Page Tab Header

Thursday, February 4, 2016

Laporan Perkosaan

Laporan Perkosaan

Entah kenapa hari itu aku horny sekali. Sudah lama aku tidak bercinta dengan seseorang, dan kontolku tidak bisa diajak kompromi. Mau ngapa-ngapain juga tidak konsentrasi, tapi aku bosan ngocok sendiri. Ah, perkenalkan dulu, aku Zakaria, umurku 28 tahun. Yah, namaku memang agak seronok, tapi sepertinya itu memberiku berkah tersendiri: zakarku besar, hehehe... Aku memang ada keturunan Arab dan Iran, dan kalian tahu sendiri lah kontol orang sana seberapa gedenya... Aku gay dan seorang top tulen. Aku punya fetish pada orang berseragam, terutama polisi, dan sudah beberapa kali aku dapat kesempatan ngentot polisi. Enak betul rasanya. Sayang aku harus pindah kota karena pekerjaan, dan di kota yang baru ini aku belum ngentot polisi sama sekali. Cari ah...

Kali ini, ideku adalah melaporkan seseorang (fiktif, tentu saja) yang sudah memperkosaku. Tentu laporan seperti itu jarang kan, apalagi kota kecil ini (sebut saja kota X) sepertinya alim sekali. Siapa sih cowok yang berani lapor bahwa dia dientot? Malunya tak ketulungan. Tapi, karena aku super horny, dan ingin ngentot polisi, ya sudah lah nekad saja, toh sepertinya kasus seperti itu nggak bakal ditanggapi serius... Biasanya, di suatu kota, saya akan cari target dulu polisi mana yang kira-kira mau dientot. Biasanya saya cuma cari yang bodinya proporsional saja, yang perutnya sudah mulai membesar bikin aku ilfil. Kontolnya nggak harus besar, justru aku menghindari itu supaya tidak dientot pula (maklum, aku top murni, dan untung sekali selama ini aku selalu dapat polisi yang bot). Nggak harus gay juga, biseks pun ga masalah. Bahkan pernah sekali aku dapat polisi yang straight, tapi ia langsung menghilang setelah itu. Berhubung kali ini aku super horny, aku nggak peduli dah polisi seperti apa yang bakal kudapat nanti. Yang penting dicoba dulu.

Malam itu, akhirnya niatku terlaksana. Aku pergi ke kantor polsek Z sekitar pukul dua belas malam, kurasa jam segitu di kota sekecil ini hanya ada sedikit yang bertugas. Benar saja, di luar hanya ada satu orang yang berjaga. "Malam Pak," sapaku loyo, mengondisikan diri seperti benar-benar habis diperkosa, padahal aku yang hendak memperkosa! "Malam Dik," sapa polisi jaga itu. Parno kulihat namanya. "Ada yang bisa saya bantu?" "Iya Pak," aku mencoba sedikit panik, "saya mau melaporkan sesuatu. Saya habis... habis..." "Ya Dik, habis diapakan?" "Saya malu Pak bilangnya..." "Nggak usah malu Dik, nggak usah takut juga, kami akan melindungi Adik kalau memang Adik habis jadi korban kejahatan. Laporkan saja Dik, nanti kami proses." "Tapi nama saya nanti dirahasiakan ya Pak?" "Tergantung kasus Adik, tapi kami akan berusaha sebisanya. Nah sekarang coba duduk di sini dulu, lalu ceritakan pelan-pelan Adik habis jadi korban kejahatan apa." Parno mengambilkan aku kursi, lalu aku duduk sambil curi-curi pandang. Bodi Parno OK juga, cukup ramping namun tidak kurus-kurus amat, kulihat ada sedikit otot lengan. Pahanya boleh lah, tonjolan kontolnya juga cukupan. Sekilas kurasa aku melihat ia agak ngaceng, tapi berhubung Parno langsung mengajakku bicara, aku tidak melihatnya lebih jauh. "Jadi Adik habis kena apa?" Sambil sedikit berbisik, aku bilang, "Saya... saya... habis... habis... diperkosa Pak..." "Oh." Sudah kuduga reaksi Parno agak pendek. "Mungkin saya panggilkan rekan saya saja ya, nanti coba bicara di dalam, ada ruangan tersendiri kok, jadi Adik bisa cerita lebih lengkap tanpa harus malu." "Boleh Pak, makasih," jawabku pelan. Ah ternyata bukan dia target entotanku. Ketika Parno bangkit berdiri dan masuk ke dalam, kulihat pantatnya. Nggak terlalu ranum juga sih. Keberuntunganku berarti, siapa tahu polisi temannya lebih seksi.

"Cin, ada kerjaan!" Otakku langsung bekerja. Nama panggilannya aneh sekali, Cin...? Waduh jangan-jangan Cindy... Nafsuku langsung hilang begitu saja. Kalau cewek mah mending aku lapor di tempat lain saja... tapi begitu polisi yang dimaksud keluar, nafsuku langsung memuncak lagi. Wow, ini polisi idamanku! Ternyata dia cowok, namanya Cinde (nama Sunda kali ya). Badannya seksi sekali, sepertinya dia masih fresh. Wajahnya cakep, lebih cakep dari Parno. Dadanya berisi, perutnya masih ramping, kakinya kekar, tonjolan kontolnya menggunung di balik celana dinas coklatnya (sesaat aku membayangkan rasanya dientot kontolnya. Nggak ada salahnya kali ya kalau sama polisi seperti Cinde ini, hehehe). Selagi Cinde berbicara dengan Parno, kuamati pantatnya. Wuih seksinya... aku bak kucing kelaparan yang akhirnya melihat tikus, mataku jelalatan ke sana kemari. "Ayo Dik sama rekan saya di dalam, coba cerita dulu apa adanya, nanti kami proses. Nggak usah sungkan, orangnya baik kok." "Iya Pak makasih." Aku pun dituntun Cinde menuju sebuah ruangan khusus, sepertinya cukup privat. Hanya ada satu meja kerja di situ yang merapat di tembok, beberapa kursi, dan sofa. Ada kipas angin di pojok ruangan, ada jendela yang tertutup rapat, kurasa supaya nyamuk tidak masuk. "Dik pintunya saya kunci apa tidak masalah? Supaya tidak diganggu orang lain." "Oh iya Pak dikunci apa ga pa pa." "Ah panggil saja saya Cinde, saya masih muda kok." Wih akrab sekali orang ini! "Nah, jadi," selagi menyalakan komputer, kurasa untuk mencatat laporanku, "bisa cerita Dik kronologi kejadiannya. Boleh tahu namanya siapa?" "Zakaria Mas, panggil Zak aja." (rasanya ga tepat ya orang Sunda dipanggil Mas, tapi toh kota ini ada di Jawa...) "Nah Zak, gimana? Kamu diperkosa siapa?" Ia memposisikan diri berhadap-hadapan denganku, tentu saja ia duduk di depan komputer.

"Saya sendiri juga nggak tahu Mas, awalnya cuma diajak ngobrol di kedai A, terus dia ngajak ngobrol di rumahnya. Berhubung saya nggak ada kerjaan, ya ikut deh. Ditawari minum apa, saya minta air putih saja. Ternyata air putihnya dikasih semacam obat kayanya Mas, setelah minum itu nggak terjadi apa-apa sih, tapi kira-kira setengah jam begitu saya jadi ngantuk berat. Akhirnya saya izin nginap di rumahnya. Malam-malam, tahu-tahu saya diperkosa..."
"Kamu masih ingat orangnya gimana?" Aku mencoba mendeskripsikan sengawurku, toh laporan itu ya fiktif. "Lain kali jangan mudah percaya sama orang yang baru dikenal Zak. Bahaya, walaupun di kota sekecil ini. Barang-barangmu nggak ada yang hilang?" "Nggak ada Mas, semuanya utuh." "Ya syukurlah kalau begitu. Lain kali jaga diri ya, kalau ada apa-apa kontak saya aja." Ia ngasih nomor HP. Asyiknya! "Nah, saya tahu ini sulit Zak, tapi kamu bisa cerita nggak kejadian lebih lengkapnya seperti apa? Ini cuma untuk arsip aja kok, nggak akan disebarkan ke mana-mana. Supaya kita bisa tahu kalau lain kali ada kejadian serupa, modus operandinya ternyata sama, jadi kita bisa menyimpulkan kalau pelakunya sama." Aku sejenak pura-pura agak bimbang sambil memutar otak tentang kronologi perkosaan itu, aku mencoba mengingat-ingat kejadian-kejadian sebelumnya. "Gini Mas.
Obat tidurnya mungkin ga terlalu kuat juga ya Mas, soalnya saya ingat sedikit-sedikit. Awalnya rada ngantuk-ngantuk gitu, saya ingat dada saya diraba-raba, terus ada yang nyium saya. Mungkin saya ya lagi horny gitu jadi saya ikuti ciumannya, cuma ada tangan yang raba-raba paha saya."
"Sori nyela, tapi berarti ada lebih dari satu orang?" tanya Cinde.
"Kayanya iya Mas, saya ga bisa lihat jelas, kamarnya pas gelap. Tapi saya ingat persis si X itu ada, saya ingat suaranya."
"Oke lanjutin Zak." Sejenak aku melihat ia mengetik secepat mungkin di komputernya, kupikir canggih juga nih polisi, sepertinya dia melek teknologi.
"Nah dicium dan diraba-raba kaya gitu kan pasti bikin terangsang Mas, jadi ya kontolku berdiri. Ternyata aku sudah ditelanjangi saat itu, soalnya aku ingat persis pake jins yang rada ketat, cuma kontolku kok bisa tegang dengan bebas." Aku sengaja mengubah gaya bicaraku supaya terasa lebih akrab dan menggoda. "Cuma ya memang aku bingung, ini yang mainin cowok apa cewek."
"Sori Zak sebelumnya, tapi aku boleh tanya sesuatu yang agak pribadi?" Wah dia pasti ngecek aku gay atau nggak nih. "Iya Mas?" "Kamu gay bukan?" "Eee... aku sendiri agak bingung Mas, suka cewek tapi kok kadang-kadang ya suka sama cowok." Padahal jelas-jelas aku gay, dan aku nafsu sekali lihat si polisi Cinde ini! "Kenapa Mas?" "Oh ga pa pa kok," jawab Cinde agak salah tingkah. Aku perhatikan dirinya sementara ia kembali mengetik, tapi sesaat ia membetulkan posisi kontolnya. Aha! "Terus?"
"Yaa kontolku diraba-raba Mas, terus ada yang isep. Isepannya mantap Mas, cuma aku nggak tahu itu si X atau temannya, mereka nggak bersuara. Ada yang ngisep, terus putingku juga diisep, wih enaknya Mas. Mas pernah digituin?"
"Nggak pernah Zak, ga ada waktu sih..."
"Nah aku ga tahan Mas, akhirnya muncrat deh. Setelah itu baru deh aku diperkosa. Kakiku diangkat, terus pantatku dimasukin jari sama pelumas. Ga beberapa lama, orangnya langsung tancapin kontolnya ke pantatku. Blesss..."
"Sakit ga Zak?"
"Ya sakit lah Mas, wong ga siap. Tapi denger-denger pantat itu lebih keset dari memek lho." Kupancing pembicaraannya ke arah situ untuk mengecek apakah si polisi Cinde juga gay atau bukan.
"Iya dengar-dengar sih gitu."
"Pernah nyoba ngentot pantat Mas?"
"Ah mana ada yang mau Zak..."
"Kan ga harus cewek Mas."
"Ngentot cowok maksudmu?"
"Iya."
"Kalau dientot dulu sih pernah di akademi. Tapi itu sudah lama banget..."
"Enak ga pas itu Mas?"
"Ya... kalau dipikir-pikir, enak juga sih lama-lama..." Pancinganku kena juga akhirnya... Aku melirik ke selangkangannya, sepertinya mulai bangun tuh si adek. "Terus gimana Zak lanjutannya?"
"Ya jadilah aku dientot dobel Mas, pantatku dientot, mulutku juga dientot. Sesekali ganti posisi, aku sempat nungging kaya anjing gitu..."
"Hmmm ya ya ya..."

Cinde tidak berkomentar lebih lanjut, ia membetulkan posisi kontolnya sekali lagi sambil mengetik. Aku iseng mendekat dan bertanya, "Kenapa Mas? Jadi ngaceng ya?" Kuletakkan tanganku di atas pahanya untuk melihat reaksinya. Ia hanya melihatku tanpa bersuara. "Kalau Mas pingin, aku bisa bantu kok." Kugerakkan tanganku naik ke pahanya sambil melihat reaksinya. Cinde bernafas agak berat, lalu ia berkata, "Nggak usah Zak." Sepertinya ada sedikit perlawanan. "Ga pa pa kok Mas, aku makasih sekali Mas mau denger ceritaku, sekarang aku pingin bantu Mas." Kusenggol kontolnya, benar saja, ia ngaceng berat. "Kasihan kontolnya Mas, biar lega." Kuremas-remas kontol polisi itu dengan lembut. Cinde mengerang pelan, lalu ia mengangkangkan kakinya lebih lebar supaya aku lebih leluasa. Aku mengatur dudukku lebih dekat, lalu kubisikkan sesuatu di telinganya agar lebih sensual. "Kontolnya gede banget Mas," sambil kuremas-remas kontolnya. Cinde mengerang di telingaku, membuatku semakin terangsang. Tanpa kuduga, namun kuharapkan, Cinde pun membalas mengelus-elus kontolku. "Kontolmu juga gede Zak..." Aku mencoba mencium polisi itu, dan ternyata ia pun membalasnya. Ah mimpi apa aku semalam, dapat polisi seseksi ini, gay pula! Setelah puas berciuman dan menggoda kontolnya sampai celana dinasnya basah dengan precum, aku mencoba peruntunganku. "Mas mau ga dientot kaya di akademi dulu?"
"Wah sudah lama Zak aku ga dientot, takut sakit..."
"Tahan dikit Mas, nanti pasti enak kok. Mau ya?" Cinde sepertinya masih bimbang, jadi kurayu lagi dia. "Nanti Mas kalau mau boleh deh ngentot aku. Masih perawan kok pantatku." Sebetulnya aku juga takut dientot, tapi demi polisiku Cinde, boleh deh... Sementara ia ragu, kubuka resleting celana dinasnya, lalu kukeluarkan kontolnya. Gila, keras betul! Kontolnya berurat dan cukup panjang, walaupun tidak sepanjang punyaku tentu saja, paling hanya 18 cm, tapi tebal juga, kira-kira 4 cm tebalnya. Dia sudah disunat, dan kepala kontolnya saat itu cukup merah dan berkilauan dengan precum yang masih terus menetes. "Mau ya Mas?" kugoda ia lagi sambil mengelus-elus kepala kontol polisi idamanku itu. Cinde hanya bisa mengerang keenakan. "Mas dulu deh yang ngentot saya, gimana?" Kuurut batang kontol polisi itu dengan perlahan untuk membuatnya semakin keras. Supaya jiwa top nya muncul, kuputuskan untuk menghisap kontolnya. Tanpa ba bi bu lagi kuserbu kontol itu bak kucing melahap tikus buruannya, dan Cinde pun hanya bisa pasrah dengan sergapanku itu. Kucoba menghapus segala keraguannya dengan terus menyerbu kontolnya, sehingga keinginannya untuk ngentot bertambah besar. Dan akhirnya usahaku pun lumayan berhasil. Polisi Cinde mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya mengikuti irama, mengentot mulutku. Ia mengerang dengan setiap entotannya, membuatku bernafsu sekali. Suaranya begitu jantan! Aku memang suka dengan polisi yang bermain dengan seragam lengkap seperti Cinde sekarang ini, sensasinya benar-benar luar biasa. Dan sekarang kurasa ia hampir keluar karena gerakannya mulai cepat. Kucabut kontolnya dari mulutku. "Sabar Mas, jangan keluar dulu," bisikku sambil meremas biji-biji kontolnya yang masih terlindung di celana dinasnya. Cinde hanya mengerang. "Keluarin di pantatku," bisikku menggoda.

Aku pun melepas celana jinsku dan melucuti celana dalamku. "Mas duduk di sini aja, biar aku yang masukin." Aku mengambil pelumas yang sudah kusiapkan dari tasku, lalu melumuri kontol polisi Cinde dengan pelumas sebanyak mungkin. "Ah dingin Zak..." "Iya Mas, ini biar kontolnya Mas bisa gampang masuk ke pantatku." Kokocok-kocok sebentar kontolnya untuk mempertahankan kekerasannya, lalu aku pun berdiri di hadapannya. Cinde tersenyum melihat kontolku yang mengacung di hadapannya. "Bentar Zak, aku pingin isep punyamu..." "Nanti aja Mas aku ga masalah, yang penting Mas keluar dulu," elakku. Keburu aku keluar juga nanti! "Mas masih kuat kan mainnya?" "Kuat kok." Maka perlahan-lahan aku menduduki kontolnya. Awalnya sulit juga masuk, mungkin karena aku sendiri belum pernah dientot, dan aku tidak pemanasan sama sekali. Akhirnya kulumasi pula jari-jariku dan kumasukkan ke lubang pantatku untuk beberapa saat. Cinde hanya melihatku agak terheran-heran. "Biar gampang masuknya Mas," ujarku. Setelah kurasa cukup, kukocok lagi kontol Cinde yang agak kendor kekerasannya, lalu kududuki lagi. Mulai bisa masuk sih, hanya saja sakitnya luar biasa. Yah mungkin karena aku belum pernah dimasukin sih. Cinde sendiri cuma bisa mengerang, "Aaahhh Zak sempit banget lubangmu, enak bener ternyata..." Untuk mengurangi rasa sakit, aku mencoba memandangi Cinde si polisiku sambil memeluknya. Setelah berjuang sekian lama, akhirnya pantatku beradu dengan pahanya, dan aku merasakan kontolnya menusuk prostatku. Cinde dengan nakalnya menggerak-gerakkan otot kontolnya di dalam, menggesek-gesek prostatku. Wih, kenikmatan apa ini, belum pernah kurasakan sebelumnya, jadi aku mengerang agak keras. "Aaaah, nakal betul kau Cin! Jadi polisi ga boleh nakal-nakal!" "Untuk yang satu ini boleh kan..." "Iya boleh Mas." "Sakit ga?" "Tadi waktu masuk sih sakit, cuma sekarang udah ga. Enak ga Mas?" "Enak bener Zak." "Kalau diginiin?" Aku mencoba mengejan seolah-olah hendak buang air besar, sehingga lubang pantatku mencengkeram kontol si polisi CInde dengan kuat. "Oooohhh enak Zaakkk... Pelan-pelan, patah ntar batangku..." Kami tertawa pelan, dan aku pun menciumnya. "Jadian yuk Mas, mau ga? Ntar Mas bisa ngentot aku kapan aja, aku rela kok." "Bukannya kamu top Zak?" "Ga pa pa Mas, aku suka kontolnya Mas di pantatku. Tapi Mas sendiri kuentot mau ga?" "Eee.. liat-liat nanti ya Zak, kontolmu kontol kuda gitu, gede bener..." "Ga usah takut Mas, kukasih servis paling enak deh. Hitung-hitung balas jasa Mas, Mas kan sudah susah payah jadi polisi melayani masyarakat, nah aku khusus melayani kontol Mas. Gimana?" "Hahaha, bisa aja kamu Zak." "Yuk lanjut Mas."

Karena polisi Cinde belum pernah ngentot sebelumnya, aku yang berinisiatif menggenjot kontolnya dalam pantatku. Aku bergerak naik turun dalam pangkuannya, sambil kupeluk polisiku itu, yang terus mengerang keenakan di telingaku. Kontolku sendiri bergesekan dengan perutnya yang masih berseragam, sejenak aku khawatir apa kata temannya nanti kalau melihat seragamnya basah dengan precum, tapi aku tak peduli sekarang. Aku dan Cinde sudah dibutakan nafsu. Sesekali kusodokkan kontolnya masuk ke pantatku untuk menyentuh prostatku, dan luar biasa kenikmatan yang kudapatkan. Setelah aku agak kelelahan, akhirnya naluri Cinde muncul sendiri untuk mengentot pantatku, jadi aku hanya berpegangan pada tubuh seksinya sambil menikmati entotan Cinde. Lumayan juga entotannya, tapi rupanya ia sudah tidak tahan. "Zak aku mau keluar...," desahnya. "Keluarin aja Mas, tembakin aku pakai pistol kejantananmu itu..." Ia mendesah pendek-pendek, keringat membasahi seragamnya yang membuatnya semakin terlihat seksi dan menggairahkan. "Aaaaahhhhh..." Ia menyodok sangat keras dan dalam ke dalam pantatku, lalu aku merasakan sesuatu muncrat di dinding ususku, menyodok prostatku pula. Gila, aku rasanya juga mau keluar! "Oh Mas aku juga mau keluar Mas," ujarku cepat, mencoba menahan dorongan itu. "Mas nanti bajunya kena spermaku gimana?" Si polisi Cinde masih menikmati orgasmenya, dan entah bagaimana caranya ia malah mengocok kontolku! "Oooooohhh Maaaaassss..." Sungguh aku tak tahan! Croooottt... Spermaku muncrat tinggi sekali dan mendarat di wajah Cinde. Muncratan berikutnya kurasa betulan mendarat di seragamnya, aku jadi merasa bersalah dibuatnya. Setelah kami berdua selesai orgasme, aku pun mencabut kontol si polisi Cinde dari pantatku. Kami berciuman lama sekali. Karena seragam Cinde belepotan, aku pun berinisiatif menjilati spermaku sampai bersih, jadi paling tidak hanya keringat saja yang tertinggal di situ, selain aku sendiri ingin mencium bau keringatnya.

"Makasih ya Zak, lega banget rasanya. Udah lama ga kukeluarin," kata Cinde ketika aku kembali duduk ke kursiku, masih belum mengenakan kembali celanaku. "Sebenarnya sudah lama aku mencari orang sepertimu, tapi aku takut ketahuan. Karirku bisa tamat kalau sampai ketahuan." "Iya Mas sayang kan susah-susah lulus dari akademi terus dipecat cuma gara-gara ngisep kontol." "Aku mau deh jadian sama kamu Zak, servis tiap hari ya." "Beres, siap komandan!" Kami berdua pun berdiri dan berpelukan sambil berciuman, dan kurasa Cinde terangsang lagi. "Berdiri lagi nih Mas?" godaku sambil meremas kontolnya yang sudah kembali bersarang di celana dinasnya. "Gede juga nafsu polisi, hahaha..." Cinde hanya tersipu malu. "Eh Zak kau belum ngentot aku pula." "Ga pa pa kah Mas lanjut di sini? Nanti yang lain curiga lagi, bikin laporannya kok lama bener." "Gini aja, jam dinasku bentar lagi selesai, kamu mau tunggu di rumahmu? Bisa kan di rumahmu?" Aku mengangguk. "Nanti kutelepon kalau sudah selesai." "Sip Mas. Ini kukeluarin dulu lagi aja biar temen-temen Mas ga curiga, hehehe..." Setelah kubersihkan dengan celana dalamku, kuhisap habis-habisan kontol si polisi Cinde sampai ia sendiri kewalahan berdiri tegap dan muncrat untuk kedua kalinya. Gila juga ni polisi, walaupun muncrat kedua kalinya, spermanya masih banyak saja! Setelah puas, kami merapikan diri, Cinde menyelesaikan laporannya, dan aku pun keluar dari polsek dengan perasaan sangat puas. Bahkan permainan kami masih akan berlanjut sebentar lagi, dan aku akhirnya akan bisa merasakan pantat polisi Cinde!


"Gila kau Cin, habis diapakan saja sama bocah itu sampai basah kuyup begitu?!" komentar Parno. "Diperkosa?"
"Ya ga lah No, pikiranmu parno abis deh," elak Cinde sambil tertawa lepas. "Cuma diservis aja kok. Gila enak betul servisnya No!"
"Aku mau dong," ujar Parno sambil mengelus-elus kontolnya yang tegang. "Ah kau sih mau semuanya!" ujar Cinde sambil meremas kontol Parno agak kuat. "Eh sialan kau Cin!" Sejenak mereka bergumul ringan berusaha meremas kontol lawan sambil tertawa-tawa. "Eh beneran aku pingin nih... Ikut dong kalau main!" "Enak aja! Aku mau jadian sama dia tahu! Cari sendiri sono!" "Wih jadian kau Cin? Cepet amat? Main bertiga dong, ya ya ya?" "Aku tanyakan sama dia dulu, mau ga orangnya. Dah aku keluar dulu, mau lanjut yang tadi!" Cinde pun melesat pergi setelah meremas kontol si polisi Parno yang dongkol setengah mati dibuatnya. Ia memacu motornya ke alamat yang diberikan Zakaria padanya, kontolnya berdiri lagi dalam dinginnya malam. Sebentar lagi ia akan merasakan kenikmatan yang sudah ia tidak rasakan bertahun-tahun lalu...


Tak terlalu sulit bagiku untuk menemukan alamat yang diberikan Zakaria. Rumah itu tidak terlalu besar, bahkan cukup sederhana. Semula aku hendak mengetuk pagar, namun karena saat itu hari sudah benar-benar larut malam, aku tak ingin membuat kegaduhan di tetangga. Apalagi seragamku saat itu cukup belepotan, bercak-bercak sperma Zakaria masih tersisa di sana-sini, walaupun sekarang aku mengenakan jaket. Akhirnya kuputuskan untuk mengirim SMS ke Zakaria. "Udah di depan," tulisku singkat. Kukirim SMS itu lalu kutunggu sebentar. Tak terlalu lama Zakaria pun keluar. "Ah udah kelar Mas?" sambutnya sambil membukakan pagar. Aku pun menuntun motorku masuk. "Udah Zak." "Lha nanti pagi nggak apel?" "Ya masa aku apel dengan seragam begini Zak? Bilang apa nanti aku sama komandanku... masa bilang habis kamu semprot..." Kami berdua tertawa kecil. "Gampang lah Zak, bilang aja aku kecapekan jadi ga bisa ikut apel, komandanku biasanya ngerti kok." "Bener nih ya Mas? Ntar kamu kena tindakan disipliner lagi..." "Ngga pa pa yang..." Kuyakinkan dirinya dengan mengecup keningnya. "Eh jangan di sini Mas, ntar ada yang lihat lagi, hehehe... Yuk masuk!" Walaupun mengatakan demikian, ia sempat meremas kontolku dengan cepat. "Udah tegang lagi nih Mas? Gila hebat bener!" Entah itu sindiran atau pujian.

Setelah masuk ke dalam dan mengunci pintu, aku pun langsung menubruk Zakaria dan menciumnya. Ia pun membalas ciumanku dengan mesra; sambil berciuman ia menggerayangi tubuhku yang masih terbalut seragam. "Kamu suka denganku?" tanyaku. "Suka Mas, Mas ganteng, badannya bagus, baik pula..." Saat itu tangannya sudah sampai di tonjolan kejantananku. "Apalagi barang yang satu ini Mas... gede, panjang, tahan lama..." Aku memeluk dan mendesah di telinganya. "Kamu suka barangku?" "Suka Mas..." Ia memainkan jari-jarinya di bola-bolaku, memberikan sensasi geli namun nikmat luar biasa. "Aaahhh... kamu nakal ya, suka main bola rupanya?" "Suka Mas, apalagi punya polisi." Ia meremasnya kuat-kuat, membuatku mengerang. "Ngilu Zak..." "Tapi enak Mas lama-lama." Ia mengelus-elus punggungku, menenangkan dan meredakan rasa ngilu di bola-bola kontolku. Aku hanya bisa mendesah lagi ketika ia mengelus-elus kembali bola-bolaku, dan akhirnya naik ke batang kontolku. "Mas yakin yah mau jadi pacarku? Aku nggak maksa lho Mas..." "Kamu sendiri gimana, mau ga jadian? Tapi mungkin aku harus tetap jaim Zak, cuma itu yang aku minta darimu." "Iya Mas, aku tahu kok, aku akan jaga rahasia Mas baik-baik. Dan aku akan melayani Mas sesering yang Mas mau." "Yakin nih kamu kuat?" "Eh nantang, siapa takut!" Ia pun membuka resleting celana coklatku dan merogoh ke dalam untuk mengeluarkan batang kontolku. "Mas kamu nafsunya beneran gede banget yah, udah basah gini kontolnya..." Ia mengelus-elus kepala kontolku yang sudah mengeluarkan precum, membuatku kegelian tak karuan, lalu ia mengocoknya pelan. "Ah..." Ia menyandarkanku ke dinding ruang tamu itu, sambil terus menggarap kepala kontolku, membuatku tak berkutik. "Pernah dikocokin Mas?" "Pernah, sama Parno yang kamu temui tadi di kantor." "Enak mana sama kocokanku?" "Enak kocokanmu Zak..." Ia kemudian menciumku kembali, tangan kanannya tetap mengocok-ngocok kepala kontolku. Aku pun tak mau ketinggalan mengerjai kontolnya; saat itu hanya mengenakan sarung yang langsung melorot begitu aku menjamah kontolnya. "Telanjang toh kau Zak..." "Iya Mas, panas di sini. Tambah panas lagi sama Mas, hehehe..." Aku dan Zakaria berciuman kembali cukup lama sambil mengocok kontol lawan, semakin lama semakin cepat. Tiba-tiba dia menghentikan ciumannya. "Kenapa Zak?" "Ga pa pa Mas, aku cuma pingin Mas peluk..." Aku pun melingkarkan tanganku di bahunya, memeluknya dengan kehangatan yang menenangkan. "Aku pingin menikmati suasana ini Mas." "Nikmati aja Zak, malam ini milik kita berdua." "Iya Mas. Aku layani Mas dulu ya, aku nanti saja." Aku tidak bisa menolaknya, dan akhirnya selama sepuluh menit ke depan ia hanya mengelus-elus kontolku yang ngaceng berat dan basah oleh precumku sendiri itu. Sepertinya ia menggodaku dengan bermain pelan. Aku sendiri hanya bisa menggelinjang merasakan kenikmatan yang ia berikan, terutama ketika ia mengelus-elus perbatasan kepala dan batang kontolku yang sangat sensitif. Aku berusaha keras untuk tidak keluar cepat-cepat, aku juga ingin menikmati malam ini selama mungkin... Keringatku mulai bercucuran, kembali membasahi seragamku. Aku pun memejamkan mata menikmati rangsangan dari Zakaria. "Mau keluar Mas?" tanyanya. "Dikit lagi Zak, boleh dikeluarin ga?" Ia tidak menjawab, malah memainkan lubang kencingku dengan jarinya. "Zak..." desahku. Sedikit ngilu tapi nikmat. "Boleh ga nih?" Ia malah mengelus-elus bola-bolaku yang mulai merapat ke tubuhku. "Aaaaahhh... Zaaakkk..." Kutahan sedikit lagi nafsuku, namun elusan Zakaria benar-benar membuatku melayang. Bahkan sekarang kedua tangannya mengerjai kontolku tanpa henti; satu mengelus-elus bola-bolaku, satu mengocok batangku dengan lembut. Aku mendesah tak karuan, menggelinjang tanpa henti, mencoba menahan desakan spermaku yang sudah mau muncrat. "Zaakkk... mau keluaarrr... mmmhhh..." Eranganku terhenti karena ia menciumku, tangannya tetap mengocok-ngocok batang kontolku. Aku pun berjingkat menahan sensasi itu, namun akhirnya...

"Mmmmmhhhh..." Pinggulku seakan tak bisa dikontrol, terhentak ke depan ketika aku pun akhirnya orgasme, namun Zakaria mencegah kontolku menyemprotkan sperma. Ia menekan batang kontolku dengan kuat, mengurutnya hingga ke kepala kontolku sambil tetap menekannya dengan kuat. Aku bisa merasakan kontolku berdenyut-denyut protes karena tekanan spermaku yang kuat. Bola-bolaku disentilnya, membuatku rasa ngilu itu kembali lagi, tapi rasa itu menambah kenikmatan orgasmeku. Aku hanya ingin muncrat sekarang supaya puas, tapi Zakaria sepertinya mencegah kontolku muncrat. Aku merasa batang kontolku penuh dengan spermaku sendiri. Zakaria hanya menatapku sambil tersenyum; aku sendiri terengah-engah dan berjingkat menahan desakan kontolku untuk muncrat. Cukup lama kepala kontolku digenggam dengan kuat sampai akhirnya kontolku melemas, walaupun desakan spermaku masih ada. "Zak... kamu apain kontolku... keluarin please..." "Sabar Mas, aku pingin liat spermanya Mas meleleh keluar dari kontol Mas..." "Ah nakalnya kamu Zak, aku ini polisi lho! Nakal-nakal kutangkap kamu, kupenjara lho..." "Mas kan udah menangkap dan memenjara hatiku. Aku rela dipenjara seumur hidup kalau yang nangkap Mas.... Tapi sekarang Mas yang tertangkap basah. Polisi ga boleh muncrat cepat-cepat Mas!" "Lha itu tadi sudah lama kan..." "Ga boleh muncrat kalau belum aku bolehin!" "Siap Komandan!" ujarku sambil memberi hormat. "Kalau muncrat sebelum waktunya dihukum seperti ini, kontolnya kuborgol!" "Siap Komandan!" "Tapi karena ini pengalaman pertama, ya sudah deh..." Tanpa melepaskan pegangannya pada kontolku, Zakaria pun berjongkok di depanku, lalu sedikit mengurut-urut kontolku dari atas ke bawah, membuatku merasakan spermaku bergejolak antara kembali ke pabriknya atau tetap keluar. "Siap ya Mas?" Aku lagi-lagi memberinya sikap hormat, dan ia balas dengan menjilati kepala kontolku. Tidak siap, ditambah kontolku yang menjadi sensitif setelah orgasme, aku pun berjingkat kegelian. "Geli Zak..." "Tahan Mas, ini bentar lagi pasti berdiri lagi kontolnya. Mengabaikan rasa geliku, ia pun menjilati bola-bolaku. Aku pun mendesah kenikmatan, dan kontolku mulai berdiri kembali; spermaku yang sedari tadi tertahan mulai kembali mendesak untuk keluar. "Zak..." Ia menjilati batas kepala kontolku, dan akhirnya ia melepaskan genggamannya. Anehnya, spermaku tidak berlomba-lomba untuk keluar, bahkan sebenarnya hanya sedikit yang keluar. Spermaku masih terlihat kental walaupun aku sudah dua kali keluar tadi, meleleh keluar dari lubang kencingku. Zakaria terlihat menadahkan lidahnya di dekat lubang kencingku untuk menadah spermaku yang menetes perlahan. "Dikit amat Mas, keluarin lagi dong...," rengeknya. "Boleh nih Ndan?" godaku. Ia menjawab dengan mengurut kontolku dari pangkal ke ujung, membuat sperma yang tersisa ikut keluar dan sekaligus membuat libidoku menggelegak kembali. "Aaahhh Zak..." Kontolku dengan cepat mengeras kembali tanpa bisa kucegah. Setelah tidak ada lagi yang menetes, Zakaria pun bangkit berdiri dan menciumku, memindahkan sperma yang ada di lidahnya ke lidahku. Jarang-jarang ada orang yang melakukan itu denganku. Kami berdua merasakan gurihnya spermaku, tapi sialnya ia mengocok-ngocok lagi kontolku. Aku mengerang dalam ciumannya hendak protes, tapi kocokannya justru dipercepat. "Mmmmhhh..." Kembali desakan itu muncul, bahkan lebih hebat dari sebelumnya. Aku mendorong tubuhnya untuk melepaskan ciumannya. "Zak..." "Keluarin lagi Mas..." Tanpa membuang waktu ia pun kembali berjongkok di depanku, kali ini langsung melahap kontolku dengan ganasnya. "Aaaaahhh..." Hisapan mautnya membuatku sulit bertahan, tapi aku harus melawannya. Aku ingin dia mendapatkan spermaku dengan susah payah, atau harga diriku sebagai polisi perkasa akan turun. Aku menengadah dan berjingkat sambil menahan desakan untuk muncrat, selagi Zakaria terus melancarkan serangan mautnya. Kontolku dihisapnya dengan begitu ganas, bahkan bola-bolaku pun dipeluntirnya. Rasa ngilu itu malah sekarang kunikmati; peluhku bercucuran kembali. Siapapun yang melihatku sekarang ini pasti menduga aku sedang bekerja keras, dan memang betul, aku sedang bekerja keras menahan diri untuk tidak muncrat selama mungkin.

Tapi sepertinya aku harus takluk oleh Zakaria... Pertahananku mulai runtuh, otot-otot tubuhku mulai tidak bisa dikendalikan... Aku seakan mengejang tak karuan, dan akhirnya aku melolong panjang. "Ooooooooohhhhhh....." Kali ini Zakaria tidak lagi menekan batang kontolku, tapi ia tidak membiarkan aku menusukkan kontolku dalam-dalam, malah ia berusaha agar hanya kepala kontolku saja yang ada di mulutnya. Bibirnya mengatup kontolku dengan erat, dan ia mengisap-isapnya selagi akhirnya aku memuncratkan spermaku kembali. Bola-bolaku digenggamnya dan ditarik-tarik seperti memerah spermaku. Entah berapa kali aku muncrat, aku benar-benar melayang dibuatnya. Bahkan sepertinya aku mulai oleng, pandanganku mulai kabur, dan aku bisa merasakan tubuhku merosot sebelum akhirnya Zakaria menopang tubuhku. "Capek ya Mas?" Aku hanya bisa mengangguk lemah, tak kuduga permainannya kali ini sangat menguras tenagaku. "Mas istirahat saja dulu, kuantar ke kamarku." Ia membopongku ke dalam kamar, dan melihat kasur pun aku langsung merebahkan diri. Pandanganku mulai gelap...




Sepertinya aku keterlaluan menguras sari pati kejantanan si polisi Cinde. Ia hampir ambruk begitu orgasme terakhirnya. Mungkin kelelahan setelah seharian bekerja, atau kelelahan setelah aku tahan kontolnya untuk tidak muncrat, sepertinya ia menguras tenaga terlalu banyak. Kubopong dirinya ke kasurku, dan begitu menyentuh kasur ia langsung memejamkan mata. Masih bernafas tentu saja, tapi sepertinya ia pingsan. Aku jadi tidak tega untuk mengerjainya lebih lanjut, sebenarnya aku ingin sekali memerkosanya di saat pingsan seperti itu. Apakah aku harus menunggunya sadar kembali baru memerkosanya, atau aku biarkan saja ia pingsan selagi diperkosa? Kami baru jadian pula...



Kuperhatikan polisi Cinde yang tergeletak begitu saja di atas ranjangku. Seragamnya basah oleh keringat. Kudekati dirinya dan kuhirup dalam-dalam bau keringatnya. Sungguh aroma yang membuatku melayang. Birahiku mulai naik kembali dibuatnya, tapi kucoba kutahan. Aku ingin melihat polisiku secara intim terlebih dahulu sebelum aku memperkosanya. Wajahnya yang tampan, matanya yang terpejam menunjukkan kelelahan. Kuelus-elus wajahnya; padahal baru pertama kali kenal tapi aku merasa sayang betul dengannya. Dadanya yang bidang... Perutnya... Dan kontolnya yang tergolek lemah, belum sempat kusarungkan kembali ke celana dinasnya yang ketat itu... Kuelus perlahan-lahan kontolnya. Tidak bangun, tentu saja karena pemiliknya sedang pingsan. Kuamati lebih dekat kontol polisi Cinde yang sekarang bisa kunikmati kapan saja aku mau. Kontolnya benar-benar indah, sudah disunat ketat, sedikit ada cairan di ujungnya, mungkin bekas spermanya tadi. Kujilat cairan itu. Mmmm lezatnya... Aku ingin menikmati kembali sari pati kejantanannya. Kemudian kulihat bola-bola kontolnya, begitu besar dan menggiurkan. Kuremas-remas bola-bola itu dengan gemas. Si polisi Cinde tidak bereaksi, rupanya kesadarannya belum kembali. Kucoba merangsang kembali kontolnya, namun sekuat apapun rangsanganku, kontol itu tidak bisa menegang penuh, hanya sempat membesar sedikit namun tak sekeras tadi. Mungkin aku harus menunggu si pemiliknya sadar lebih dulu.

Aku ingin sekali menelanjanginya, namun aku punya pikiran lain. Aku ingin memperkosa si polisi Cinde saat ia masih berseragam lengkap seperti ini. Nanti saja ketika ia bangun aku bisa menikmati bagian atas tubuhnya, tapi untuk sekarang, kontolku sudah berdenyut-denyut ingin mencicipi lubang pantat si polisi Cinde. Maka kubuka kait celana dinasnya dan melonggarkan ikat pinggang putihnya yang besar itu. Celana dalamnya sudah sedikit melorot, berwarna abu-abu tua. Kupelorotkan celananya sampai sebatas lutut; baru saat itu aku sadar polisiku Cinde masih memakai sepatu butsnya. Ah biar saja deh, supaya semakin seksi...

Dan akhirnya aku melihat daerah selangkangannya.

Daerah itu ternyata putih juga, selaras dengan kulit tubuhnya yang berwarna sawo matang itu, walaupun aku baru melihat wajah dan tangannya yang tidak terselubung lengan panjang seragam dinasnya itu. Mulus pula, tak ada bulu jembut di situ. Aku jadi penasaran dengan dada dan perutnya, namun kutahan sejenak. Kuambil bantal dan kuganjalkan pada pantat si polisi Cinde. Hmmm... lubang pantatnya berwarna merah ranum kelihatan rapat sekali... Kuambil pelumas lalu kuoleskan di salah satu jariku. Dengan perlahan kumasukkan jari itu ke lubang pantatnya. Si polisi Cinde sempat mengerang sedikit, namun matanya tetap terpejam. Mungkin ia bisa merasakan jariku mulai menembus pertahanan lubang pantatnya; sesuatu yang kebanyakan polisi pertahankan agar tidak jebol. Namun kali ini si polisi Cinde harus pasrah lubang pantatnya jebol, hahaha... Sejenak kucoba kurangsang prostatnya, dan kali ini aku mendapatkan reaksi yang kuharapkan. Kontolnya mulai bangkit kembali, walaupun masih belum sekeras tadi. Aku jadi bertanya-tanya, apa si polisi Cinde ini benar-benar pingsan atau tidak. Kumasukkan jari kedua, sedikit erangan dari mulut si polisi Cinde, dan aku tidak sabar lagi. Siap atau tidak, terimalah kontolku! Kunaikkan kedua kakinya ke bahuku, lalu aku mengocok kontolku hingga keras kembali, dan...

Blessss...

Ummmhhh, sempitnya lubang pantat si polisi Cinde! Aku kesulitan menembus pertahanan lubang pantatnya, walaupun tadi dua jariku sudah masuk. Si polisi Cinde tidak bereaksi, tubuhnya pasrah kuperkosa. Karena ia tidak bisa melebarkan lubang pantatnya, aku harus ekstra keras memasukkan kontolku, walaupun kadang-kadang terasa sakit. Gesekan lubang pantatnya di kontolku benar-benar luar biasa sensasinya! Setelah beberapa menit, akhirnya kontolku semuanya masuk ke dalam pantat si polisi Cinde. Aku mencoba menggoyang-goyangkan pinggulku untuk mencoba merangsang prostatnya, tapi kontolnya hanya berayun lemah tak berdaya. Rangsangan jariku tadi tak bisa menjaga ereksi kontolnya. Ya sudah lah, nunggu nanti dia sadar. Sekarang kuperkosa dulu...

Mmmmhhh... sensasinya berbeda sekali dengan mengentot orang yang masih sadar... walaupun sebenarnya raut wajah yang dientot bisa membuatku semakin ganas, kali ini aku sudah cukup terangsang melihat wajah polisiku Cinde yang masih tergeletak tak sadarkan diri. Bagaimana badannya terguncang ke sana kemari ketika aku memompakan kontolku yang perkasa ini di dalam pantatnya, pahaku beradu dengan kulit pantatnya yang kenyal dan semok itu, kontolnya sendiri lemas dan tergoncang ke sana kemari... Aku jadi agak merasa bersalah karena kenikmatan ini hanya kurasakan sendiri, tapi kapan lagi aku bisa memperkosa polisi yang sedang pingsan? Walaupun nanti setelah ia sadar tentu aku bisa memperkosanya kembali, dan aku bisa memperkosa polisi ini kapan saja aku mau. Peluhku mulai bercucuran membasahi dadaku.

Dan akhirnya kenikmatan itu datang juga. Nafasku mulai memburu, pinggulku menegang, dan...

Crooooottt... Sebuah muncratan panjang mengawali orgasmeku di dalam tubuh si polisi Cinde. Aku terus memompakan kontolku selagi spermaku mulai memenuhi rongga pantatnya, dan setelah sembilan semprotan rasa lega itu pun menerpa. Terengah-engah aku dibuatnya. Kutunggu sampai kontolku melemas, baru kucabut kontolku dari lubang pantatnya. Kulihat cairan putih mulai meleleh dari lubang pantatnya, maka kujilat dan kuhirup sendiri spermaku. Hangat, legit, gurih. Setelah tak ada lagi yang bisa kuhirup, kuletakkan kembali kedua kakinya di atas ranjang.

Sekarang, bisakah aku membuat polisiku Cinde muncrat dalam keadaan pingsan begitu?

Tak ada salahnya dicoba. Aku membenamkan wajahku di selangkangan polisi itu. Aroma kejantanannya begitu kuat, kuhirup pelan-pelan. Normalnya saat ini aku bakal mendengar erangan rekan mainku, tapi berhubung si Cinde masih pingsan... atau dia mulai sadar ya? Aku mendengar erangannya, walaupun pelan. Aku memejamkan mataku, lalu menghirup aroma selangkangan si polisi Cinde sambil mengurut-urut kontolnya. Lama sekali sampai kontolnya cukup keras untuk bisa kukocok, itupun precum-nya tidak keluar. Baru saja mau kuhisap...

Dering telepon genggam membuyarkan suasana erotis yang sudah kubangun sejak lama. Sedikit menggerutu, kucari asal muasal telepon itu. Tidak mungkin ada yang meneleponku jam segini, jadi kayanya ini punya si Cinde. Betul saja, telepon genggamnya rupanya selip jatuh di ranjang ketika aku membuka celananya tadi. Kulihat sekilas si Cinde, ia masih belum sadar betul. Siapa sih yang telepon jam segini?

Parno. Sejenak aku bimbang apakah mengangkat telepon itu. Apa yang harus kukatakan nanti kalau dia tanya Cinde di mana? Dering sempat terhenti, dan ketika kutoleh selangkangan si Cinde, aku sebal betul karena kontolnya kembali lemah lunglai. Parno harus membayar semua ini! Tak lama telepon itu berdering lagi, dan kali ini kuangkat.

"Halo?"
"Cinde? Di mana kamu? Aku sudah selesai dinas."
"Sori, tapi Cinde lagi tidur. Telepon lagi nanti ya."
"Ini siapa? Pacarnya ya?" Lho dari mana dia tahu? Apa si Cinde sudah cerita?
"Kalau iya, kenapa?"
"Mau main bertiga denganku?" Wah nantang nih Parno...
"Boleh, tapi aku nggak mau kamu tusuk dan kamu harus mau kutusuk. Ganggu aja telepon jam segini..." Aku sengaja berlagak agak marah.
"Oke ga masalah. Aku harus ke mana?" Kuberitahukannya alamat rumahku. "Sebentar lagi aku ke sana." Telepon pun ditutup. Sebenarnya aku tidak terlalu terangsang dengan si Parno, tapi siapa tahu aku salah. Dan baru terlintas di pikiranku, bagaimana nanti ketika si Cinde sadar dan melihatku sedang memperkosa Parno rekannya? Tapi kapan lagi aku bisa threesome dengan polisi?

Aku pun kembali ke mainanku, kontol si polisi Cinde. Kuamat-amati kontolnya kembali, sebelum kumasukkan kontolnya ke dalam mulutku dan kukenyot-kenyot. Walaupun belum ngaceng, kekenyalan kontolnya cukup pas untuk dikenyot. Dan kurasa Cinde mulai agak sadar karena sedikit-sedikit ia mengerang, walaupun kontolnya belum terlalu keras. "Cinde? Cinde sayang...," panggilku. Tak ada respon. Kulanjutkan kembali mengenyot kontolnya, sambil kali ini kususupkan tanganku ke dalam seragam atasnya. Ah dia menggunakan kaos dalam coklat itu rupanya... kususupkan tanganku ke dalamnya, dan hadiahku berupa perut datar si polisi Cinde. Tidak six pack sih, tapi kurasa ia cukup rajin latihan karena di beberapa tempat otot perutnya mulai terbentuk. Kuelus-elus perut itu, berharap Cinde bisa mulai tersadar dan menikmati kembali rangsanganku. Aku mengubah posisiku sehingga aku bisa mengelus-elus dadanya sambil tetap mengisap kontolnya. Dadanya sendiri cukup mulus, aku hanya merasakan bulu-bulu halus di sana. Dan akhirnya kutemukan yang kucari: puting susunya. Kumainkan salah satu puting susunya. Beberapa rekan mainku bisa terbangun ketika kumainkan sambil tertidur, dan mungkin si polisi Cinde bisa sadar gara-gara rangsangan di puting susunya...

...setelah beberapa lama akhirnya aku mendapatkan reaksi yang kuharapkan. Cinde mulai sedikit sadar, ia menggeliat sedikit walaupun matanya masih tertutup, dan mengerang pelan. Kontolnya sendiri belum terlalu keras. "Cinde? Cinde sayang...," panggilku. Ia hanya menggumam pelan. "Sayang, kamu udah sadar?" Aku memutuskan menyudahi kenyotanku dan berbaring di sampingnya menatapnya, sambil tanganku tetap mengelus-elus kontol kesayanganku itu. "Sayaaannnggg..." Kukecup dahinya sekali-dua kali. Perlahan-lahan Cinde pun membuka matanya. "Mmmmhhh...," erangnya pelan. "Di... mana... aku...?" "Tenang Sayang, kamu ada di kamarku. Sori ya aku tadi keterlaluan mainin kontolmu, sampai kamu pingsan gini." Tak lupa kuelus-elus kontolnya, membuatnya mengerang pelan. Ia hendak bangkit, namun rupanya rasa perih menerpanya, membuatnya mendesis. "Sssshhh... kamu... kamu..." "Sori ya Sayang, tadi kamu kumasukin. Aku nggak tahan soalnya..." Cinde hanya mendesis pelan, tapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi, membuatku bersalah. "Kamu nggak marah kan?" Kucoba merayunya dengan menciumnya, namun ia tidak merespon ciumanku.

Dan sekali lagi telepon genggam Cinde berdering. "Cinde?" aku bisa mendengar suara si Parno. "Aku sudah di depan rumah pacarmu. Bukain pintu dong..." "Eh? Ngapain kau ke sini?" "Katanya mau main bertiga?" "Siapa bilang?" "Pacarmu tadi. Cepet bukain pintu dong..." Aku tak berani menatap Cinde saat itu. "Kamu ajak dia ke sini?" tanyanya. "Tadi dia telepon waktu kamu pingsan, dia sendiri yang minta..." "Bentar lagi aku keluar No, tunggu aja." "Cepetan ya!" Tanpa kuduga Cinde meraih kontolku dan meremasnya agak keras, membuatku mengerang. "Kau sudah memerkosaku waktu aku pingsan, dan sekarang kau ajak Parno untuk memerkosaku juga? Gitu ya, baru jadian sudah memanfaatkanku!" "Habis aku harus jawab apa? Dia sendiri yang nantang! Aargh..." Cinde memperkeras remasannya. "Ngilu Sayang..." "Tapi enak kan?" Tak kuduga jawaban itu sebenarnya. Cinde pun melepaskan remasannya dan berkata, "Sudah sana, bukain Parno! Biar kuperkosa dia, setelah aku memerkosamu!" "Kamu nggak marah kan?" "Sudah kepalang tanggung, toh kau juga pasti mau memerkosaku. Enak kan merkosa polisi pingsan?" Aku hanya nyengir, lalu mengenakan sarungku dan bergegas membuka pintu, sementara Cinde hanya tiduran di atas ranjangku. Parno memakai jaket hitam, motornya lebih besar dari motor Cinde, dan setelah pintu kututup ia hanya duduk di sofa. "Cinde mana?" tanyanya. Rupanya ia sungkan juga denganku. "Dia ada di dalam, bentar kupanggilkan." Namun, tanpa harus disuruh Cinde rupanya sudah berjalan sendiri ke ruang tamu. "Kenapa kau Nde?" tanya Parno keheranan. "Jalanmu kok agak pincang gitu?" "Iya nih sialan, aku diperkosa pas pingsan sama dia!" jawabnya enteng. "Dan kau ganggu saja!" "Eh aku kan juga pingin main Nde, udah lama nih..." Ia mengelus-elus tonjolan kontolnya yang sudah mulai membesar itu. "Ya sudah, pilih mau diperkosa siapa!"

Dan malam itu benar-benar menjadi malam tak terlupakan. Aku threesome dengan dua orang polisi, dan kali ini aku yang memegang kendali. Mereka mengambil peran sebagai dua orang polisi yang bertugas menangkap penjahat, namun mereka berdua justru tertangkap. Pertama-tama koborgol tangan kedua polisi itu, dan mereka kusuruh berdiri dengan kaki terbuka di hadapanku yang duduk di sofa. Aku berpura-pura menyiksa mereka dengan meninju selangkangan mereka, dan mereka pura-pura mengerang kesakitan ketika tinjuku, yang tentu saja hanya main-main, mendarat di tonjolan selangkangan mereka. Setelah puas, aku hanya meraba-raba bola-bola kedua polisi itu hingga kontol mereka ngaceng, dan mereka memohon-mohon untuk dimainkan kontolnya. Maka kubuka resleting celana coklat mereka dan kukeluarkan batang kontol mereka. Aku punya rencana untuk memerkosa sekaligus diperkosa, maka kontol si polisi Cinde kuhisap-hisap sementara kontol si polisi Parno hanya kukocok-kocok. Aku tidak mau jiwa top Parno muncul. Beberapa saat kemudian kami pindah ke kamar, dan aku menyuruh Parno menghisap kontolku selagi aku tetap menghisap kontol si polisi Cinde. Erangan demi erangan memenuhi kamar tidurku. Setelah kurasa siap, aku pun memelorot celana si polisi Parno, sementara aku sendiri sudah telanjang bulat. Kubuka borgol si polisi Cinde, sementara si polisi Parno kusuruh tengkurap di ranjang. Kubuka borgolnya dari satu tangan, dan dengan cepat kukunci kembali borgol itu di tepi ranjangku. Kugunakan juga borgol si polisi CInde untuk mengikat tangan Parno satunya. "Eh? Aku mau diapakan?" tanyanya gugup. "Jangan berisik kalau kau mau selamat!" ancamku. "Tenang aja No, kamu pasti menikmatinya kok," ujar Cinde. Sepertinya ia tahu maksudku. Tapi mungkin ia tidak tahu rencanaku sebenarnya. "Sebentar Sayang," ujarku. "Aku yang akan menembus lubang pertahanannya." "Lalu aku?" "Kamu tembus punyaku." "Wooo, kuda-kudaan nih jadinya? Perkosa-perkosaan? Siapa takut?" Parno agak ketakutan mendengar rencanaku, "Eh eh... apa-apaan ini? Aku belum pernah dimasukin!" "Siapa suruh ke sini!" sergah Cinde. "Kau akan menikmatinya Parno..."

"Nungging!" bentakku sambil menampar pantat Parno. Ia mengerang, namun ia pun melakukannya. Kutampar pantat Parno beberapa kali sampai agak kemerahan. Lalu aku pun menaikinya, dan... Blessss... Erangan itu takkan pernah kulupakan: eranganku merasakan sempitnya pantat si Parno mencengkeram kuat kontolku, bersamaan dengan erangan kesakitan si Parno yang masih perawan. Cinde tertawa melihatnya. "Parno Parno, kaya cewek aja teriakmu!" "Sakiiiiitttt...," desis Parno sambil menahan sakit. "Ayo Yang masukin aku!" Cinde pun mengambil posisi di belakangku, mengocok-ngocok sejenak kontolnya, dan... Blessss... "Ugh..." Walaupun tadi dia sudah memasukiku, ia juga memaksakan kontolnya langsung masuk ke pantatku. "Sakit Yang?" bisiknya. "Kau balas dendam ya..." Ia hanya tertawa kecil.

Dan di sinilah aku sekarang, dijepit dua orang polisi, satu kuperkosa, satu memerkosaku. Aku belum pernah mengalaminya sebelumnya, walaupun sesekali aku pernah threesome. Aku mencoba menyelaraskan hentakan pinggulku di pantat si polisi Parno dengan hentakan pinggul si polisi Cinde. Kami berdua mengerang kenikmatan seiring dengan tiap hentakan, dan walaupun awalnya kesakitan, lama-lama si Parno menikmatinya juga. Aku hanya bisa memainkan kedua puting susu si Parno sekaligus menjaga keseimbangan karena tenaga si Cinde ternyata besar juga, membuatku selalu terhempas ketika ia menancapkan kontolnya dalam-dalam. Dan walaupun ia sudah kubuat muncrat sampai pingsan, kali ini tenaganya benar-benar luar biasa. Si Cinde sendiri sesekali mendikte hentakanku dengan menarik-dorong pinggulku, dan aku pasrah saja dibimbingnya. Sampai akhirnya tanpa bisa kutahan aku muncrat duluan, tapi untungnya itu membuat pantatku mencengkeram kuat kontol si polisi Cinde, sehingga tak lama kemudian ia muncrat juga. Kami berdua terengah-engah ambruk di atas tubuh si polisi Parno, membuatnya meronta-ronta. Justru itu membuatku dan Cinde semakin bernafsu atas tubuh si polisi Parno. Aku membuka kedua borgolnya hanya untuk membuatnya telentang, dan kini aku bekerja sama dengan Cinde mengerjai tubuhnya. Aku kebagian mengerjai kontolnya, sama seperti aku mengerjai kontol Cinde tadi, sementara Cinde sendiri mengerjai dada Parno. Seragamnya sama sekali tidak ditanggalkan, hanya dibuka begitu saja, bahkan kaosnya disobek si Cinde dengan perkasanya, membuat Parno seakan benar-benar diperkosa habis-habisan. Dan tentu saja ia memang diperkosa habis-habisan. Aku membuatnya muncrat, namun rangsanganku tidak kuhentikan sampai ia menggeliat-geliat meminta ampun, aku terus mengocok dan menjilat kontolnya. Cinde menciumnya ketika ia meronta-ronta, sehingga erangannya tertahan. Dengan nakalnya si polisi Cinde tetap mengerjai tubuh rekannya itu, dan kontol si Parno pun akhirnya tegang kembali, namun tak sampai lima menit ia pun muncrat lagi. Kembali tidak kuhentikan rangsanganku, dan si Cinde sepertinya kompak denganku.

Sampai akhirnya Parno muncrat untuk ketiga kalinya, dan ia kehabisan tenaga. Selanjutnya tak perlu kuceritakan di sini, karena si Cinde terangsang kembali untuk memerkosa rekannya yang pingsan. Sama seperti apa yang kulakukan tadi. Aku hanya tersenyum melihatnya, sepertinya para polisi ini juga doyan memerkosa.

Kurasa aku akan membuat laporan perkosaan lagi di kota baru nantinya...

No comments:

Post a Comment