana?"

"Sebulan dong? gak ah, kelamaan? paling lama dua minggu. oke?"

"Ya udah deh, paling lama dua minggu," Dion kembali menyandarkan kepalanya di bahu Kevin dan melingkarkan tangannya di perut sang papah tampan. Kevin balas memeluk Dion. Mereka mulai diam dan menikmati kartun yang biasa tayang di tv pagi-pagi hari begini.

________________________________

"Tettt.. Tettt.." bel berbunyi dua kali menandakan jam istirahat tiba.

Bima dan Bimo sekolah di sekolah yang sama, tapi mereka gak satu kelas. Bima di kelas XI Bahasa sedangkan Bimo di kelas XI IPA C. Si kembar ini cukup populer di sekolah, mereka terkenal sebagai penyanyi yang sering mewakili sekolah untuk lomba atau pun mengisi acara-acara yang diadain di sekolah.

"Mo, jom kita ke kantin," Deni teman sebangku Bimo yang baru saja membereskan buku pelajaran di atas mejanya itu mulai bangkit.

"Cusss," Bimo berdiri, dan mereka berdua mulai berjalan menuju kantin.

________________________

"Lo mau makan apa Ma?"

"Gado-gado deh, lo yang pesenin yah" Bima melempar senyum ke Rizky, temen sebangku dan sahabatnya di kelas.

"Ah, elo. Pesan sendirikan bisa."

"Repot ah, entar gua yang traktir minum deh," Bima merayu.

"Gua juga ya Riz, gado-gado," Bimo datang dan merangkul pundak Rizky.

"Emang ya ni orang dua, gak muka gak kelakuan sama," Rizky mulai sewot.

"Hehe," Bima dan Bimo nyengir. "Kita berdua bakal nyariin tempat duduk, dan mesanin minum jadi kan gampang," Bimo nego. "Betul," sahut Bima.

"Terserah deh, yo Den kita mesan gado-gado," Rizky menarik lengan Deni.

"Aku pengen bakso Riz," protes Deni.

"Gak, hari ini kita semua makan gado-gado."

"ck. Iya dah, yang penting gua makan," Deni gak ngelawan ngikut aja sama maunya Rizky sahabatnya.

_________________________________

Deni Orvando dan Rizky Prasetyo mulai bersahabat di kelas 7. Teman-teman SMP mereka pasti tahu sebuah teori; Di mana ada Deni di situ ada Rizky, begitu juga sebaliknya. Mereka mulai kenal dengan Si kembar sejak memasuki masa putih abu-abu. Walaupun mereka beda jurusan tapi pasti selalu berempat kalo di kantin, mereka juga masuk ekskul yang sama; teater.

________________________________

Deni dan Rizky yang masing-masing membawa dua piring gado-gado berjalan menuju meja yang sudah ditempati Bima dan Bimo. Di atas meja itu juga sudah ada empat gelas minuman, tiga es jeruk satu jeruk hangat. Deni gak suka minuman dingin.

Deni duduk di seberang Bima, Rizky di seberang Bimo. Tidak ada yang aneh pada saat itu, mereka makan dengan normal.

Hanya saja ada satu dari empat orang itu memperhatikan orang yang duduk di seberangnya. Memperhatikan dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Dan perasaan itu baru, baru setelah kejadian beberapa hari yang lalu.

---------------------
Do Kyungsoo (D.O EXO) as Dion Pangestu




#DionPangestu

Kebahagian tidak bisa disembunyikan dari wajah gue. Dan mungkin ekspresi bahagia gue ini terlalu over. Tapi, 'Homo' mana coba yang gak bahagia kalo diterima di keluarga pasangannya, walaupun ya itu cuma keluarga kecilnya. Ah, sudahlah kembali ke mode #DionCool.

"Dion," seorang cewe yang cantiknya kebangetan menghampiri gue. Gue melambaikan tangan, tanpa satu kata pun menyahut panggilannya. "Kamu masuk jam berapa?" tanyanya begitu sudah berdiri di depan gue.

"Ini bentar lagi masuk, tapi lagi nungguin Jun," jawab gue, tak lupa memberikan senyum setelahnya. "Kamu sendiri udah kelar atau baru mau masuk?" gue balas bertanya.

"Udah kelar sih, tapi kurang dari satu jam lagi ada kelas lagi," dia tak pernah melepas tatapannya dari wajah gue, senyum pun tak kunjung pudar dari wajahnya. Bukannya geer, gue rasa ini cewe emang suka sama gue, ditambah lagi Jun bilang kalo dia sering nangkap basah ni cewe lagi mandangin gue.

"Ooh, gitu ya? terus sekarang mau balik?" tanya gue ramah. Gue sebenarnya bingung gimana harus bertingkah di hadapan ini cewe. Dia cantik, baik, ramah, pokoknya masuk tipe cewe idaman banget.

"Gak, aku mau ke perpus ngerjain tugas, mumpung ada waktu luang," dia senyum lagi.

"Ehm, ehm," Jun yang datang dari arah belakang ini cewek berdehem terus bersiul-siul. "Makin akrab aja nih," godanya.

Gue biasa aja digoda Jun kaya gitu, tapi cewe di depan gue ini berubah jadi boneka yang sangat menggemaskan. Pipinya merah merona, dan terlihat dengan sangat jelas kalau dia mulai salah tingkah. Gue jadi senyum-senyum gak jelas gara-gara lihat tingkah ini cewek.

"Dionnya gue bawa masuk dulu ya cantik," lihat apa yang Jun lakukan, sekarang yang merah bukan Cuma pipi, tapi daun telinga juga.

"Aku masuk dulu ya," pamitku mengakhiri pemandangan yang begitu manis itu.

"Oh, iya," jawabnya dengan kaku.

"Sampai jumpa lagi cantik," itu ucap Jun, bukan gue.

Gue dan Jun mulai berjalan berlawan arah dengan cewe cantik tadi.

"Tuh kan, gue bilang juga apa. Dia pasti suka sama Lo Yon," Jun ngerangkul bahu gue. "Akhirnya bentar lagi sahabat gue ini bakal mengakhiri masa jomblonya," ocehnya lagi.

"Kaya Lo gak jomblo aja," gue natap Jun dengan ekspresi meremehkan.

----------------------------

#SekolahSiKembar

Sekolah sudah bubar, para remaja yang menggunakan seragam putih abu-abu pun mulai bertebaran di lingkungan sekolah. Ada yang berjalan menuju gerbang, ada yang berjalan menuju parkiran, dan ada juga para siswa yang bersiap-siap untuk mengikuti kegiatan ekskul, terutama ekskul teater yang mulai mempersiapkan pertunjukan untuk hari ulang tahun sekolah.

Semua anggota ekskul teater sedang duduk membentuk lingkaran, mengadakan rapat untuk pembentukkan panitia acara.

"Selamat sore semuanya," Ka Randy ketua ekskul membuka rapat. "Seperti yang sudah kalian semua ketahui, bahwa agenda rapat kita hari ini adalah pembentukan panitia untuk acara pementasan hari ulang tahun sekolah," Ka Randy adalah siswa kelas XII Bahasa. "Nah, untuk itu saya sebagai ketua ekskul akan mengajukan tiga orang kandidat yang akan menjadi ketua pelaksana acara tersebut. Siapa pun yang saya tunjuk harus bersedia menerima tanggung jawab yang saya berikan. Dan penentuan akhir siapa yang akan menjadi ketua pelakasana di antara tiga orang tersebut akan kita tentukan dengan pemungutan suara dari seluruh anggota," semua anggota mengangguk paham. "Kandidat yang pertama, Roni Pratama," Roni memasang ekspresi terkejut untuk beberapa detik, kemudian tersenyum meyakinkan ka Randy kalo dia siap. "Kandidat yang kedua, Agatha Chelsea," sudah bukan kejutan lagi, semua sudah tahu kalo Chelsea pasti akan masuk dalam tiga kandidat. Dia bisa dibilang adalah anggota tercantik di ekskul teater, pandai membaca puisi, dan pandai mengarang cerita. "Dan yang terakhir, Deni Orvando," oh lihat, bagaimana reaksi Deni ketika namanya dipanggil, ekspresi yang dipasang oleh Deni kaya orang lihat hantu, sangat terkejut. Bahkan Rizky, Bimo, dan Bima sahabatnya pun terkejut atas terpilihnya Deni masuk di tiga kandidat. Deni, yang bisa dibanggakan dari sikap Deni hanya prilaku baik dan kesabarannya yang tinggi.






"Ka, kaka yakin nunjuk Deni jadi kandidat?" Roni angkat bicara, kemudian menatap rendah ke arah Deni.

"Seratus persen yakin," jawab ka Randy dengan tegas.

Deni benar-benar seperti kerasukan setan, gak bisa berkutik, walaupun dia sadar maksud Roni mempertanyakan itu adalah untuk merendahkannya.

"Belagu banget sih jadi orang," Rizky yang duduk di samping Bima berbisik kesal. Bima dan Bimo yang duduk mengapit Deni pun menatap jengkel ke arah Roni.

"Baik, sekarang Roni, Chelsea, dan Deni bikin tiga berbanjar, kemudian anggota yang lain ambil barisan di belakang ketiganya sesuai dengan ketua pelaksana pilihan kalian." perintah ka Randy.

Sekarang semuanya sudah berbaris rapi, tentu saja di belakang Deni berdiri Bima, Rizky, Bimo, dan orang-orang yang memilih Deni sebagai ketua pelaksana.

"Kita mulai dari Roni, mulai berhitung!" Ka Randy memberi aba-aba.

"Satu!" Roni memulai berhitung, kemudian dilanjutkan oleh orang yang ada di belakangnya hingga hitungan terakhir berada pada nomor 16.

"Roni, mendapatkan perolehan suara 16. Lanjut ke barisan Chelsea!"

Barisan Chelsea mulai berhitung dan memperoleh 16 suara, sama seperti Roni. Dan yang terakhir barisan Deni.

"Satu," Deni terdengar sangat tidak bersemangat, itu karena dia gugup. Menjadi ketua pelaksana itu bukan hal yang mudah, dan ia takut kalau-kalau akan membuat kesalahan yang fatal nantinya.

"Dua!"

"Tiga!"

"Empat!"

"Lima!"

"Enam!"

"Tujuh!"

"Delapan!"

"Sembilan!"

"Sepuluh!"

"Sebelas!"

"Dua belas!"

"Semoga kalah, semoga kalah!" Deni terus membatinkan kalimat itu. Sebenarnya Deni pengen nunjukin ke Roni kalo dia bukan cowo lemah, Deni juga bisa diandalkan. Dan inilah kesempatannya. Tapi, ini acara bukan acara sembarangan, ini buat acara ulang tahun sekolah. "Ah, mungkin apa ang selalu dikatakan Roni memang benar adanya," batin Deni.

"Tujuh Belas!"

Teriakan terakhir itu membuat Deni membelalakan matanya, dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa yang membuat temannya banyak yang mendukungnya.

"Jadi, sekarang sudah jelas, Deni yang akan menjadi ketua pelaksana acara pementasan untuk ulang tahun sekolah," Ka Randy menyimpulkan.

Bima yang sadar akan kekhawatiran Deni langsung merangkul bahu Deni. Kemudian dia dekatkan bibirnya ke daun telinga sebelah kiri Deni. "Tenang Den, kita-kita pasti bakal bantuin Lo," bisiknya.

-------------------------

"Yonni, Lo tadi malam tidur dimana?" Tanya Jun ketika dosen mulai melangkahkan kaki ke arah pintu.

"Kenapa emang?" Dion terheran.

"Gak papa, tadi malam gue ke kost Lo, tapi Lo nya gak ada," Jun membereskan alat tulisnya.

"Lo gak kasih kabar dulu sih, gue tadi malam tidur tempat om gue."

"Ooh, gitu?" Jun tersenyum paham. "Hari ini kita makan apa?" lanjutnya bertanya.

"Sate ayam."

Dion dan Jun pun meninggalkan kelas dan berjalan menuju arah kantin.

"Satenya dua porsi ya bang," pinta Jun pada abang penjual sate.

"Es jeruk 2 ya Bi," pinta Dion pada bibi penjual minuman.

Dion dan Jun sudah menempelkan bokong mereka di atas kursi.

"Yon, malam ini gue nginap di kost Lo ya?" Jun membuka obrolan.

"Hm? ada masalah apa?" Dion bertanya ramah. Perasaan Dion gak enak, Jun hari ini rada diam. Gak kaya biasanya yang suka bikin keributan.

"Gak ada masalah apa-apa kok, Cuma pengen main ke kost Lo aja," terang Jun.

"Lo main ke kost gue itu emang hal biasa, tapi sikap Lo hari ini rada aneh."

Hening..

"Junni, orangtua Lo berantem lagi?" Dion bertanya dengan ragu, takut.

"Hm" jawab Jun singkat.

Bibi penjual minuman tadi datang menghampiri mereka dengan membawa dua gelas es jeruk. Begitu es jeruk itu sudah ada di hadapan mereka, mereka pun mulai menyesap di gelas masing-masing.

"Junni, gimana kalo kita main ke mall aja hari ini. Gue males masuk mata kuliahnya Pak Somat." Dion tersenyum.

"Serius?!" tanya Jun. Dion mengangguk sebagai jawaban. "Oke," Jun setuju, dan tersenyum. Tak lama kemudian paman sate sudah meletakkan makanan mereka di meja pasangan kursi yang mereka duduki. Dion terus mengajak Jun untuk bicara, tak ada yang bisa memahami perasaan Jun sebaik Dion.

----------------------

Kevin menempelkan telepon pintarnya pada daun telinga sebelah kirinya.

"Halo?" suara orang di seberang telepon begitu panggilan mereka terhubung.

"Sayang, malam ini makan malam di rumah ya?" pinta Kevin.

"Maaf By, aku gak bisa. Aku sama Jun malam ini." tentu saja itu suara Dion.

"Oh, iya deh. Hubby ngerti. Jangan lupa makan, jangan main sampe larut malam ya. Hubby sayang kamu," Kevin sudah sangat mengerti siapa itu Jun bagi Dion. Walaupun kadang dia merasa cemburu melihat keakraban mereka.

Kevin sekarang lagi di supermarket, membeli camilan-camilan kesukaan dia dan si kembar. Dia sungguh terlihat muda dengan memakai sweeter berwarna putih polos dan celana hitam selutut. Selesai membayar harga belanjaannya di kasir, dia duduk di kursi yang ada di depan mini market, lalu membuka tutup botol minuman yang ia baru saja ia beli.

"Pugh!" tangan dengan kulit putih dan terlihat berotot menepuk bahu Kevin dan bertengger di bahu kokoh itu. Reflek Kevin pun menoleh ke belakang, tempat dimana orang yang menepuk bahunya itu berdiri.

Krikkk.. Krikkk..

Entah apa yang terjadi, orang yang menepuk bahu Kevin terus menyunggingkan senyumnya ketika bertatapan dengan Kevin. Tapi Kevin, ekspresinya tak bisa dijelaskan. Kaget? iya, tapi sedikit bercampur dengan ekspresi terharu, mata Kevin berkaca-kaca.

Detik berganti detik, sekarang orang itu memeluk Kevin. Kevin diam, kaku. Setetes air mengalir dari kedua sudut matanya. Dia mulai menggerakkan tangannya, bukan untuk membalas pelukan itu, tapi untuk mendorong kecil orang yang sedang memeluknya, pelukan itu terlepas. Kevin meninggalkan orang itu bersama dengan dia meninggalkan belanjaanya.


Awalan
5.1K 98 1

by @KevinDakrisbob
Share

"Ka, bangun." Bimo mengguncang-guncang lengan kaka kembarnya itu, Bima.

Kesal karena Bima cuma menggeliat-geliat tanpa membuka mata, Bimo mendorong Bima hingga jatuh dari kasur.

BRAKK..

"Ck, apaan sih De? Ini baru jam berapa?" Bima mendecak kesal.

"Sst.." Bimo meletakkan telunjuknya di depan bibir merahnya, memberikan isyarat kepada Bima agar diam. "Denger gak ka?" tanya Bimo dengan sedikit berbisik.

Bima diam, menajamkan indera pendengarnya mencari tahu suara apa yang dimaksud Bimo. "Eumm... ahh" dia kaget karena suara desahan nikmat yang ia tangkap, walaupun suara itu rada samar. "Apa itu desahan papah?" tanyanya dengan kebingungan. "Kita harus cari tahu." Sambungnya kemudian bangkit dari duduknya, dan menempelkan telinganya kedinding yang menjadi pembatas kamar Si Kembar itu dengan kamar papahnya yang berstatus bujangan.

"Kaka yakin? mungkin papah sedang mimpi basah." Bimo mencari alasan agar tak mengikuti kemauan Bima untuk mencari tahu, atau lebih tepatnya mengintip kamar papah mereka yang berada di sebelah kamar mereka itu.

"Aaaahhh.." desahan panjang seperti orang yang sudah mencapai puncak kenikmatan terdengar dari telinga Bima yang masih menempelkan telinganya di dinding.

"Itu bukan mimpi basah, kamu dengar kan suara desahan barusan?" Bantah Bima, dan tanpa menunggu Bimo untuk menjawab pertanyaannya, Bima menarik tangan Bimo dan mereka mengendap-endap menuju pintu dan membuka knop pintu perlahan. Keluar dari kamar Si Kembar dengan penuh hati-hati berjalan kearah pintu kamar papah mereka yang berada di sebelah kanan tak jauh dari pintu kamar mereka.

Bima duduk di depan pintu kamar papahnya dan Bimo berdiri dengan menundukkan badannya, Bima mendekatkan mata kanannya ke lubang kunci yang terletak dibawah gagang pintu, hingga beberapa saat Bimo menggeser kepala Bima dan melakukan hal serupa yang tadi dilakukan Bima. Mereka tidak dapat melihat keseluruhan isi kamar papah mereka itu, tapi kasur papah mereka rapi dan tidak ada siapa-siapa, hanya ada kemeja dan celana yang ditanggalkan di atas kasur itu.

Bima dan Bimo berdiri, masuk kamar, dan langsung berbaring di atas kasur mereka masing-masing. Kamar mereka memiliki dua kasur yang di beri jarak oleh lemari pakaian mereka. Tak ada pembicaraan apa lagi pembahasan tentang papah bujangan mereka itu, mungkin mereka berpikir papah mereka hanya menuntaskan hasrat dengan tangan, kemudian membersihkan tumpahan benih-benih manusia itu di kamar mandi.

Ya, papah mereka bujangan. Mereka tahu kalau mereka adalah anak yang di adopsi dari Panti Asuhan. Mereka di adopsi 7 tahun yang lalu ketika mereka berumur 10 tahun oleh Kevin Putra Jason pria tampan yang sekarang berumur 32 tahun. Kevin merupakan seorang pendiri dari sebuah perusahaan yang bergerak diberbagai bidang. Kevin menjalankan usaha batu bara, kemudian stasiun televisi, juga memproduksi kebutuhan manusia di bidang fashion, brandnya cukup terkenal walau hanya di Asia. Kevin bisa dibilang cukup sukses di usia yang muda.

Bima Putra dan Bimo Putra, Kevin mengadopsi Si Kembar itu karena ia sangat ingin memiliki anak kembar tapi dia belum berminat untuk menikah. Kevin memilih Bima dan Bimo untuk diadopsi karena dia tak ingin mengurus bayi, dan juga paras Si Kembar ini sangat tampan sejak pertama kali ia lihat.

-------------
Jo Jung Suk As Kevin Putra Jason


____________


#DionPangestu

Kebahagian tidak bisa disembunyikan dari wajah gue. Dan mungkin ekspresi bahagia gue ini terlalu over. Tapi, 'Homo' mana coba yang gak bahagia kalo diterima di keluarga pasangannya, walaupun ya itu cuma keluarga kecilnya. Ah, sudahlah kembali ke mode #DionCool.

"Dion," seorang cewe yang cantiknya kebangetan menghampiri gue. Gue melambaikan tangan, tanpa satu kata pun menyahut panggilannya. "Kamu masuk jam berapa?" tanyanya begitu sudah berdiri di depan gue.

"Ini bentar lagi masuk, tapi lagi nungguin Jun," jawab gue, tak lupa memberikan senyum setelahnya. "Kamu sendiri udah kelar atau baru mau masuk?" gue balas bertanya.

"Udah kelar sih, tapi kurang dari satu jam lagi ada kelas lagi," dia tak pernah melepas tatapannya dari wajah gue, senyum pun tak kunjung pudar dari wajahnya. Bukannya geer, gue rasa ini cewe emang suka sama gue, ditambah lagi Jun bilang kalo dia sering nangkap basah ni cewe lagi mandangin gue.

"Ooh, gitu ya? terus sekarang mau balik?" tanya gue ramah. Gue sebenarnya bingung gimana harus bertingkah di hadapan ini cewe. Dia cantik, baik, ramah, pokoknya masuk tipe cewe idaman banget.

"Gak, aku mau ke perpus ngerjain tugas, mumpung ada waktu luang," dia senyum lagi.

"Ehm, ehm," Jun yang datang dari arah belakang ini cewek berdehem terus bersiul-siul. "Makin akrab aja nih," godanya.

Gue biasa aja digoda Jun kaya gitu, tapi cewe di depan gue ini berubah jadi boneka yang sangat menggemaskan. Pipinya merah merona, dan terlihat dengan sangat jelas kalau dia mulai salah tingkah. Gue jadi senyum-senyum gak jelas gara-gara lihat tingkah ini cewek.

"Dionnya gue bawa masuk dulu ya cantik," lihat apa yang Jun lakukan, sekarang yang merah bukan Cuma pipi, tapi daun telinga juga.

"Aku masuk dulu ya," pamitku mengakhiri pemandangan yang begitu manis itu.

"Oh, iya," jawabnya dengan kaku.

"Sampai jumpa lagi cantik," itu ucap Jun, bukan gue.

Gue dan Jun mulai berjalan berlawan arah dengan cewe cantik tadi.

"Tuh kan, gue bilang juga apa. Dia pasti suka sama Lo Yon," Jun ngerangkul bahu gue. "Akhirnya bentar lagi sahabat gue ini bakal mengakhiri masa jomblonya," ocehnya lagi.

"Kaya Lo gak jomblo aja," gue natap Jun dengan ekspresi meremehkan.

----------------------------

#SekolahSiKembar

Sekolah sudah bubar, para remaja yang menggunakan seragam putih abu-abu pun mulai bertebaran di lingkungan sekolah. Ada yang berjalan menuju gerbang, ada yang berjalan menuju parkiran, dan ada juga para siswa yang bersiap-siap untuk mengikuti kegiatan ekskul, terutama ekskul teater yang mulai mempersiapkan pertunjukan untuk hari ulang tahun sekolah.

Semua anggota ekskul teater sedang duduk membentuk lingkaran, mengadakan rapat untuk pembentukkan panitia acara.

"Selamat sore semuanya," Ka Randy ketua ekskul membuka rapat. "Seperti yang sudah kalian semua ketahui, bahwa agenda rapat kita hari ini adalah pembentukan panitia untuk acara pementasan hari ulang tahun sekolah," Ka Randy adalah siswa kelas XII Bahasa. "Nah, untuk itu saya sebagai ketua ekskul akan mengajukan tiga orang kandidat yang akan menjadi ketua pelaksana acara tersebut. Siapa pun yang saya tunjuk harus bersedia menerima tanggung jawab yang saya berikan. Dan penentuan akhir siapa yang akan menjadi ketua pelakasana di antara tiga orang tersebut akan kita tentukan dengan pemungutan suara dari seluruh anggota," semua anggota mengangguk paham. "Kandidat yang pertama, Roni Pratama," Roni memasang ekspresi terkejut untuk beberapa detik, kemudian tersenyum meyakinkan ka Randy kalo dia siap. "Kandidat yang kedua, Agatha Chelsea," sudah bukan kejutan lagi, semua sudah tahu kalo Chelsea pasti akan masuk dalam tiga kandidat. Dia bisa dibilang adalah anggota tercantik di ekskul teater, pandai membaca puisi, dan pandai mengarang cerita. "Dan yang terakhir, Deni Orvando," oh lihat, bagaimana reaksi Deni ketika namanya dipanggil, ekspresi yang dipasang oleh Deni kaya orang lihat hantu, sangat terkejut. Bahkan Rizky, Bimo, dan Bima sahabatnya pun terkejut atas terpilihnya Deni masuk di tiga kandidat. Deni, yang bisa dibanggakan dari sikap Deni hanya prilaku baik dan kesabarannya yang tinggi.





"Ka, kaka yakin nunjuk Deni jadi kandidat?" Roni angkat bicara, kemudian menatap rendah ke arah Deni.

"Seratus persen yakin," jawab ka Randy dengan tegas.

Deni benar-benar seperti kerasukan setan, gak bisa berkutik, walaupun dia sadar maksud Roni mempertanyakan itu adalah untuk merendahkannya.

"Belagu banget sih jadi orang," Rizky yang duduk di samping Bima berbisik kesal. Bima dan Bimo yang duduk mengapit Deni pun menatap jengkel ke arah Roni.

"Baik, sekarang Roni, Chelsea, dan Deni bikin tiga berbanjar, kemudian anggota yang lain ambil barisan di belakang ketiganya sesuai dengan ketua pelaksana pilihan kalian." perintah ka Randy.

Sekarang semuanya sudah berbaris rapi, tentu saja di belakang Deni berdiri Bima, Rizky, Bimo, dan orang-orang yang memilih Deni sebagai ketua pelaksana.

"Kita mulai dari Roni, mulai berhitung!" Ka Randy memberi aba-aba.

"Satu!" Roni memulai berhitung, kemudian dilanjutkan oleh orang yang ada di belakangnya hingga hitungan terakhir berada pada nomor 16.

"Roni, mendapatkan perolehan suara 16. Lanjut ke barisan Chelsea!"

Barisan Chelsea mulai berhitung dan memperoleh 16 suara, sama seperti Roni. Dan yang terakhir barisan Deni.

"Satu," Deni terdengar sangat tidak bersemangat, itu karena dia gugup. Menjadi ketua pelaksana itu bukan hal yang mudah, dan ia takut kalau-kalau akan membuat kesalahan yang fatal nantinya.

"Dua!"

"Tiga!"

"Empat!"

"Lima!"

"Enam!"

"Tujuh!"

"Delapan!"

"Sembilan!"

"Sepuluh!"

"Sebelas!"

"Dua belas!"

"Semoga kalah, semoga kalah!" Deni terus membatinkan kalimat itu. Sebenarnya Deni pengen nunjukin ke Roni kalo dia bukan cowo lemah, Deni juga bisa diandalkan. Dan inilah kesempatannya. Tapi, ini acara bukan acara sembarangan, ini buat acara ulang tahun sekolah. "Ah, mungkin apa ang selalu dikatakan Roni memang benar adanya," batin Deni.

"Tujuh Belas!"

Teriakan terakhir itu membuat Deni membelalakan matanya, dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa yang membuat temannya banyak yang mendukungnya.

"Jadi, sekarang sudah jelas, Deni yang akan menjadi ketua pelaksana acara pementasan untuk ulang tahun sekolah," Ka Randy menyimpulkan.

Bima yang sadar akan kekhawatiran Deni langsung merangkul bahu Deni. Kemudian dia dekatkan bibirnya ke daun telinga sebelah kiri Deni. "Tenang Den, kita-kita pasti bakal bantuin Lo," bisiknya.

-------------------------

"Yonni, Lo tadi malam tidur dimana?" Tanya Jun ketika dosen mulai melangkahkan kaki ke arah pintu.

"Kenapa emang?" Dion terheran.

"Gak papa, tadi malam gue ke kost Lo, tapi Lo nya gak ada," Jun membereskan alat tulisnya.

"Lo gak kasih kabar dulu sih, gue tadi malam tidur tempat om gue."

"Ooh, gitu?" Jun tersenyum paham. "Hari ini kita makan apa?" lanjutnya bertanya.

"Sate ayam."

Dion dan Jun pun meninggalkan kelas dan berjalan menuju arah kantin.

"Satenya dua porsi ya bang," pinta Jun pada abang penjual sate.

"Es jeruk 2 ya Bi," pinta Dion pada bibi penjual minuman.

Dion dan Jun sudah menempelkan bokong mereka di atas kursi.

"Yon, malam ini gue nginap di kost Lo ya?" Jun membuka obrolan.

"Hm? ada masalah apa?" Dion bertanya ramah. Perasaan Dion gak enak, Jun hari ini rada diam. Gak kaya biasanya yang suka bikin keributan.

"Gak ada masalah apa-apa kok, Cuma pengen main ke kost Lo aja," terang Jun.

"Lo main ke kost gue itu emang hal biasa, tapi sikap Lo hari ini rada aneh."

Hening..

"Junni, orangtua Lo berantem lagi?" Dion bertanya dengan ragu, takut.

"Hm" jawab Jun singkat.

Bibi penjual minuman tadi datang menghampiri mereka dengan membawa dua gelas es jeruk. Begitu es jeruk itu sudah ada di hadapan mereka, mereka pun mulai menyesap di gelas masing-masing.

"Junni, gimana kalo kita main ke mall aja hari ini. Gue males masuk mata kuliahnya Pak Somat." Dion tersenyum.

"Serius?!" tanya Jun. Dion mengangguk sebagai jawaban. "Oke," Jun setuju, dan tersenyum. Tak lama kemudian paman sate sudah meletakkan makanan mereka di meja pasangan kursi yang mereka duduki. Dion terus mengajak Jun untuk bicara, tak ada yang bisa memahami perasaan Jun sebaik Dion.

----------------------

Kevin menempelkan telepon pintarnya pada daun telinga sebelah kirinya.

"Halo?" suara orang di seberang telepon begitu panggilan mereka terhubung.

"Sayang, malam ini makan malam di rumah ya?" pinta Kevin.

"Maaf By, aku gak bisa. Aku sama Jun malam ini." tentu saja itu suara Dion.

"Oh, iya deh. Hubby ngerti. Jangan lupa makan, jangan main sampe larut malam ya. Hubby sayang kamu," Kevin sudah sangat mengerti siapa itu Jun bagi Dion. Walaupun kadang dia merasa cemburu melihat keakraban mereka.

Kevin sekarang lagi di supermarket, membeli camilan-camilan kesukaan dia dan si kembar. Dia sungguh terlihat muda dengan memakai sweeter berwarna putih polos dan celana hitam selutut. Selesai membayar harga belanjaannya di kasir, dia duduk di kursi yang ada di depan mini market, lalu membuka tutup botol minuman yang ia baru saja ia beli.

"Pugh!" tangan dengan kulit putih dan terlihat berotot menepuk bahu Kevin dan bertengger di bahu kokoh itu. Reflek Kevin pun menoleh ke belakang, tempat dimana orang yang menepuk bahunya itu berdiri.

Krikkk.. Krikkk..

Entah apa yang terjadi, orang yang menepuk bahu Kevin terus menyunggingkan senyumnya ketika bertatapan dengan Kevin. Tapi Kevin, ekspresinya tak bisa dijelaskan. Kaget? iya, tapi sedikit bercampur dengan ekspresi terharu, mata Kevin berkaca-kaca.

Detik berganti detik, sekarang orang itu memeluk Kevin. Kevin diam, kaku. Setetes air mengalir dari kedua sudut matanya. Dia mulai menggerakkan tangannya, bukan untuk membalas pelukan itu, tapi untuk mendorong kecil orang yang sedang memeluknya, pelukan itu terlepas. Kevin meninggalkan orang itu bersama dengan dia meninggalkan belanjaanya.

Bersambung.....
-------------------