Lelaki-Lelaki
Ponorogo
Asap rokok mengepul
memenuhi ruangan. Seorang bocah lelaki berdiri diantara kerumunan orang yang
membentuk lingkaran. Diantara kedua kakinya, terdapat kuda anyam yang tergolek
lunglai. Sesaat, sunyi. Hanya terdengar desau angin yang memekik. Lantas
gamelan pun mulai berdenting. Makin keras, dan makin keras. Si bocah lelaki
mulai menari, gerakan tangannya gemulai seirama alunan kendang dan kenong.
Kepalanya menggedik seirama gong yang ditabuh kencang. Salompret melengking.
Seruling memekik. Kuda anyam perlahan mengayun. Si bocah lelaki berputar dan
kian larut dalm tari Jathilan.
——————————————————————————
note; salompret:
semacam seruling panjang yang ujungnya seperti bentuk kumis, biasa digunakan
untuk mengiringi tarian reog bersama kenong, kempul dan gong.
Jathilan: nama
lainnya tarian jaran kepang. Merupakan bagian dari pertunjukan tari reog.
Biasanya ditarikan oleh wanita. Tapi pada jaman dulu, penari jathilan adalah
lelaki.
—————————————————————————————————————————————————————————
LAYANG SIJI: Awal
Dari Sebuah Takdir
————————————————————————————————————————————————————————–
PONOROGO, JAWA
TIMUR. 1974.
MATAHARI terkatung
diatas langit. Baru saja ia terbangun dari persembunyiannya di Gunung
Pringgitan. Sesekali angin mendesau menghempas ranting-ranting Mahoni yang
kering.
Kelas kami masih
senyap dan sunyi. Kami semua hanya terdiam saat Bu Warniti, wali kelas kami
pagi itu menanyakan Waluyo, si ketua kelas yang tak kelihatan batang hidungnya.
Biasanya ia paling pagi datang ke kelas ini. Namun hingga sekarang ia juga
menampakkan batang hidungnya.
Tak seorangpun dari
kami tahu kemana si Waluyo. Biasanya kalau dia sakit, pasti Ibunya akan datang
memberitahu. Tapi sekarang, ia menghilang tanpa pemberitahuan sama sekali.
Aneh.
“Masa ndak ada yang
tahu si waluyo kemana?”
Bu Warniti kembali
menanyakan pertanyaan itu kepada kami. Tapi sekali lagi ia tak menemukan
jawaban. Kami hanya diam. Karena memang kami tak tahu dimana si ketua kelas itu
berada.
“Yawes. Kalau
begitu, pimpin doa temen-temen kamu, Ndar.”
Bu Warniti menunjuk
kearahku. Aku, yang notabene wakil ketua kelas langsung kebagian menyiapkan
anak-anak berdoa sebelum memulai pelajaran.
***
Teng!teng!teng!
Lonceng sekolah
kami, yang terbuat dari potongan rel kereta api itu berbunyi. Tanda pulang
sekolah. Aku segera mengemasi buku, pensil, dan peralatan lain kedalam tas
warna hitamku begitu guru terakhir meninggalkan kelas. Aku hendak melangkah
pulang, namun langkahku terhenti. Aku mendengar si Santoso dan kawan-kawannya
tengah membicarakan Waluyo.
“Eh,Eh, tau ndak si
Waluyo kenapa tidak masuk sekolah hari ini?”
Santoso yang
berbadan gemuk itu naik keatas meja, menghadap ke teman-temannya seolah sedang
pidato.
Aku menghampiri
mereka.
“Emangnya si Waluyo
ngapo ra mlebu?“, tanyaku.
Emangnya kenapa si
waluyo nggak masuk?
Santoso menatapku
dan teman-temannya. Kami semua terdiam. Menunggu jawaban darinya.
“Tadi pas aku
berangkat sekolah, aku kan lewat depan rumahnya si Waluyo. Aku denger-denger
dia mau pindah ke Dolopo. Dia mau dijadikan gemblak sama Warok Sentani. Itu,
lho, yang punya sanggar reog yang terkenal di Dolopo itu.”
“Gemblak, gemblak
kui opo? Panganan sing songko ketan trus diwei kambil karo gulo?“, selorohku
karena tak tahu apa yang sedang dibicarakan Santoso.
Gemblak itu apaan?
Makanan dari ketan yang dikasih kelapa sama gula?
Tiba-tiba Santoso
menatap tajam ke arahku. Aku terpaku. Tatapannya seperti harimau yang hendak
menerkam mangsa.
“Heh goblok!
Gemblak itu ya kamu itu, Ndar.”
“Aku? Maksudmu?”
“Kamu kan dirawat
sama Pak Lek Danu. Dia bukan siapa-siapa kamu, sodara juga bukan. Tapi dia mau
merawat dan menyekolahkanmu. Apalagi kalo bukan menjadikanmu sebagai gemblak.
Menjadikan kamu sebagai simpanan, sebagai klangenan (jimat).”
Dheg!
Tiba-tiba aku
gentar mendengar ucapan Santoso barusan. Jantungku berdegup. Nyaris tak dapat
bicara.
“Taa..tapi Pak Lek
merawatku karena kasihan sama aku, ndak ada alasan lain.”
“Sekarang dia hanya
merawatmu karena kasihan, tapi sebentar lagi, kalau kamu naik kelas dua, kalau
umurmu sudah 13 tahun, apa kamu yakin Pak Lek mu itu cuma merawatmu sebatas
kasihan?” Santoso menyeringai.
Aku tak tahan.
Sungguh-sungguh tak tahan jika harus mendengarkan perkataan Santoso lebih lama
lagi. Aku benar-benar tak sanggup mendengarkan dia menjelek-jelakkan Pak Lek.
Aku bergegas pergi, sembari menyambar tasku secepat kilat. Meninggalkan Santoso
dan teman-temannya yang masih duduk terbengong.
“Nyapo bocah iku?”
Anak itu kenapa?
***
Brakk!
Aku membanting
lawang dengan keras begitu sampai rumah. Aku bergegas masuk ke kamarku tanpa
memperdulikan Pak Lek yang sedang menghirup ‘tingwe’ di kursi tamu. Aku
membanting tas begitu masuk kamar. Tanpa melepas seragam biru-putihku, aku
hempaskan tubuh kecilku diatas kasur, aku menangis sesenggukan. Aku hanya ingin
menangis. Tak ada hal lain.
“Lho, lho,lho,
muleh-muleh kok nyludur wae to, Ndar? Sragame ra dicupot sisan, ono opo to Le?”
Lho, lho, pulang2
kog nyelonong aja to ,Ndar? Mana seragamnya gak dilepas lagu, ada apa to, Nak?
Kudengar langkah
Kaki Pak Lek memasuki kamarku. Ia mendekat dan duduk di sebelahku. Sementara
aku masih tengkurap di atas kasur, menyembunyikan tangisku.
“Kowe nangis to,
Ndar?”, Pak Lek mengelus lembut kepalaku.
“Pak Lek?”
“Iyo..”
“Apa benar, Pak Lek
merawatku cuma buat menjadikan ku sebagi gemblak?” kuberanikan mengangkat
wajah, menatap lelaki di hadapanku.
“Kenapa kamu bisa
ngomong seperti itu to, Ndar?”
“Katanya Santoso,
Pak Lek merawatku karena pengen menjadikan aku sebagai jimat, sebagai simpanan.
Apa itu benar Pak Lek?”
“Uwes lah,Ora usah
dirungokne opo jare Santoso.”
Sudahlah, gak usah
dengerin omongan Santoso
Pak Lek mencoba
menenangkanku. Dengan lembut dielusnya kepalaku. Ia paling tahu, bahwa segala
kegundahan hatiku bisa seketika sirna oleh satu usapan lembutnya.
Namanya Danu
Sentani Satyodhewo. Tapi ia lebih suka aku memanggilnya Pak Lek Danu. Umurnya
nyaris empat puluh tahun. Ia selalu mengenakan blangkon dan batik kemanapun ia
pergi. Diatas bibirnya, terdapat kumis tebal yang menjadi simbol seorang warok.
Pak Lek yang
merawatku sedari kecil hingga sekarang. Aneh memang. Pak Lek tak punya hubungan
saudara denganku, tapi ia mau membesarkan aku dan menyekolahkan ku. Padahal aku
bukan siapa-siapa nya. Aku hanyalah anak yang lahir dari hubungan kumpul kebo
ibuku dengan seorang lelaki yang tak pernah kuketahui. Ibuku pun bahkan jijik
denganku. Dan menyerahkanku pada Pak Lek Danu untuk dirawatnya.
Pak Lek mengajarkan
ku menari Jathilan dan Tari reog. Pak Lek juga yang mengajarkanku bagaimana
nembang, mengajar menghempaskan kuda anyam, dan bagaimana menggerakan badan
agar sesuai dengan irama kendang dan kenong. Dan Pak Lek, lah, yang memberiku
nama yang begitu indah, Wendar Aji Sasmita.
——————————————————————————
note;
rokok tingwe;
istilah untuk rokok buatan sendiri. Biasanya dibuat dari tembakau kering
dicampur cengkeh yang dibungkus dengan kertas sigaret dan digulung sedemikian
rupa sehingga membentuk batang rokok.
warok; dalam
pertunjukan reog, warok sering disebut sebagai sosok berkumis tebal yang
memakai blangkon. Biasanya memakai celana hitam dengan kolor yang berukuran
super gede.
Pak Lek; paman.
——————————————————————————
“Pak Lek itu sayang
sama kamu, kalau ndak, mana mau Pak Lek waktu ibumu nitipin kamu.”
Pak Lek Danu masih
menghisap rokoknya. Aku duduk di sampingnya. Nyaris aku terbatuk oleh asap
rokoknya.
“Memangnya kenapa
kalau Pak Lek menjadikan kamu gemblak? Apa kamu ndak mau? Jadi gemblak itu enak
lo.” Pak Lek setengah melirik ke arahku.
“Tapi Pak Lek, aku
masih ndak tahu gemblak itu opo.”
“Hem… Dengerin Pak
Lek. Kamu tahu kan, kalo Pak Lek ini warok?”
Aku mengangguk
takzim.
“Nah, seorang warok
itu wajib memelihara gemblak. Sebab itu kewajiban bagi seorang warok untuk
tetap dapat mempertahankan dan meningkatkan kesaktian.”
“Tapi, katane
Santoso jadi gemblak itu tak ubahnya menjadi simpanan, jadi jimat.”
Pak Lek menatapku
sambil tersenyum. Dengan lembut, diusapnya kedua pipiku.
“Jadi gemblak itu
adalah tugas mulia , Ndar. Tidak sembarangan orang bisa jadi gemblak, harus
orang-orang terpilih. Dia harus bersih, tampan, dan juga pintar.”
Aku masih terdiam
mendengar kata-kata Pak Lek Danu. Sekarang ia seruput kopi kotol miliknya.
“Kamu wes maem
durung ,Ndar?”
Kamu udah makan
belum ndar?
Aku menggeleng.
“Belum.”
“Yaudah ayo kita
beli sate ke Ngebel, kamu ganti baju dulu sana, pak Lek mau ngambil pit jengki
dulu.”
Pak Lek berlalu,
sementara aku bergegas membuka seragam SMP ku. Mengaduk- aduk isi lemariku yang
terbuat dari bambu, mengambil baju kesayanganku; sebuah celana hitam dengan
sulur berwarna-warni de tepiannya dan sebuah kaos bergambar Reog Ponorogo.
Selepas memakai baju,
segera kuhampiri Pak Lek yang sudah menunggu di depan rumah sambil menyiapkan
pit Jengki-nya. “Ayo, Pak Lek”, ajakku.
——————————————————————————
note;
pit jengki; sepeda
kumbang.
—————————————————————————
——————————————————————————LAYANG
LORO: Namaku Wendar, dan Aku Seorang Gemblak
——————————————————————————
Aku masih terpaku
memandangi Pak Lek Danu. Ia terduduk diantara segerombolan lelaki sebayanya.
Mereka tertawa-tawa. Dihadapan mereka, tersaji kopi kotol dan singkong goreng
yang masih mengepulkan asap. Sesaat aku memandangi mereka. Ternyata seperti
itulah jika para warok sedang berkumpul dan ngobrol, batinku.
Kemudian aku
melengos. Kembali menghadap ke sebuah cermin kecil di depanku. Perlahan,
kuusapkan kapas basah di tangan kananku pada wajahku, mencoba menghapus
sisa-sisa pulasanmake up waktu pentas tadi. Baru saja aku selesai menampilkan
tari Jathilan bersama teman-temanku. Sejenak, kupandangi pantulan wajahku pada
cermin. Benar-benar sukar dipahami. Entah kenapa wajahku bisa sangat sempurna.
Kedua mata yang laksana mentari terang jika membelalak. Hidung yang laksana
tebing curam menggelincirkan nurani. Dan bibir tipis yang menjadi muara segala
kendahan. Wajahku bukan hanya tampan. Tapi juga cantik.
“Kamu ndak ikut
ngumpul sama Pak Lek mu, Ndar?”
Tiba-tiba seorang
lelaki berumur sekitar sembilan belasan menghampiri dan duduk disampingku.
Tangannya menyodorkan segelas teh panas dan pisang goreng. Namanya Mas Narno,
dia temanku menari jathilan, dan dia……. Juga seorang gemblak. Sama sepertiku
yang akhirnya menjadi gemblak Pak Lek Danu.
“Mbo..Mboten, mas.
Teng mriki mawon”, ucapku terbata, berusaha menampilkan bahasa krama ku sebaik
mungkin.
(nggak, mas. Disini
saja).
“Ooalah, yowes”.
Mas Narno tersenyum tipis menatapku. “Ayo dipangan gedhang gorenge”.
(ayo dimakan pisang
gorengnya).
“In..injih Mas,
suwun”.
(i..iya mas,
makasih).
Sesaat Mas Narno
menatap kearahku. Lama. Matanya seperti menelusuri tiap jengkal diriku.
Kemudian ia tersenyum, melihat diriku yang salah tingkah oleh tatapannya.
“Pak Lek mu itu
beruntung sekali, yo, Ndar”. Ucap Mas Narno pelan.
“Be…beruntung piye
to mas?”.
(beruntun gimana to
mas?).
“Ya beruntung. Dia
punya gemblak yang sempurna macam kamu. Kamu itu ngganteng, pinter, penurut dan
berbakti pula.”
Aku tersipu
mendengar kata- katanya. Mas Narno meneruskan kata-katanya. “Kamu harusnya juga
bangga, Ndar jadi gemblaknya Pak Lek. Pak Lek itu terkenal paling sayang lo
sama gemblaknya.”
“Sampeyan ngertos
saking pundi, Mas?”. Tanyaku penasaran tentang Pak Lek.
(kamu tahu dari
mana mas?).
“Hehehe.” sekilas
Mas Narno tersenyum. Ah. Senyumnya begitu menawan. Wajahnya pun tak kalah
tampan. Kulitnya putih bersih dan terawat. “Dulu, Mas pernah jadi gemblaknya
Pak Lek mu sebelum mas dibeli sama Warok Ludiro.” Mas Narno menunjuk kearah
lelaki disamping Pak Lek. “Jadi Mas tahu giman Pak Lek itu memperlakukan
gemblak peliharaannya. Percayalah, kamu akan merasa beruntung.”
Aku hanya
mengangguk sangsi. Aku masih belum mempercayai ucapan Mas Narno. Aku memang
tahu perlakuan Pak Lek terhadapku sebagai anak angkatnya memang baik, tapi aku
tak pernah tahu seperti apa dia memperlakukanku sebagai gemblak.
“Mas…?”, ucapku
kemudian memecah keheningan.
“Ya, Ndar?”.
“Apa mas ndak malu
jadi gemblak? Kan banyak yang ngejek kita kalo jadi gemblak. Wong aku aja berhenti
sekolah gara-gara teman sekolahku terus mengejekku.”
Mas Narno terkekeh
mendengar ucapanku. Dan kemudian ia menatap mataku tajam.
“Ndar, kamu tahu
ndak. Ketika lelaki-lelaki Ponorogo itu lahir dari perut ibunya, mereka punya
dua takdir Ndar; kalo ndak jadi Warok, ya jadi gemblak”.
“Jadi, menjadi
gemblak itu takdir?”
“Yah… Ndak seratus
persen juga sih. Tapi bagaimanapun juga kita ndak bakal bisa mengelak. Orang
kita udah dipilih. Kita udah terikat sama takdir kita sebagai gemblak kog,
heheh…”, Mas Narno tersenyum kecut.
Jadi Gemblak itu
tugas mulia ,Ndar. Kamu ndak perlu isin (malu)”, tambah Mas Narno.
Aku yang mendengar
kata- kata Mas Narno itu hanya mengangguk takzim.
“Mas tadi bilang,
katanya Mas pernah jadi gemblak Pak Lek sebelum dibeli sama Warok Ludiro. Apa
gemblak itu diperjual- belikan?”, tanyaku penasaran dengan perkataan Mas Narno
tadi.
Sesaat Mas Narno
terdiam. Mencoba menemukan dan merangkai kata- kata yang tepat untuk
menjelaskan kepadaku.
“Ndar.”
“Injih, Mas.” (ya,
mas).
“Yang namanya
gemblak itu. Ada yang namanya gemblak berkualitas tinggi, ada yang endak. Dan
hanya gemblak terbaik yang ingin dimiliki seorang warok. Makanya, biasanya,
diadakan jual- beli atau pertukaran gemblak. Biasanya mereka membayar 3 ekor
sapi untuk kontrak 3 tahun”, terang Mas Narno.
Aku hanya
mengangguk, mencoba memahami penjelasan yang lumayan rumit untuk anak berumur
enam belas tahun sepertiku.
“Tapi Mas yakin Pak
Lek Danu ndak bakal gelem (mau) menukarmu dengan apapun. Mas tahu Pak Lek
sangat menyayangimu.”
“Ah, Mas niki iso
wae”, jawabku tersipu.
(ah, mas ini bisa
aja).
Kami berdua
kemudian saling berpamitan karena Pak Lek menghampiriku dan mengajakku pulang.
Mas Narno hanya tersenyum dan melambaikan tangan.
“Ati- ati, Ndar”.
(hati- hati, Ndar).
***
“Kamu tadi ngobrol
opo wae karo Mas Narno, Ndar?”.
(kamu tadi ngobrol
apa aja sama mas narno, ndar?).
Pak Lek terus
mengayuh pit jengkinya menelusuri pematang sawah yang diselimuti rerumputan
teki yang hijau. Sementara aku duduk di boncengan belakang, melihat butir-
butir padi yang mulai menguning disekeliling.
“Mboten Pak Lek,
mboten matur nopo- nopo”. Kueratkan genggaman tanganku pada pinggang Pak Lek
yang kokoh.
(gak pak lek, gak
ngomong apa-apa).
“Tenane?”. (yang
bener?)
“Injih, Pak Lek.”
“Kamu itu jangan
terlalu deket Sama Mas Narno, Pak Lek ndak suka.” Pak Lek terus mengayuh sepeda
tanpa berpaling kepadaku sedikitpun.
“Emange wonten
punopo Pak Lek? Nopo mergi Mas Narno niku mantan gemblak Pak Lek? Terus Pak Lek
mboten seneng?”.
(emangnya ada apa
Pak lek? Apa karena mas narno mantan gemblak pak lek, terus pak lek gak suka?).
Pak Lek terdiam
sebentar. Sementara aku kian penasaran.
“Pak Lek cuma ndak
mau kalo Mas Narno itu mbujuki (mengadu-domba) yang ndak – ndak ke kamu tentang
Pak Lek. Pak Lek ndak mau kamu lantas jadi benci Pak Lek nantinya.”
“Pak Lek, Mas Narno
itu baik. Dia ndak sedikitpun menjelek- jelekkan Pak Lek. Malah dia muji- muji
Pak Lek. Sudahlah Pak Lek ndak usah curiga begitu sama Mas Narno.” ucapku ketus.
Tak terima kalau Mas Narno dibilang suka menjelek- jelekkan orang.
“Pak Lek curiga
karena Pak Lek ndak mau Wendar benci sama Pak Lek.”
“……”, aku terdiam
mendengar perkataan Pak Lek.
“Karena Pak Lek
sayang sama kamu, Ndar.”
“Aku juga sayang
sama Pak Lek”.
Jawabku setengah
tersipu.
Sepeda kumbang yang
kami tunggangi terus melaju diantara jalanan yang berkelok. Menerobos udara
panas yang membakar kulit. Aku semakin erat memeluk pinggang Pak Lek. Sementara
ia terus mengayuh. Peluhnya menetes. Tapi ia tak perduli.
bahasa krama;
bahasa halus yang biasa digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua.
(TELU)
LELANANGING LANANG
(lelakinya lelaki)
Rembulane sumunar
ndhadari Lintang-lintang angebaki tawang Pating gelebyar cahyane Wanci ratri
wus larut Swara angin sembribit ngidit Saya nggegerit manah Wong kang nandang
wuyung Ketaman lara asmara Duh kusuma, wilangan sanga lan kalih Mugi welas
mring kula Rembulan bersinar dengan terang Bintang2 memenuhi langit Cahayanya
berkilat terang Memang hari telah larut Suara angin berhembus kencang Semakin
mengiris hati Orang2 yang sedang kasmaran Dilanda sakit cinta Duh kekasih,
hitungan sembilan dan kedua Semoga engkau kasihan pada diriku SAYUP-sayup
kudengar suara tembang diantara gelap malam. Temaram lampu sentir yang redup
menggelogok hatiku dengan suasana syahdu. Aku bangkit dari amben (ranjang) dan
melangkah menuju pintu. Aku melongok pintu kayu yang sedikit terbuka. Disana,
di kursi depan, Pak Lek Danu menyanyikan bowo Wuyung. Suaranya menggetarkan
hati. Aku merinding oleh asap rokonya. Entah kenapa, setiap tarikan suara Pak
Lek seolah batang- batang rumput teki yang menggesekkan harmoni keindahan.
Syahdu. Tembang- tembang Jawa memang selalu menggetarkan jiwa.
“Koe durung turu to
, Ndar?”, Pak Lek menoleh kearahku yang terpaku di ambang pintu.
(kamu belum tidur
to ndar?).
“De..dereng. Dereng
saget tilem Pak Lek”.
(Be…belum. Belum
bisa tidur pak lek).
“Yawes, mreneo.”
Pak Lek melambaikan tangannya kearahku.
(yaudah, kesini).
Aku segera berlari
kearah Pak Lek, mendekatinya, dan duduk di pangkuannya.
“Aku pengen Pak Lek
cerita sama aku. Seperti dulu ketika Pak Lek mendongengkan aku sebelum
tidur”,ucapku pelan.
“Hemm… Yawes… Pak
Lek mau cerita sama kamu. Tapi kamu dengerin ya, jangan tidur…”, Pak Lek
menowel hidungku gemas. Aku hanya menjerit kecil dan tertawa.
“Kamu pernah dengar
asal- usul reog , Ndar?”.
“Belum Pak Lek.”
“Yaudah dengarkan.”
***
“Pada jaman dahulu,
di Ponorogo ini, ada sebuah kerajaan, Ndar. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang
raja besar yang bernama Raja Kelono Sewandono. Nah, suatu hari, sang raja
menyukai dan ingin mempersunting seorang putri dari kerajaan Kediri. Seorang
gadis cantik yang bernama Dewi Ragil Kuning. Ketika Raja Kelono Sewandono dan
para pasukannya pergi ke Kediri hendak melamar Ragil Kuning, tiba-tiba tiba
mereka dihadang oleh raja Kediri yang tidak setuju Ragil Kuning dipinang oleh
Kelono Sewandono. Raja itu, namanya Raja Singo Barong, tak rela, karena
sebenarnya dia juga mencintai gadis itu. Akhirnya mereka berdua pun berperang
untuk mendapatkan si gadis cantik itu. Raja Kelono dengan pasukannya yang
terdiri atas bujang anom dan warok. Sedang Singo Barong dengan pasukannya yang
terdiri atas singa, harimau, burung merak dan pasukan berkuda.”
“Lalu siapa yang
akhirnya menang Pak Lek?”, tanyaku penasaran.
“Pada Akhirnya,
Raja Kelono Sewandono lah yang menang dan mendapatkan Dewi Ragil Kuning.”
“Jadi itu alasannya
pada akhir pertunjukan reog, pasti dikisahkan kalau barongan kalah dan jatuh
tersungkur?.”
“Ya seperti
itulah.”
“Jadi kalau Wendar
nari Jathilan. Wendar itu ibarat pasukannya Singobarong yang gagah perkasa Pak
Lek?”, tanyaku menggebu.
“Benar le, makanya,
kamu harus serius nari jathilannya. Kamu harus jadi lananging lanang Ndar. Kamu
harus jadi seperti pasukannya Singo barong yang gagah berani.” jelas Pak Lek.
Aku hanya
mengangguk. Dan tertidur dalam pangkuan Pak Lek.
lampu sentir; lampu
minyak. Tapi biasanya dibuat dari botol ‘kratingdaeng’ dan diberi sumbu kompor
dengan bahan bakar minyak tanah.
bowo; lirik lagu
dalam bahasa jawa yang dinyanyikan tanpa musik. Hampir sama seperti deklamasi,
namun dengan irama.
ada beberapa versi
cerita tentang asal- usul reog, tapi yang kupakai disini adalah alur cerita
yang digunakan dalam pementasan reog.
(PAPAT)
SEJATINE WONG
LANANG
(Lelaki yang
sesungguhnya)
AWALNYA, Pak Lek
hanya menyelusupkan jemari- jemarinya kedalam lubang bajuku. Namun kemudian,
Pak Lek malah memasuk- masukkan yang lain pada lubang yang lain.
Malam itu hujan tak
henti- hentinya turun dari langit gelap. Aku menatap lampu sentir diatas meja
yang tertiup- tiup angin dingin. Cahayanya redup. Temaram. Aku meringkuk
didalam kain sarung, menunggu Pak Lek yang belum pulang juga sampai larut
begini.
“Pak Lek dimana….
Wendar takut…..” bisikku lirih.
Tiba- tiba
terdengar suara pintu diketuk. Aku terperanjat. Kemudian terdengar suara khas
Pak Lek diantara suara bising air hujan.
“Ndarr…. Kamu belum
tidur kan ‘ le (nak)? Buka pintunya Ndar….”.
Aku bangkit dari
duduk. Sambil membebatkan kain sarung ditubuhku aku berjalan menuju pintu
depan.
Kubuka pintu dan
muncullah Pak Lek Danu yang basah kuyup. Aku segera meyuruh Pak Lek masuk.
“Pak Lek saking
pundi mawon? Kog ngantos teles kebes ngeten?”, ucapku sambil menutup pintu.
(Pak Lek dari mana
saja? Kog sampai basah begitu?).
“Pak Lek habis dari
sanggar, biasalah, acara syukuran Warok Suro.” ucap Pak Lek sambil berjalan
masuk kedalam kamar untuk berganti pakaian.
Ah. Aku mencium bau
alkohol dari mulut Pak Lek saat ia berbicara. Pasti tadi dia dan teman-
temannya pesta angciu waktu di sanggar. Kebiasaan Pak Lek tak pernah berubah.
Sementara Pak Lek berganti baju, aku kembali duduk diatas kursi anyam yang
terbuat dari rotan.
“Ndar… Koyone
(kayaknya) Pak Lek masuk angin iki. Kamu bisa ngerokin Pak Lek kan?”.
Terdengar teriakan
Pak Lek dari dalam kamar.
“Saget Pak Lek.
Sekedap”. Jawabku sambil membereskan piring dan gelas bekas makan ku tadi.
(bisa Pak lek,
sebentar).
***
Aku berjalan gontai
dari dapur menuju ke kamar Pak Lek. Aku bisa mencium bau minyak serimpi
menyeruak dari kamarnya. Harum. Tapi juga mistis.
Diatas ranjang, aku
melihat Pak Lek telah terbaring tengkurap dengan hanya mengenakan kain sarung.
Sesaat mataku tepaku melihat lekukan tubuh indah Pak Lek. Kulitnya sawo matang
dan terlihat bersih. Lekukan tubuhnya begitu sempurna, terpahat tanpa celah
sedikitpun. Jika ada wanita yang melihatnya telanjang begini. Aku yakin, mereka
pasti tergila- gila dengan Pak Lek.
“Nah, kui neng mejo
ono lengo gas karo duit satus.” ucap Pak Lek memecah lamunanku.
(nah itu di meja
ada minyak tanah dan uang seratus).
Segera aku menuju
meja. Mengambil sebuah piring kecil berisi minyak tanah dan uang koin seratus
rupiah bergambar gunungan. Dan bergegas naik ke ranjang dan uduk di samping
Lek.
angciu; arak jawa,
minuman keras yang terbuat dari fermentasi beras.
Perlahan- lahan,
kuusapkan minyak tanah kepunggung Pak Lek dan mulai mengeroknya dengan koin
seratus rupiah itu. Pak Lek hanya terdiam, tak bergeming. Padahal aku menekan
kerokan itu dengan kuat, tapi rasanya itu bukan apa- apa baginya.
Sesaat hanya
keheningan yang melingkupi kami berdua. Hanya ada suara gemerisik air hujan
yang tak kunjung reda. Dan suara desah nafas kami berdua.
Sesekali kupandangi
wajah Pak Lek dari belakang. Entah kenapa aku jadi suka mencuri pandang
kearahnya. Wajahnya yang tampan dan perkasa tampak kuyu. Begitu pula kumis
tebal yang bertengger diatas bibir nya. Kurasa aku mulai menyayangi Pak Lek
seperti aku menyayangi ayahku sendiri. Ya, aku menyayanginya sebagai seorang
ayah. Tak lebih. Untuk saat ini.
“Sampun Pak Lek.”
(sudah pak lek)
Ucapku begitu
menyelesaikan kerokan terakhir pada punggung Pak Lek Danu. Sekarang, di
punggungnya nampak garis- garis bekas kerokan yang merah.
Pak Lek lantas
membalikkan badan dan melihat aku yang sedang menguap- nguap. Aku terkantuk-
kantuk.
“Kamu sudah ngantuk
to, Ndar?”.
“Injih, Pak Lek,”
jawabku sambil mengucek kedua mataku yang lengket.
“Yawes mrene, bobo
ning andinge Pak Lek”, katanya sambil menepuk- nepuk tikar disebelahnya.
Aku pun segera
mendekat kesamping Pak Lek, merebahkan tubuhku yang remuk, dan menyingkapkan
kain sarung agar menutupi tubuhku. Aku berbalik memiringkan tubuhku,
membelakangi Pak Lek Danu.
***
Perlahan namun
pasti, kurapatkan kedua mataku yang terasa kian lengket. Secepatnya aku harus
segera tidur, karena besok aku harus ke sanggar lagi, latihan menari dan
nembang.
Tapi tiba- tiba Pak
Lek memelukku dari belakang. Aku terdiam. Tubuhnya yang bertelanjang dada kini
rapat dengan tubuhku. Kurasakan ia menggigil, mungkin karena efek hujan yang
perlahan merangsek dinding bambu dan menerobos kamar Pak Lek. Aku tetap diam,
tanpa membalikkan wajahku.
Semakin lama,
pelukan Pak Lek kian erat. Aku nyaris tak bisa bernafas. Ia posisikan bantalnya
agar sejajar dengan bantalku. Kini, wajahnya tepat berada di belakang kepalaku.
Aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa rambutku.
***
Awalnya, Pak lek
hanya menyelusupkan jemari- jemarinya kedalam lubang bajuku. Tapi kemudian, ia
mulai memasukkan yang lain pada lubang yang lain. Tangannya perlahan menyusup
kedalam bajuku, mengelus dada dan tubuh bagian atasku. Aku tertegun. Tak bisa
berkata. Namun kemudian, tangan Pak Lek berhenti pada putingku yang mungil.
Tanpa menyibak bajuku, ia meraba dan memelintir puting susuku dengan lembut.
Aku hanya memejamkan mata. Aku ketakutan, tak berani menolak.
“Pakk…. Pak Lek
mau… Ngapaaiinn…..??”, ucapku pelan karena ketakutan. Aku coba geser tubuhku
menjauh. Namun tangan Pak Lek tetap tak berhenti mengerjai tubuhku.
“Ssssshhttt…. Kamu
tenang saja ,Ndar, Pak Lek ndak bakal ngapa- ngapain kamu”, jawab Pak Lek tak
kalah pelan, sementara tubuhnya semakin melekat padaku. Pak Lek juga mulai
menggesek- gesekkan kelaminnya yang terbebat sarung tipis ke pantatku.
Aku kian ketakutan.
Aku tahu. Entah apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa diam dan menutup mata.
Aku tak mau Pak Lek marah. Aku tak mau… Aku tak mauu…
***
Dan aku merasakan
Pak Lek mulai membuka gulungan sarung diperutnya. Dilonggarkannya sarung itu
dan dipelorotkannya. Pak Lek sekarang benar- bemar telanjang tanpa sehelai kain
pun.
Ia lekatkan
selangkangannya ke pantatku. Ia gesek perlahan dan menekan- nekannya kearahku.
Kurasakan ada sesuatu yang keras diantara selangkannya. Itu penis Pak Lek yang
sudah mengeras.
Lalu tangan Pak Lek
mulai turun dari dadaku. Menuju perut, mengelusnya sebentar dan turun lagi
hingga menemukan kait celana pendekku. Dengan lembut dibukanya kait tersebut
hingga terlepas. Dan Pak Lek memelorotkan celana dan celana dalamku… Aku
menjerit dalam hati, Ya Tuhan! Apa yang akan Pak Lek lakukan padaku….???
Begitu berhasil
memelorotkan celanaku, Pak Lek menarikku kearahnya. Bongkahan pantatku menempel
pada selangkangannya. Sementara penisnya yang mengeras mengobok- obok garis
pantatku.
***
Pelan, Pak Lek
mulai mengelus- eluskan batangnya pada garis pantatku. Penisnya kian mengeras.
Sementara aku, kian bergetar ketakutan. Kedua tangannya naik lagi. Menyelusup
kedalam bajuku dan kembali menjamah setiap senti dadaku. Aku menggelinjang.
Tangannya terus memelintir dan mencubit kedua putingku, sementara kemaluannya
dengan liar terus berserobok mencari- cari lubang anusku.
“Aakkkhhhhh……..!!!”,
aku setengah menjerit saat merasakan kepala penis Pak Lek menjebol bibir
anusku. Tanpa pelicin, ia terus mendesakkan batang kudanya memasuki lubangku.
Aku meringis, rasanya perih bukan main
Ia terus menekan-
nekannya hingga…..blesss…. Semua batang panjangnya terbenam kedalam tubuhku.
“Aaaakkkhhhhh…….hhhh..hhh….”,
Kudengar Pak Lek melenguh. Pelan, namun kencang membisiki telingaku. Nafasnya
kian memburu. Dan dengan cepat, ia terkam leher belakangku. Lidahnya yang basah
menyapu tengkuk ku dengan ganas. Aku gelimpangan. Rasanya geli. Namun nikmat.
Tanpa aba- aba Pak
Lek segera menggerakkan pinggulnya maju dan mundur. Awalnya pelan. Namun kian
lama makin kencang.
“Uuuhhh….
Akkkkkhhhh….. Sss…sssaaaa….kittt…Pak…lekkk…”. Aku mengerang setiap batang Pak
Lek bergesekan dengan bibir pantatku. Rasanya pedih sekali. Sakit sekali.
…….. Dan Pak Lek
kian mempercepat gerakannya. Penisnya kian cepat membobolku. Selangkangannya
kian keras menghantam bongkahan pantatku. Hingga menimbulkan suara yang
membangkitkan gairah…. Semakin cepat… Semakin panas…. Semakin liar dan
akhirnyaa………
“AUUKKKKHHHHHH…..ARRRRRGGGHHHHHH……OOOOOHHHHHHH…..HHHHHHHHHHHHHHHH…….”.
Pak Lek melenguh
panjang sambil menempelkan tubuhnya ke tubuhku dengan erat. Tangannya menarik
putingku dengan kencang. Sebentar ia mengejang. Menggelinjang, dan mengerang…..
Hingga akhirnya
kurasakan cairan hangat meleleh diantara belahan pantatku bersamaan kemaluan
Pak Lek yang menyembul keluar
“KENAPA PAK LEK
TEGA MELAKUKAN ITU????? KENAPAA????”.
AKU terus memaki-
maki Pak Lek. Aku mencakar- cakar tubuhnya dan memukul- mukul dadanya. Aku
emosi. Benar- benar emosi. Tak kusangka Pak Lek yang kuanggap sebagai ayahku
sendiri tega melakukannya. Ia telah tega melecehkanku dan merampas harga diriku
sebagai seorang lelaki. Aku tak pernah menyangka Pak Lek akan menyetubuhiku. Aku
tak mengiranya sama sekali.
“JARENE PAK LEK
SAYANG KARO WENDAR… TAPI ENDI BUKTINE????
… PAK LEK A**…….
AKU PEGEL KARO PAK LEK!!”.
(katanya pak lek
sayang sama wendar, tapi mana buktinya??? Pak lek anj***….. Aku benci sama pak
lek!!!!)
Aku terus meraung-
raung sambil mengarahkan kepalan tinjuku ke tubuh Pak Lek. Namun sia- sia.
Tenagaku tak seberapa baginya, hingga tinjuanku memantul, dan malah aku yang
roboh. Aku tersungkur sambil terus menangis. Gigiku gemeratak oleh kemarahan.
“Maafin Pak Lek
Ndar……. Pak Lek harusnya bisa menahan nafsu Pak Lek….. Harusnya Pak Lek ndak
melakukannya pada kamu….. Maafin Pak Lek Ndar………”.
Pak Lek berdiri di
hadapanku dengan wajah menunduk. Tubuhnya berguncang, ia sesenggukan.
“Tolong maafin Pak
Lek…. Kamu boleh apain Pak Lek…. Kamu boleh tendang Pak Lek… Kamu juga boleh
pukul Pak Lek…. Tapi tolong…. Maafin Pak Lek….”. Tiba-tiba tubuhnya roboh. Ia
kini bertekuk lutut dihadapanku. Wajahnya merah seakan dipenuhi rasa sesal yang
menggunung. Ia mendekatiku, dan kemudian memelukku.
***
“LEPASKAAANN….
JANGAN SENTUH WENDAR……..!!!!!!!”.
SEGERA kulepaskan
pelukan Pak Lek dari tubuhku. Aku benar- benar jijik pada Pak Lek. Seakan- akan
Pak lek adalah penyebar virus mematikan. Aku tak mau dipeluk atau disentuh oleh
Pak Lek lagi. Aku sudah trauma. Kini rasa sayangku pada nya telah menguap dan
terkikis habis. Hanya ada rasa benci.
***
Aku lantas bangkit,
mengerahkan sisa- sisa tenagaku yang tinggal separuh. Kulangkahkan kakiku pergi
meninggalkan Pak Lek. Aku ingin pergi. Tak tahu kemana. Entahlah. Yang pasti
tempat yang jauh dari rumah ini. Aku tak ingin melihat Pak Lek lagi.
“Ndaaaarrr…. Koe
arep neng ngendi????”, teriak Pak Lek.
(ndarr… Kamu mau
kemana).
……namun tak ku
hiraukan sedikitpun.
…………opo aku isih
iso diarani wong lanang yen aku wes ambruk karo lanangan liyo…….
(apa aku masih
pantas disebut lelaki jika aku sudah roboh oleh lelaki lain)
KEDUA kaki mungilku
terus mengayun tanpa arah. Kerikil- kerikil kecil dan tanah yang basah oleh hujan
semalam langsung menyapa telapak kakiku yang telanjang. Sendal jepitku putus,
kubuang entah kemana.
“Pak Lek jahat…..”.
Gumamku perlahan
sambil mengusap lelehan keringat dan air mata. Aku terus berlari. Tak tau
hendak kemana. Yang pasti jauh dari rumah, jauh dari Pak Lek. Meskipun harus
pergi keluar kampung pun, aku berani. Emosi dan rasa benciku telah mengalahkan
segala. Tapi tiba-tiba aku linglung. Langkahku perlahan melemah, dan ambruk ke
tanah.
***
“Ah Ndar… Kamu
sudah siuman le….”.
Pelan- pelan kubuka
kedua mataku. Berat. Namun akhirnya aku bisa membukanya. Dan kurasakan kepala
bagian belakang ku amat sangat nyeri. Aku celingukan melihat sekeliling dan
kutemukan Mas Narno sedang duduk disampingku.
“A… Aku dimana
mas?”, tanyaku dengan suara lemah.
“Kamu ada di
sanggar, Ndar. Tadi ada anak lelaki yang mengantarmu kesini. Katanya dia nemuin
kamu pingsan di jalan dekat kampung sebelah. Kamu mau kemana to, Ndar kog sampe
nyasar kesana?”.
“A… Anak lelaki?”,
ucapku sembari mengangkat kedua alisku.
“Iya… Dia masih
nunggu di luar kog, mau mas panggilin?”. Mas Narno segera bangkit dari duduknya
dan bergegas keluar kamar. Namun tiba- tiba…..
“Mas……”
Mas Narno berhenti
dan menoleh kepadaku.
“Jangan kasih tahu
Pak Lek ya kalau aku disini.”
Mas Narno
mengernyit.
“Memangnya kenapa?”
“Pokoknya jangan
kasih tahu Pak Lek.” ucapku sambil menunduk.
“Iya sudah…. Mas
ndak bakal bilang kog sama Pak Lek mu.” jawab Mas Narno sambil lalu. Dia segera
keluar kamar.
Sesaat terdengar
suara Mas Narno memanggil seseorang. Mereka bercakap- cakap sebentar dan
kemudian kudengar ia menyuruh seseorang tersebut untuk masuk kedalam kamar dan
menemuiku………
***
Krieeett……..
Pintu berderit
perlahan dan terbuka. Aku melongok, mencoba melihat siapa yang muncul dari
balik pintu. Dan kemudian, muncullah seorang anak lelaki berwajah tampan.
Kutaksir umurnya delapan belas tahun. Setahun lebih muda dari Mas Narno.
Kuperhatikan tubuhnya yang kokoh. Ia tampan. Benar- benar tampan. Kulitnya
putih tanpa bercak sedikitpun. Dan tampak mulus dan bersih.
“Syukur kowe wes
sadar, aku wedi nek koe gak sadar- sadar. Wedi koe nyapo- nyapo.” si bocah
berjalan mendekatiku yang masih terbaring diatas amben.
(syukurlah kamu
sudah sadar. Aku takut kalo kamu gak sadar2, takut kamu kenapa- napa).
“Heheh”, aku
tertawa kecil. “Suwun ya uwis nolong aku.”
(terima kasih ya
udah nolong aku).
“Podo- podo”.
(sama- sama).
Sesaat kami berdua
tertawa- tawa dan mengobrol. Aneh memang. Aku tak pernah mengenalnya
sebelumnya. Tapi tiba- tiba saja kami berdua akrab dan cepat menyatu. Ia tak
pernah berhenti membuatku tertawa oleh celotehan- celotehannya. Dan ia….. Tak
pernah gagal membuatku terpesona oleh parasnya yang sempurna…. Ah…. Aneh…
Apakah aku menyukainya???? Gila…. Jika iya…. Berarti aku sudah benar- benar
gila.
“Sopo jenengmu?”,
ia memecah tawa kami. Menatap lurus ke arahku sembari mengulurkan tangan,
(siapa namamu?)
“Wendar…. Kamu?”,
jawabku membalas jabataya.
“Prabowo…. Panggil
saja Bowo.”
***
(ENEM)
AKU MUK PINGIN
BEBAS
(Aku hanya ingin
bebas) Duh wong bagus, pepujaning ati Mung sliramu kang tansah nglelewo Rino
kelawan wengiku Rasane wong lagi gandrung amung eling siro wong manis Batin ora
kurowo Nandang loro wuyung Enggalo paring usodo Mring awakku kang lagi nyidam
sari Ugo nandang asmoro Duh orang tampan pujaan hati Hanya kau yang selalu
menggoda Siang dan malamku Rasanya orang sedang jatuh cinta Hanya ingat dirimu
yang manis Batin tak kuasa Menahan sakit cinta Cepatlah beri kepastian Pada
diriku yang sedang bingung Juga kasmaran “Jadi kenapa kamu bisa sampai nyasar
ke kampung sebelah dan pingsan ditengah jalan begitu?”.
Bowo masih menatap
tajam ke arahku. Berusaha mengorek informasi detail tentang kejadian memalukan
itu. Ya, buatku itu sangat memalukan. Aku nyasar di kampung yang tak pernah
kudatangi sekalipun, dan malah pingsan di tengah jalan. Untung saja ia segera
menemukanku dan membawaku ke sanggar.
“Ceritanya
panjang.” jawabku singkat. “Tapi omong- omong, dari mana kau dapat inisiatif
untuk membawaku ke sanggar ini. Apa kau kenal Mas Narno?”.
Bowo menggaruk-
garuk kepalanya sebentar. Seakan akan memikirkan sesuatu. Kemudian ia berbalik
menatapku kembali.
“Aku tak kenal Mas
Narno atau siapapun di sanggar ini.”
“Terus?”.
“Aku sering lihat
kamu lathian nari Jathilan disini. Setiap aku pulang sekolah, aku selalu lewat
sini dan aku lihat kamu. Aku memperhatikanmu.”
Aku terdiam
mendengar kata- katanya.
“Jadi kubawa saja
kamu kesini. Aku kan ndak mungkin bawa kamu ke rumahmu. Iso di gandring aku
karo pak lan mbok ku, hehehehe….(bisa dihajar habis- habisan aku sama ayah
ibuku). Nanti dikira aku nyulik anake uwong (anak orang).”
Aku ikut tertawa
melihat senyumnya. Aneh. Ia seakan menggerakkan seluruh anggota tubuhku. Ketika
ia tertawa, entah kenapa aku juga ikut tertawa. Dan ketika ia serius, entah
kenapa aku juga ikut serius. Ah… Ini gila……
“Jadi kenapa koe
(kamu) sampai pingsan ditengah jalan begitu?”. Tanya Bowo. Rupanya dia masih
penasaran dengan kronologis kejadian menyebalkan itu.
Aku menghela napas
sebentar.
“Sebenernya……..aku………..”.
KRIEEETTTTT……!!!
Tiba- tiba pintu
kamar terbuka dan Mas Narno muncul dari balik pintu. Ia berjalan mendekati kami
dan berpaling menghadap Bowo.
“Bowo… Kamu
dicariin Pak Joyo tuh, disuruh cepet pulang katane….sudah ditunggu di depan lho
“, kata Mas Narno pelan sambil menunjuk keluar.
“Oh… Injih Mas.
Nggih mpun, kula wangsul riyin nggih?”. Bowo lantas segera bangkit dan
berpamitan kepadaku.
(oh, iya mas.
Yaudah aku pulang duluan ya?).
“Ati- ati ya, Wo.”
ucapku.
“Iya… Cepet sembuh
ya, Ndar?”.
“Iya, suwun.”
(terima kasih).
Bowo kemudian
beranjak keluar kamar dan segera menuju ke halaman depan. Setelah langkah
kakinya tak terdengar lagi, aku segera berbalik ke Mas Narno.
“Mas Narno kenal
sama Bowo?”, tanyaku penasaran. Kulihat Mas Narno menatapku aneh.
“Ya jelas kenal
lah, Ndar. Dia kan kadang juga suka ikut latihan nari sama nembang disini. Kamu
nya aja yang nggak pernah ngelihat dia.”
Ah, rupanya Bowo
bohong padaku soal melihatku setiap ia pulang sekolah.
“Ja… Jadi Bowo
itu…”
“Iya, Ndar. Dia
juga seorang Gemblak… Sama kayak kita…. Dia gemblaknya Warok Joyo yang mimpin
kelompok reog di Ngaseman.”
***
(PITU)
PAK LEK SAYANG
KAMU, NDAR…
“AYO to Ndar……
Tolong maafin Pak Lek….. Sudahlah, mbok jangan marah marah begitu…….”.
Sekali lagi Pak Lek
merengek padaku. Namun tak kuhiraukan sama sekali. Aku masih marah padanya.
Masalah hilangnya ‘kelelakian’ ku bukanlah masalah sepele. Jadi tak semudah itu
kumaafkan Pak Lek.
“Ndar…. Pak Lek
mohon…..”
Tapi aku tetap tak
bergeming. Diam. Kulihat ia mulai menyerah. Ia tak berhasil melelehkan batu
keras di dalam hatiku.
“Yaudah Ndar kalau
kamu ndak mau maafin Pak Lek…. Ndak ada gunanya Pak Lek terus merengek- rengek
sama kamu….”
Aku masih saja
diam. Ia kemudian bangkit.
“Yang penting Pak
Lek udah sungguh – sungguh minta maaf sama kamu……”
Pak Lek mulai
melangkah pergi dariku.
“Pak Lek melakukan
itu karena Pak Lek sayang sama kamu, Ndar… Ndak lebih….”
Deggg!!!
Tiba- tiba saja
jantungku berdegup mendengar perkataan terakhir Pak Lek. Tiba-tiba tubuhku
mendadak lemas. Kaki dan tanganku gemetaran. Gigiku bergemeratak. Benarkah Pak
Lek melakukan itu karena dia menyayangiku???? Aku tiba- tiba dirundung
keraguan. Tapi kalau Pak Lek menyayangiku….. Pasti dia takkan tega melakukannya
padaku. Ahhh! Aku kian bingung. Kugusak kepalaku untuk menghilangkan sedikit
kebingungan.
***
Tep. Tep. Tep.
Suara langkah kaki
yang beradu dengan lantai kayu membuyarkan lamunanku. Aku mendongak. Rupanya
Mas Narno. Dia berjalan mendekatiku yang masih duduk di ranjang sanggar ini.
“Pokoknya aku ndak
gelem (mau) pulang ke rumah Pak Lek.”
ucapku sebelum Mas
Narno sempat berkata. Aku tahu pasti dia ingin membujukku agar memaafkan Pak
Lek dan mau pulang ke rumah Pak Lek. Tapi aku tetap bersikukuh. Aku tidak akan
pulang kerumah Pak Lek.
“Sebenarnya kamu
itu kenapa to sampai segitu marahnya sama Pak Lek Danu?”.
Aku hanya terdiam.
Menatapnya. Kemudian dengan pelan, mulai berkata.
“Karena dia telah
merebut kesejatian ku sebagai lelaki Mas… Pak Lek sudah menggagahiku… Pak Lek
sudah melecehkan ku….. Sekarang aku sudah ndak pantas lagi disebut sebagai
lelaki…….”, ucapku setengah amarah.
Sesaat Mas Narno
tersenyum padaku. Tangannya meraih jemariku dan digenggamnya.
“Ndar…. Kamu tahu
ndak. Sejatine wong lanang iku dudu uwong kang iso bebas amratelak ne
kabebasane. Ananging sejatine wong lanang iku, yaiku uwong kang iso tabah lan
kuat anjalani opo sing wis dadi tekdire tanpo luh satitiko.”
(lelaki sejati itu
bukanlah lelaki yang bisa dengan bebas menggembar- gemborkan kelelakiannya.
Tapi lelaki sejati itu, adalah orang yang bisa kuat dan tabah menjalani
takdirnya tanpa mengeluh sedikitpun).
Aku terpaku
mendengar penjelasan Mas Narno.
Mas Narno kemudian
duduk disampingku. Perlahan dielusnya kepalaku seakan aku ini adiknya. Aku
mendadak tenang.
“Kamu jangan pernah
sekalipun berpikir kalau kamu jadi gemblak, maka kamu akan kehilangan harga
dirimu sebagai lelaki, Ndar. Justru ketika kamu jadi gemblak, kamu harus
membuktikan pada dirimu sendiri kalau kamu itu lelaki. Kamu pasti bisa
menjalani takdir tanpa nangis dan mengeluh”.
“Tapi Mas…..”
“Tapi opo, Ndar?”,
Mas Narno menoleh kearahku.
“Tapi kenapa Pak
Lek Melakukannya padaku? Aku laki- laki, dan Pak Lek juga laki- laki. Kenapa
Pak Lek ndak mencari wanita lain? Pak Lek kan tampan.”
Mas Narno hanya
tersenyum simpul mendengar perkataan ku. Ia menghela napas sebentar, dan
menghembuskannya perlahan.
“Ndar..”
“Dalem Mas”. (iya
mas).
“Kamu pernah lihat
Pak Lek jalan sama wanita? Dan apakah kamu juga pernah lihat Pak Lek membawa
seorang wanita?”.
Aku menggeleng.
“Ndak pernah Mas.”
“Ketika seseorang
berikrar menjadi seorang warok, maka dia harus siap dengan tiga pantangan
,Ndar..”
Aku mengernyit.
“Pantangan?”.
“Seorang warok itu
dilarang melakukan tiga perbuatan agar dia tetap bisa menjaga kekuatan dan
keperkasaannya sebagai warok.”
Aku terdiam.
“Mereka dilarang
melakukan perbuatan maksiat, bermabuk- mabukkan, dan berhubungan dengan
wanita.”
“Lalu…?”
“Karena itulah Pak
Lek mu ndak pernah mau menyentuh wanita sedikitpun. Dia bahkan belum punya
istri , padahal dia sudah hampir empat puluhan.”
“Tapi Mas, aku
tetap ndak bisa menerima kalau Pak Lek menyetubuhi lelaki.”
Mas Narno kembali
tersenyum. Aku penasaran.
“Ndar. Manusia itu
ndak selamanya bisa menahan nafsu. Sekuat apapun seseorang menahan hasratnya,
maka suatu saat ia akan tiba di suatu batas dimana dia tak bisa lagi
menahannya.”
Mas Narno
menerawang sembari bercerita. Seakan ia tengah memutar kembali memori- memori
dalam pikirannya yang telah lama teronggok.
“Dan yang dimiliki
seorang warok hanyalah gemblak. Maka kepada siapa lagi mereka akan berlabuh
kalau tidak sama gemblaknya…”
“Mas… Aku……”
“Sudahlah, Ndar.
Jika Pak Lek memintamu untuk bersetubuh, anggap saja itu merupakan bagian dari
pengabdian dari kita sebagai gemblak. Jangan sampai kita dianggap durhaka. Kita
tahu seperti apa pengorbanan seorang warok untuk merawat kita. Mereka merawat
kita. Memberi makan yang enak- enak kepada kita, memberikan kita pakaian yang
bagus- bagus. Dan mereka menyekolahkan kita.”
Kepalaku tertunduk.
Aku tak bisa berkata apa- apa. Ucapan Mas Narno seakan mengelupas seluruh sisik
kemunafikan dalam hatiku. Aku paham. Aku mengerti. Aku tak pernah bisa lari
dari hal seperti ini. Karena itu merupakan bagian dari pengabdianku sebagai
gemblak.
“Mas Narno….” Aku
tiba- tiba menoleh kearah lelaki tampan itu.
“Ya , Ndar…”
“Pak Lek mana, aku
mau minta maaf sama Pak Lek.”
Mas Narno
tersenyum. Menampakan deretan gigi putihnya. Tangannya menggusak rambutku.
“Pak Lek mu masih
diluar tuh, dia nungguin terus. Katanya ndak mau pulang sampai kamu maafin
dia.”
Aku segera bangkit
dari amben. Melangkahkan kakiku dengan cepat menuju Pak Lek.
***
(WOLU)
AKU…. JUGA SAYANG
PAK LEK
PISAU takkan pernah
tajam sebelum diasah. Begitupun diriku. Sebelum mendengar perkataan Mas Narno
waktu itu, aku seperti manusia normal yang tak bisa melihat sekelilingnya.
Padahal aku tidak buta. Namun aku tak pernah bisa melihat realitas yang harus
kuhadapi. Aku tak pernah memahami bagaimana tugas dan peran seorang gemblak
pada waroknya. Dan yang paling parah…… Aku tak pernah tahu bagaimana rasa
sayang Pak Lek terhadapku. Entah sudah keberapa kalinya aku mencoba menghitung
kebaikan Pak Lek padaku. Namun aku agal. Kebaikan Pak Lek kepadaku tetap tak
terhitung.
***
“Sampun, Pak Lek
linggeh mawon teng kursi. Ben Wendar sing ndamel kopi. Mangke Wendar aturaken
marang Pak Lek.”
Aku bergegas
merampas panci perebus air dari tangan Pak Lek saat Pak Lek hendak
meletakkannya pada kompor.
(sudah. Pak lek
duduk saja. Biar wendar saja yang buat kopi. Nanti wendar enterin ke pak lek).
Pak Lek hanya
tersenyum dan menatapku heran. Baginya, aku mendadak aneh. Padahal sebelum-
sebelumnya, aku hanya mau melakukan sesuatu jika diperintahnya. Namun sekarang,
tiba- tiba saja aku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku memang sudah
bertekat. Tekat bulat. Aku harus membalas semua kebaikan Pak Lek selama ini.
Aku sudah memaafkannya. Dan sekarang giliranku untuk membuktikan kalau aku
adalah gemblak terbaiknya. Aku juga harus membuktikan pada Pak Lek, kalau aku
juga menyayanginya.
“Kamu ini kenapa
to, Ndar, kog jadi aneh gitu.” pak Lek menjatuhkan dirinya ke kursi sambil
tetap terheran menatapku.
“Mboten nopo- nopo
Pak Lek. Moso ngewangi Pak Lek iku gawean aneh???”. Kilahku.
(gak kenapa- napa
pak lek. Masa ngebantuin pak lek itu perbuatan aneh?).
“Ya ndak sih. Cuman
ndak biasanya aja kamu kayak gitu , Ndar. Memang e Mas Narno ngomong apa sama
kamu kemarin sampe- sampe kamu mau maafin Pak Lek dan mendadak jadi baik
begini.”
Kuletakkan kopi dan
gula pasir kedalam gelas sebelum menuanginya dengan air putih yang sudah
mendidih. Ku aduk sebentar dan segera kuangsurkan pada Pak Lek yang terduduk.
“Mas Narno ndak
bilang apa- apa sama Wendar. Dia cuma ngasih tau wendar kalau Pak Lek itu
sayang Wendar.”
Pak Lek tersenyum.
Wajahnya dinaungi kelegaan.
“Apa bener Narno
ngomong begitu sama kamu?”
Aku mengangguk.
“Iya Pak Lek.”
“Kamu ndak bohong?”
Aku menggeleng.
“Ndak Pak Lek. Selama ini Pak Lek tuh udah berprasangka buruk sama Mas Narno.
Mas Narno itu baik Pak Lek.”
Sekilas Pak Lek
Danu menatapku. Matanya yang tajam menelusuk akal ku. Membuatku terpaku bisu.
“Iya…. Mas Narno
orang yang baik. Pak Lek udah salah sangka sama dia selama ini.”
Aku tersenyum. Ini
satu langkah yang baik. Pak Lek sudah mulai bisa mengetahui kebaikan Mas Narno.
Aku lega. Mas Narno memang orang baik, jangan sampai ada orang yang
mengtakannya jahat.
“Omong- omong, kamu
nanti latihan ke sanggar ndak?”.
“Latihan Pak Lek,
memangnya kenapa?.”
“Ndak kenapa-
kenapa. Hari ini Pak Lek ndak latihan ke sanggar. Pak Lek mau ke Dolopo,
ngambil pinjeman gamelan dari sana. Nanti Pak Lek anterin kamu saja y, Ndar.
Kamu berani kan latihan tanpa -Pak Lek?”.
“Injih Pak Lek”.
(iya Pak Lek). Aku mengangguk dan bergegas menuju kamarku untuk mengambil
perlengkapan latihan tariku.
***
AKU berjalan pelan
sambil menyusur ke segala penjuru koridor ruangan sanggar. Masih sepi. Hanya
sekitar dua-tiga orang yang nampak sudah datang untuk latihan. Mataku terhenti
pada sebuah papan di atas pintu masuk ruang latihan. Papan itu bertuliskan;
‘SANGGAR REOG PONOROGO ANGUDHI LARAS’ dalam aksara jawa. Dibawahnya, terdapat
semacam majalah dinding yang memuat banyak foto- foto kegiatan sanggar. Mataku
menatap sebuah foto hitam putih yang tertempel di mading tersebut; fotoku
sedang menari dengan kawan- kawanku pada acara ‘Grebek Sura’ beberapa bulan
lalu. Aku tersenyum sebentar. Kemudian mataku kembali menelusur barisan-
barisan foto tanpa warna itu. Dan berhenti lagi pada sebuah foto; Foto Pak Lek
dan tiga orang lelaki sedang mengangkat sebuah batu berukuran sebesar kepala
manusia. Dibawah foto itu, tertulis ‘PELETAKAN BATU PERTAMA SANGGAR REOG
ANGUDHI LARAS’, juga dalam huruf jawa. Aku mendengus. Ah, rupanya Pak Lek
adalah orang penting di sanggar ini.
***
“Ndar…..”.
Sebuah suara khas
tiba- tiba membuyarkan lamunanku. Aku menoleh kearah sumber suara. Dan
nampaklah seorang bocah lelaki dengan tinggi sekitar 171 cm dengan paras tampan
berdiri dihadapanku. Di kepalanya, bertengger sebuah blangkon yang
menyempurnakan wajahnya. Tubuhnya yang kokoh dibebat basofi bergaris dan celana
pendek warna hitam.
“Bowo… Kog kamu ada
disini?”, tanyaku pura- pura.
“Hehe…. Aku lupa
ngasih tau kamu Ndar kalo….”
“… Kalo kamu juga
latihan nari Jathilan disini”, cerocosku memotong sebelum Bowo sempat
menyelesaikan omongannya.
“Dari mana kamu
tahu kalau aku suka latihan disini?”. Bowo menatapku penasaran.
“Mas Narno yang
bilang…. Kog kamu ngapusi (bohongin) aku sih, Wo… Katanya kamu ngeliat aku
kalau pulang sekolah…”
Bowo hanya tertawa.
“Hehe…. Maafin aku Ndar kalo ngebohongin kamu. Habisnya aku jengkel sih kamu
ndak kenal sama aku, padahal kita sering latihan bareng, tapi aku ndak
diperhatiin. Jadi ya terpaksa aku ngebohongin kamu… Hehehe…..”
Aku ikut tertawa
dengannya. Seperti sebelum- sebelumnya, ia mengendalikan seluruh panca
inderaku. Entah bagaimana caranya, ia selalu bisa menghanyutkanku…….
Baginya, aku
seperti layang- layang yang tertiup angin. Ia membuatku pontang- panting. Ia
membuatku tak berdaya.
“Aku mau bicara
sesuatu sama kamu Ndar…….” Tiba- tiba Bowo menatapku serius.
“Bicara apa Wo?”.
“Ehmmm…… Anuu…….”
Tapi belum sempat
Bowo menyelesaikan perkataannya, terdengar suara Pak Dhe Lindhu, pemimpin
sanggar sekaligus guru kami menyuruh kami semua untuk segera masuk ke ruang
latihan. Kami baru tersadar kalau ternyata anak- anak lain sudah pada datang.
“Ya sudah… Kita
masuk dulu… Kita latihan dulu…. Nanti saja ngobrolnya… Hehehe”. Ajak Bowo
sambil terus menampilkan senyum manisnya.
“I… Iya sudah”. Aku
mengagguk salah tingkah olehnya.
Kemudian kami
berdua beranjak. Berjalan beriringan menuju ruang latihan. Aku masih memikirkan
perkataan terakhir Bowo tadi. Dia mau bicara apa ya……… Aku melangkahkan kaki.
Tapi masih penasaran.
Umpama sliramu
sekar melati
Aku kumbang nyidam
sari
Umpama sliramu
margi, wong bagus
Aku kang bakal
ngliwati Seumpama dirimu adalah bunga melati,
Aku adalah seekor
kumbang yang sedang jatuh hati,
Seumpama dirimu
adalah jalan, kekasih,
Aku lah yang akan
melewatinya,
…….”dug..dug…tereret…dug..dugg…tererererereret…….
Plak….plak…tung… Tung… Dug……”
~~~
GENDANG dan kempul
berdentang riuh. Kenong dan Salompret menjerit perlahan. Diikuti alunan kempul
dan aneka gamelan lain, kami mulai menggerakkan badan.
***
AKU, Bowo, dan para
penari Jathilan lain mulai mengayunkan tangan dan kaki kami. Perlahan, leher
dan kepala kami menggedik. Kaki menghentak. Kuda anyam pada kedua kaki kami
mengibas perlahan. Kami hanyut dalam tarian. Hanya ada suara tetabuhan. Hanya
ada langgam jawa. Dan hanya ada suara Pak Dhe Lindhu yang memberi aba- aba pada
kami.
“Siji-loro…loro-telu…telu-papat….papat-limo……….”
Sepanjang kami
semua latihan, aku tak henti- hentinya melirik Bowo. Aneh. Seketika saja aku
jadi kagum dengannya. Ia begitu lihai menarikan setiap gerakan tari jathilan.
Ia juga mahir memain- mainkan kuda anyam itu. Aku hanya bisa menelan ludah. Aku
kagum padanya.
***
….tek tek tek…
Tangg..tangg… Dukk.duk… Dukk… Jraanggggg………..
Gamelan berakhir.
Aku terkapar duduk di lantai kayu. Disampingku, Bowo menenggak kendi (tempat
air) berisi air putih yang tadi dibawakan Pak Lek untukku. Tetesan air
membasahi bibirnya, turun ke dagu dan membasahi sebagian lehernya. Aku
menatapnya. Menelusuri setiap lekuk wajahnya yang indah. Wajahnya putih bersih.
Dengan garis wajah yang begitu lelaki. Pada dagu dan atas bibirnya, sudah
muncul bulu- bulu kumis yang halus. Ah. Tiba- tiba jantungku berdesir.
“Kamu sudahg berapa
lama latihan nari disini, Ndar?”. Bowo memecah lamunanku tentangnya.
Aku terkesiap.
Salah tingkah. Aku tak mendengar ucapan Bowo.
“Eh… Kamu tadi
ngomong opo, wo?heheh, maaf aku ndak denger.”
Bowo tersenyum
menatapku.
“Kamu kog bengong
gitu to Ndar ngeliatin aku. Kenapa to? Aku jelek ya? Apa aku medheni
(nakutin)?”.
“Eh…. Ndak, ndak
kog, siapa yang bilang kamu jelek? Aku cuma lagi pengen ngelamun aja kog…..”
Duh ndar…. Kamu
goblok eram (banget) le… Ngelamun kog PENGEN….. Duh…. Bowo pasti curiga sama
aku. Gawat kalo Bowo tahu aku ngeliatin dia…. Ucapku dalam hati.
“Kamu sudah berapa
lama latihan nari di sanggar ini?”, Bowo mengulangi pertanyaannya.
“Oh..” mulutku
membulat. “Aku sudah hampir lima bulan latihan disini, memang kenapa Wo?”.
“Ah, ndak apa- apa
kog.” Bowo memalingkan pandangannya dariku. Sekarang wajahnya menghadap ke
depan. Rupanya wajahnya tetap tampan meski dilihat dari samping.
Sesaat kami diam.
Aku memperhatikannya. Sedang dia tetap menerawang ke depan. Hingga tiba-
tiba…..
“Sudah berapa lama
kamu jadi gemblaknya Pak Lek Danu, Ndar?”. Bowo berkata seolah berbisik. Pelan.
Aku terkesiap.
Kenapa Bowo tiba- tiba menanyakan hal itu.
“Apa kamu bahagia
Ndar jadi gemblak? Bagaimana menurutmu?”. Bowo terus memberondongku sebelum aku
sempat menjawab pertanyaannya satu pun.
“Aku rasa…. Aku tak
pernah suka menjalani kehidupan sebagai gemblak…..”.
Bowo menatapku
tajam. Menunggu jawaban dariku.
“Kenapa kamu nanya
kayak gitu,Wo?”. Aku menatapnya dengan tatapan heran.
“Ndak kenapa- kenapa
Ndar, aku cuma pengen tau perasaan kamu saja. ”
Aku tertegun. Bowo
ingin tahu perasaan ku? Ah. Jantungku berdegup kencang. Lebih dari kecepatan
angin.
“Aku bahagia kok
jadi gemblaknya Pak Lek Danu. Aku selalu bahagia kalau didekat dia.” Jawabku
singkat. Kulihat Bowo belum puas akan jawabanku.
“Kamu bohong,
Ndar.”
Bowo menatapku
tajam.
“Darimana kamu tahu
kalau aku bohong?”.
Kukeraskan suaraku.
Sehingga tatapan Bowo berubah.
“Ndak ada
seorangpun lelaki Ponorogo yang senang jadi dgemblak Ndar….”
***
(SONGO)
ANGURI- URI
KABEBASAN
(Mengelu- elukan
kebebasan)
KEMBALI kupejamkan
mata untuk kesekian kalinya. Namun sial. Aku tetap gagal. Mata ini kian sulit
untuk terpejam. Entah kenapa kepalaku dipenuhi kata- kata Bowo tadi siang.
“Ndak ada
seoranggpun lelaki Ponorogo yang mau dijadikan gemblak, Ndar”.
Perkataan itu
seolah menggedor-gedor pintu pemikiranku. Memelintir sel- sel otakku hingga
kepalaku pusing. Pening. Aku menggelepar. Nafasku berat. Aku bangkit dari
amben. Kutengok Pak Lek, dia sudah tidur.
“Apa perkataan Bowo
itu benar?”, tanyaku dalam hati.
Ah. Sial. Kenapa
aku jadi memiirkan dia. Dan kenapa pula aku harus pusing hanya karena
perkataannya yang belum tentu benar. Kurasa aku memang sudah gila. “Aku…….
Aku…….. Aku seneng karo koe….. Ndar……….”.
(a….a…aku suka sama
kamu, ndar………)
Ucapan itu terucap
pelan dari bibir tipis Bowo. Dia menghadap sebuah bantal guling. Seolah sedang
berbicara padanya. Ia tersenyum sebentar. Kemudian dilemparnya guling itu
hingga jatuh dari amben.
“Kamu jangan ngayal
buat mendapatkan Wendar, Wo…. Kamu itu laki- laki. Wendar juga laki- laki, apa
pantas jika kalian berdua saling mencintai?”. Ucap Bowo pada dirinya sendiri.
Tiba- tiba
terdengar suara pintu diketuk. Membuyarkan Bowo dari lamunan indah. Segera ia
bangkit berdiri untuk membuka pintu.
Klek! Pintu
terbuka. Dan nampaklah seorang pria yang berusia sekitar empat puluh dua dengan
balutan kaos hitam dan kolor.
“Pak Dhe….. Ada
apa?”. Ucap Bowo kepada lelaki itu.
“Kamu yang ada apa.
Kenapa ndak ikut turun sama yang lainnya? Kamu ndak mau ikut makan?”. Lelaki
itu mendekati Bowo dan mndekatkan wajahnya pada wajah Bowo. Ia ingin mencium
pipi Bowo. Namun Bowo segera menghindar.
“Jangan lakukan itu
disini Pak Dhe… Malu kalau dilihat sama yang lain….” ujar Bowo rikuh.
“Lho… Kenapa? Kamu
dan yang lain kan sama- sama gemblak Pak Dhe… Kenapa mesti malu?”.
Lelaki yang
dipanggil ‘PaK dhe’ itu melingkarkan tangannya pada pinggul Bowo. Sekali lagi
Bowo menepisnya.
“Ya udah Pak Lek
duluan, nanti aku nyusul ke bawah.”
Si lelaki empat
puluh dua tahun itu menatap heran pada Bowo. Menyusurkan pandangannya dari atas
sampai bawah.
“Kamu ini kenapa to
Wo, kog jadi aneh begini?”.
“Ah.. Ndak kenapa-
kenapa Pak Dhe…”. Bowo mencoba tersenyum dihadapan waroknya itu.
Si lelaki menghela
nafas kencang.
“Yang bener?”.
“Injih.” (iya).
Bowo mengangguk.
“Ya wes. Tak tunggu
neng ngisor karo cah- cah yo.”
(yaudah, aku tunggu
dibawah sama anak- anak ya?). “Arghhh…..!”.
Wendar melenguh
perlahan saat Pak Lek Danu menjejam- jejam tubuh bagian belakangnya. Pak Lek
terus menghentak Wendar. Kian keras, keras, dan keras. Hingga akhirnya Pak Lek
mengejang….. Dan ambruk diatas tubuh Wendar.
Namun tiba- tiba
seseorang mendobrak pintu kamarnya. Bowo. Dia langsung menghajar Pak Lek begitu
melihat mereka bersetubuh. Tanpa ampun Bowo meninju muka Pak Lek. Dan Wendar
hanya bisa berteriak menyaksikan kejadian itu.
***
“JANGANNNNNN…
HENTIKANNNNN!!!!”.
Wendar tiba- tiba
membuka matanya dengan histeris. Nafasnya tersengal- sengal. Keringatnya
membanjiri tubuh.
Ia menoleh
kekanannya. Pak Lek masih tertidur pulas. Ah, rupanya ia hanya bermimpi Bowo
menghajar Pak Lek.
“Bowo……… Pak
Lek……”. Bisik Wendar sembari mencengkeram seprai yang terbuat dari jarit
berbatik suronatan.
AKU berjalan pada
lantai kayu yang berderit- derit. Kususuri tiap jengkal jalan menuju kamarku.
Dan kini aku berdiri tepat didepan pintu kamarku. Kubuka pintu kamar yang
terbuat dari triplek bercat cokelat tua. Pintu terbuka dan kulangkahkan kakiku
masuk kedalam ruangan berukuran sedang itu.
***
Kakiku menjejak.
Tanganku menyusur. Kutatapi amben yang telah lama tidak kutiduri ini. Seprai
dan bantal- bantalnya masih tertata rapi. Aku tersadar. Memang akhir- akhir ini
aku lebih sering tidur bersama Pak Lek dikamarnya. Aku sudah menjadi teman
tidur Pak Lek. Menjadi bantal dan guling baginya.
Tanganku terus
menyusur. Dan berhenti pada sebuah foto kecil hitam-putih yang dibingkai
anyaman rotan. Aku tersenyum kecut. Fotoku berseragam merah- putih. Foto dimana
untuk pertama kalinya aku disekolahkan Pak Lek . Kala itu umurku enam tahun.
Aku baru masuk kelas satu SD.
***
Disamping foto itu,
terdapat foto berukuran sama yang juga terbingkai anyaman rotan. Foto seorang
wanita tersenyum dalam balutan kebaya kuno. Wanita itu berdiri disamping Pak
Lek Danu. Wanita itu, ibuku.
***
“Ibumu itu wanita
yang cantik, Ndar….. Dia juga baik.”
Aku teringat kata-
kata Pak Lek bertahun- tahun lalu. Ketika aku mulai menanyakan dimana ibuku.
“Tapi sayang. Dian
kurang beruntung. Dia ndak punya pilihan lain selain bekerja menjadi seorang
pelacur. Dia bahkan ndak tahu siapa lelaki yang sebenarnya ia cintai, Ndar.”
Aku yang saat itu
masih kecil hanya menatap polos pada Pak Lek. Berharap ia menceritakan padaku
lebih banyak lagi.
“Sampai akhirnya
ibumu jatuh cinta sama seorang laki- laki dan hidup bersama dalam satu rumah
tanpa ikatan pernikahan.”
“Lalu?”.
“Dan ibumu hamil
kamu, Ndar.” pak Lek berhenti sejenak. Menerawang- nerawang.
“Tapi…” Pak Lek
meneruskan. “Tapi ketika kehamilan ibumu berusia sepuluh bulan. Ayahmu pergi
meninggalkan ibumu hanya karena dia dijodohkan dengan wanita lain.”
“….” aku terdiam.
Beku.
“Dan sampai
akhirnya kau lahir. Ibumu tak tahu harus bagaimana sebab semua sanak saudaranya
mengutuk kelahiran mu, Ndar. Tak ada seorangpun dari mereka yang mau merawatmu.
Karena kamu anak hasil kumpul kebo.”
“Sampe akhirnya
ibumu bertemu dengan Pak Lek dan menitipkanmu. Aku ndak tega sama ibumu karena
dia terus maksa Pak Lek buat membesarkanmu. Dan akhirnya Pak Lek mau
merawatmu.”
“Jadi dimana ibuku
sekarang Pak Lek?”.
Pak Lek menghela
napas.
“Entahlah. Pak Lek
ndak pernah bertemu lagi dengan ibumu, Ndar.”
***
(SEPULUH)
SEPURANE……..
(Maaf……) BOWO
mengendap- endap didepan kamarnya. Ia menjinjitkan kakinya diatas lantai kayu.
Berharap langkah nya tidak menimbulkan suara. Pelan ia melewati kamar Pak Dhe
Joyo. Ia mengintai padapintu yang terbuka sedikit. Pak Dhenya masih tidur.
Dan Bowo terus
melangkah tanpa suara. Ia menuju pintu keluar. Menengok ke kanan dan ke kiri.
Memastikan bahwa tak seorangpun melihatnya. Tangannya sudah menyentuh gagang
pintu. Bowo tinggal menariknya saja, tapi tiba- tiba……..
“Kamu mau kemana,
Wo…?”.
Sebuah suara
terdengar dari belakang. Bowo menoleh ke arah sumber suara. Disana, tepat
dibelakangnya, seorang pemuda seusianya berdiri sembari berkacak pinggang.
“Kamu mau kabur
ya…?”.
Segera Bowo meraih
gagang pintu itu. Ia hendak berlari. Namun sial. Pemuda tadi berhasil memegang
tangannya. Sehingga Bowo tak bisa lari.
“Lepaskan aku Jar….
Lepaskan… Biarkan aku pergi dari sini…. Tolong lepaskan aku….”. Bowo meronta,
berusaha melepaskan diri dari Anjar, pemuda itu. Namun ternyata tenaga Anjar
lebih kuat darinya, sehingga apa yang ia lakukan sia- sia. Ia tetap tak bisa
melepaskan diri.
***
BRUKKKK!!!!!
Tubuh Bowo
dihempaskan pada lantai kayu yang keras. Dagunya menghantam lantai. Bibirnya
berdarah. Ia melongok keatas. Tepat dihadapannya, Pak Dhe Joyo melihatnya
dengan tatapan amarah. Ia berdiri dengan angkuh. Di sampingnya, ada tiga orang
gemblak lain . Sementara Anjar, masih memegangi kedua tangannya. Menghalaunya
agar ia tak kabur.
“Bowo…. Bowo…. Kamu
itu bodoh apa gimana to? Orang Pak Dhe sudah memberimu segalanya lho. Pak Dhe
sudah merawatmu, menyekolahkanmu, dan menghidupi mu seperti anak- anak lain.
Tapi kamu masih saja mencoba untuk kabur. Emangnya Pak Dhe ini kurang apa?”. Warok
Joyo menghisap cerutunya sembari menatap tajam kearah Bowo.
“Ada satu hal yang
ndak Pak Dhe kasih sama Bowo.” Bowo masih berusaha melepaskan diri. Namun
nihil.
“Opo?”.
“PAK DHE NDAK
NGASIH KEBEBASAN SAMA BOWO! PAK DHE SUDAH MEREBUT KEBEBASANKU! PAK DHE………”
……..PLAKKK!!!
Sebuah tamparan
mendarat pada pipi kanan Bowo. Pak Dhe Joyo menamparnya. Bowo tertunduk.
Tubuhnya terkapar ambruk.
“Kebebasan apa yang
kamu bicarakan, Wo………”.
Pak Dhe Joyo
mendengus. “Sampai kapan pun kamu ndak bakal ngerti apa itu kebebasan…..”
Pak Dhe tertawa.
Sementara Bowo terus membenamkan wajahnya pada lantai kayu. Ia hancur. Benar-
benar hancur. Wajahnya yang tampan kini lebam dan berlumur air mata. Bibirnya
mengalirkan darah.
“Pak Dhe sudah
merampas kebebasan Bowo… Pak Dhe sudah merampas kebebasan Bowo sebagai
lelaki………..” ucap Bowo pelan.
“Hahahaha…..” Pak
Dhe Joyo kembali tertawa. “Siapa yang ngajari kamu ngomong pinter kayak gitu.
Siapa…..?????”.
Bowo diam. Hanya
terdengar isakan dari balik wajahnya.
“Aku pengen bebas
Pak Dhe……”. Tangis Bowo kian keras. “Aku pengen menjalani kehidupan seperti
anak lelaki lainnya…. Aku pengen Pak Dhe………”.
“Menjalani
kehidupan seperti anak lelaki lainnya katamu? Heh, sontoloyo! Kalo kamu
ditakdirin jadi gemblak, ya sudah jalani saja. Ora usah neko- neko. (gak usah
macem- maem).”
Pak Dhe Joyo
kemudian menyuruh Anjar untuk melepaskan Bowo. Hingga Bowo sekarang tersungkur
pada lantai kayu yang kasar. Ia masih menangis. Sesenggukan.
“Kali ini kamu Pak
Dhe maafkan. Tapi kalo kamu mencoba kabur lagi…. Awas saja koe (kamu).”
Pak Dhe Joyo
berlalu bersama gemblak- gemblaknya. Meninggalkan Bowo sendirian di kamar dalam
tangis.
***
Begitu suara
langkah Pak Dhe Joyo menghilang, Bowo mencoba bangkit. Kepalanya pening.
Seluruh wajahnya sakit dan lebam. Hampir saja ia ambruk lagi, namun kedua
tangannya masih kuat menopang badannya. Begitu berhasil bangkit, ia merangkak
pada sudut kamar. Bowo menangis. Kedua tangannya gemetar memeluk kaki kaki
rapuhnya. Air matanya mulai meleleh. Ia menyebut sebuah nama:
“Ndar……… Tolongin
aku Wendar……….” bisik Bowo pelan. “Apa kamu ngerasain apa yang aku rasakan
Ndar….. Apa warokmu juga memperlakukan mu seperti ini…..??? Tolong aku ndar……”.
Bowo larut dalam
monolognya. Tangannya kian erat merengkuh kakinya. Tangisnya makin kencang. Dan
air matanya kian banjir.
“Aku pengen kabur
sama kamu, Ndar…. Aku pengen bisa bebas jadi laki- laki…… Sama kamu…. Sama kamu……..”
Yoben ajur awakku,
Yoben remuk atiku,
Aku ra peduli,
Aku ra maido,
Muk siji seng tak
pingini,
Nyawang sliramu,
ning andek ku Biar hancur badanku,
Biar remuk hatiku,
Aku tak peduli,
Aku tak
mempermasalhkannya,
Cuma satu yang aku
inginkan,
Melihat dirimu, ada
di sampingku
***
“Ndar, Pak Lek neng
sanggar disik ya? Pak lek enek perlu karo Pak Lindhu, mengko koe nyusul wae
ya?“.
(ndak, pak lek ke
sanggar duluan ya, pak lek ada perlu sama pak lindhu, kamu nanti nyusul saja
ya?).
Kudengar suara Pak
Lek yang berasal dari depan rumah. Ia telah duduk diatas sepeda kumbang
kesayangannya. Aku yang sedang ada di dapur mencuci piring bekas sarapan tadi
hanya menyahutnya.
“Injih Pak Lek.
Mangke Wendar nyusul.” teriakku sekencang mungkin sambil terus menggosok- gosokkan
serabut kelapa pada piring aluminium di depanku.
Suara kerincing
lonceng pada sepeda Pak Lek kian terdengar menjauh, menjauh, dan sekarang tak
terdengar. Tumben Pak Lek berangkat duluan ke sanggar. Biasanya dia selalu
berangkat kesana bersamaku. Tapi sudahlah, tadi dia sudah bilang kalau dia ada
perlu dengan Pak Lindhu. Mungkin urusan sanggar.
AKU mencari- cari
diantara kerumunan orang- orang yang memenuhi sanggar ini. Hari ini, kebetulan
adalah geladi resik kami untuk pertunjukan Ruwat Nagari (upacara keselamatan
desa) nanti. Jadi cukup banyak orang- orang dari sanggar lain yang juga latihan
disini. Sebab kami akan tampil bersama- sama.
***
Mataku terus
menyusur kerumunan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Ke depan dan belakang.
Namun tetap tak kutemui dia. Bowo sama sekali tak kelihatan batang hidungnya.
Aku menghampiri seorang bocah lelaki, yang kuketahui dekat dengan Bowo.
“Eh, Pras, kamu
tahu ndak si Bowo kemana? Dia hari ini ikut latihan disini to?”, tanyaku pada
Prasetyo. Bocah lelaki itu.
Tapi Pras
menggeleng. “Aku ndak reti (tau) Ndar. Tadi aku lewat depan rumahe, tapi semua
pintunya di kunci, ndak ada orang kelihatannya disitu. Mungkin pada pergi.”
Hahh??? Bowo pergi?
Pergi kemana kira- kira anak itu. Apa Bowo dan Pak Joyo latihan di tempat lain?
Ah. Kenapa juga tiba- tiba aku mencari- carinya. Toh tanpa dia aku juga tetap
bisa latihan. Tapi relung terdalam hatiku tiba- tiba saja merindukannya. Aneh.
Seketika saja aku jadi merasa takut jika tak mampu bertemu dengannya.
***
“Ndar…… Kamu sudah
datang ya… Ayo langsung masuk saja… Pak Lek mu nungguin dari tadi lho”.
Terdengar suara Mas
Narno dari belakang. Aku menoleh. Dan benar. Mas Narno berdiri disana sambil
melambaikan tangannya. Aku bangkit dan berjalan mengikutinya menuju ruang
latihan.
“Ma Narno…..”
ucapku sembari berjalan.
“Iya Ndar. Ono opo?”
(ada apa).
“Mas lihat Bowo
ndak, dia latihan disini apa ndak ya?”.
Mas Narno berhenti.
Lalu menoleh padaku. “Memangnya kenapa Ndar?”
AKU terdiam. Mas
Narno terus menatapku dengan tatapan tajam. Aku menunduk. Bisa kurasakan
wajahku panas, merah karena malu. Mas Narno pasti curiga padaku. Tiba- tiba
saja aku menanyakan Bowo.
“Ndak… Ndak kenapa
kenapa mas, cuma nanya saja.”
jawabku salah
tingkah.
Mas Narno hanya
tersenyum menatapku yang salah tingkah. Ia menggusak rambutku hingga acak-
acakan.
“Bowo pasti latihan
disini kog nanti. Barangkali aja dia masih di jalan. Kenapa? Kamu kangen ya
sama Bowo, heheh.” Mas Narno mengangkat sebelah alisnya, menggodaku. Aku kian
tertunduk.
“Mbo… Mboten
Mas...” (tidak, mas). Jawabku.
“Yawes, kamu mau
langsung masuk apa kemana dulu?”, Mas Narno menatapku.
“Mas duluan saja,
aku mau diluar dulu, nungguin Bowo, mau ada perlu sama dia”.
Mas Narno lantas
melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang latihan. Sementara aku berdiri
menatapnya hingga menghilang.
***
Kulangkahkan kaki
menuju pelataran sanggar yang berbentuk saung dengan lantai kayu beratap ijuk
kering. Aku duduk disana. Sendirian. Menatap ke arah pagar masuk sanggar,
berharap aku melihat Bowo datang ke sanggar ini.
“Wo… Kamu kemana..???”,
batinku.
Dalam hati
terdalamku, aku memanggil- manggil Bowo. Aku tak tahu. Kenapa aku tiba- tiba
saja mencari- cari nya. Aneh. Tapi ini kenyataan.
***
Tiba- tiba kulihat
sebuah andong berhenti di depan pagar sanggar. Beberapa bocah lelaki turun dari
andong dan bergerak masuk menuju sanggar. Dan aku lihat Bowo… Aku benar- benar
melihat Bowo turun dari andong. Diikuti Warok Joyo di belakangnya. Aku
menghembus nafas lega. Ternyata Bowo benar- benar datang untuk latihan disini.
Segera aku bangkit dari dudukku, menghambur ke arahnya.
“Bowo…..”,
panggilku senang.
“Wendar? Kamu sudah
datang.”
“Ehem.” tiba- tiba
terdengar suara deham di belakang kami. Aku baru sadar kalau Warok Joyo ada
bersama kami. Aku tersenyum kecut padanya. Sedikit ketakutan, aku berbicara
padanya.
“Anu Pak Dhe…. Aku
boleh pinjem Bowo nya sebentar ndak Pak, aku mau ada perlu sebentar.”
Sebentar Warok Joyo
menatapku. Kemudian ia tersenyum.
“Yawes, tapi
sebentar saja ya, kan kalian mau latihan sepuluh menit lagi.”
“In… Injih Pak Dhe.”
jawabku menangguk.
“Pak Dhe duluan ya,
Ndar.”
“Injih Pak Dhe.”
Kemudian Warok Joyo
meninggalkan kami berdua dan masuk kedalam sanggar untuk berkumpul dengan
warok- warok lain.
“Ada apa to, Ndar,
kog pake perlu- perlu segala, memangnya perlu apa?”. Bowo menatapku penasaran.
Aku segera menggenggam tangannya dan menariknya pergi.
“Sudah, nanti saja
aku jelaskan, sekarang ikut aku.”
***
AKU dan Bowo terus
mengayun kaki keluar pagar sanggar. Melewati jalanan berdebu yang dipenuhi batu
batu kerikil. Dan berhenti pada sebuah gubuk kecil di pinggiran sawah. Tak ada
orang disekitar sini. Yang ada hanya hamparan padi yang ujung- ujungnya mulai
menguning. Kurasa, inilah tempat yang tepat untuk aku berbincang pada Bowo
tentang perasaan ku.
***
“Kenapa to, Ndar,
kog pake lari- lari ke sawah segala? Memangnya ndak bisa diomongin di
sanggar?”.
Bowo menatapku
aneh. Sebelah alisnya terangkat, mengisyaratkan sebuah interupsi atas apa yang
atelah aku lakukan padanya. Menariknya ke sawah sepi seperti ini. Konyol.
Mungkin itu pikirnya.
“Ndak bisa Bowo.
Aku ndak bisa ngomongin ini disanggar, aku ndak mau ada seorangpun melihatku
mengatakan ini padamu.”
Aku kikuk. Wajahku
bersemu. Sementara Bowo terus melihatku dengan tatapan penasaran. Aku merasa
kian ditelanjangi olehnya.
“Memangnya, kamu
mau ngomong opo to, Ndar?”.
Aku terpaku. Diam.
Jantungku berdegup hebat. Kuhela nafas sedikit. Berharap debarannya berkurang.
Namun sial. Tubuhlu malah bergetar. Dentuman di hatiku kian kencang.
“Ndar?”
“Eh… I… Iya….”.
“Kamu kenapa to?
Kamu sakit?”.
“Ah… Ndak kog… Aku
ndak apa- apa.”
Bowo meraih
pundakku dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya menggenggam tanganku.
“Memangnya kamu mau ngomong apa, kog sampe gugup begitu?.”
Masih menunduk. Aku
berbisik.
“Tapi ka… Kamu
jangan marah ya, Wo……”.
Kudengar Bowo
tertawa kecil. Sekilas kulirik senyumannya yang menggoda. Demi Tuhan dia memang
tampan.
“Kenapa aku harus
marah? Memangnya kamu mau ngomong apa.”
Beberapa detik aku
diam. Otakku bekerja keras untuk menyusun kata- kata yang tepat untuk
mengungkapkan perasaanku pada Bowo. Keringat membanjiri lekukan pelipis dan
leherku.
“Wo…..”. Bisikku
pelan.
“Iya, Ndar…”
“Kamu tahu ndak.
Semenjak kamu nolongin aku waktu pingsan di jalan. Kurasa, ada sesuatu yang
aneh dalam diriku.”
“Sesuatu yang aneh?
Apa maksudmu, Ndar??”.
“Semenjak pertama
kalinya mataku bertatapan dengan matamu. Dan semenjak wajahku berjumpa dengan
wajahmu. Sepertinya…… Sepertinya……..”. Aku gelagapan. Rasanya tak sanggup
meneruskan kata- kataku.
“Sepertinya kenapa
Ndar?”.
“Wo….”
“Iya Ndar…”
“Sepertinya…..
Aku……seneng (suka)…. Sama kamu…… Wo….”
Begitu
menyelesaikan kata- kataku, aku kian dalam menunduk. Berusaha menyembunyikan
air mataku yang telah meleleh darinya. Dari Bowo. Aku benar- benar malu. Aku
juga menyesal dengan apa yang kukatakan barusan. Kamu bodoh, Ndar. Kamu itu
laki- laki. Kenapa bilang suka pada laki- laki? Bagaimana jika Bowo marah? Dia
akan segera membunuhmu.
***
Kupejamkan mataku.
Menunggu apa yang terjadi. Barangkali sebentar lagi Bowo akan memukulku, atau
bahkan mencekikku hingga mati. Aku siap. Aku sudah rela. Yang penting aku sudah
mengutarakan perasaanku.
Namun lama
menunggu. Tak ada yang terjadi. Kubuka mata. Kulihat Bowo menerawang jauh ke
angkasa biru. Dia terdiam. Seakan merenung- renung sesuatu.
“Kamu… Marah ya Wo….
Maafkan aku…. Kamu jangan marah…. Aku memang goblok….”. Aku mengkeret
dihadapannya.
Bowo menarik nafas
sejenak. Dan memalingkan wajahnya menghadapku.
“Kamu tahu kan
Ndar, kalau kita berdua laki- laki?”.
“Te… Tentu saja,
Wo.” aku mengangguk.
“Yang namanya laki-
laki itu, diciptakan ya buat perempuan.”
Sekali lagi aku
mengannguk. Namun kali ini tanpa suara.
“Sebenarnya, aku
juga meraskan hal yang sama padamu saat kita pertama bertemu, Ndar…. Aku juga
suka sama kamu….. Tapi ada sesuatu yang membuat aku ragu, Ndar.”
“Ragu kenapa, Wo?”.
Kuberanikan
memegang tangannya yang kokoh. Kali ini, aku berani menatap matanya.
***
Bowo masih
menerawang jauh. Angin sawah yang sejuk menghempas rambutnya yang tebal. Hingga
poninya menutupi hamparan keningnya yang nonong (lebar). Terdengar pula suara
burung- burung emprit dan kelontang botol- botol kaca yang digantung di
sepanjang atap gubuk untuk mengusir bangau.
“Aku ragu jika aku
dapat memiliki kamu, Ndar….. Kita ini gemblak. Kita berdua budak. Tugas kita ya
melayani warok. Kita tidak boleh jatuh cinta. Kita ndak boleh mencintai. Apalgi
mencintai lelaki.”
aku hanya
menatapnya. Tanpa kata.
“Kita cuma boleh
mengabdikan diri pada Warok, Ndar. Kita hanya boleh memberikan dan menyerahkan
diri kita pada mereka. Sebelum nanti kita dibebaskan………”.
Bowo membalas
genggamanku. Aku kian erat menggenggamnya.
“Aku juga ingin
menyayangimu, Ndar. Aku juga ingin mencintaimu. Tapi apakah aku bisa? Apakah
aku boleh?”. Bowo perlahan terisak. Namun tanpa air mata.
“Aku ndak tahu, wo.
Aku hanya ingin bersamamu. Aku ndak peduli apapun yang terjadi.”
Kudekatkan tubuhku
pada Bowo. Kepalaku kutempelkan pada pundaknya. Sementara tanganku merangkul
lengannya yang kuat.
Ia hanya terdiam.
Menyandarkan kepalanya padaku.
“Apa kata Pak Lek
mu kalau dia tahu kita seperti ini, Ndar.”
“Jangan sampai, Wo.
Jangan sampai ada seorangpun yang tahu kita seperti ini.” jawabku.
Bowo lantas
membalas pelukanku. Diputarnya kepalanya menghadapku. Kali ini, matanya
bertubrukan dengan mataku.
“Aku mencintaimu,
Ndar…”
Bowo mendekatkan
pipinya padaku. Ditempelkannya pipinya yang lembut dengan pipiku. Kemudian
dengan lembut beranjak mencium keningku.
“Aku juga
mencintaimu, Wo….”
bisikku sambil
mempererat pelukanku di tubuhnya. note;
lonceng botol,
biasnaya dibuat dari bekas botol kaca yang pada lehernya diikatkan tali dengan
bandul batu. Sehingga ketika ditiup angin. Batu akan menghantam pelan botol
sehingga membunyikan suara. Biasnya digunakan untuk mengusir burung yang suka
memakan padi.
(SEWELAS)
PAK LEK, MAAF……
TERDENGAR suara dentuman gamelan memekakkan telinga. Memenuhi ruangan.
Menggetarkan dinding- dinding dan lantai kayu. Dengkingan salompret dan
seruling mengiris- iris karsa. Dan gesekan biola jawa menyebarkan hawa mistis
yang mencekam. Aku melongok dari jendela kedalam ruang latihan. Sementara Bowo
dibawahku terus menahan berat karena menggendongku. Mataku menyapu sekeliling.
Beberapa bocah sedang berdiri menarikan tari Jathilan. Sementara, para lelaki
yang sudah agak tua membentuk barisan melingkar sambil memukul- mukul dan
memainkan gamelan.
***
“Latihannya……..
sudah dimulai ya, Ndar..??”, bisik bowo dengan suara tertahan karena menahan
beban.
Aku menengok
kearahnya. “Sudah, Wo. Kita terlambat nih, Pasti Pak Lek sama Pak Dhe mu
marahin kita nanti. Kataku sambil memberi isyarat pada Bowo agar menurunkanku
dari gendongannya.
“Terus gimana dong?
Kita masuk saja apa gimana?”, Tanya Bowo sambil memijit mijit pundaknya yang
pegal.
Namun tiba- tiba
Mas Narno muncul sebelum aku sempat menjawab. Mas Narno menghampiri kami dan
segera memasang muka galak.
“Kalian berdua ini
dari mana saja to? Sudah jam latihan kog malah keluyuran main…. Niat tampil di
Ruwat Nagari ndak sih???”.
Kami berdua
menciut. Seperti maling ketahuan.
“Se… Sepurane Mas….
Maeng aku karo wendar enek perlu. Dadi rodok telat tekane.” jelas Bowo sedikit
takut.
(ma, maaf mas, tadi
aku sama wendar ada perlu, jadi agak telat datangnya.)
Mas Narno menghela
napas.
“Yawes, sekarang
kalian langsung masuk. Ditungguin dari tadi lho. Pada mau dihajar sama warok
kalian po pye (ya?). Kalau niat tampil ya harus serius latihan”.
“Injih mas.”
Kami berdua
mengangguk. Takut. Kemudian segera beranjak mengikuti Mas Narno masuk kedalam
ruang latihan.
***
Aku duduk terpisah
dengan Bowo begitu sampai di dalam ruang latihan. Bowo duduk bersama Warok Joyo
dan gemblak- gemblaknya. Sementara aku duduk disamping Pak Lek Danu.
“Kamu ini dari mana
saja to, Ndar. Kog ndak bilang Pak Lek kalau mau pergi.” tanya Pak Lek yang
sedang membaca sebuah buku yang judulnya ditulis dengan aksara jawa yang rumit.
Aku tak tahu buku apa itu. Pengentahuanku tentang aksara jawa belum terlalu
banyak.
“Emm.. Anu Pak Lek…
Maaf… Tadi ada perlu sebentar sama Bowo.”
jawabku sambil
merogoh buntelan yang berisi propeti tari milikku.
“Bowo?”. Tiba- tiba
Pak Lek mengalihkan pandangannya dari buku itu ke padaku. Rokok tingwe yang
disesapnya terus mengepulkan asap.
“Injih Pak lek.
Gemblaknya Warok Joyo.”
“Kamu boleh deket-
deket sama Mas Narno. Tapi kamu ndak boleh deket- deket sama gemblak lain.
Apalagi sama si Bowo itu. Pak lek ndak suka.”
Aku terkesiap
mendengar apa yang baru saja Pak Lek katakan.
“Kenapa aku ndak
boleh berteman sama mereka Pak Lek. Kan mereka juga sama kayak Wendar….”
“Pokonya kalau Pak
Lek bilang ndak boleh, ya ndak boleh….” terdengar Pak Lek menekankan suaranya
sehingga suaranya terdengar kencang dan kasar. Wajahnya mengisyaratkan
kemarahan. Aku diam. Ketakutan. Belum pernah aku lihat wajah Pak Lek yang
seperti itu.
ENTAH kenapa Pak
Lek jadi marah- marah begitu kami pulang dari sanggar. Sepeda onthel yang biasa
ia sandarkan pada cagak (tiang) depan rumah, ia ambrukkan begitu saja. Ia juga
segera masuk ke kamarnya tanpa mengajakku. Aneh. Aku hanya termangu menatap Pak
Lek. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Apa yang telah membuatnya jadi
semurka ini.
***
Kuberanikan diri
melongok pintu kamar Pak Lek yang sedikit terbuka. Kulihat Pak Lek menyesap air
putih dalam kendi. Disekelilingnya, bantal dan seprai terlihat berantakan. Pak
Lek pasti telah membanting- bantingnya.
Klek…..!
Kubuka pintu
perlahan dan kulangkahkan kakiku memasuki kamar. Diatas ranjangnya Pak Lek
terlentang. Nafasnya tak beraturan. Wajahnya masih dipenuhi amarah. Aku takut.
Namun kupaksa untuk mendekatinya.
“Pak Lek…. Pak Lek
kenapa to?”. Setengah takut aku memandangi Pak Lek. Dia masih saja diam. Tak
menjawab. Kedua tangannya ia tangkupkan diatas wajahnya.
“Pak Lek….?”.
Namun Pak Lek tetap
diam.
“Pak Lek kenapa to
marah marah gini? Memangnya Wendar punya salah apa sama Pak Lek?”.
Tanganku menyentuh
punggung kokohnya. Mencoba sekuat hatiku untuk meluluhkan hati Pak Lek yang
membeku.
“Kenapa kamu tega
sama Pak Lek, Ndar? Kenapa…..???”.
Tiba- tiba Pak Lek
bangkit dan duduk menghadapku. Aku tertegun. Kaget.
“Te… Tega sama Pak
Lek… Apa maksudnya Pak Lek???”. Tanyaku tak mengerti apa yang dimaksud Pak Lek.
“Padahal Pak Lek
ini sudah mencoba buat sayang sama kamu. Pak Lek sudah berusaha buat
memperhatikan dan membahagiakan kamu. Tapi kenapa kamu tega menduakan Pak Lek,
Ndar? Apa Pak Lek ndak membuatmu bahagia?”.
Deg, jantungku
berdegup tak beraturan. Pak Lek cemburu. Pak Lek cemburu kepadaku.
“Pak Lek sayang
sama kamu, Ndar…. Kenapa kamu tega menghianati Pak Lek?”.
Aku mendengus.
Sembari menatap wajah pias Pak Lek. Aku tak tahu harus bicara apa. Tenggorokan
dan kerongkongan ku tercekat.
“Kenapa kamu tega
menghianati Pak Lek ,Ndar… Kenapa…….”.
“Ma… Maksud Pak Lek
apa?”. Tanyaku tak mengerti. “Aku ndak pernah berpikir untuk menghianati Pak
Lek sedikitpun. Aku tetap gemblak Pak Lek. Apa maksud Pak Lek menuduhku seperti
itu.”
Pak Lek menatap
lekat wajahku. Aku baru tahu. Jika cemburu, Pak Lek bisa sangat menakutkan. Dia
begitu nampak beringas. Wibawanya yang biasanya ia tunjukkan padaku, mendadak
berubah kemurkaan.
“Kamu suka sama
Bowo kan?”.
Ucapan Pak Lek
begitu menusuk jantungku. Hatiku tiba- tiba saja perih. Dari mana Pak Lek tahu
tentangku dan tentang Bowo.
“Kenapa Pak Lek
ngomong begitu?”.
“Jawab saja yang
jujur ,Ndar…. Kamu suka sama Bowo kan?”. Suara Pak Lek mulai bergetar. Parau.
Ia mulai terisak.
“Pak Lek…. Aku…..”
“Tega kamu Ndar,
tega kamu………”
“Aku sayang sama
Pak Lek… Aku cuma sayang sama Pak Lek…… Ndak ada yang lain….”
“Ndak usah bohong
ndar….. Pak Lek tahu…. Kamu suka sama Bowo…. Pak Lek tahu bagaimana tatapan mu
terhadapnya……. ”
“Pak Lek ngomong
apa sih???”, cetusku keras. Kupandang Pak Lek dengan tatapan menyeringai. Aku
benar- benar tidak menyangka kalau Pak Lek akan berkata demikian.
“Jangan pernah Pak
Lek ngomong kayak gitu lagi…. Wendar ndak suka Pak Lek…….”.
“Tapi itu kenyataan
kan, Ndar…. Kamu suka sama Bowo kan, Ndar??”.
“Apa salah kalu
Wendar menyukai Bowo…. Apa salah Pak Lek? Bukannya setiap orang berhak buat
jatuh cinta????”.
Pak Lek seketika
tertegun mendengar kata- kataku. Sesaat ia menghela nafas panjang.
“Tapi kamu salah
kalau kamu jatuh cinta sama dia, Ndar…….”.
“Salah kenapa Pak
Lek?”.
“Kalian ini kan
laki- laki…..”
Aku mendengus.
“Lalu apa aku sama
Pak Lek juga bukan laki- laki? Pak Lek sayang sama Wendar, dan Wendar juga
menyayangi Pak Lek. Bukankah itu sama salahnya???”.
Pak Lek hanya
menatapku kaku. Aku terus memberondongnya. Aku sebal. Tak seharusnya Pak Lek
melarangku untuk suka dengan orang lain.
“Pak Lek ngomong
apa sih???”, cetusku keras. Kupandang Pak Lek dengan tatapan menyeringai. Aku
benar- benar tidak menyangka kalau Pak Lek akan berkata demikian.
“Jangan pernah Pak
Lek ngomong kayak gitu lagi…. Wendar ndak suka Pak Lek…….”.
“Tapi itu kenyataan
kan, Ndar…. Kamu suka sama Bowo kan, Ndar??”.
“Apa salah kalu
Wendar menyukai Bowo…. Apa salah Pak Lek? Bukannya setiap orang berhak buat
jatuh cinta????”.
Pak Lek seketika
tertegun mendengar kata- kataku. Sesaat ia menghela nafas panjang.
“Tapi kamu salah
kalau kamu jatuh cinta sama dia, Ndar…….”.
“Salah kenapa Pak
Lek?”.
“Kalian ini kan
laki- laki…..”
Aku mendengus.
“Lalu apa aku sama
Pak Lek juga bukan laki- laki? Pak Lek sayang sama Wendar, dan Wendar juga
menyayangi Pak Lek. Bukankah itu sama salahnya???”.
Pak Lek hanya
menatapku kaku. Aku terus memberondongnya. Aku sebal. Tak seharusnya Pak Lek
melarangku untuk suka dengan orang lain.
“Tapi Pak Lek cuma
pengen kamu sayang sama Pak Lek, Ndar……. Pak Lek ndak mau kamu berpaling sama
orang lain……. Karena Pak Lek menyayangi kamu kamu, Ndar……. Karena Pak Lek
mencintai kamu……..” bisik Pak Lek perlahan.
“Maafkan Pak Lek
kalau tiba- tiba jadi marah begini….. Pak Lek kayak gini karena Pak Lek ndak
mau kehilangan kamu, Ndar….. Pak Lek ndak mau………”.
Batinku terenyuh.
Jantung dan tubuhku gemetaran. Seluruh sel- sel tubuhku jadi lemas.
“Maafin Pak Lek,
Ndar….. Maafin Pak Lek………”
Pak Lek segera
merengkuh tubughku kuat- kuat. Aku hanya diam terpaku. Biar saja Pak Lek
mencurahkan perasaannya sekarang. Toh. Aku juga yang salah.
“Jangan pernah kamu
berpikir buat ninggalin Pak Lek, Ndar…. Jangan pernah………”
kubalas pelukannya.
Hingga kami berdua kian hanyut dalam pelukan hangat. Pak Lek mencium keningku.
Dan kian mempererat pelukannya.
“Pak Lek janji….
Pak Lek akan membahagiakan kamu Ndar…. Pak Lek janji…………”
“Iya Pak Lek……..
Maafkan Wendar…. Maafkan Wendar…….”
***
PLAKKKKK!!!!!
SEBUAH tamparan
keras kembali mendarat di pipi kanan Bowo. Ia ambruk. Pelipisnya menghantam
lantai kayu. Bibirnya berdarah- darah.
“Kamu sudah mulai
berani sama Pak Dhe Wo…..!!!!!!! KAMU SUDAH MULAI BERANI SAMA AKU, LE!!!!!!”.
Warok Joyo terus
menendang- nendang tubuh Bowo yang terkulai lemah dihadapannya.
“APA MAKSUDNYA
SURAT INI, WO…. APA MAKSUDNYAAA….. JELASKAN SAMA PAK DHE… KENAPA KAMU MENULIS
SURAT SEPERTI INI KEPADA WENDAR….. KAMU SUDAH GILA YA!!!!”.tukas Warok Joyo
sambil mengacungkan sebuah lembaran kertas berwarna putih kusam.
Sementara Bowo
hanya terdiam menahan sakit. Ia masih tersungkur lemah pada lantai kayu.
“Setelah kamu
berulang kali mencoba kabur dari Pak Dhe…. Sekarang kamu malah mau mencintai
Wendar?????? Kamu benar- benar sontoloyo, hahhh???!!!!”.
Warok Joyo kembali
menendang tubuh Bowo. Terdengar erangan kecil daro Bowo.
“Apa kamu ndak tahu
kalau tugasmu itu cuma untuk mengabdi kepadaku. Kamu ndak boleh jatuh cinta
sama siapapun. Apalagi sama Wendar sialan itu……… “.
“Ke… Kenapa…. Pak
Dhe….”.
Bowo mulai bangkit.
Namun tenaganya masih terlalu lemah ia kembali ambruk dan terkulai.
Warok Joyo
menurunkan kakinya, berjongkok dan dengan kasar menjambak rambut Bowo. Bowo
kesakitan. Namun Warok Joyo malah menjambaknya kian keras.
“Kamu itu
gemblak….. Kamu ndak boleh suka sama orang lain… Kamu cuma boleh suka sama
warokmu, Wo… Ngerti kamu hah????”.
Kepala Bowo
terhempas ke lantai. Pelipisnya berdarah. Wajahnya kian hancur lebur.
“Pak Dhe ndak bakal
membiarkan kamu jatuh cinta sama Wendar…. Ndak bakal pernah….. Pak Dhe akan
membawamu ke Dolopo…. Ke tempat yang jauh dari si Wendar sontoloyo itu….. Biar
kamu ndak bisa ketemu dia lagi, Wo…. Hahahahahaha……”.
Tawa Warok Joyo
meledak. Ia kemudian beranjak pergi. Meninggalkan Bowo yang meringis kesakitan
di lantai kayu. Bowo meraskan kesakitan yang sangat pada wajahnya. Perlahan
pandangannya menjadi kabur. Ia pingsan.
****
(ROLAS)
PILIHAN YANG SULIT
MALAM itu aku
terkapar di peraduanku dengan gelisah. Berkali- kali ku gulingkan badanku untuk
mengusir kegelisahan. Namun nihil. Pikiranku masih saja terombang- ambing
diatas awan. Aku benar- benar dihadapkan pada pilihan yang sulit. Aku harus
memilih antara Bowo atau Pak Lek Danu. Pilihan yang sulit memang. Aku
menyayangi Pak Lek. Tapi aku juga tak bisa meninggalkan Bowo. Ia menjanjikan
kebebasan terhadapku. Aku tak tahu kebebasan seperti apa yang ia maksud. Yang
pasti. Dia telah berjanji untuk membuatku benar- benar hidup sebagai lelaki bebas.
Bukan seorang gemblak yang selalu terkungkung tradisi dan aturan kuno.
***
“Hhhaaaahhhh……..”
Kuhempaskan nafasku
kuat- kuat. Sedikit meregangkan otot dan sel syarafku yang tegang. Kulirik Pak
Lek Danu yang telah tertidur disampingku dengan hanya mengenakan kain sarung.
Aku tersenyum getir. Entah ini kali keberapa aku harus melayani hasrat
birahinya. Aku……. Tiba- tiba kembali memikirkan tentang ke’lelaki’an ku. Masih
pantaskah aku disebut lelaki? Jika aku terus menjadi objek nafsu manusia yang
berjenis kelamin sama denganku. Ah… Masa bodoh. Bukankah aku sudah mencoba
untuk melupakan hal itu.
***
Dan seketika itu
pula aku jadi teringat Bowo. Bocah lelaki itu entah kenapa selalu muncul dalam
pikiranku. Jantungku selalu berdesir tiap mengingat wajahnya. Dan aku juga tak
tahu kenapa kelaminku selalu menegang tiap membayangkan tubuhnya yang kokoh.
Kurasa aku memang sudah gila. Namun gila dengan alasan yang realistis.
***
“Aku janji,Ndar….
Suatu saat… Jika aku bisa bersamamu… Aku pasti akan membuatmu bebas Ndar… Kita
berdua akan bebas. Kita berdua akan menjalani kehidupan kita tanpa dikekang
oleh aturan- aturan para Warok yang merawat kita. Aku janji.”
Tiba- tiba saja aku
teringat perkataan Bowo itu. Aku masih ingat betul saat ia mengucapkannya. Saat
itu, ia hendak pulang dari sanggar setelah kami latihan bersama. Dia
menggenggam erat tanganku. Dan berjanji. Dan akupun membalasnya dengan
senyuman.
“Iya, Wo…. Aku
percaya sama janji kamu….”.
***
BOWO masih saja
celingukan dari balik pintu kamarnya. Tangannya memegangi pipinya yang lebam
dan sakit. Ia menoleh keluar pintu. Ke kanan dan ke kiri. Ia menhela napas
lega. Tak ada seorangpun yang masih terjaga. Pak Dhe joyo pun nampaknya sudah
terlelap. Ia lantas melangkah pelan keluar kamarnya menuju ke sebuah kamar di samping
kamarnya. Kamar itu, milik Wawan. Temannya sesama gemblak Pak Dhe Joyo. Berbeda
dengan Anjar dan gemblak lain yang memusuhi dan membuntutinya, Wawan lebih
dekat dan membela Bowo. Ia selalu baik dan mau membantu Bowo kapanpun. Bahkan
saat ia mau kabur dulu, sebenarnya ia bisa hampir berhasil juga atas bantuan
Wawan. Namun ternyata, nasib baik memang belum berpihak padanya.
Perlahan Bowo
mengetuk pintu kamar Wawan. Pelan. Ia tak mau ada orang lain yang mendengarnya.
Kemudian pintu berderit dan terbuka. Muncullah sesosok bocah lelaki yang lebih
pendek dari Bowo. Rambutnya keriting. Dan pada hidungnya, bertengger kacamata
minus yang bentuknya kuno.
“Ada apa Wo… Kog
malem- malem begini kamu belum tidur…”. Ucap Wawan sembari menguap.
“Shhhh… Pelan-
pelan aja ngomongnya… Nanti Pak Dhe dengar….” Bowo segera memberikan isyarat
pada Wawan agar ia mengecilkan suara.
“Iya… Iya…”, jawab
Wawan berbisik.
“Aku mau minta
bantuan sama kamu.”
“Bantuan? Bantuan
apa Wo?”.
Bowo merogoh saku
celananya yang hitam. Kemudian menyerahkan sebuah kertas kusam yang dilipat
rapi pada Wawan. “Kamu kan besok latihan ke Angudhi Laras, aku minta tolong ya,
tolong kasih ini ke Wendar ya……”
Wawan menerima
kertas tersebut. Sesaat ditimang- timangnya kertas tersebut dan menatap Bowo
dengan tatapan menyudutkan. “Surat apa ini?”.
“Sudahlah…. Kasih
saja….”
“Tapi kenapa ndak
kamu saja yang ngasih ke Wendar Wo…??”
“Kamu ndak tahu ya
Wan. Pak Dhe sudah melarangku untuk latihan disana. Pak Dhe sudah ndak
mengijinkan aku buat ketemu Wendar. ”
Wawan tetap menatap
Bowo.
“Jadi besok kamu
ndak latihan?”.
“Ndak, Wan. Besok
aku akan tetap dirumah. Pintu kamarku akan dikunco Pak Dhe dari luar sehingga
aku ndak bisa kemana- mana. Jadi tolong sampaikan surat ini ke Wendar. Aku
mohon… Sebelum aku benar- benar dibawa Pak Dhe ke Dolopo.”
Wawan mengangguk
dan lantas memasukkan kertas yang diberikan Bowo tadi ke saku bajunya. “Ya
sudah, aku akan kasih ke Wendar besok.”
“Iya. Terima kasih
ya, Wan.”
“Sama- sam…….”
Belum sempat Wawan
menyelesaikan kata- katanya. Tiba- tiba terdengar suara pintu kamar Pak Dhe
Joyo terbuka. Setengah terkaget Wawan segera menyuruh Bowo untuk masuk kembali
kedalam kamarnya. Biar saja Wawan yang menghadapi Pak Dhe agar tidak curiga.
“Lho..lho.. Kamu
kog belum tidur to, Wan… Ini sudah jam dua belas malam lho…”
Pak Dhe Joyo
menghampiri Wawan yang masih berdiri diambang pintu kamarnya. Bibirnya menyesap
cerutu.
“Be… Belum Pak Dhe…
Tadi habis dari belakang, tiba- tiba saja ngelak (haus). Jadi aku ngambil minum
tadi.” jelas Wawan berpura- pura.
“Ooalah…”
“Lha Pak Dhe
sendiri kog belum tidur??”.
“Pak Dhe lupa
ngunci pintunya si Bowo. Bisa- bisa dia mau kabur lagi kalau ndak dikunci pintu
kamarnya. Dia kan orange ndak kenal menyerah to Wan. Pak Dhe mau jaga- jaga
saja.”
Pak Dhe Joyo lantas
menuju pintu kamar Wendar yang bersebelahan dengan kamar Wawan. Dimasukannya
kunci kedalm lubang di bawah gagang pintu. Diputarnya kunci tersebut kekanan,
dan klek. Pintu telah terkunci. Bowo sudah tidak bisa kabur lagi.
“Besok Bowo akan
tetap dikamar ini sampai kita pulang dari latihan. Biarin dia didalam
seharian.”
“Tapi, bagaimana
kalau Bowo nanti lapar Pak Dhe?”, sela Wawan dengan nada panik.
“Biarin saja dia
kelaparan. Bahkan kalu dia mati pun, biarkan. Itulah akibatnya kalau berani
menentang Warok Joyo.” Tegas Pak Dhe dengan tatapan mengerikan. Dia tertawa
pelan sambil terus menyesap cerutu yang kian mengepulkan asap.
“Kalau kamu berani
ngebantuin Bowo… Maka kamu akan mengalami hal serupa, Wan… Ngerti kamu?”.
“In… Injih Pak
Dhe…”. Wawan mengangguk ketakutan.
KEESOKAN paginya.
Ruang latihan
sanggar Angudhi Laras sudah ramai dengan orang- orang sedari tadi pagi. Hari
ini adalah geladi resik sebelum pementasan Ruwat Nagari besok. Beberapa orang
dari sanggar lain pun sudah memenuhi ruang latihan, hampir semuanya penuh
sesak.
***
Aku baru saja turun
dari sepeda onthel yang dikemudikan Pak Lek Danu. Kami baru sampai. Segera Pak
Lek menyandarkan sepedanya pada sebuah pohon Terembesi dan mengunci rodanya
dengan rantai dan gembok. Begitulah kebiasaanya mengamankan sepedanya. Pak Lek
kemudian berjalan masuk menuju sanggar. Aku mengikutinya dari belakang. Sesaat
aku melirik pelataran sanggar yang luas. Aku melihat sebuah andong mewah
terparkir disana. Andong milik Warok Joyo. Ah. Bowo pasti sudah sampai disini
sedari tadi. Kuharap aku segera bisa melihat wajahnya. Aku sudah kangen
padanya.
***
Tep.tep.
Kakiku baru saja
menjejak masuk kedalam pintu sanggar. Tiba- tiba aku mendengar suara cempreng
yang memanggil- manggil namaku. Aku berhenti, sementara Pak Lek terus masuk ke
ruang latihan. Biarkan dia masuk duluan.
Aku menoleh kearah
sumber suara. Dan mendapati sesosok bocah lelaki berambut keriting dan
berkacamata minus. Tingginya nyaris sama denganku.
“Kamu…. Wendar
kan..??”. Bocah lelaki itu setengah menunjuk kearahku.
“I.. Iya… Kamu
siapa, kog tahu namaku?”.
“Aku Wawan,
gemblaknya Warok Joyo. Temannya Bowo.” bocah lelaki itu menyodorkan tangannya.
“Aku baru kali ini ikut latihan disini. Tapi aku sudah sering lihat kamu waktu
njemput Bowo.”
“Oh… Temannya Bowo
ya…”.
“Iya.” ia
mengangguk.
“Terus Bowo nya
kemana?”. Tanyaku penasaran.
“Justru itu… Aku
ingin menyampaikan sesuatu sama kamu.”
Kemudian Wawan
merogoh saku celananya sebentar. Ia mengorek isinya. Kemudian menyerahkan
sebuah kertas kusam yang dilipat rapi ke padaku. Aku menerima kertas itu
sembari melayangkan pandangan ke Wawan. “Apa ini?”.
“Itu surat dari
Bowo. Buat kamu. Dia sudah ndak latihan disini lagi. Aku yang akan menggantikan
posisinya. Pak Dhe Joyo sudah melarang dia buat bertemu kamu, Ndar,….”
“Apa?”. Aku menelan
ludah. Sungguh aku tak mempercayai kata- kata Wawan barusan. “Kamu pasti lagi
bercanda kan Wan?”.
Tapi Wawan
menggeleng. Ia serius. “Aku beneran serius Ndar… Kamu dan Bowo sudah ndak boleh
bertemu lagi. Bahkan aku dengar…… Pak Dhe mau ngebawa si Bowo ke Dolopo biar
dia melupakan kamu, Ndar.”
Aku terpaku diam.
Tiba- tiba saja aku kehilangan semangat. Ya, kabar barusan seakan telah
menyedot habis kekuatanku. Bagaimana jika aku tak bisa ketemu Bowo lagi?.
“Yasudah, aku pamit
duluan Ndar, nanti aku dicariin Pak Dhe.” wawan beranjak kembali ke ruang
latihan. Sementara aku masih terbengong menatap kepergian Wawan dan sebuah
surat di tangan kananku.
“iya Wan… Monggo
(silahkan).
***
AKU terduduk
lunglai diatas lantai kayu sanggar. Aku bisa mendengar bunyi bunyi tetabuhan
dari dalam ruang latihan. Latihan sudah dimulai. Tapi aku masih ingin disini.
Biar nanti aku dicari Pak Lek. Aku masih ingin menyendiri.
MATAKU masih saja
memandang hampa pada lipatan kertas tipis di tanganku. Sesaat kutimang- timang
surat dari Bowo itu. Kemudian perlahan, kubuka lipatan- lipatannya sehingga
kini kertas itu terbua lebar. Kupandangi tulisan – tulisan cakar ayam yang
memenuhi hampir seperempat bagian kertas itu. Mataku fokus menelusuri tiap
deretan kata- kata. Sing tek tresnani,
Wendar.
Masio awake dhewe
ora iso nyatu saiki. Tapi percoyoo, ing sawijining dino ngarep, aku bakal teko
lan jemput awakmu. Aku bakal nepati janjiku. Aku bakal andudohke koe kabebasan
sing tenanan. Kabebasan urip dadi lelananging lanang.
Percoyoo, Ndar.
~Bowo~ Yang
kusayangi, Wendar.
~Meskipun kita tak
pernah bisa bersatu saat ini. Tapi percayalah, bahwa suatu saat nanti, aku akan
datang menjemputmu. Aku akan menepati semua janjiku. Dan aku akan
memperlihatkan kepadamu kebebasan yang sesungguhnya. Kebebasan menjadi seorang
lelaki sejati.~
Tiba- tiba saja
mataku terasa perih. Dadaku bergemuruh oleh gelombang perasaan yang menghempas
seluruh rasa rinduku pada Bowo. Gemetaran tanganku memegang surat itu. Bibirku
terisak. Pelan. Nafasku semakin berat.
“Bowo……… Aku
merindukanmu……..”. Bisikku perlahan sembari mengusap linangan air mata yang
akhirnya jatuh tak tertahan.
“iya, Wo……Aku bakal
nunggu kamu sampai kapan pun, Wo…. Sampai kapanpun……….”
Tangisku pecah
diantara alunan seruling yang kian kencang terdengar dari dalam ruang latihan.
Bunyi gendang seakan menggedor dan menggebuk- gebuk batinku. Aku ambruk
menyandar tembok kayu. Kuremas kertas ditanganku dengan kuat. Aku percaya. Bowo
pasti akan membuktikan janjinya padaku. Aku benar- benar percaya.
***
“Uuuuuuukkkkhhhhhh…………..hhh”
Bowo kembali
merintih sambil mengguling- gulingkan badannya. Mencoba mengusir rasa sakit
yang luar biasa. Tangannya kuat mencengkeram perutnya. Badannya terasa lemah.
Ia tak punya tenaga sama sekali.
“Ampuni aku Pak
Dhe…. Ampuuuuni akuu…………….”.
Bowo melenguh lemah
sembari terus memegangi lambungnya. Dari tadi malam sampai sore ini dia belum
menelan sebutir nasi pun. Kerongkongannya juga kering karena tak setetes airpun
menyiraminya. Ia masih terkunci di kamar ini. Pak Dhe dan teman- temannya belum
kembali dari latihan di sanggar. Jam dinding menunjuk angka enam. Langit sudah
petang. Perutnya kian meronta dan menjerit. Jika Pak Lek belum pulang juga,
mungkin Bowo bisa mati kelaparan.
“Ammm…..puuuunnnn….pakkkk….ddddheeee……”.
Tubuh Bowo kembali
begrguling diatas amben yang hanya dilapisi tikar anyam. Peluhnya menetes deras
di tubuhnya. Badannya mengejang. Tatapannya kabur. Kepalanya pusing. Perutnya
kian seperti ditusuk- tusuk pisau. Ia menggigil. Dan kemudian…… Bowo pingsan.
***
“Pak Dhe… Ayo kita
pulang….. Kasihan Bowo Pak Dhe… Dia pasti sedang kelaparan sekarang.”
Sekali lagi Wawan
merengek pada Warok Joyo. Ia ingin cepat segera pulang. Ia kasihan pada Bowo.
Pikirannya tak tenang. Jangan- jangan telah terjadi sesuatu pada temannya itu.
“Kamu ini kenapa
to, wan… Mbok ya tenang sedikit kenapa? Pak Dhe kan masih pengen ngobrol sama
teman- teman Pak Dhe…. Lagian kan masih sore ini.”
Warok Joyo tak
menghiraukan Wawan sama sekali. Ia tetap sibuk menghisap cerutu dan mengobrol
dengan teman- temannya sesama Warok.
“Tapi aku kasihan
sama Bowo Pak Dhe… Dia belum makan sampai sore begini… Aku takut dia kenapa-
napa….”
tiba- tiba Warok
Joyo menatap Wawan tajam. Tatapannya menyiratkan kemarahan.
“Apa kamu mau Pak
Dhe kurung kayak Bowo?.”
Wawan terdiam. Ia
takut dengan ancaman Pak Dhe. “En…. Endak Pak Dhe….”
“Kalau gitu… Tetap
disini…. Biarkan Bowo dirumah… Ndak usah mikirin dia….”, Pak Dhe Joyo lantas
bangkit dan menuju kearah teman- temannya bergerombol dan berkumpul. Kemudian
mereka berbincang.
***
Aku mencari- cari
ruang latihan. Pelahan kuayunkan kaki menuju ruangan yang besarnya mirip aula
kantor desa kami. Aku mau menemui Pak Lek dan mengajaknya pulang. Sudah sore.
Aku belum mandi dan makan. Makanya aku ingin segera pulang kerumah.
***
Kakiku terus
melangkah. Namun tiba- tiba langkahku terhenti tepat di depan ruang latihan.
Aku mendengar suara Pak Lek dan Warok Joyo. Mereka nampak sedang bicara serius.
Kulihat sekeliling. Sudah tak ada orang lain yang terlihat disini. Mungkin
semuanya sudah pulang kerumah masing- masing. Hanya terlihat beberapa orang
yang memang dekat rumahnya dari sini. Mereka sedang duduk- duduk di halaman
sanggar dan mengobrol
***
Aku menunduk
dibawah jendela. Menempelkan telingaku pada tembok kayu. Berharap aku bisa
mendengar perbicangan apa yang terjadi antara Pak Lek Danu dan Warok Joyo. Dan
ternyata. Aku berhasil. Samar- samar. Aku bisa mendengar percakapan antara
mereka berdua.
“Sepertinya…. Telah
terjadi kesalahan antara gemblakku dan Gemblakmu Danu……..”.
Terdengar suara
Warok Joyo yang berat memulai dialog.
“Iya… Aku sudah
tahu.” timpal Pak Lek.
“Hem…. Kamu tahu
kan, ndak seharusnya Bowo itu punya hubungan khusus sama Wendar….. Ndak pantas
seorang gemblak mencintai gemblak lain……”.
“Iya…. Aku ngerti
Joyo… Aku juga ndak suka lho sama hubungan mereka.”
“Makanya Danu……
Besok, sehabis pentas Ruwat Nagari… Aku akan langsung memboyong Bowo ke
Dolopo…. Kuharap kamu bisa menjaga Wendar……. Dan menghentikan hubungan mereka
yang terlarang……..”.
Kudengar Pak Lek
menghela napas sejenak. Kemudian menimpali lagi perkataan Warok Joyo. “Baguslah
kalau begitu. Dengan begitu, Wendar dan Bowo ndak bakal punya kesempatan buat
berhubungan lagi. Biarkan mereka saling melupakan.”
“Iya. Makanya aku
juga minta sama kamu. Tolong jangan beri kesempatan buat Wendar mengingat- ingat
Bowo… Aku mohon.”
“Pasti Joyo… Aku
ndak bakal sedikitpun memberi kesempatan buat Wendar menyebut nama Bowo.”
lantas mereka
berdua tertawa.