Page Tab Header

Monday, April 5, 2004

Gigolo Desa



KISAH GIGOLO DARI DESA



KISAH DI DESA

"Kriiiiinggg!!!!", jam weker jadul di dekat ranjangku berbunyi nyaring sekali, sampai-
sampai aku setengah meloncat dari ranjang saking kagetnya. Padahal jam tua itu sudah
cukup lama menghuni kamarku, tapi setiap kali berbunyi, aku selalu terbangun dalam
keadaan kaget. Ya, meskipun jam tua yang masih analog, tapi jauh lebih efektif ketimbang
jam alarm moderen yang bunyinya sudah kayak ringtone hape. Ku tatap di sebelah kiriku,
istriku masih terlelap seolah tak peduli dengan berisiknya suara weker tadi.

"Dik, bangun... sudah jam 5 subuh nih", ku guncang pelan tubuh istriku, "Abang musti
siap-siap, nanti ketinggalan kereta ke Jakarta".

Dengan setengah enggan istriku membalikkan badan lalu mengucak-ngucak matanya yang
seperti masih terlalu berat untuk dibuka kelopaknya. Maklum, semalam ia tidur sudah
lewat tengah malam, setelah selesai membenahi pakaianku dan barang-barang lain dalam tas
ransel yang akan aku bawa ke Jakarta.

"Bang, maaf... aku ketiduran...", sahut istriku sambil berusaha beranjak dari ranjang.
"Abang siap-siapa aja, nanti aku rebus air panas untuk abang mandi, biar tidak masuk
angin."

Marni, demikian nama istriku yang ku nikahi 3 tahun lalu. Kami sudah dikaruniai seorang
anak laki-laki, si Bayu namanya. Usianya sudah hampir 2 tahun. Aku dan Marni serta Bayu
tinggal di desa. Letaknya agak terpencil di daerah Cirebon. Meskipun itu adalah desa
asal si Marni, tapi kami tidak tinggal serumah dengan orangtuanya. Pernikahan kami
kurang mulus sebab orangtua Marni tidak setuju ia menikah dengan orang biasa-biasa
seperti aku. Mereka menginginkan Marni menikah dengan anak seorang juragan kaya di desa
itu, untuk menaikkan derajat dan perekonomian keluarganya. Namun Marni lebih memilih
aku. Ia menentang kemauan orangtuanya. Alhasil, kami terpisah dari orangtuanya.
Untunglah salah seorang paman Marni sangat baik kepada kami, sehingga kami diperkenankan
tinggal di rumahnya, sekaligus untuk ditunggui, sebab pamannya itu menetap dan bekerja
di Semarang, dan rumahnya di desa dalam keadaan kosong.

Penghasilanku sebagai seorang petani sangatlah kecil. Mungkin hanya cukup untuk makan
sehari-hari. Sementara tuntutan hidup sudah semakin membengkak. Apalagi anakku sudah
semakin besar, dan tentunya tidak lama lagi bayu akan masuk usia sekolah. Sebagai lelaki
dan kepala rumahtangga, aku malu kalau istriku sampai harus jadi tukang cuci baju di
rumah tetangga demi menambah penghasilan keluarga. Apalagi sindiran sinis dari
keluarganya yang tidak hanya memanaskan kupingku, tapi juga membuat hatiku sakit.
Makanya suatu hari ketika seorang mantan teman SD-ku, Arif namanya, menceritakan
kesuksesan hidupnya di Jakarta, aku benar-benar tertarik. Sebelum kembali ke Jakarta
pekan lalu, Arif meninggalkan nomor hapenya. Barangkali aku tertarik menyusulnya, aku
bisa mengontaknya setelah tiba di Jakarta. Setelah beberapa hari berunding, akhirnya
Marni setuju aku merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Nanti setelah aku sukses,
barulah Marni dan Bayu akan menyusul ke Jakarta.

"Hati-hati di jalan, Bang! Dan jangan lupa mengirim kabar ya?", ucap Marni lirih sembari
mencium tanganku, ketika ia mengantarku ke depan rumah. Di sana telah menunggu Bang
Tejo, sopir ojek yang akan mengantarku ke stasiun kereta api.

"Kamu juga, Marni... Jaga anak kita baik-baik ya!", aku memeluk Marni lalu mencium
keningnya. Mata kami berkaca-kaca. Maklumlah, selama hidup sebagai suami istri, baru
saat ini kami akan terpisah jarak sangat jauh dan cukup lama. Sebelumnya aku juga sudah
mencium pipi anakku yang masih terlelap di kamar. Aku sengaja tidak membangunkannya,
sebab kalau Bayu tahu aku akan pergi, dia pasti menangis.


MERANTAU KE JAKARTA

Aku terbangun mendengar hiruk pikuk para penumpang kereta api yang mulai sibuk mengambil
barang-barang mereka. Rupanya kereta yang ku tumpangi telah hampir tiba di tujuan. Saat
menoleh ke luar jendela, tampak Stasiun Senen telah di depan mata. Aku pun berdiri dan
mengambil tas ranselku. Begitu kereta berhenti, para penumpang berbondong-bondong keluar
dari gerbong. Aku hanya mengikuti arus orang-orang itu saja, sebab aku sama sekali belum
pernah ke Jakarta.

"Mas permisi", aku menyapa seorang pemuda yang sedang berdiri di depan peron. "Mas tahu
alamat ini?" Segera ku tunjukkan secarik kertas yang ditinggalkan Arif. Di situ ada
nama, alamat dan nomor hape-nya.

"Wah, daerah Cempaka Putih sih dekat, Mas, tapi luas banget! Di Jakarta alamatnya harus
lengkap dan jelas. Nah, ini ada nomor hapenya. Ditelpon aja temannya itu", jawab sang
pemuda.

"Hmm... bagaimana cara meneleponnya?", tanyaku agak kikuk. Maklumlah, jangankan hape,
telepon rumah (Telkom) aja belum masuk ke desaku.

"Yaaa, Mas kudu beli hape juga dong. Atau bisa telepon dari Wartel. Itu, nggak jauh dari
sini", ucapnya sambil menunjukkan tempat di mana aku bisa menelpon si Arif.

"Terima kasih ya Mas!", akupun berlalu mencari tempat menelpon itu.

Setelah dibantu oleh penjaga Wartel, aku bisa berhubungan dengan Arif via telepon. Arif
menyuruhku untuk tetap diam di situ sampai ia tiba. Sebab katanya kalau aku berpindah
tempat nanti dia sulit menemukanku dan aku bisa saja nyasar. Jadi ku tunggui Arif di
situ, sambil menghabiskan sisa makanan yang disiapkan oleh Marni dalam tas ranselku.
Sebagian lagi sudah ku makan ketika masih dalam perjalanan kereta api.

"Triyo...", Arif menepuk pundakku dari belakang. Akhirnya muncul juga dia setelah hampir
sejam ku tunggu. "Maaf, jalanannya macet banget.", ujar Arif sambil terengah-engah.
Peluhnya cukup banyak di wajah dan lehernya.

"Rif, ku kira kamu gak bakalan muncul", ucapku dengan perasaan senang. Maklumlah, aku
tadinya sudah sempat khawatir, bagaimana jika Arif gak muncul juga? Padahal aku sama
sekali masih asing di kota ini. Entah apa yang harus ku lakukan. Dengan girang aku
merangkul Arif.

'Sudah, sudah... ayo kita langsung ke kosanku. Di sini tempatnya agak rawan", sahut Arif
sambil mengambil tas ranselku. "Ini tas jangan digeletakin begitu aja, nanti diembat
orang!", sambungnya.

Aku agak bingung juga. Buat apa oang mengambil ransel bututku yang isinya hanya pakaian
aja? Maklum, sebagai orang desa, aku belum sadar kalau di Jakarta itu segala hal bisa
terjadi. Dan belakangan dari Arif aku tahu bahwa hampir setiap saat ada aja barang
penumpang yang hilang.Ternyata Jakarta memang kejam.

Tempat kost Arif hanyalah sebuah kamar ukuran 3x3 meter. Agak pengap, dan hanya ada
sebuah kipas angin kecil untuk menyejukkan udara. Tidak ada ranjang, hanya sebuah kasur
yang tampaknya sudah mulai menipis. Untung saja lantainya dialasi semacam karpet
plastik. Jadi kami bisa selonjoran di lantai. Gambarannya jauh dari perkiraanku, sebab
Arif sebelumnya bercerita di desa bahwa ia cukup sukses di Jakarta. Aku pikir,
setidaknya dia sudah ngontrak rumah sendiri. Namun demikian, aku harus bisa menerima apa
adanya. Sudah sukur si Arif mau bantu, jadi aku gak berani berkomentar macam-macam.

"Kecil ya?", tanya Arif tatkala melihatku sedang memperhatikan isi kamarnya. "Maklum
aja, kamar segini pun sewanya sudah 400ribu sebulan", ucapnya. Aku kaget juga. kalau di
kampung, uang segitu sudah bisa beli macam-macam.

"Gak apa-apa sih, Rif", sambutku, "Kamu sudah mau terima aku di sini juga sudah lebih
dari cukup kok, daripada aku harus tidur di tepi jalan".

Arif tersenyum-senyum.

"Nah, gitu dong! Prinsipku, yang penting aku bisa nabung banyak untuk dibawa ke kampung.
Kalau di Jakarta sih hemat-hemat aja. Toh juga aku jarang di kosan. Hanya buat tidur
aja. Kalau lagi kerja, aku seharian di luar", jelasnya panjang lebar.

Aku ingin menggali lebih jauh tentang pekerjaannya, tapi badanku masih terlalu letih
saat itu. Jadi, aku hanya duduk manis saja dan mendengar ocehan Arif. Sampai beberapa
saat kemudian dia sadar bahwa aku perlu waktu untuk istirahat dulu setelah perjalanan
panjang nan melelahkan.


AWAL YANG ANEH

2 hari sudah aku berada di Jakarta, tapi Arif sama sekali belum menyinggung tentang
masalah pekerjaan untukku. Arif bangun agak siangan, sekitar jam 10. Lalu pergi kerja
menjelang siang, dan kembali setelah tengah malam. Akupun mulai bertanya dalam hati,
kira-kira pekerjaan macam apa yang pola jamnya seperti itu? Namun aku belum berani
bertanya langsung kepada Arif. Pikiranku masih tertuju nun jauh ke desa, ke istri dan
anakku yang ku tinggalkan di sana. Rindu menumpuk, tapi aku harus bisa bersabar. Toh ini
juga demi masa depan mereka. Aku isi waktu senggang dengan menulis sepucuk surat untuk
istriku, mengabarkan bahwa aku sudah tiba dengan selamat di Jakarta. Agar Marni tidak
merasa khawatir terhadap keberadaanku.

Saat Arif kembali ke kosan malam itu, aku menguatkan diriku untuk memulai percakapan
tentang pekerjaanku nantinya. Sebab aku tidak mau hanya berleha-leha di kamar kostnya
sementara istri dan anakku berharap banyak dariku di desa.

"Rif, maaf, aku bisa tanya sesuatu gak?", ucapku perlahan membuka percakapan.

"Oh iya, ada apa Yo?", tanyanya.

"Begini Rif, aku kan sudah beberapa hari di sini. Gak enak sama kamu kalau aku hanya
makan tidur saja di kosanmu. Jadi, kalau gak keberatan, bisa tahu kapan kira-kira aku
bisa dicarikan pekerjaan?"

'Sabar ya Triyo. Aku memang agak sibuk 2-3 hari ini. Tapi pasti aku bantu. Masalahnya,
kamu sudah siap lahir bathin gak, Yo?", Arif menatapku dengan pandangan menyelidik.

"Kalo siap, ya udah kepalang basah. Aku sudah jauh-jauh ke Jakarta. Gak mungkin aku
pulang ke desa dengan tangan kosong. Pekerjaan apa sajalah, yang penting aku bisa
mengumpulkan uang secepatnya", sambutku.

"Benar kamu mau kerja apa saja?", tantangnya.

'Iya Rif... Aku benar-benar sudah muak jadi orang miskin. Sampai harus dihina sama
keluarga istriku. Aku harus buktikan sama mereka bahwa aku juga bisa punya uang. Apapun
resikonya", aku tekankan tekad bulatku untuk bekerja di Jakarta kepada Arif.

"Oke, oke... tapi ingat, ini pilihanmu. Jadi jangan salahkan aku belakangan hari", tukas
Arif.

"Tenang aja. Aku gak akan menyalahkanmu apapun yang terjadi. Pokoknya aku harus kerja
dan dapat uang", sambutku sambil menepuk pundak Arif.

"Baklah Yo. Sekarang coba kamu buka pakaianmu", kata Arif. Aku agak bingung juga, namun
aku menuruti saja apa yang diminta Arif. Ku buka semua kancing dan menanggalkan
kemejaku. Sikap Arif sepertinya masih menunggu. Arif memberi kode ke arah celanaku
dengan jari telunjuknya. Aku tambah bingung, mungkin maksudnya celana panjangku juga
harus dibuka. Walaupun masih tidak mengerti, aku turuti saja. Ku buka celana panjangku
sehingga tersisa celana dalam yang membaluti tubuhku. Otot-ototku tampak basah oleh
peluh, sebab kamar kost si Arif memang panas sekali.

"Nah, kayaknya kamu sangat memenuhi syarat. Tapi coba buka semuanya. Aku hanya ingin
tahu apakah kamu benar-benar cocok untuk kerja", sambung Arif. Aku sejenak berpikir,
mungkin tuntutan pekerjaan yang akan diberikan padaku ialah harus sehat dan bersih.
Meskipun aku orang kampung, tapi aku paling paham namanya kebersihan tubuh. Aku rajin
mandi dan tidak berpenyakit kulit.Jadi, nyantai aja aku buka celana dalamku. Toh sama-
sama lelaki, dan pintu kamar Arif tertutup. Arif memandangiku,dan memintaku untuk
memutarkan badan 360 derajat.

"Hmm... baiklah. Untuk sementara penilaianku oke. Ga ada masalah. Tapi kamu perlu
memahami terlebih dahulu pekerjaanmu nanti. Besok kamu ikutan aku ya! Sekarang, pakai
lagi semua pakaianmu. Kamu harus istirahat supaya ada stamina", kata Arif.


TERCENGANG DENGAN APA YANG KU LIHAT

Keesokan pagi, aku telah bangun sekitar jam 6. Tidak sabar rasanya diriku, ingin segera
mendapatkan pekerjaan. Namun aku harus menahan diri, menunggu Arif bangun seperti
biasanya, sekitar jam 10. Ketika Arif bangun, aku telah mandi dan mengenakan pakaian
yang agak bagusan, walaupun itu mungkin menurut ukuran orang kampung. Arif segera mandi
lalu ganti pakaian. Ia mengenakan setelan jeans dan kaos putih kerah tinggi. Gayanya
sudah benar-benar seperti orang kota. Berbeda jauh denganku. Aku ingin meniru gaya
berbusananya, tapi kata Arif tidak perlu. Aku bisa tampil apa adanya, gak apa-apa
kelihatan kayak orang udik. Seperti biasa, aku menurut saja.

Taksi yang ditumpangi Arif dan aku berhenti di depan sebuah hotel dekat Tugu Tani,
sepertinya tidak jauh dari daerah Senen, setelah sebelumnya taksi itu dihetikan untuk
diperiksa oleh petugas di gerbang masuk. Ku lihat Arif mengeluarkan sejumlah uang yang
cukup banyak untuk membayar taksi itu. Mungkin lebih setengah dari ongkos kereta api
kelas ekonomi dari kampungku ke Jakarta. Aku tidak banyak bertanya. Ku ikuti saja Arif
masuk ke lobi hotel. Di pintu masuk lobi pun kami masih harus diperiksa. Setelah itu aku
mengikuti Arif masuk ke sebuah pintu, dalam ruangan kecil berbentuk kotak. Belakangan
baru aku tahu kalau itu yang namanya lift atau elevator. Aku sudah pernah melihatnya di
sinetron tv, tapi baru sekarang aku menggunakannya secara langsung. Ternyata asik juga,
tidak perlu capek-capek naik tangga ke lantai 7, tempat tujuan kami.

Di depan sebuah pintu kamar, Arif menekan sebuah tombol, lalu pintu itu terbuka. Dari
baliknya muncul seorang bapak, agak gemuk, mungkin umurnya sekitar 50 tahun. Bapak itu
tersenyum lebar melihat Arif, tanpa banyak tanya, sang bapak memberi kode agar kami
berdua segera masuk.

"Wah, dik Aldo... akhirnya datang juga. Om sudah tunggu sejak 30 menit lalu. Kirain gak
jadi ke sini.", sapa si Bapak. Aku kaget juga, kok si bapak menyapa Arif dengan nama
Aldo? Tapi seperti biasa, aku berusaha menyimpan keterkejutanku.

"Maaf Om Dewa, tadi sih sudah buru-buru. Tapi nunggu taksinya agak lama dari depan
rumah.", jawab Arif. Wah, ini bohong juga, pikirku dalam hati. Rasanya tadi begitu kami
keluar dari gang kosan si Arif, langsung dapat taksi kok. Tapi apa peduliku. "Oh iya om,
hampir lupa. Ini temanku, Troy. Baru datang dari daerah.", sambung Arif. Sekali lagi aku
bingung, kok Arif ngenalin aku dengan nama Troy? Wah, wah... apa mungkin kalo di Jakarta
orang-orang harus ganti nama ya? Yowiz, ikutin aja ke mana air mengalir. Aku tersenyum
sendiri.

"Oh, dik Troy... ganteng juga ya!", sambut Om Dewa sambil menyalami tanganku. Aku masih
kikuk, dan itu kelihatan banget sama Om Dewa.

"Maklum om, masih berondong, casing orisinil... hehehe", celetuk si Arif, yang disusul
dengan ketawa kecil Om Dewa. Apapun juag artinya itu, yang pasti aku paham bahwa Arif
sedang memberikan pengenalan tentang diriku kepada Om Dewa.

"Umurnya berapa, dik Troy?", tanya Om Dewa kepadaku.

Belum sempat aku menjawab, Arif sudah memotong, "Baru 20 tahun, Om! Troy baru lulus SMU
tahun kemaren di daerah. Pacaran aja belum pernah, Om."

Untuk kesekian kalinya aku terheran. Arif tahu persis bahwa umurku sudah 25 tahun, dan
aku sudah punya anak istri. Hm, mungkin salah satu syarat kerja iaah batas usia 20 tahun
dan belum menikah, pikirku. Tapi gimana nanti kalo aku akan melamar dan sudah harus
menunjukkan KTP? Kalo ketahuan bohong, bisa gak dapat kerja nih! Tapi, ah... itu urusan
Arif. Aku yakin dia tahu persis apa yang dia lakukan.

"Mmm, tapi om, si Troy ini benar-benar belum bisa apa-apa... Aku ajak dia ke sini supaya
dia bisa belajar. Jadi gak apa-apa ya kalo dia nonton aja kali ini? Aku janji, nanti om
yang pertama, ok?" lanjut Arif.

Om Dewa tidak menjawab, hanya mengangguk dan tersenyum. Matanya masih tertegun melihat
ke arahku. Aku hanya diam, mungkin karena masih rada bingung. Tapi beberapa saat
kemudian, aku kebingunganku makin bertambah. Aku tercengang melihat apa yang terjadi di
depan mataku. Tiba-tiba saja Arif dan Om Dewa berpelukan di depanku! Wah, kayak suami
istri pokoknya! Mulutku ternganga tatkala kemudian ku lihat mulut mereka beradu....
saling ciuman! Wah, wah, apa yang sebetulnya terjadi? Kenapa si Arif bersikap begitu?
Bukankah.... mereka sama-sama pria?

Ketercenganganku belum juga hilang, kala lu lihat adegan mereka berdua berlanjut. Aku
hanya bisa terduduk di kursi dekat meja rias, saat mereka mulai bergelut dan menjatuhkan
diri ke atas ranjang. Sungguh aku tidak percaya dengan pemandangan mataku sendiri. Aku
hanya menyaksikan nyaris tanpa berkedip. Om Dewa dengan ganasnya menyergap si Arif.
Pakaian Arif dibukanya satu per satu, lalu pakaiannya sendiri. Sampai akhirnya mereka
berdua benar-benar tidak berbalut sehelai kain pun. Sebagai orang yang telah menikah,
tentunya hubungan badan bukanlah hal yang aneh bagiku. Tapi itu ku lakukan dengan
isteriku, bukan dengan orang lain, apalagi sesama jenis. Aku seperti tersambar petir
atau listrik ribuan volt!

Setelah sedikit reda dari kekagetan, aku mulai memperhatikan apa yang terjadi di atas
ranjang. Om dewa mencium bibir dan dagu arif. Lalu perlahan turun sampai ke putingnya.
Lidahnya menyambar-nyambar putingnya Arif. Bahkan mungkin adegan aku dan istriku di
kamar tidak sehebat itu. Aku semakin tertegun tatkala ku lihat Om Dewa meluncur ke
bawah, ke arah perutnya Arif, lalu terus sampai ke daerah kemaluannya. Diisapnya kontol
Arif yang sudah mengeras, seperti anak kecil yang sedang menikmati es lilin. Nafasnya
memburu, Arif pun merintih-rintih ringan seperti orang yang sedang di puncak nikmat.
Selang beberapa saat kemudian, giliran Arif menjilati tubuh Om Dewa dari atas hingga ke
bawah. Adegan es lilin tadi berulang kembali, tapi kali ini si Arif yang mengisap punya
Om Dewa. Mereka berdua sangat bernafsu. Bahkan mereka tidak peduli ada aku di situ,
tentunya dengan sejuta kebingungan.

Setelah sekian lama saling mengisap dalam posisi terbalik, Om Dewa berdiri dan meraih
sesuatu dari atas meja kecil di samping ranjang. Itu adalah sebuah kondom karet dan
sebuah benda lain yang bentuknya seperti tube pasta gigi. Om Dewa memencet tube itu
sampai keluar cairan bening, lalu dioleskannya ke (maaf) lubang duburnya Arif. Jarinya
dimain-mainkannya di selangkangan Arif. Tampak Arif menggeliat-geliat. Selama beberapa
saat kemudian, Om Dewa mengenakan kondom di kemaluannya. Lalu ia mengangkat kedua paha
Arif. Ya ampun! Batang kemaluannya itu dimasukkan ke dalam lubang dubur Arif! Sekilas
terlihat Arif seperti meringis kesakitan, tapi hanya beberapa saat, setelah itu
ekspresinya berubah lagi seperti sedang menikmati sesuatu. Om Dewa melakukan gerakan
maju mundur. Arif memejamkan matanya, tapi rautnya tampak tersenyum. Dengan tetap
melakukan gerakan tadi dengan pinggulnya, Om Dewa mendekatkan wajahnya ke wajah Arif.
Bibir dan lidah mereka bergulat. Sampai tiba-tiba pinggul Om Dewa mengejang, gerakannya
berhenti. Pinggulnya dibenamkan di antara kedua paha Arif dalam-dalam, dan...

"Aaaaaggghhh.....", Om Dewa menjerit perlahan. Tubuhnya agak gemetar. Setelah itu
tekanannya mengendor. Dicabutnya kemaluannya dari dubur Arif. Sementara itu Arif sibuk
mengocok-ngocok kemaluannya sendiri. Main lama makin cepat gerakan tangannya.

'Aaaaahhhhh....", sama seperti Om Dewa tadi, Arif pun mengerang. Ku lihat Om Dewa
menyergap kemaluan Arif dengan mulutnya, sampai cairan mani Arif tersemprot ke dalam
rongga mulutnya.

Aku gak tahan lagi, adegan itu tiba-tiba membuatku mual. Aku segera lari ke kamar mandi.
Aku muntah di wastafel.

"Hueek, hueek....", suaraku terdengar sampai ke ranjang. Tapi mereka sepertinya tidak
peduli. Segera ku cuci wajahku dengan air dan merapikan rambutku. Aku berusaha untuk
bersikap wajar dan kembali ke tempat duduk dekat meja rias. Om Dewa dan Arif yang saat
itu telah dalam posisi berpelukan di atas ranjang, menatapku sambil tersenyum-senyum
saja.

"Kenapa dik, muntah ya?", tanya Om Dewa dengan nada seperti menggoda.

"Iya om, sepertinya aku masuk angin", kilahku untuk mencegah ketersinggungan mereka
akibat rasa jijikku tadi.

"Hehehe... gak apa-apa kok. Nanti juga terbiasa.", sambung Om Dewa sambil tertawa kecil.
Mereka kemudian beranjak ke kamar mandi. Aku tetap duduk di kursi. Terdengar suara keran
air mengguyur, seperti pancuran di desaku. Mereka mandi bersama sambil sesekali
terdengar tertawa. Aku pun sadar, ternyata inilah pekerjaan Arif di Jakarta selama ini.
Rupanya Arif adalah seorang lelaki pelacur. Aku sudah tahu apa yang namanya pelacur,
sampai di daerah pun ada kok, tapi yang namanya pelacur kan perempuan? Baru sekarang aku
tahu kalau ternyata lelaki pun bisa jadi pelacur di Jakarta. Aku lihat Om Dewa memberi
Arif uang cukup banyak, sampai beberapa ratus ribu. Sungguh aku tidak menduga
sebelumnya.

PERGUMULAN DI DALAM BATHIN

Malam harinya Arif mengajakku makan ke foodcourt di sebuah pusat perbelanjaan. Dia juga
mampir ke toko untuk membeli celana dan baju. Arif membelikan untukku juga, tapi aku
tidak terlalu menanggapi. Sejak tadi aku lebih banyak diam, tidak bertanya sedikitpun.
Mungkin karena aku masih shock. Sekembalinya kami ke kosan, Arif berusaha membuka
percakapan dengan topik yang terjadi hari itu.

"Gimana? Masih tertarik untuk kerja? Ya, itulah sebabnya semalam aku tanya apa kamu
sungguh-sungguh mo kerja. Aku ingin kamu lihat sendiri, Yo. Jadi kamu bisa putuskan,
apakah masih akan melanjutkan atau kembali ke desa", jelas Arif.

Aku hanya terdiam beberapa saat. Pikiranku berkecamuk. Aku tak sanggup bekerja seperti
Arif. Jangan dengan lelaki, sama perempuan lain saja di selain istriku, aku akan
berpikir 1000x untuk berbuat mesum begitu. Ahhh, pergumulan di dalam bathinku pun
memuncak. Ku tutupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tiba-tiba Arif memegang
pundakku...

"Yo, kalo kamu memang gak sanggup, ya gak apa-apa. Anggap aja kamu lagi jalan-jalan
beberapa hari ke Jakarta. Kapan pun kamu ingin kembali ke desa, aku sih gak keberatan
sama sekali. Semuanya terserah kamu saja...", ujar Arif menenangkanku.

"Tidak, Rif... Gak mungkin aku bisa kembali ke desa dengan tangan hampa. Aku harus bisa
menunjukkan kepada keluarga istriku bahwa aku juga mampu menghidupi istri dan anakku.",
sahutku kemudian.

"Tapi kamu bisa kerja apa? Di sini semua pekerjaan perlu ijasah lah, perlu koneksi lah,
dan macam-macam. Kamu gak punya apa-apa untuk itu. Kalau kerja sepertiku, ya hanya butuh
modal tubuh saja, dan modalmu lebih dari cukup. Badanmu bersih berotot, kontolmu lumayan
gede kok. Tapi, sekali lagi terserah kamu ya, Yo..."

"Hmm... boleh aku diberi kesempatan berpikir dulu? Nanti aku ngasih jawaban besok pagi.
Gak apa-apa kan, Rif?"

"Yowiz, kalo gitu aku tidur duluan ya. Nanti kita sambung besok", kata Arif. Aku hanya
mengangguk. Pikiranku langsung menerawang. Sungguh pilihan yang sangat berat. Pikiranku
saat itu sangat kalut. Tadi ku lihat Arif mengantongi uang ratusan ribu, yang mungkin
sepadan dengan penghasilanku selama sebulan, dan dia mendapatkannya dalam waktu beberapa
jam saja. Bayangkan saja berapa yang bisa didapat selama sebulan. Jika saja aku bisa
mengatasi rasa jijikku, rasa engganku... Tapi, aku kan sudah punya istri dan anak?
Gimana perasaan mereka kalau tahu suami dan ayah tercinta ternyata bekerja sebagai
pelacur di Jakarta? Ah, mana mungkin mjuga mereka bisa tahu? Jakarta terlalu jauh dari
desaku. Penduduknya banyak sekali, kemungkinan bertemu orang sedesa sangatlah kecil.
Lagipula, mana ada orang dari desaku yang datang ke Jakarta untuk main dengan pelacur
lelaki? Maafkan aku Marni. Sepertinya jalan ini harus ku ambil. Aku sudah cukup muak
dihina-hina oleh keluargamu. Dan yang lebih utama lagi, aku harus bisa mengumpulkan uang
untuk anak kita bersekolah nanti, juga untuk modal usahamu agar tidak perlu susah-susah
mencuci pakaian di rumah tetangga. Biarlah aku yang berkorban saat ini, tapi semua demi
kamu dan anak kita. Sekali lagi maafkan aku, Marni!


KEPUTUSAN PUN KU AMBIL

Pagi itu, tidak seperti biasanya, Arif justru bangun lebih awal dariku. Mungkin karena
semalam aku melamun dan berpikir selama beberapa jam, dan baru bisa terlelap menjelang
subuh. Bahkan Arif sudah selesai mandi ketika aku berdiri dari pembaringan.

"Maaf Rif, aku ketiduran", ucapku sambil mengucak-ngucak mata.

"It's oke", jawab Arif, "Kamu mandi dulu gih, baru kita sarapan. Aku sudah pesan Mie
Sedap pake telor 2 porsi di warung depan."

Singkat cerita, setelah aku selesai mandi dan kami sarapan bersama di kamar kostnya, aku
mulai membuka percakapan dengan Arif.

"Rif, aku sudah mengambil keputusan...."

"Ya aku juga sudah bisa menduga", potongnya, "Pasti kamu gak bisa kerja kayak gitu.
Yowiz gak apa-apa. Kalo kamu masih mau tinggal di sini, aku gak keberatan kok. Kamu bisa
bantu aku bersih-bersih."

"Bukan begitu, Rif. Maksudku, aku sudah memutuskan untuk kerja. Gak mungkin aku pulang
ke desa saat ini. Anak istriku sangat mengharapkan aku bisa sukses di Jakarta. Apapun
resikonya, aku akan ambil. Tapi terus terang saja au belum bisa apa-apa. Bisa kan kamu
bantu aku, Rif?", tanyaku.

Airf tidak langsung menjawabku. Sepertinya dia agak terkejut mendengar perkataanku.

"Hmm, baiklah. Kalo kamu emang sudah pikirkan matang-matang. Tugasnya ya lebih kurang
sama kayak aku dengan Om Dewa kemaren. Memang agak sulit awalnya, tapi lama kelamaan
kamu akan terbiasa juga.", kata Arif.

"Tapi Rif, aku kan gak tertarik sama lelaki. Jadi jelas kemaluanku gak bisa tegang kalau
bercumbu begituan dengan lelaki....", ujarku.

"Ah, itu mah perkara mudah", tanggap Arif seraya mengeluarkan sesuatu dari lemari. 'Ini,
pil obat kuat. Kalo kamu sudah negak sebagian aja isinya, dijamin kontolmu bakal tegang
kalo dirangsang orang, mo laki kek, mo peremuan kek, yang penting gak sama kambing,
hahaha!"

Oh rupanya itu rahasianya! Pantesan saja. Memang sejak awal aku juga bingung, kok Arif
bisa saja ngaceng sama lelaki? Padahal dia kan bukan gay? Lha, aku juga bukan. Aku
lelaki tulen yang hanya suka perempuan. Tapi kalo ada obat kayak gini sih, aku juga bisa
lah. Pantesan kemaren ketika dalam lift si Arif seperti menelan sesuatu. Rupanya ini
toh.

"Oke Rif, aku sudah siap.", kataku.

"Tunggu sebentar...", ucap Arif sambil mengelurkan hape dari kantongnya. Sesaat kemudian
tampak Arif menelpon seseorang. Dari percakapannya, kayaknya itu Om Dewa yang kemaren.
Aku gak terlalu menangkap obrolan mereka, hanya saja Arif menyebut-nyebut kata
"threesome". Waktu itu aku belum terlalu paham.

"Oke Yo... si Om Dewa mau terima kamu. Hanya saja aku kuwatir kamu blum bisa apa-apa.
Makanya aku tawari ke Om Dewa agar kita main bertiga. Ya udah, kamun siap-siap saja.
Pake aja kaos yang aku belikan kemaren di mall. Mudah-mudahan muat. Habisnya, kemaren
aku tawarin kamunya kayak orang kesambet. Ya, udah buruan...", seru Arif.

MEMULAI PETUALANGAN SEBAGAI GIGOLO

Kembali kami meluncur dengan taksi, tapi kali ini ke lokasi yang lain, sebuah hotel
megah di belakang mall tidak jauh dari Stasiun Senen, tempat aku tiba pertama kali di
Jakarta. Sama seperti kemaren, kami harus melewati proses pemeriksaan lalu bisa masuk ke
lobi. Namun kali ini kami tidak langsung ke lift. Arif mengajakku duduk sejenak di lobi.
Rupanya Om Dewa belum tiba di situ. Sekitar 15 menit kemudian barulah dia muncul.rif
tetap tenang di sofa seolah tidak mengenal Om Dewa. Tampak Om Dewa mendekati
receptionist, lalu berjalan menuju ke lift. Beberapa menit kemudian barulah Arif
mengajakku masuk ke lift. Di dalam lift Arif mengeluarkan kapsul obat kuat, dibuka lalu
isinya dibagi dua. Setengah untuknya, setengah lagi untukku. Kami lalu bergantian minum
air mineral di botol kecil yang memang sudah disediakan Arif. Rupanya lantai dan nomor
kamar sudah di-sms Om Dewa ke hapenya Arif.

Pintu kamar itu sengaja dibiarkan terbuka sedikit. Jadi Arif tidak perlu menekan bel
lagi. Kami langsung masuk dan menutup pintu. Om Dewa tersenyum menyambut kami. Ia segera
merangkul Arif. Tapi tentunya aku masih canggung, jadi kami hanya bersalaman saja.
Terasa jari-jariku diremasnya.

"Om, seperti sms kita sebelumnya, om setuju kan dengan harga itu?", tanya Arif kepada Om
Dewa.

"Tenang aja, Aldo! Bahkan aku bisa ngasih lebih. Asalkan beneran ya si Troy ini masih
benar-benar baru dan belum pernah dipake pelanggan lain?", tanyanya.

"Percaya deh, om... masa saya berani bohongin Om Dewa? Iya kan, Troy?", balik Arif ke
arahku. Aku hanya mengangguk saja. Sumpeh, aku betul-betul kikuk! Gak tau mo bersikap
gimana saat itu. Gayaku sangatlah canggung, tapi justru hal itu yang membuat Om Dewa
percaya bahwa aku benar-benar pendatang baru.

Mengetahui kekikukanku, Arif berusaha mulai duluan. Dipeluknya Om Dewa dari belakang,
sambil meraba-raba dadanya.

"Troy, ke sini dong!", Arif memanggilku agar mendekati mereka. Walau agak ragu, aku
melangkah mendekat. Arif menarik tanganku lalu mengarahkannya ke tubuh Om Dewa. Aku
taruh tanganku di punggungnya, benar-benar bingung mau gimana nih. Om Dewa juga cepat
membaca situasi itu...

'Rileks saja, dik Troy.", katanya sambil mengalihkan pelukannya dari tubuh Arif ke
tubuhku. Sekali lagi aku seperti tersengat listrik. Diam kaku seperti orang kehilangan
akal. Waduh, gawat kalo aku trus-turan begini, bisa gak suka Om Dewa sama aku!

Om Dewa menyuruhku berbaring di ranjang, terlentang, masih dengan pakaian lengkap.

"Pejamkan aja matanya, dik Troy.", kata Om Dewa setengah berbisik di kupingku. "Berusaha
untuk santai dan coba untuk menikmati ya?"

Aku tidak menjawab, hanya mengikuti saja perintahnya. Ku penjam mataku dalam-dalam,
belum bisa rileks sedikit pun. Om Dewa mulai mencium pelipisku. Aku menggeliat, geli!
Walaupun tipis, tapi kumisnya sangat membuatku geli. Belum pernah aku dicium orang
berkumis sebelumnya. Om Dewa lalu mencium telingaku, lalu pipiku. Jujur, aku gak tahan!
Aku pun ketawa, membuat konsenstrasi om Dewa kendor.

"Mmm, tunggu sebentar ya.", kata Om Dewa. Ia lalu mengambil segelas air dingin. "Minum
aja, dan coba untuk sesantai mungkin, ok?"

Aku mengangguk, lalu memejamkan lagi mataku. Sesaat kemudian terasa nafas Om Dewa
menerpa wajahku.Bibirnya mulai menempel ke bibirku. Aku berusaha sekuat mungkin untuk
menahan rasa geli bercampur aduk dengan sedikit jijik. Apapun juga itu bibir lelaki!
Ah... coba aku pikirkan hal lain. Walaupun sulit, ku khayalkan sedang bercumbu dengan
istriku. Ternyata khayalan itu bisa membantu. Tapi hanya beberapa saat. Om Dewa kembali
berdiri.

"Well, benar-benar masih lugu ya? Aku pikir kamu bohong, Aldo, hehehe", kata Om Dewa
kepada Arif, "Baiklah, mungkin ini terlalu langsung. Coba ke sini, Aldo!"

Arif pun mendekatiku.

"Coba kamu mulai dengan Troy. Aku nonton kalian dulu, baru aku gabung. Bikin dia gak
terlalu tegang", lanjut Om Dewa.

Dengan sikap profesional, Arif segera berbaring telungkup di sebelahku. Bibir Arif
kelimis, tidak berkumis, jadi aku tidak geli. Lagipula aku bisa lebih nyantai sebab aku
cukup dekat dengan Arif, ketimbang dengan orang yang masih asing banget bagiku. Arif pun
melumat bibir dan lidahku dengan gaya seorang ahli. Aku lebih bisa mengikuti permainan.
Arif kemudian mulai membuka pakaianku. Diisapnya putingku sambil meraba-raba daerah
kemaluanku. Benar juga, reaksi obat kuat tadi mulai terasa. Kemaluanku mulai menegang
hanya oleh permainan tangan Arif. Setelah itu dengan sigap Arif membuka celanaku,
meninggalkan celana dalam saja. Dimainkan bibirnya di atas celana dalam itu. Entah
kenapa aku sepertinya lebih terangsang. Walaupun aku bukan gay, tapi inilah pertama
kalinya kemaluanku didekati mulut orang lain. Tentunya hal itu tidak pernah ku lalukan
dengan istriku di desa.

Sesaat kemudian, Arif memelorotkan celana dalamku. Ia juga sudah membuka semua
pakaiannya. Terasa hangat ketika perlahan batang kemaluanku dimasukkan ke dalam rongga
mulutnya. Aku sempat melihat Om Dewa di dekat kami, mengocok-ngocok kemaluannya Arif.
Sedotan mulut Arif ternyata enak sekali... mungkin karena pengaruh obat juga sih. Tapi
lama kelamaan aku bisa menikmatinya. Sampai tiba-tiba aku merasa bahwa kemaluanku sudah
dipindahkan dari dalam mulut Arif ke mukut Om Dewa. Arif sendiri gantian mengulum
kemaluan Om Dewa yang sudah sama tegangnya. Selama beberapa saat kami bertiga dalam
posisi itu, sampai Arif kembali lagi mengisap kemaluanku, lalu kemaluan Arif diisap oleh
om Dewa. Sejauh itu semuanya masih lancar-lancar saja.


KONTOL PERTAMA DI MULUTKU

Aku terus menikmati permainan lidah Arif, tanpa sadar ada sesuatu yang mendekati
mulutku. Rupanya Om Dewa telah mengarahkan kemaluannya, dan dimain-mainkan di atas
bibirku. Aku berusaha tetap konsentrasi meskipun terasa aneh bagiku. Tiba-tiba Om Dewa
membenamkan kemaluannya ke dalam rongga mulutku. Walaupun sudah ku usahakan sedemikian
rupa, ternyata aku gak sanggup menahan rasa jijikku. Tanpa terbendung lagi, tiba-tiba
aku muntah! Om Dewa agak terkejut dan melompat menjauh. Aku segera lari ke kamar mandi,
mecuci mulut dan wajahku dari tumpahan muntah.

"Maaf... maafkan saya...", kataku kepada Om Dewa setelah keluar dari kamar mandi. Mukaku
memerah karena malu. Tapi ternyata Om Dewa gak marah. Dia malah tersenyum nakal.

"Troy, hehehe.... memang benar-benar masih pemula ya?", katanya sambil mengajakku
mendekat lagi. "Sekarang coba lagi".

Aku didudukkan di kursi. Om Dewa kembali mendekatkan kemaluannya yang masih tegang ke
mulutku. Semakin dia tahu aku benar-benar lugu, semakin ia bernafsu. Disodokkannya
batang kemaluannya ke mulutku, lalu memberi instruksi apa yang harus ku lakukan dengan
bibir dan mulutku terhadap batang itu. Aku berusaha mengikuti. Kali ini rasa jijik sudah
mulai teratasi. Masih kaku memang, tapi aku berusaha untuk bisa memuaskannya. Om Dewa
kemudian memintaku untuk berdiri, lalu tidur tengkurap di tepian ranjang. Ia mulai
meraba-raba daerah di sekitar lubang duburku. Sungguh aku merasa tidak nyaman. Tapi aku
berusaha semua perasaan itu. Aku harus bisa.

Adegan selanjutnya, Om Dewa mengambil kondom dan cairan pelicin seperti kemarin ketika
ia main dengan Arif. Dibalurinya daerah lubang duburku dengan cairan itu. Jarinya
berusaha dimasukkan ke dalamnya. Tapi tiba-tiba aku merasa sangat perih dan kesakitan.
Aku segera berbalik....

"Maaf Om, aku belum bisa!", seruku menahan perih. Padahal itu baru jari-jarinya. Sekali
lagi Om Dewa tidak menunjukkan sikap marah.

"Oke, kamu nyantai dulu ya. Aldo ke sini", kata Om Dewa. Aku pun mengerti bahwa Om Dewa
ingin menyodomi Arif. Arif dengan lincahnya mengambil posisi, dan tidak berapa lama Om
Dewa telah memulai gerakan maju mundurnya di selangkangan Arif. Beberapa saat kemudian
Om Dewa memberi kode agar aku mengisap kemaluan Arif. Aku menuruti. Daripada aku
ditembak dari belakang seperti itu. Ku naiki tubuh Arif dari atas lalu mengisap
kemaluannya. Posisi kemaluanku pun tepat berada tepat di atas mulut Arif. Kami lalu
melakukan posisi yang disebut "69", sementara Om Dewa terus menikmati lubang dubur Arif.

KONTOL PERTAMA DI LIANG DUBURKU

Beberapa saat kemudian, Om Dewa mencabut kemaluannya dari dubur Arif. Tampak ia mencopot
kondom dari kemaluannya, lalu diganti dengan kondom baru. Ia juga mengambik cairan
pelicin. Aku dan Arif masih tengah beraksi 69 ketika Om Dewa mendekatiku dari arah
belakang. Posisiku yang sedang nungging di atas wajah Arif merupakan sasaran yang empuk
bagi Om Dewa sebab pantatku menhadap ke atas. Tanpa memberi peringatan terlebih dahulu,
Om Dewa menghujamkan batangnya ke arah liang duburku. Aku tersentak kaget dan kesakitan.
Tapi Om Dewa justru tambah bernafsu. Liangku yang masih super ketat itu diperawaninya
tanpa ampun. Ku coba untuk menahan rasa nyerinya ketika batangnya seperti mengebor ke
dalam. Aku berusaha konsentrasi pada sedotan dan permainan lidah Arif di kemaluanku,
agar ada sensasi yang mengimbangi perih di belakangku.

"Aaaaahhh... ohhhh....", aku merintih kesakitan ketika Om Dewa mulai gerakan maju
mundur. Namun ia malah makin menjadi-jadi mendengar rintihanku.setelah beberapa saat
kemudian nyeri itu memang mulai berkurang. Aku tetab berusaha bertahan sampai
akhirnya....

"Aughhh... aughh....", Om Dewa mendesah seiring tumpahnya air maninya dalam kondom,
dalam duburku. Aku tak kuat lagi. Aku berdiri dengan lunglai setelah Om Dewa mencabut
kemaluannya dari belakangku. Arif langsung mengocok sendiri kemaluannya sampai keluar
air maninya. Dan seperti adegan kemaren, Om Dewa kembali melumat mani Arif yang
berhamburan itu. Kali ini aku tidak jijik lagi melihatnya, mungkin karena aku sendiri
sibuk menahan rasa sakit yang kembali menguat. Kemaluanku sendiri langsung turun, sebab
tidak terasa nikmat lagi. Tanpa disadari, ternyata duburku berdarah! Cukup banyak
darahnya, membuat Om Dewa dan Arif jadi agak panik. Aku segera diajak ke kamar mandi. Ku
bersihkan duburku dengan air dan tisu.Terasa perih ketika terkena air. Aku tutupi dengan
tisu agar darahnya berhenti mengucur. Lalu aku kembali ke kamar dan berbaring di ranjang
dalam keadaan telungkup. Tubuhku terlalu lunglai untuk bangun. Makanya aku terus
berbaring sementara Om Dewa dan Arif bersih-bersih di kamar mandi.


BAYARAN PERTAMAKU

Singkat cerita, 10 menit kemudian aku telah selesai membersihkan badan dan mengenakan
pakaian.Pendarahannya telah berhenti, walau masih tetap nyeri. Om Dewa menyerahkan
segepok duit ke dalam genggamanku. Dia juga memberi kepada Arif. Aku tidak memperhatikan
duit itu, langsung ku masukkan ke saku celanaku.Arif membantuku jalan perlahan, sebab
kawatir kalau duburku berdarah lagi. Jalanku agak canggung juga, seolah-olah masih ada
sesuatu menyelip di selangkanganku.

Dalam perjalanan kembali dari hotel, batulah aku mengeluarkan lagi duit yang tadi
dikasih sama Om Dewa. Setelah dihitung, ternyata jumlahnya `1 juta! Gile bener, jarang-
jarang terjadi aku menggenggam uang 1 juta di tanganku. Rasa perihku agak terobati.

"Gile Yo, aku aja ngucing selama ini gak pernah dikasih sebanyak itu sama tamu!", seru
Arif. Rupanya "keperawanan"-ku memang dibayar lumayan mahal. Arif menyuruhku membeli
semacam obat untuk mengencangkan duburku lagi. Aku menurut saja. Malam harinya barulah
terasa efeknya. Tubuhku demam, menggigil. Arif membelikan obat antibiotik untuk aku
konsumsi selama 3 hari. Aku benar-benar harus istirahat. Mungkin cukup itu saja dulu.

Di kamar kost Arif, sambil memegang sisa duit yang masih cukup banyak, pikiranku
melanglangbuana lagi. Aku teringat istriku Marni, dan anakku Bayu di desa. Marni,
maafkan aku... aku telah bernoda sekarang. Namun biarlah semua ini ku tanggung. Aku
hanya punya satu tujuan, membahagiakan kamu dan anak kita. Meskipun sangat berat resiko
yang harus ku tanggung.

Tadinya aku berpikir bahwa mungkin cukup sekali itu, dan aku harus kembali ke desa. Tapi
uang memang racun. Setelah tahu dan mengalami bahwa kerja begituan dapat mendatangkan
uang banyak, aku pun berubah pikiran. Mungkin untuk kali berikutnya aku sudah lebih
lancar melayani tamu. Walaupun bayarannya tidak sebesar yang pertama, tapi aku bisa
mengumpulkan uang lumayan banyak. Teknik yang diajarkan Arif cukup manjur. Sepertinya
lubang duburku telah rapat lagi setelah beberapa hari. Arif sudah sipa untuk menjualku
lagi kepada orang lain, dengan jualan bahwasanya aku masih "perawan". Namun aku sendiri
tidak tahu apakah aku sanggup berakting. Sebab beda sekali sebelum aku pertama kali
mengalaminya, dan yang seterusnya. Tapi demi bayaran yang tinggi, aku coba ikuti arus
permainan Arif. Di benakku, sudah kepalang basah, sekalian mandi saja...


SEBULAN PERTAMA

Sebulan sudah aku berada di Jakarta. Sebagai pendatang baru di dunia kucing (pelacur
pria -red), aku tidak sepi dari tamu. Uang yang ku simpan sudah lumayan banyak, meskipun
aku tetap harus berbagi dengan Arif. Pasalnya, Ariflah yang mencarikan tamu untukku,
sebagai manager-lah ibaratnya, aku tinggal layani tamu aja setelah ada orderan. Aku juga
tetap tinggal di kosan Arif, agar pengeluaran kami berdua bisa lebih ringan karena
dibayar bersama. Terkadang kami layani tamu bersama (threesome), tapi sering juga aku
layani sendiri, hanya saja tetap diantar jemput oleh Arif sebab sebulan di Jakarta belum
cukup untukku menghafal pelosok kota yang amat besar ini.

Aku sudah bisa mengirimkan sejumlah uang kepada istriku, Marni. Ku minta istriku tidak
lagi bekerja sebagai pencuci pakaian di rumah tetangga, agar dia punya waktu yang cukup
untuk mengurus Bayu, anak kami. Marni juga mengabarkan bahwa Bayu sempat jatuh sakit
cukup lama. Mungkin dia kangen sama aku. Maklumlah, sebelum ke Jakarta, aku sering
menemani Bayu jika Marni sedang bekerja di tetangga. Begitu juga malam hari, aku sering
menemaninya sampai tertidur. Seburuk apapun yang ku lakukan sekarang, itu demi masa
depan Bayu juga. Aku ga mau jika sudah sekolah nanti, anakku jadi bahan cemooh teman-
temannya. Rindu sekali sama anak dan istri, tapi aku belum bisa pulang saat ini.
Nantilah bila waktunya tiba, aku justru akan membawa mereka ke Jakarta, agar si Bayu
bisa mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik di kota.


MAS DONI

Suatu hari, Arif mengabariku bahwa ada tamu yang mendadak akan mem-booking-ku, jam 4
sore. Padahal sebelumnya sudah ada janjian dengan tamu lain untuk jam 5. Jelas waktunya
ga cukup.

"Yo, sudah, batalin aja yg Om Darmo jam 5 itu. Biar aku yang tangani. Kamu ke Kelapa
Gading aja. Ada tamu baru. Kayaknya dia demen yang tipe-tipe seperti kamu itu", kata
Arif kepadaku. Tamu baru?, pikirku. Hmm... ini berarti tamu yang belum pernah memake si
Arif sebelumnya. Ini jarang terjadi, sebab biasaya tamu-tamu yang diarahkan Arif
kepadaku justru yang sebelumnya sudah pernah dengannya. Tapi ga apa-apalah. Aku akan
coba sebisa mungkin. Kalau tamu yang sudah pernah dengan Arif, setidaknya Arif bisa
ngasih gambaran orangnya maunya gimana, aku harus gimana, kayak gitulah! Tapi kalo yang
ini berarti aku tidak bisa dapat referensi apa-apa dari Arif tentang tamunya.

Pukul 4 kurang 10, aku sudah memasuki kawasan Kelapa Gading. Jalanan agak macet sebab
bertepatan dengan bubaran kantor. Kali ini aku tidak diantar oleh Arif sebab dia sendiri
harus memenuhi panggilan yang jam 5 dari Om Darmo di daerah Pamulang. Tapi sebelum
berangkat Arif sudah menuliskan alamat yang cukup jelas di sepucuk kertas, dan aku
serahkan kepada sopir taksi. Taksi itu berhenti di depan sebuah rumah dalam komplek
tertentu di daerah Kelapa Gading. Aku membayar taksinya, lalu menekan bel di samping
gerbang rumah berlantai 2 itu.

"Silahkan masuk, Mas!", seorang lelaki setengah baya membukakan gerbang depan dan
mengajakku ke dalam. Rupanya bapak itu adalah orang yang bertugas mengurusi rumah itu.
Ruang tamunya tampak sangat mewah dengan sofa set merah berukir dan banyak guci dan
barang antik terpajang di sana. Setelah sekitar 5 menit menunggu di rumah tamu itu...

"Troy ya?", terdengar sapaan seorang pria bertubuh atletis, keluar dari balik tirai
beludru. Pemuda itu berkaos basket dan celana pendek santai. Aku menyebut pemuda, sebab
sekilas tampak bahwa usianya paling-paling masih duapuluhan tahun. Aku agak kaget juga,
jangan-jangan ini anak si pemilik rumah yang hendak memakaiku! Tapi apa iya Pak Doni
membiarkan anaknya mengetahui kedatanganku sementara tujuanku ke situ kan untuk ml
dengan bapaknya? Ah, mustahil...

"Iya, saya Troy", jawabku dengan pandangan penuh selidik, "maaf, ini benar rumah Pak
Doni, kan?, tanyaku untuk mengkonfirmasi.

"Ah, panggil saja 'Mas", apa aku sudah kelihatan kayak bapak-bapak?" kata pemuda itu,
yang ternyata adalah Doni, nama yang disebut-sebut Arif sebagai tamuku sore itu. Aku
jadi malu sendiri. Aku juga jadi canggung sebab biasanya tamu yang memanggilku usianya
di atas 45 tahun, malah ada yang sudah 68 tahun!

"Maaf Pak, saya tidak sangka kalau yang memanggil saya adalah Bapak.", ujarku tersipu.

"Ehh, tadi kan aku sudah bilang panggil 'mas' saja, bisa kan?", tukasnya.

"Oh iya, Mas Doni, maaf..."

"Hmm... kita ngobrol-ngobrol di kamar aja yuk, biar lebih nyantai", ajak Mas Doni. Tanpa
menunggu lama, aku langsung mengikutinya ke dalam, sebab aku risih juga ada bapak yang
mengurus rumah itu di luar. Nanti apa ya pikirannya jika ia tahu bahwa aku ke kamar
berdua dengan Mas Doni?

Kamar Mas Doni sangat luas di lantai atas. Sepetinya itu adalah kamar utama. Berarti
tidak ada orangtuanya di rumah itu. Kalau orangtuanya di situ, pastilah mereka yang
menempati kamar utama itu. Kamar Mas Doni bukan hanya luas, tapi juga diisi dengan
berbagai barang mewah. Ada tv plasma yang lebar banget, ada komputer, sound system,
lemari es kecil, sofa dan lain-lain. Terdengar sayup-sayup musik saxaphon dari Kenny G,
ketika aku memasuki kamar itu bersamanya.

"Silahkan Troy, nyantai aja dulu di sofa. Mo minum apa?", tanya Mas Doni.

"Apa aja deh", jawabku singkat.


PERMAINAN YANG ROMATIS

Ternyata Mas Doni orangnya romantis sekali. Lampu dalam kamarnya diredupkan, musik tetap
sayup-sayup. Diletakkannya segelas minuman dingin berwarna merah di depanku. Aku mau
berbicara, tapi tiba-tiba di meletakkan jari telunjuknya di depan mulutku, yang artinya
pasti: diam saja. Aku menurut, duduk diam di sofa itu. Mas Doni mengambil gelas minuman
itu dan mengarahkannya ke mulutku. Aku minum sedikit, lalu didekatkan bibirnya ke
bibirku, mengecup sisa-sisa minuman yang masih tampak basah di sana. Lalu melumat
bibirku, perlahan namun penuh perasaan. Tiba-tiba aku ingat bahwa aku belum minum obat
kuat untuk membuat aku terangsang (maklum, pada dasarnya aku bukan gay). Aku hendak
berdiri meminta waktu ke toilet sebentar, tapi aku tidak mendapatkan kesempatan itu. Mas
Doni telah terbawa dengan permainannya yang romantis, aku khawatir untuk menghentikannya
sejenak. Waduh, gimana nih? Apa yang harus ku perbuat? Nanti dia tahu bahwa aku tidak
terangsang dengannya? Ah, sudahlah... ikuti saja permainannya. Nanti kalo dia protes
kenapa burungku ga bisa berdiri, barulah aku minum obat itu.

Mas Doni menarikku ke atas ranjangnya yang super nyaman. Aku seolah tenggelam dalam
lautan bulu angsa nan halus. Entah kenapa, aroma parfum yang dipakainya membuat aku
tenang, bahkan aroma itu membuatku terhanyut juga. Ketika Mas Doni mulai menyentuhkan
ujung lidahnya ke putingku, aku merasakan kenyamanan yang dalam. Berbeda dengan tamu-
tamu lain, orang ini sungguh berkelas dan berseni tinggi! Rabaan-rabaan tangannya ketika
membuka seluruh pakaianku sampai polos, juga terasa beda sentuhannya. Lembut, gentle,
entah apa rasa itu... yang pasti membuatku sangat tenang dan nyaman.

Musik pun tetap mengalun dengan lagu "Can You Feel The Love Tonight", ketika Mas Doni
berbaring di dekatku. Di dekapnya tubuhku, dan tidak mempermasalahkan burungku yang
belum tegang juga. Seolah-olah itu tidak penting baginya. Bibirnya kembali melumat
bibirku. Aku memejamkan mataku. Entah kenapa, aku merasa seperti sedang memeluk seorang
wanita. Atau setidaknya pikiranku terbawa ke arah sana, mungkin karen pengaruh aroma
parfum itu, yang jelas, untuk pertama kalinya aku bisa mulai terangsang tanpa minum obat
terlebih dahulu. Kemaluanku pun mulai mengeras ketika Mas Doni mempermainkan tangannya
dengan lembut di daerah itu. Gerakannya seakan tarian yang mengiringi lantunan musik
Elton John yang terdengar merdu, seperti berasal dari kejauhan.

Entah kenapa, birahiku semakin menggejolak tatkala Mas Doni mulai mengisap kemaluanku.
Permainan lidahnya seperti tidak bernafsu, tidak mengejar, tidak menuntut... Tapi justru
sebaliknya, aku merasa sangat relaks, seperti tidak ada kewajiban bagiku untuk
memuaskannya, tapi semuanya berjalan lancar seperti yang ia mau. Kemaluanku semakin
mengeras ketika ujung lobang kencingku digelitik oleh ujun lidahnya, kemudian mengitari
topi helm di bawahnya, trus ke bawah membelah dua penampang kemaluanku, lalu berakhir di
kantong zakarku. Ini benar-benar beda! Seperti seniman yang sedang melukis dengan ujung
lidahnya!

Kehangatan mendekap seluruh permukaan batangku ketika dengan perlahan Mas Doni
membenamkannya ke dalam mulutnya.

"Aaaaahhhh....", lirihku sayup tatkala gerakan mulutnya mulai berkreasi di batangku,
nikmat sekali. Membuat jantungku berdetak makin cepat. Sedotan demi sedotan mulut Mas
Doni seakan membuatku lupa bahwa aku sedang ml dengan seorang pria. Begitu lembut,
nikmat dan... entah bagaimana digambarkan dengan kata-kata. Pinggangku menegang... Aku
gak kuat lagi menahan gairah, dan....

"Ooooohhhh......", jerit halusku menyertai semburan maniku, memenuhi rongga mulut Mas
Doni. Lalu aku luluh lemas di atas ranjang. Mas Doni segera ke toilet untuk membersihkan
mulut dan wajahnya. Akun tetap terbaring di ranjang, memejam kedua mataku. Musik indah
itu masih terus mengalun, kali ini lagu "Don't Sleep Away"-nya Daniel Sahuleka, membuai
aku sangat nyaman di ujung kenikmatan.


SESUATU YANG BERBEDA

Nyaris aku terlelap di sana, tanpa busana, dan sisa-sisa air maniku masih belepotan di
sekitar kemaluanku. Tiba-tiba aku merasakan pelukan Mas Doni di sampingku. Rupanya ia
sudah selesai bersih-bersih. Aku mau berdiri ke toilet, tapi Mas Doni menahanku. Mas
Doni menindih tubuhku dari samping. Meskipun wajahnya menunjukkan kepuasan, namun
matanya seolah memendam kesedihan. Benar saja, tak berapa lama kemudian matanya mulai
basah, dan ia merangkul dadaku sampai terasa ada tetesan airmata yg jatuh ke tubuhku.
Entah kenapa, tanganku merangkul punggungnya, dan mulai mengelus seperti hendak memberi
ketenangan. Sesuatu yang berbeda dibanding dengan tamu-tamu lain, aku mulai
merasakannya. Mungkin waktu itu yang muncul adalah rasa kasihan dan iba, tapi aku telah
terpengaruh secara emosional.

"Mas, aku tak tahu apa kesedihan Mas saat ini, tapi aku mengerti perasaan Mas. Jadi,
apapun juga itu, luapkan saja saat ini, agar perasaan Mas bisa lebih lega", entah kenapa
pula aku bisa tiba-tiba berkata begitu kepada Mas Doni. Anyway, sebagai reaksi terhadap
kata-kataku itu, Mas Doni merangkul tubuhku erat-erat, lalu melepaskan tangisan sebisa-
bisanya. Membuatku semakin iba. Ku elus belakang lehernya dengan lembut, seolah itu
adalah Marni, istriku. Aku juga tidak tahu kenapa kemudian aku spontan menarik tubuh Mas
Doni ke atas sampai wajah kami sejajar. Ku hapus airmatanya, lalu ku kecup bibirnya
dengan mesra. Mas Doni pun membalas kecupan itu, tapi kali ini yang terasa bukan nafsu.
Ia melakukannya dengan penuh perasaan.

Kami berdua tetap berdekapan di sana untuk beberapa saat. Mas Doni pun mulai
menceritakan tentang kehidupannya. Bagaimana ia bisa mencapai kesuksesan karir di
usianya yang masih begitu muda, kurangnya perhatian dari orangtuanya yang hanya mengenal
materi sebagai wujud kasih sayang, dan bagaimana dia kehilangan orang yang paling
dicintai dalam hidupnya selama ini, serta semua kesedihan yang meliputi dirinya,
meskipun ia hidup di tengah materi yang berkelebihan. Dan, sekali lagi, entah kenapa,
kali aku terbawa perasaan. Mungkin hanya kasihan semata, tapi ini adalah awal dari
kebingunganku.

Singkat cerita, aku telah selesai bersih-bersih dan mengenakan pakaianku. Aku hendak
pergi sebab kemungkinan masih ada tamu lain malam harinya sebagaimana pesan Arif tadi di
kosan sebelum aku berangkat ke Kelapa Gading. Tapi entah kenapa pula, kali ini
perasaanku agak berat untuk beranjak pulang. Bahkan ketika Mas Doni menyerahkan sejumlah
uang kepadaku, malah aku jadi malu. Aku merasa tidak nyaman dengan diriku sendiri.
Akhirnya aku pamit juga setelah Mas Doni meninggalkan nomor teleponnya.

Dalam perjalanan balik sampai tiba di kosan, Mas Doni tetap terbayang di pikiranku. Ah,
aku kan pria normal yang sudah beristri. Aku menjalani ini hanya sebagai tuntutan
pekerjaan, tapi kenapa kali ini tamuku tetap terbayang di kepalaku? Apakah mungkin aku
sudah berubah menjadi gay atau biseks? Ah, tidak mungkin! Aku hanya kasihan saja. Ya...
kasihan, ini bukan cinta.


GEJOLAK HATI DAN PIKIRAN

Dua hari telah berlalu. Seperti biasa, jadwalku cukup padat dengan beberapa tamu. Entah
kenapa aku berharap bisa mendapatkan tamu seperti Mas Doni, kalaupun aku terlalu gengsi
untuk bilang bahwa aku sebenarnya berharap Mas Doni mau memanggilku lagi ke rumahnya.
Tamu-tamu yang ku hadapi begitu menjemukan. Seperti pada umumnya, mereka hanya mau
membeli tubuhku, tanpa mau menghargai jiwaku. Namun aku tidak keberatan, sebab bukankah
memang uang yang selama ini aku kejar dari mereka? Yang penting kiriman rutin ke Marni
tetap lancar.

Sore itu aku duduk merenung di kamar kosan sendirian, saat Arif sedang ada panggilan. Ku
pandang foto istri dan anakku yang selalu ku simpan dalam dompet. Tapi entah kenapa,
setelah itu pikiranku menerawang kembali ke Mas Doni. Padahal setelah dua hari ini aku
berusaha menghapusnya dari pikiranku. Tiba-tiba aku teringat bahwa mas Doni waktu itu
memberikan nomor hapenya kepadaku. Ku cari lembar kertas itu di dalam dompet. Aku
terpikir untuk meneleponnya walau hanya untuk bilang 'halo' atau 'apa kabar'.

"Ah, ga usah!", sekejap terlintas pikiran lain di benakku, jangan-jangan dia lagi
bermesraan dengan kucing lain. Itu pasti hanya bagian dari gaya mainnya saja. Mana ada
orang muda dan kaya seperti dia mau sama gigolo? Pikiranku memang jadi galau.
Konsentrasiku untuk tetap bekerja secara profesional menjadi agak buyar juga. "Triyo,
ingat! Kamu di sini untuk mencari uang guna menghidupin anak istrimu di kampung!", kata
hatiku mengingatkan diriku sendiri.

Arif pun rupanya sudah membaca perubahan diriku belakangan ini. Mungkin karena ia sering
melihatku melamun sendiri bila malam tiba. Ia pernah menanyakannya, tapi aku tidak
berterus terang. Malu, nanti diketawain sama si Arif.


DAN KISAH ITU PUN BERLANJUT

Suatu pagi, ketika aku baru saja bangun dan belum sempat mencuci muka, terdengar hape
Arif berbunyi. Arif yang masih terlelap sontak terbangun. Jarang ada yang nelpon sepagi
itu.

"Halo", suara Arif yang masih sangat berat itu menjawab panggilan telepon.

"Oh, iya, iya... ga apa-apa.", tiba-tiba Arif bangun dari rebahan lalu duduk, "Baiklah
Pak! Tidak sampai sejam orangnya sudah tiba di sana. Ditunggu aja ya? Terima kasih".

"Ada apa Rif, pagi-pagi begini?", tanyaku keheranan, sebab kelihatannya si Arif langsung
hilang ngantuknya.

"Yo, kamu siap-siap aja. Masih ingat tamu yang di Kelapa Gading itu kan? Dia mau booking
kamu lagi. Pagi ini juga!", seru Arif.

Aku seakan tak percaya dengan kata-kata Arif. Pasti maksudnya Mas Doni. Tapi kenapa pagi
begini? Tapi aku tidak banyak bertanya lagi. Diam-diam ada perasaan senang mendengar Mas
Doni memanggilku lagi. Tanpa menunggu komando leih lanjut, aku bergegas pergi mandi dan
ganti pakaian.

"Hey, Yo... jangan lupa bawain makanan buat aku ya?", teriak Arif ketika aku buru-buru
keluar dari pintu kamar kos. Aku hanya membuang senyum ke arahnya. Gayaku sudah seperti
anak SMP yang lagi kesambet cinta monyet saja! Namun Arif tidak memahami suasana hatiku.
Yang dipikirannya ialah aku begitu gembira karena pagi-pagi sudah dapat orderan.

Seperti beberapa har sebelumnya, lelaki setengah baya itu membukakan pintu gerbang
ketika aku memencet bel di depan rumah Mas Doni. Tanpa banyak basa basi, aku segera
diarahkan ke ruang tamu. Aku diminta menunggu di situ. Beberapa saat kemudian penjaga
rumah itu muncul lagi membawakan segelas minuman dingin. 10 menit berlalu, Mas Doni
belum kelihatan juga. Aku ingin segera naik tangga ke lantai atas menuju kamarnya, tapi
aku tidak berani bersikap lancang. Kenapa ya Mas Doni belum menjumpaiku atau menyuruhku
ke atas?


BAGAI TERSAMBAR PETIR

Setelah sekian lama menunggu tanpa adanya tanda-tanda Mas Doni sama sekali, aq coba
untuk mencari bapak penjaga rumah itu guna menanyakan di mana tuannya berada. Baru saja
aku berdiri dari sofa, tiba-tiba terdengar langkah kaki turun dari tangga.

"Sebentar Mas, jangan dulu pergi", terdengar suara si pemilik langkah itu, tapi jelas
itu bukan Mas Doni. Muncul di sana seorang pemuda yang usianya kira-kira sebaya
denganku. Pakaiannya sangat rapih dengan setelan jas dan berdasi. Wajah pemuda itu
nampak sangat tidak ramah.

"Maaf, anda siapa ya? Mas Doni di mana?", tanyaku.

"Diam kamu!", bentak orang itu membuat aku sangat terkejut. "Ternyata kamu kucing garong
yang selama ini mengganggu Doni! Asal kamu tau, Doni itu pacarku, dan kamu telah
mempengaruhinya sehingga sikapnya berubah terhadapku. Dasar pelacur!"

Aku sejenak terdiam, kaget bagai terkena sambaran petir. Bertubi-tubi orang itu
menyerangku tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk bicara. Tapi aku berusaha
memotongnya...

"Sebentar dulu Mas, mungkin Mas salah orang. Saya baru sekali ketemu Mas Doni. Ini kedua
kalinya saya ke sini. Bahkan saya tidak mengenal Mas sama sekali."

"Ah bohong!", selanya. "Ngaku ajalah. Sudah setahun ini aku coba melacak. Baru sekarang
aku bisa menangkap basah. Mampus kamu!", teriak orang itu sambil mengambil pajangan
samurai di dinding ruang tamu itu dan hendak mengarahkannya kepadaku. Tiba-tiba Mas Doni
muncul dari belakang dan menahan tangan orang itu.

"Hentikan Ton! Dia nggak salah.", seru Mas Doni kepada orang itu, yang belakangan ku
ketahui bahwa ia adalah pacar Mas Doni yang bernama Anton. Mas Doni menarik gagang
samurai dari tangan si Anton lalu dilemparnya menjauh.

"Ternyata benar dugaanku. Kucing piaraan ini sudah merusak otakmu. Sampai-sampai kamu
lebih membela dia daripada aku!, ujar Anton kepada Mas Doni. Doni terdiam sejenak,
mukanya memerah demi menahan amarah yang siap meledak.

"Pergi! Pergi kamu dari sini, Anton!", Mas Doni menghardik Anton, "Kalau kamu tidak
pergi sekarang, aku telepon polisi."

Dengan raut wajah penuh kebencian dan siar mata mengancam, Anton menatapku dalam-dalam.
Lalu tanpa sepatah katapun dia segera keluar dar rumah itu sambil membanting pintu
dengan keras, sampai Mas Doni pun tersentak kaget.

"Troy, maafkan aku atas kejadian tadi. Sebetulnya orang itu yang memanggilmu ke sini
pagi ini. Tadi ketika aku sedang mandi, dia diam-diam membuka hapeku dan membaca data di
dalamnya.", kata Mas Doni kepadaku.

"Maaf Mas, sebetulnya dia itu siapa?". tanyaku.

Mas Doni tidak menjawab. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Mas Doni segera naik ke
lantai atas sambil memberi kode agar aku mengikutinya. Setibanya kami dalam kamar
tidurnya, Mas Doni merangkulku erat-erat dan menangis sampai kaosku basah dengan
airmatanya. Ku biarkan ia meluapkan perasaannya sejenak.


APA YANG TERJADI DENGANKU?

Entah karena didorong oleh rasa iba, ku dekatkan wajahku ke wajah Mas Doni, lalu
perlahan mengecup bibirnya guna meredakan tangisannya. Aku sendiri tak tahu mengapa aku
bisa spontan begitu. Seakan aku lupa bahwa ia adalah klienku. Mata kami sama-sama
terpejam. Mas Doni membalas kecupanku. Lalu kami berdua menghempaskan diri ke ranjang.
Nafas kami memburu satu sama lain. Ku tanggalkan semua pakaianku. Begitu pula Mas Doni.
Lalu kami bergelut di ranjang itu. Tanpa ku sadari, ini adalah kedua kalinya aku
berhubungan dengan tamu tanpa menggunakan obat peransang, dan dengan orang yang sama!
Kami terus tenggelam dalam pelukan, belaian dan kecupan. Adegan beberapa hari lalu
terulang kembali di ranjang itu. Namun kali ini aku bahkan bisa bersikap lebih aktif
dari Mas Doni. Dan yang pasti, semua permainan panas kami di ranjang itu dibaluti dengan
perasaan yang mendalam.

Setengah jam kemudian, ketika kami selesai bersih-bersih di kamar mandi, masih tanpa
busana, Mas Doni merangkulku dengan mesra di ranjang. Begitu tenang dan damai, seakan-
akan dia tertidur di atas dadaku. Pikiranku menerawang, melintasi ruang dan waktu. Aku
mulai bertanya dalam hati, apakah aku sudah berubah? Apakah aku telah mencintai seorang
lelaki? Ah, tak mungkin. Secara seksual, aku tetap pria normal. Aku tidak bernafsu
terhadap sesama, kecuali dalam konteks peranku sebagai seorang gigolo semata. Tapi Mas
Doni berbeda. Aku tidak memandangnya dalam pemahaman jenis kelamin, tapi pribadinya. Dan
aku tidak berani mengatakan bahwa ini cinta. Mungkin aku hanya kasihan saja, sepertinya
ia manusia yang malang. Tak lebih daripada itu.

Aku pun terbayang pada istri dan anakku di kampung. Aku tetap harus fokus bekerja untuk
kepentingan mereka. Aku tidak boleh terpengaruh oleh hal apapun di Jakarta. Aku harus
kuat hati...


SEBUAH PENGAKUAN

"Troy...", tiba-tiba suara Mas Doni memecah kesunyian.

"Ya Mas?", sahutku.

"Mungkin kamu bingung dengan peristiwa tadi. Itu tad Anton, pacarku. Mungkin lebih tepat
disebut teman kencan. Sebetulnya aku tidak punya perasaan apapun padanya, kecuali
kebutuhan seks semata. Dua tahun lalu dia itu sopir di kantorku. Entah dari mana dia
tahu keadaanku, suatu saat dia memberanikan diri memeluk dan menciumku. Dia bikang bahwa
dia sayang aku, dan keadaannya sama denganku, suka sejenis.", Mas Doni bertutur panjang
lebar. "Setahun lalu aku tidak sengaja mengetahui kedoknya. Rupanya dia mendekatiku
hanya untuk mendapatkan uangku saja. Ketika kami mulai akrab, ia minta berhenti sebagai
sopir dan menjadi asisten pribadiku, agar kami bisa lebih dekat lagi. Begitu percayanya
aku padanya. Baru ku tahu bahwa sebenarnya dia bukan gay. Dia punya cewek, dan mereka
berdua yang merencanakan semua ini. Menjebakku, dan menjadikanku mesin uang. Sejak
terbongkar rahasianya, jelas aku tidak bisa menyayanginya. Dan dia mulai menuduh aku
macam-macam. Bahkan mengancam akan membeberkan rahasiaku kepada keluargaku jika aku
menghindarinya. Dia itu penipu!"

"Mas...", ucapku, "sebetulnya aku tak beda dari si Anton. Aku juga penipu. Namaku Triyo,
bukan Troy. Aku seorang suami dan ayah. Aku bukan gay. Aku bekerja seperti ini hanya
untuk uang. Mas juga pantas membenciku."

"Tidak, Triyo...", kali ini Mas Doni menyapaku dengan nama asliku. "Aku tahu sejak awal
bahwa kamu gigolo. Dan memang aku membayarmu ke sini. Kamu tidak menipuku. Justru
sebaliknya, aku lihat kamu berbeda dengan gigolo lainnya. Entah kenapa aku merasa bahwa
kamu penuh ketulusan. Aku tahu kamu tidak mencintaiku, hanya kasihan saja. Namun aku
tahu juga bahwa aku sayang padamu! Aku tidak memaksamu untuk berubah menjadi seperti
aku. Aku cukup senang dengan sikapmu sekarang. Kamu benar-benar menghargaiku, Tidak
seperti Anton itu."

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Yang disebutkan Mas Doni itu benar adanya. Namun Mas
Doni tidak tahu bahwa hatiku sedang berkecamuk. Aku teringat Marni, istriku yang sangat
setia di kampung. Apakah aku sudah mengkhianatinya? Pertanyaan itu yang selalu muncul di
benakku. Tapi Mas Doni orang baik, meskipun dia bukan lelaki normal. Kebaikannya telah
membuatku menyayanginya, walaupun berbeda dengan perasaanku terhadap istriku.Apa yang
harus ku lakukan? Aku bingung...


KASIH SAYANG ITUPUN BERSEMI

DI penghujung pertemuanku dengannya hari itu, Mas Doni memberi tawaran kepadaku. Ia
minta aku berhenti menjadi gigolo, dan tinggal bersamanya di rumah itu.

"Gile lu Yo! Jurus apa yang kamu pake sehingga bisa dapat gempetan tajir gitu? Aku aja
yang sudah malang melintang jadi kucing gak bisa semujur kamu!", tanggap Arif ketika ku
ceritakan tentang Mas Doni. "Ya udah, pindah aja ke sana. Jarang lho dapat gadun yang
masih muda dan kaya! Hahaha...", godanya.

Aku tidak banyak menanggapi kata-kata Arif. Yang jelas, aku tidak mungkin menceritakan
kepadanya tentang pergumulan bathinku yang sebenarnya. Saat itu aku mengambil keputusan
untuk pindah ke rumah Mas Doni. Mas Doni sebelumnya sudah bersedia untuk menyediakan
uang kiriman rutin kepada Marni istriku di kampung. Dari sisiku, justru aku merasa lebih
aman. Lebih ada kepastian. Dan... aku tidak perlu lagi gonta ganti tamu untuk
mendapatkan uang.

Setelah pindah ke rumahnya, aku semakin mengenal Mas Doni luar dalam. Ia memang orang
yang sangat baik. Aku sering bertanya dalam hati, mengapa orang sebaik ini harus
menanggung beban hidup sebagai seorang gay? Tapi sebaliknya aku juga belajar bahwa tidak
semua gay itu buruk hanya karena mereka adalah gay. Mereka juga manusia yang punya
perasaan. Hanya saja nasibnya kurang beruntung. Sama seperti Mas Doni, ia pernah berkali
dilecehkan oleh lelaki dewasa ketika ia masih kecil. Orangtuanya yang kaya dan super
sibuk tidak sempat memperhatikan anak mereka di rumah. Bahkan ketika pembantu pria di
rumah mereka telah menjadikan Doni kecil sebagai objek seksual, mereka pun tidak pernah
menyadarinya, sampai semuanya telah terlambat.

Kesehartian hidupku bersama Mas Doni benar-benar telah merubah pandangan hidupku. Betapa
tidak, Mas Doni begitu perhatian terhadapku. Ia tidak terlalu menuntutku untuk memenuhi
hasrat seksualnya. Sekalipun ia lagi butuh, kalau ia tahu bahwa aku sedang capek atau
kurang 'mood' maka ia tidak akan memaksaku. Aku merasa sangat dihargai. Tidak seperti
tamu-tamuku dulu yang menanganggapku sebagai mesin seks atau sekedar seonggok daging
santapan nafsu mereka. Apapun juga, sikap Mas Doni itu telah membuatku 'menyayangi'-nya.
Jujur, aku tetaplah lelaki normal yang secara naluriah hanya tertarik kepada lawan
jenis. Tapi Mas Doni berbeda. Aku melayaninya di ranjang dengan persepsi yang berbeda.
Walau itu hanya sebatas balas jasa. Sebab aku tahu, hanya itu yang bisa ku lakukan untuk
membahagiakannya.

Setahun telah berlalu. Sejak aku tinggal di rumah Mas Doni, orang yang bernama Anton itu
tidak berani lagi mengganggunya. Bahkan Anton tdak pernah muncul lagi di kantor Mas Doni
setelah peristiwa pagi hari yang aju ceritakan di atas tadi. Mas Doni pernah menawarkan
agar aku mengajak istri dan anakku ke Jakarta. Tapi aku belum siap mental. Aku bingung
bagaimana harus bersikap jika istri dan anakku ada. Padahal setiap hari aku dan Mas Doni
hidup mesra selayaknya sepasang kekasih. Tentunya gerakku akan sangat terbatas jika
istriku di sini. Buatku sendiri sih tidak masalah, justru kasihannya Mas Doni. Jelas dia
juga akan menjadi kaku. Jadi aku pikir sebaiknya istri an anakku tetap di kampung untuk
sementara waktu. Toh kapan saja aku minta ijin kepada Mas Doni untuk pulang beberapa
hari ke kampung, selalu dipenuhinya.


KETERBATASANKU SEBAGAI MANUSIA BIASA

Yang paling membuatku betah bersama Mas Doni ialah sifatnya yang tidak pencemburu buta.
Mas Doni sangat mempercayaiku. Ia tidak pernah bertanya aku pergi ke mana, dengan siapa,
ngapain aja, dan lain-lain.n Jika aku tidak di rumah seharian pun, ia tidak pernah
marah. Dia yakin bahwa aku bisa membawa diri dengan baik. Sayangnya, jutru aku tidak
bisa seyakin itu terhadap diriku sendiri!

Pernah sekali, aku tidak sempat pulang kampung hampir sebulan karena harus membantu Mas
Doni yang tengah sibuk dengan sebuah proyek. Biasanya, aku pulang kampung, selain untuk
melepas rindu pada keluarga dan mengantar uang, tentunya aku sebagai lelaki normal yang
juga punya kebutuhan biologis, akan menggunakan kesempatan itu untuk berhubungan seksual
dengan Marni, istriku. Kalaupun tidak pulang cukup lama seperti itu, aku sering melepas
nafsu sendiri di kamar mandi. Aku tidak bisa ML dengan Mas Doni sambil membayangkan
istriku. Hal itu sengaja ku hindari sebab aku ingin membangun dunia paralal dalam
pikiranku, untuk tidak mencampuradukkan istriku dan Mas Doni dalam benak. Namun kali
ini, aku benar-benar bertindak keliru!

Arif menelponku dan minta aku datang ke kosannya. Setelah itu kami berdua keluar.
Rupanya Arif sudah janjian dengan seserorang pada saat itu. Pertemuannya di sebuah club
di daerah Kota. Tamu Arif yang mengajak saat itu adalah seorang biseks. Di club itu kami
disuguhkan tarian erotis wanita telajang. Tentunya sebagai lelaki normal Arif dan aku
jadi ngaceng (ereksi) melihat adegan itu. Dan justru itulah yang diharapkan sang tamu.
Arif kemudian diajak bermain threesome dengan cewek dan tamu itu. Aku diajak juga, tapi
aku menolak dengan halus. Betapapun, hasratku sebagai lelaki telah menggebu melihat
adegan cewek telanjang, apalagi sudah hampir sebulan tidak berhubungan dengan Marni.
Ketika aku ditawari dua cewek seksi di kamar sebelah, aku tak sanggup lagi menolak.
Celakanya, mungkin karena aku tidak siap sebelumnya, dan terlalu 'exciting', aku ML
dengan cewek-cewek itu tanpa menggunakan kondom!

Hari pun berganti. Meskipun aku lega karena Mas Doni tidak tahu apa yang terjadi di club
itu, tapi aku tetap was-was juga. Dan bencana pun datang! Ketika sedang mandi bersama
Mas Doni, ku perhatikan bahwa kontolku mengeluarkan cairan yang tak wajar. Rasanya gatal
di mana-mana! Celaka! Aku terjangkit penyakit kelamin. Lebih celaka lagi, Mas Doni
memperhatikan hal itu! Mati aku!

Tindakan pertama yang dilakukan Mas Doni ialah membawaku ke dokter ahli penyakit kulit &
kelamin. Mas Doni diam seribu bahasa, tidak bertanya darimana aku dapatkan itu. Tapi
raut mukanya kelihatan sangat tidak senang. Untunglah ketika pemeriksaan darah, aku
dinyatakan bebas HIV. Kalau itu terjadi, itu kiamat buatku.

Jelas selama masa penyembuhan penyakit di kontolku, aku tidak pernah ML dengan Mas Doni.
Tapi yang membuat aku tidak nyaman, sejak peristiwa itu Mas Doni membisu terhadapku.
Bahkan ketika aku coba membuka percakapan, dia tidak menjawab. Aku telah melakukan hal
yang sangat konyol.

Sebulan berlalu, sikap Mas Doni tidak banyak berubah, meskipun semua kewajibannya tetap
dipenuhinya, termasuk memberikan uang kiriman untuk istri dan anakku. Perasaanku jadi
tidak enak. Ya, memang semuanya salahku sih. Sikap Mas Doni tidak akan begitu jika aku
tidak melakukan kesalahan fatal. Bayangkan saja jika aku ML dengannya kemudian ia
terkena penyakit itu! Aku tak bisa memaafkna diriku sendiri jika hal buruk menimpa Mas
Doni gara-gara aku. Mungkin sebaiknya aku yang harus pergi, sebab tak mungkin Mas Doni
mengusirku, dan sepertinya tak mungkin keadaan akan membaik lagi jika aku tetap di sini.











No comments:

Post a Comment