Doni, Maafkan Ayah
Cerita yang
terinspirasi dari kisah nyata. Semoga kita menjadi orang tua yang lebih sayang
anak. Selamat membaca!
Jenjang pernikahanku
dengan Cantika hanya seumur jagung. Hanya 3 tahun lebih sedikit. Tidak berapa
lama setelah pertengkaran hebat itu, Cantika mengajukan gugatan cerai ke
Pengadilan Agama. Hakim memutuskan aku dan Cantika resmi bercerai. Yang lebih
menyedihkan adalah aku harus rela dan berjiwa ayah sekaligus berperan ibu bagi
anak darah dagingku sendiri, Doni. Karena Cantika kembali ke keluarganya, dan
segera menikah dengan mantan pacarnya ketika mereka berpacaran saat duduk di
bangku SMA. Aku tidak sanggup menjadi ayah yang baik bagi Doni.
Bukan aku tidak pintar
merawat, bukan. Karena aku sangat sayang pada Doni. Aku memang tidak
sepantasnya menjadi ayah buat Doni yang masih kecil itu. Sosok ibu harus ada di
dalam kehidupan Doni. Tapi Doni bersamaku adalah juga keinginanku dan juga
orang tuaku walau mereka sudah renta dan tidak bisa membantu merawatnya, dan
yang memaksakan kehendakku sendiri.
Aku tidak mau dikatakan
semua orang bahwa aku bukanlah ayah yang tidak bertanggung jawab. Sehingga aku
harus mengambil hak asuh Doni. Padahal Cantika sudah memintaku sepenuhnya kalau
Cantika akan membawa Doni, merawatnya setulus hati bersama suami barunya kelak.
Tapi aku tidak merelakannya. Cantika menerima keputusanku. Hingga akhirnya Doni
harus sering sakit-sakitan karena sering aku tinggal sendirian di rumah, karena
aku harus ke rumah bf-ku, menemaninya layaknya seorang suami bagi dirinya.
Padahal bf-ku tak lebih dari cowok matre yang manja dan selalu meminta apa saja
sekehendaknya. Karena Donni sering sakit, dan lama-kelamaan mengetahuinya kalau
aku adalah seorang gay. Donni tertekan jiwanya karena ejekan teman-teman
TK-nya. Donni-ku yang masih anak-anak pun paham, hubungan sejenis memang
menyakitkan. Anak semata wayangku akhirnya menghembuskan napas terakhir tanpa sepengetahuanku.
Donni meninggal dunia saat sedang opnam di rumah sakit. Waktu itu aku tetap
setia menemani bf-ku jalan-jalan ke Mall. Hanya sesal tiada akhir yang tidak
bisa diperbaiki lagi. Sungguh menyesal aku jadi ayah Donni. Tapi aku ingin
mengenangnya buat seluruh manusia. Aku ingin bercerita sepenuh hati. Ini aku
anggap sebagai wahana katarsis.
Orang tuaku telah
sepakat bahwa sekolah, pekerjaan, sampai jodoh telah dibuatkan skenario terbaik
buat siapa lagi kalau bukan untuk aku, anak semata wayang mereka. Bagi kedua
orang tuaku yang sangat memperhatikan harkat dan martabat keluarga, pendidikan,
karir, serta jodoh yang tepat haruslah sesuai dengan prestis yang mampu paling
tidak menjaga kewibawaan keluarga. Syukur bisa menaikan pencintraan diri.
Semuanya berawal dari
mengagumi dan tidak bersyukur kepada pemberian yang kuasa. Kalau aku ingin
mengenang, memang pahit. Tapi kenangan itu tidak akan pernah hilang dari
ingatan, sehingga aku ingin membagikannya dengan bertutur sepenuh hati.
Sebelum aku lulus sarjana
teknik di Yogjakarta, ayah dan ibuku pernah mengutarakan sesuatu yang membuatku
begitu terkejut. Aku merasa seperti diinterogasi oleh polisi yang suka
mengintimidasi. Dan aku harus menjawab pertanyaan yang sebenarnya sederhana
bagi siapa pun yang mendengarkannya. Namun bagiku pertanyaan dari ayah dan
ibuku begitu mendalam hingga aku harus berpikir keras untuk menjawabnya.
Pertanyaan itu seperti ini;
“Iwan, kamu sudah mau
wisuda kok belum pernah mengajak pacarmu ke sini?” tanya ibuku.
“Belum punya bu!”
“Ayah harapkan segera
dikenalkan pacar kamu ke rumah ini nak? Biar nanti setelah kamu wisuda dan
bekerja, ayah rencanakan kapan sebaiknya pernikahanmu dilaksanakan.”
“Iya ayah. Nanti kalau
sudah punya Iwan kenalkan.”
“Memang tidak ada yang
kamu taksir apa Wan?” tanya ibu.
“Ada Bu. Banyak. Tapi
belum cocok saja.”
“Ibu lihat cewek-cewek
saat kamu masih SMA banyak main ke sini, pasti mereka naksir sama kamu. Lagian
mereka cantik-cantik. Kamu tinggal pilih mana yang kamu suka kan?”
“Ya Ibu. Nanti Iwan
kalau sudah punya pacar akan Iwan kenalkan kok. Iwan akan ajak ke rumah ini.”
“Ya sudah kalau begitu
misal kamu belum punya pacar, teman ayah punya putri yang mau wisuda juga. Coba
kapan-kapan ayah main ke sana. Pak Budiman itu teman baik ayah. Putrinya cantik
lo Wan. Mudah-mudah kalian bisa segera berkenalan.”
“Wah ibu kok baru ingat
Yah. Namanya mbak Cantika. Bu Budiman kemarin ketemu ibu saat arisan.
Mudah-mudahan kalian jodoh.”
“Ya, kita teman sangat
akrab dulu.” sambung Ayah Iwan.
“Tapi misal Mbak
Cantika sudah punya pacar gimana Yah?”
“Ya gak apa-apa.
Namanya juga usaha.” sahut ibu Iwan dengan senyum merekah.
Pertanyaan itu
sebenarnya sangat mengganggu hati dan pikiranku. Seakan aku sedang berontak
untuk melepaskan dari masalah terbesar dalam hidupku, tapi aku tidak bisa lepas
begitu saja. Karena yang menanyakan adalah kedua orang tuaku yang sudah
memberikan cinta dan kasihnya sepenuh hati. Mereka telah mengorbankan jiwa
raganya hanya untuk aku anak satu-satunya. Sehingga dengan berat hati aku
berbohong karena bagaimanapun nantinya
memang aku menyadari pastilah kelak aku menikah.
Memang aku belum pernah
membawa teman kuliah satu pun sejak aku duduk dibangku kuliah. Hanya beberapa
teman cewek yang bersama-sama aku ajak ke rumah. Karena memang satu profesi
sebagai model dan masih sering bertemu di forum alumni dutawisata. Mereka semua
adalah teman-teman yang sudah mengetahui siapa sebenarnya aku. Tapi mereka bisa
jaga privasiku sehingga orang tuaku tidak sampai mengetahui mengapa aku tidak
pernah membawa pacar cewek.
Sebenarnya aku pernah
membawa beberapa pacarku ke rumah tanpa sepengetahuan mereka. Karena memang
pacarku semuanya cowok. Seingatku lebih dari lima cowok pernah menginap di
rumahku. Memang aku kenalkan mereka semua sebagai teman kuliah atau teman dutawisata.
Sehingga ayah dan ibuku percaya sepenuhnya padaku.
Betapa aku telah banyak
bohong kepada mereka, ayah dan ibu. Hatiku sebenarnya ingin menjerit
sekeras-kerasnya terhadap beban hidup ini yang begitu besar rasanya. Sampai
hati aku tega bohong sama orang tua. Mendustakan pacarku yang sebenarnya adalah
yang pernah beberapa hari menemaniku saat aku sakit kala itu. Sampai ayah dan
ibuku mengelukan bf-ku begitu baik mau menemaniku saat aku sedang sakit
sekalipun. Bagi mereka aneh, bagiku itu sudah seharusnya. Snebagai tipe bf
setia harus menemaniku setiap saat. Namun sebenarnya aku sekarang menyadari
betapa kesiasiaan telah menikamku sejak lama. Dan itu mengapa terus
menghantuiku hingga aku sangat berat meninggalkan semuanya. Dunia binan memang
sudah menjadi bagian hidupku yang susah dan aku sampai saat ini tidak bisa
lepas darinya. Walau aku sudah menikah, punya anak sekalipun. Tidak bisa hilang
kenangan itu. Otakku mungkin sudah terisi satu jenis pemikiran untuk menyukai
sesama jenis saja. Walaupun aku masih bisa berhubungan layaknya suami istri.
Semuanya harus hancur. Itu karena aku sendiri. Aku yang harus menanggungnya.
Juga anakku nanti. Aku lelaki harus bisa seharusnya menjadi ayah yang pantas
buat istriku, anakku, dan keluargaku.
Inilah detik-detik yang
selalu terkenang tak akan bisa kulupakan sepanjang sejarah hidupku. Ketika
waktu telah begitu dekat mendekati hari wisuda, ayah benar-benar menemui
sahabatnya, Pak Budiono. Menanyakan hal ikhwal putrinya, Mbak Cantika itu, dan
entah keputusan tuhan atau sebuah mukjizat serta keajaiban yang menyertainya,
Mbak Cantika belum punya pacar, dan mau diperkenalkan kepadaku. Aku
mendengarkan betapa bersemangat ayah dan ibuku bercerita tentang itu padaku.
Aku hanya mengangguk saja, sambil mengimbangi senyum mereka. Walau yang
tertampilkan hanyalah senyum palsu dariku.
“Besok malam Minggu
ayah sama ibu mau silaturahmi ke rumah Pak Budiono, sekalian ngenalin kamu.
Biar Mbak Cantika juga kenal.”
“Ya Wan. Ibu juga
harapkan kalian bisa berkenalan disana.” Sambung ibu.
“Ya bu.”
“Ayah sudah telepon Pak
Budiono, nanti mau ajak Iwan biar saling kenal sama Mbak Cantika.”
“Kami itu teman kuliah
dulu Wan, satu angkatan lagi. Jadi sangat akrab. Tapi karena tugas dinas Pak
Budiono di luar Jawa jadi setelah bisa mutasi baru bisa ketemu lagi sama
kita-kita.”
“Ayah sudah seperti
keluarga sendiri di keluarga Pak Budiono. Begitu juga sebaliknya. Mumpung sudah
lama gak ketemu ayah dan ibu ingin jumpa, reuni kecil-kecilan gitu hehehe.”
“Ya. Ibu tuh sama Bu
Budiono dulu satu kos lo. Kita selalu kemana-mana bersama. Dari awal kuliah
sampai wisuda pun bareng. Tapi setelah berkeluarga kami semua harus berpisah.”
“Nah besok pasti seru
karena kita sudah punya anak yang sama-sama sedang kuliah, sama-sama punya anak
tunggal. Jadi mudah-mudahan kami bisa besanan.”
“Ya yah. Ibu juga
harapkan gitu. Bukan begitu Iwan?”
“Ya bu.”
Mereka bertiga saling
tersenyum penuh keharuan dan kegembiraan atas sebuah rencana indah yang masih
dalam bayangan itu. Walau aku sedikitpun tidak tertarik. Sama sekali tidak
merasa bahagia dengan rencan ayah dan ibu. Sebaliknya, perasaanku begitu tidak
menentu. Aku merasakan sesuatu yang menusuk-nusuk dari dalam diriku sendiri.
Dari lubuk hatiku terdalam bahwa seandainya aku dikenalkan dengan Mbak Citra putri
dari teman ayah, apakah dia juga akan suka padaku? Sebuah pertanyaan yang cukup
memberikan kelegaan sebenarnya pada diriku. Aku berharap Mbak Citra tidak suka
padaku sehingga bebanku akan terkurangi. Tapi menjalin pertemanan biasa itu
lebih baik.
*
Hari perkenalanku
dengan Mbak Citra putri teman ayah semakin dekat. Aku hanya tinggal menunggu
wisuda saja. Tidak banyak yang kukerjakan dirumah. Aku hanya banyak
menghabiskan waktu untuk memainkan piano klasik milik ayah. Sesekali ibu
mengiri alunan piano yang kumainkan dengan suaranya. Aku sangat dekat sekali
dengan ibu, terlebih saat-saat seperti ini ketika suasana perkuliahan yang baru
saja selesai begitu cepatnya harus berhenti karena memang aku sudah selesai
beban kredit semester yang telah ku ambil semua.
Waktu tidak bisa
diputar lagi. Waktu bukan emas yang bisa dicari dengan kerja keras untuk meraih
hiasan indah itu. Tapi waktu adalah kesempatan yang tidak datang dua kali
seumur hidup, terus berputar. Tidak dapat ditarik kembali menjadi sejarah tiap
manusia. Tiada terasa bahwa nanti malam adalah momen yang tidak akan terlupakan
dalam sejarahku bertemu dengan seorang cewek yang sesungguhnya dia tidaklah
pantas untuk istriku. Dia begitu cantik dan sederhana.
Ayah dan ibu sudah
bersiap diri sebaik mungkin. Ayah dan Ibu mengajakku pergi ke salon. Aku sekedar ingin facial dan creambath saja. Ayah
pun ingin mempermuda diri dengan menyemir hitam rambutnya. Lebih gila lagi
ibuku yang ingin tampil lebih modis bertemu teman dekatnya saat kuliah dulu. Ke
salon menjadikan sarana mematut diri lebih baik.
Senja kala bertabur
cahaya yang menerangi lampu di rumah elit kawasan Tembalang Semarang, dekat
dengan Universitas Diponegoro begitu membuatku semakin bergidig saja. Padahal
ayah dan ibu semakin asyik ngobrol kenangan-kenangan bersama teman lama mereka,
Pak Budiono.
Dengan keramahan bagai
tamu paling terhormat, Pak Budiono beserta seluruh keluarganya yang hanya
terdiri dari istri dan putri semata wayangnya, Cantika. Mereka saling
berpelukan tiada henti-hentinya saling merona wajah-wajah yang menahan kangen
tiada tara itu bercampur jadi satu. Gelak tawa membahana ruang tamu.
“Budi, ini lo anak ku
Iwan yang mau wisuda itu?”
“Oalah Mas Iwan ganteng
banget kayak artis saja hehehe.” Sambut Bu Budiono sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Tante biasa saja kok.
Jelek gini dibilang ganteng.” Sambil malu-malu tersenyum.
“Wah Mbak Cantika udah
punya pacar lom?”
“Belom Om?” sambil
senyum kecil Cantika menjawab pertanyaan ayah Iwan.
“Nah sekarang kalian
berdua bisa ngobrol-ngobrol sambil saling kenal ya, kami mau reunian hehehe.”
“Ya Ma.”
“Cantika, kamu ajak Mas
Iwan makan ya?”
“Ya bu.”
“Ayo Mas Iwan, makan
bareng sana sama Cantika?”
“Ya tante. Makasih
tante.”
“Ayo semuanya selamat
makan di rumah saya, anggap rumah sendiri deh!”
“Ok. Wah banyak sekali
masakannya, sampai bingung nih. Bu Budiono jago masak hahaha.” ayah Iwan memuji
Bu Budiono, yang dipuji tersipu.
“Sering-sering aja
tante masak-masak yang enak, terus kita diundang pasti datang hehehe.”
“Beres Mas Iwan. Nanti
tante masakin yang lebih enak lagi biar kamu kerasan disini ya nak?”
“Ya tante.”
“Tante kapan gantian
berkunjung ke rumah Iwan?”
“Itu bisa diatur, kapan
saja bisa. Kita kan udah pindahan ke Jawa jadi gampang ke sana ke mari.”
“Jangan lupa ya Jeng,
Mbak Cantika diajak lo hehehe? sambung ibunya Iwan.
“Pasti dong hahaha.”
Suasana rumah begitu
meriah. Dinner yang sangat harmonis diantara dua keluarga itu. Tidak ada yang
menunjukkan saling memahami salah satu sudut hati diantara mereka. Karena yang
ada hanyalah temu kangen. Namun disatu pihak ada dua hati yang terasa ikut
larut bersama untuk mencairkan suasana. Situasi memang mendukung demikian. Apa
dikata, gayung bersambut, ucapan kata-kata mampu memberikan komunikasi yang
efektif bagi dua insan seumuran.
Adalah Iwan dan Cantika
yang merasakan sebuah kepenatan pada awal mulanya. Kikuk bercampur malu. Tapi
situasi memberikan pelajaran alamiah kepada mereka. Iwan mencoba lebih manly
bersikap. Ia tunjukkan citra maskulin sejati di hadapan perempuan cantik yang
mengenakan gaun malam warna putih keperakan itu. Sambil sesekali menyelipkan
gurauan masing-masing, mereka berdua begitu cepat akrab.
“Wan, kamu kapan
wisuda?”
“Dua minggu lagi. Lah
kamu kapan?”
“Aku sudah wisuda. Lagi
nunggu panggilan interview di perusahaan ayah. Kebetulan perusahaan itu milik
saudara ayah.”
“Kamu nanti kerja di
bagian apa rencananya?”
“Aku di personalia.”
“Masuk HRD ya?”
“Begitulah.”
“Asyik dong. Habis
wisuda langsung dapat kerja, lah aku juga mau dibantu ayah carikan kerja, kata
ayah aku mau dititipkan di perusahaan milik sahabatnya. Di bagian PR.”
“Wow, karena kamu
pinter komunikasi, pinter bergaul pastinya ayah gak salah pilih nitipin kamu ke
perusahaan sahabatnya.”
“Mudah-mudahan
demikian.”
“Cantika cowoknya anak
mana?”
“Ah kamu kok nanya gitu
sih?”
“Ya maaf kalau
menyinggung perasaan kamu.”
“Hmm. Aku belum boleh
pacaran sama ibu dan ayah. Kata ayah, aku mau dijodohin. Dan memang aku setelah
putus sama cowokku pertengahan kuliah, sebenarnya sih aku pacaran diam-diam,
biar gak ketahuan orang tuaku, aku sampai sekarang ngejomblo aja sih.” Sambung
Cantika dengan cukup antusias.
“Aku masih pengen
sendiri dulu. Jadi wanita karir hehehe.”
“Oh gitu ya!”
“Bagus kalau begitu.”
Sambung Iwan.
“By the way, kamu sudah
punya pacar belum Wan?”
“Belum hehehe.”
“Masa sih. Cowok
seganteng kamu kok belum punya?”
“Bener.”
“Ah bohong banget
kamu.”
“Eh gak percaya. Jujur
belum punya. Sama kayak kamu. Aku single. Hehehe.”
Bu Budiono denga
langkah cepat menghampiri Iwan dan Cantika yang sedang asyik ngobrol di teras.
Sambil membawa dua toples berisi makanan ia berseloroh penuh senyum natural.
“Nah kalian ternyata
cepat sekali akrab.”
“Ya tante.” Iwan
mengangguk.
“Ayo dimakan semuanya
ya. Habiskan kue-kue bikinan tante dan Cantika.”
“Pasti tante, jangan
khawatir, Iwan doyan banget kalau disuruh makan.”
“Ya sudah ya, tante
tinggal dulu, masih reunian sama ayah dan ibu kamu nak hehehe.”
“Ya Bu.” Jawab Cantika
sekedarnya.
Suasana obrolan dua
pasangan yang sudah lama tidak jumpa begitu cair. Gelak tawa bebas lepas tiada
henti. Mengenang masa-masa indah persahabatan dulu dan cerita yang tiada pernah
habis ide dan mengolah secara empat arah bahkan saling sindir yang mengguraukan
suasana terasa manis itu bagaikan sebuah opera yang sedang di tonton jutaan
penggemar. Live perfomance tanpa skneario. Hanyalah pelepasan rindu semata.
Diantara obrolan yang
tiada habis-habis itu, ayah Iwan berseloroh pelan tapi serius kepada Pak
Budiono dan istrinya. Ibu Iwan sambil masih senyum-senyum menyimak baik-baik
perkataan suami tercintanya.
“Mbak Cantika bener
belum punya pacar?”
“Belum kok. Saya memang
larang dulu untuk berpacaran sejak SMA. Berteman boleh, tapi untuk pacaran
nanti saja kalau sudah lulus kuliah dan harus segera menikah. Itu nasihat saya.
Biar gak kebablasan.” Ibu Cantika yang menjawabnya.
“Bagus malah kalau
gitu!”
“Nah gimana kalau
anakku Iwan dan Mbak Cantika kita jodohkan saja?”
“Bisa tuh. Biar kita
makin erat saja hahaha.”
“Coba nanti aku tanya
si Cantika dulu ya?”
“Okelah jeng.”
“Kita harus sabar
menghadapi anak yang sudah besar. Walau kita gampang memberikan nasihat, tapi
kadang kemauan mereka harus diperhatikan juga.”
“Benar juga. Malah kita
sebagai orang tua sebaiknya begitu, bisa memberikan pilihan yang terbaik untuk
mereka. Apalagi soal jodoh.”
“Tapi kayaknya mereka
berdua langsung akrab kan?”
“Iya. Mudah-mudahan
tidak hanya akrab saja tapi lebih dari itu.”
“Ya juga sih.” Lanjut
Pak Budiono.
“Atau biar mereka
saling kenal dulu, biar lebih dekat?”
“Itu lebih baik.
Daripada harus dipaksakan malah semakin menjauh nantinya.”
Perbincangan seru dua
pasang suami istri itu semakin larut malam. Iwan tak berani pamit lebih dulu.
Padahal sebenarnya dirinya sudah bete banget ingin segera pulang. Karena besok
harus menjadi salah satu model untuk pemotretan sebuah produk fashion for men.
Sehingga ia merasa harus istirahat cukup. Tapi waktu memang tidak bisa ditawar,
terus berputar.
Akhirnya sambil membawa
kebahagiaan yang tercurahkan setelah lama tak berjumpa, dua pasang suami istri
beserta masing-masing anak tunggalnya berpamitan bersama. Diringi gelak tawa
riuh rendah yang menentramkan hati.
*
Seiring berjalannya
waktu, aku tidak berpikir secepat kilat bahwa tawaran ayah ibuku begitu kuat
mencengkram hidupku. Aku hanya bisa mengangguk dan mengiyakan apa yang diminta
kedua orangtuaku.
Suatu hari entah siapa
yang harus aku salahkan, dirikukah yang telah menerima tawaran bahwa aku memang
mau menjadi suami Cantika, tetapi hanya bibirku saja. Padahal hatiku merasa
biasa saja. Aku hanya tidak mau dikatakan tidak mau menuruti orang tua dan
tentu saja tidak akan pernah mau dikatakan pria tidak normal. Seperti inilah
kelemahanku, aku hanya bisa pasrah kepada keadaan.
Cantika pun semakin
mendekat dalam posisi sebagai calon istriku. Dia pun tidak mengerti sebenarnya
bagaimana perasaanku kepadanya. Aku hanya menampilkan yang terbaik bahwa aku
mencintainya. Dan dia pun mencintaiku. Sekalipun tidak terbesit kata cinta
dihatiku, namun bibirku itu mampu menyampaikannya. Begitu lancar dan tidak ada
cela sedikitpun. Semuanya berjalan mulus hingga di acara pertunangan tiba.
Aku dan Cantika
akhir-akhir menjelang wisudaku sering aku ajak jalan ke mall, makan bareng
disana, nonton film dan karaoke. Semuanya tidak ada yang menyangka bahwa
teman-teman binanku kaget, dan mereka mendukungku untuk segera menikah walau
aku semakin iri saja karena teman-temanku dengan bf mereka tambah banyak saja
yang sudah gonta-ganti pasangan dan lebih cakep tentunya.
Aku hanya tersenyum
kalau disapa mereka. Belum lama aku sering kumpul di foodcourt dengan mereka.
Sekarang aku harus jaim karena aku akan segera menikah. Meninggalkan dunia
binan begitu sulit kurasakan. Tapi aku harus bisa mengenyahkan pikiran yang
tidak seharusnya aku larut kepada perasaan atau aku ingin terus mengagumi ketampanan
belaka. Padahal sudah menanti dengan pasti sosok wanita yang akan menjadi
istriku, Cantika.
Setelah wisuda aku
sangat beruntung langsung mendapatkan pekerjaan atas rekomendasi ayahku
disebuah perusahaan yang bergerak di bidang furniture. Posisiku di bagian
kearsipan. Selang tiga bulan bekerja, ayah dan ibuku memberikan kejutan yang
sangat membuatku shock. Lamaran akan dilaksanakan dua minggu lagi. Aku hanya
mengiyakan saja. Padahal dalam hati bicara secara jujur bahwa rasa cinta ini
tidak ada sama sekali. Entah apa yang membuatku tidak bisa berdecak kagum pada Cantika. Padahal ia
sangat cantik. Teman-teman kantorku pun sudah mengetahui tunanganku itu.
Semuanya mengatakan padaku bahwa Cantika cantiknya kebangetan. Aku tidak habis
pikir. Dan aku tidak mau membuat ayah dan ibuku kecewa. Bukankah aku anak
tunggal mereka yang sepenuhnya mencurahkan cinta dan sayangnya untukku? Aku
harus bisa membahagiakan mereka. Harus. Apapun yang terjadi memang sudah
seharusnya aku berbuat seperti itu. Karena mereka lah, ayah dan ibu, aku ada di
dunia ini. Setulus cintanya yang begitu besar hanya buatku semata. Aku anak
semata wayang mereka yang didambakan mampu meneruskan generasi keluarga
berikutnya. Kalau sampai aku tidak menikah lantas siapa lagi.
Ayah dan ibuku sibuk
menyiapkan acara lamaranku yang tinggal beberapa hari lagi. Karena saudara dari
orang tuaku memang tunggal semua dan berada di luar kota, Pak De dari ibuku-lah
yang ikut membersamai acara lamarannya nanti bersama dengan salah satu sahabat
ayah dan juga sahabat calon mertuaku. Reuni semasa kuliah akan terjadi lagi
nanti saat lamaranku dengan Cantika seperti saat aku pertama kali berkunjung ke
rumahnya bersama kedua orang tuaku.
Hatiku berdetak semakin
cepat dari hari ke hari. Debaran yang aneh kurasakan. Antara keraguan dan
kebimbangan tapi harus aku upayakan bertampang serius dihadapan ayah dan ibu,
dan juga tentu saja menjaga sikapku dihadapan Cantika dan calon mertuaku yang
sangat bersahaja itu. Persahabatan kedua orang tuaku berlanjut hingga ke tingkat
ikatan perkawinan kelak.
Hari-hari setelah
lamaran, aku mulai membantu persiapan yang sangat memakan pikiran. Walau dari
pihak Cantika, calon istriku sudah memercayakan sepenuhnya untuk ditangani oleh
sebuah wedding organizer kenamaan, namun pikiranku bergelayut terus-menerus.
Dalam hati selalu berbicara apakah aku sanggup membahagiakan Cantika? Karena
selama masa kenalan dengan dia, katakanlah kami berdua menjalin pacaran semu
bagiku, aku sekali menciumnya. Memeluknya pun kadang-kadang saja. Aku hanya mencoba
menjadi pria yang mampu menyejukan dan membahagiakan dia. Padahal keraguan
mendalam yang mendera dihatiku begitu pilu kurasakan.
Persiapan mental adalah
jalan satu-satunya yang harus kutempuh untuk menjadi lelaki sejati. Tidak hanya
itu saja, aku harus benar-benar bersih dari pergaulanku yang sudah lalu.
Bergaul dengan para binan. Untuk itu, selang sebulan aku mengganti nomor HP.
Ini untuk kenyamanan dan menjaga privasiku dengan istriku kelak, supaya jangan
sampai ada pesan masuk yang mencurigakan. Hanya teman-teman normalku saja yang
aku beri tahu nomor baruku, tentunya juga Cantika, keluargaku, saudaraku dan
teman-teman di kantor. Aku tidak mau semuanya hancur gara-gara ada pesan atau
mungkin panggilan telepon yang tidak diinginkan. Semuanya harus diperbarui.
Secara holistik tentunya. Biar semuanya sesuai dengan keinginan hati yang
paling kecil ini. Bahwa sebenarnya aku ini pada mulanya adalah lelaki normal.
Tapi entah mengapa aku bisa terjerembab di gunia binan yang kelam itu. Dunia
semu tanpa status cinta yang jelas. Hanyalah napsu birahi semata yang diumbar.
Dan aku harap dengan menikah itulah semuanya akan sembuh dan aku akan
mendapatkan cinta sejati walau itu harus dengan kepura-puraan terlebih dahulu.
Bukankah sebagai orang Jawa aku sangat percaya bahwa tresna jalaran soko
kulina? Cinta disebabkan karena sering berjumpa.
Aku harap dengan
menikahi Cantika, hari-hariku akan selalu bersamanya sehingga akan tumbuh rasa
cinta.
*
Cantika merasakan
begitu senang dan bahagia mendapatkan calon suami seperti yang diidamkannya.
Iwan yang sangat memesona ketampanannya, ditambah dengan tingkat intelektua
yang cerdas, dan penyayang. Tidak hanya sayang kepada dirinya, ayah dan ibunya
pun sangat disayanginya. Sebuah pencitraan yang mampu disembunyikan oleh Iwan. Ia
berkeyakinan bahwa Iwanlah yang akan terus mencintainya hingga mati kelak.
Membesarkan anak-anak sepenuh jiwa dengan cinta berdua sehingga keinginan ayah
dan ibunya untuk segera menimang cucu menjadi sebuah kebahagiaan tak terkira
sudah didepan mata. Angan dan rencana akan menjadi kenyataan pasti.
Lamunan Cantika terus
melambung hingga tak sadar saat disampingnya sambil mengelus pipi dan sesekali
membelai rambutnya yang selesembut sutra, sosok yang selalu membuatnya sejuk
dihati ikut tersenyum.
“Lagi mikiran apa
Cantika sayang?”
“Oh gak mikirin apa-apa
kok bu.”
“Hmm pasti mikirin Mas
Iwan kan hehehe?”
“Ihh ibu kok bisa aja
sih tahu yang Cantika pikirin?”
“Lah ibu kan pernah
muda sayang. Saat mau nikah kadang terbayang sesuatu yang indah banget. Kadang
juga malah sebel sendiri. Pokoknya campur aduk.”
“Tapi Cantika yakin bu
sama Mas Iwan. Sangat percaya kalau Mas Iwan akan bahagiakan aku kelak, menjadi
ayah yang baik bagi anak-anak. Dan pasti sayang sama mertua hehehe.”
“Ibu lihat juga gitu
Cantika. Mas Iwan memang pria dewasa yang sudah matang, cerdas, berpendidikan
dan mampu menyayangi calon istrinya.”
“Ayo makan dulu
sayang?”
“Ya Bu. Bentar ada yang
nelpon Cantika bu!”
Cantika menuju kamarnya
mengambil HP yang sedang berdering diatas meja. Ia meraihnya. Nama Mas Iwan
muncul di layar touch screen itu.
“Assalamu’alaikum Mas
Iwan?”
“Wa’alaikum salam
Cantika. Lagi ngapain sayang?”
“Mau makan sama ayah
dan ibu. Mas Iwan lagi ngapain disana?”
“Baru saja makan. Sama
ayah dan ibu juga.”
“Oh gitu.”
“Cantika, aku mau ganti
nomor HP ya, biar nomor operatorku dan nomor operatormu sama. OK? Nanti aku sms
deh nomor baruku ya?”
“OK deh mas. Cantika
tunggu.”
“Ya dah met makan malam
ya, salam buat ayah dan ibu ya?”
“Nanti Cantika salamin
sayang?”
“Udah dulu ya. Assalamu’alaikum?”
“Waalaikum salam.”
Tut tut tut.
Selang beberapa menit
kemudian ada pesan masuk di HP Cantika. Sebuah nomor baru. Cantika masih
berjalan menuju ruang makan keluarga.
From: 08XXXXX
Cantika, ni no Iwan.
Save ea?
Dengan cekatan Cantika
segera menyimpan nomor baru Iwan. Lantas ia membalas pesan itu.
Reply:
Ea Mas Iwan. Udah
Cantika Save kok.
Beberapa detik
selanjutnya Iwan membalasnya. Dan Cantika membukanya dengan senyum mengembang
yang diiringi oleh senyum ayah dan ibunya. Suami istri itu sedang duduk
menunggu putri satu-satunya ikut menikmati makan malam bersama.
From: Mas Iwan
Sama2 sayang
Cantika menghampiri
ayah dan ibunya sambil terus mengembangkan senyum naturalnya yang lebar. Kedua
orang tuanya pun sambil menatap putri satu-satunya tidak lepas menghentikan
senyuman kebahagiaan itu. Mereka menikmati makan malam bersama dengan rileks,
santai diselingin canda tawa keluarga kecil yang sedang menantikan terbentuknya
sebuah keluarga baru antara putri mereka, Cantika dan calon menantu idaman yang
sangat disayang dan dinantikan, Mas Iwan.
Karena hari pelaksanaan
pernikahan sudah dekat, kesiapan yang diutamakan semakin ditingkatkan.
Kesibukan dengan sinergi yang penuh berseri itu terasa begitu ringan dan walau melelahkan
tapi nuansa keharmonisan keluarga mencerminkan betapa perpaduan dua keluarga
yang sudah menjalin persahabatan sejak kuliah akan semakin meningkat dengan
hubungan sangat spesial yaitu besanan.
Iwan merupakan sosok
pria idaman siapapun. Ganteng, intelek, sudah mapan secara pekerjaan, ramah,
dan dari keluarga terhormat.
*
Undangan pernikahan
antara Cantika Prihatika dengan Iwan Wirawan sudah tersebar pada kerabat,
rekan, sahabat dan kolega. Pelaksanaannya tinggal satu minggu lagi. Bertempat
di rumah kediaman Cantika yang cukup besar itu, resepsi pernikahan pun akan
dibuat seromantis mungkin. Mengambil tema “A Romantic Wedding” dengan ornamen
dan nuansa seromantis mungkin akan membuat takjub semua yang hadir pada acara
pernikahan sepasang insan itu.
Cantika mengundang
sahabat-sahabat semasa SMP dan SMA. Karena kuliahnya di luar Jawa, semua
sahabat kuliahnya tidak ada yang bisa hadir. Ucapan selamat menempuh hidup baru
kepadanya. Permohonan maaf tidak bisa menghadiri hari paling spesial dan momen
khusus seumur hidup itu silih berganti, baik melalui HP maupun Facebook.
Lain hal dengan Iwan
yang hanya mengundang sahabat-sahabat terdekatnya saja. Terutama sahabat ketika
ia SMA. Sedikit sekali sahabatnya di bangku kuliah yang ia undang. Selektif. Ia
berharap jangan sampai teman-teman binan atau bahkan mantan BF-nya akan hadir
di acara resepsi pernikahannya. Iwan ingin mengubur masa lalunya itu.
Bagaimana pun aku tidak
akan pernah berhubungan dengan yang namanya cowok. Apapun yang terjadi aku
sudah membulatkan tekad untuk sembuh dari penyakit jiwa ini. Walau berat
melupakan kenangan bersama beberapa mantan BF-ku, tapi aku harus bisa
menunjukkan betapa aku segera menjadi seorang suami yang harus gentle dan pasti
manly dihadapan istri dan besanku kelak.
Jangan sampai aku
terlihat oleh sesama binan yang sudah aku kenal, walau dengan sangat baik pun,
mereka tidak boleh hadir pada acara yang paling bersejarah dalam hidupku.
Jangan sampai terjadi. Aku tidak mau melihat mereka, cowok-cowok sakit jiwa
itu. Secakep, atletis seperti para finalis L-Men pun, aku tidak akan menaruh
hati secuilpun. Aku harap aku kembali normal seperti semula. Karena memang aku
bukanlah pria sakit seperti yang pernah aku alami. Tuhan aku ingin sembuh.
Hari-hariku terasa
panjang. Tiada pernah aku merasakan saat-saat yang paling mendebarkan dari
detik ke detik dengan begitu bermakna. Suasana rumahku pun membuatku semakin
terharu saja. Ayah dan ibuku beserta tetanggaku, dan juga kerabat dekat dari
pihak ayah terutama saling membantu menyiapkan untuk hari pernikahanku. Mereka
sangat antusias sekali karena aku adalah anak semata wayang yang sangat
dibanggakana sehingga nuansa seperti ini pastilah membuat semua yang menatapku
dan mereka pun sebenarnya merasakan detik-detik yang khusus untuk menuju pelaminanku
yang tinggal beberapa hari lagi.
Perasaanku kadang kacau
tidak menentu. Sesekali aku menatap kartu undangan yang tersisa di atas meja
kamarku dengan sedikit menyunggingkan bibir. Tiga buah foto pre wedding dengan
senyum antara aku dan Cantika menatap rembulan purnama dengan ornamen klasik
itu benar-benar membuatku kadang tidak mengerti mengapa aku akan menikah
dengannya? Tidak satu pun pemikiran melintas sejauh ini. Aku hanya bisa
mengiyakan saja. Harapan bahwa mudah-mudahan dengan menikah orientasi seksualku
kembali normal. Dan aku bisa hidup dengan wajar seperti layaknya orang di mata
masyarakat.
Untuk mengusir
kegalauan hati yang naik turun debarannya, aku mencoba mengusirnya dengan
memutar lagu-lagu kesayanganku yang mampu membuatku semakin bisa menguatkan
diri tentang arti pernikahan kelak. Ku dengarkan syair lagu berjudul Symphony
yang Indah yang dinyanyikan oleh Once Mekel dengan begitu merdu dan syahdu.
Kata-kata lembut yang mampu menggelorakan hati untuk kemudian bersatu padu di
hari yang paling bersejarah itu. Pernikahan.
Begitu asyik
mendengarkan lagu itu, sehingga aku tidak bosan-bosannya untuk berkali-kali
menyimak. Kadang bahkan aku sembari ikut bernyanyi bersama Once. Di winamp yang
sedang menyala itu, hanya satu lagu saja, Symphony yang Indah. Aku begitu
menghayati arti kebahagiaan dalam pernikahan. Tidak hanya saat haru ketika aku
beberapa kali menghadiri ijab qabul teman dan resepsinya, karena unsur ruhiyah
yang menjelma dihati dengan kekuatan Maha-Nya mampu menentramkan jiwa manusia.
Sehingga aku tidak keliru kalau menikah dengan Cantika yang tinggal menghitung
hari saja. Karena walau aku tidak mencintainya pun aku punya harapan akan
tumbuh benih-benih cintaku padanya.
Tidak terasa malam
berganti malam dengan nuansa penuh debar akan hari pelaksanaan pernikahanku.
Aku usahakan tetap tersenyum kepada siapapun yang berjumpa denganku. Ledekan
khas calon pengantin baru senantiasa aku terima dari tetangga, rekan kerja
kantor dan juga sahabat-sahabatku. Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya.
Saat aku membuka
Facebook normalku, karena aku punya dua facebook, yang satu tentu saja aku
khususkan untuk wahana pertemanku dengan para binan, betapa para teman-teman di
Facebook menyambut berita pernikahanku dengan sangat antusias. Mereka semua
mendoakan diriku agar kelak bisa membina rumah tangga yang sakinah, mawadah dan
warahmah. Sebuah keluarga yang tenang, penuh kedamaian dan kasih sayang.
Karena dua minggu
sebelum hari pelaksanaan pernikahanku, aku memang menggunakan foto profil pre
weddingku. Sehingga di bagian komentar foto profil terpampang banyak sekali
komentar yang senantiasa membuatku tersenyum sangat terharu membacanya dan
pasti merasakannya. Betapa nikmat kurasakan menyimak doa-doa dan harapan dari
teman-temanku karena menikah akan segera dilaksanakan.
Di Facebook yang khusus
para binan pun banyak yang sudah mengetahui kalau diriku akan menikah. Walau
aku belum pernah memasang status yang menunjukkan kalau pernikahanku akan
segera dihelat, apalagi memasang foto profil pre weddingku dengan Cantika.
Tidak mungkin aku melakukannya. Sangatlah munafik diriku yang masih menyimpan
rasa menyukai sesama jenis dan tentu saja mengagumi cowok tampan akan menikah.
Padahal aku ingin sekali membuang perasaan itu sejauh-jauhnya. Agar aku sembuh
total dari penyakit jiwa ini. Walau aku sadar orientasi seksual memang terbentu
karena sistem otak dan saraf yang saling sinergi satu sama lain dengan hubungan
sebab akibat terus menerus sehingga sulit disembuhkan. Aku sadar, ini menjadi
kerusakan permanen yang kurasakan betapa beratnya untuk meninggalkan dunia semu
ini walau kadang aku butuh tempat penyaluran yang kini sekarang harus aku
tinggalkan.
Aku sengaja menata
semua foto, status, daftar pertemanan, info supaya tidak bisa diakses oleh
siapapun agar keberadaanku tidak diketahui banyak orang. Karena aku pahami
bahwa semakin hari jumlah para binan semakin meningkat. Entah fenomena apa ini?
Entah mengapa orientasi seksual sejenis menjadi menjamur.
Dalam pikiranku apakah
Facebook yang khusus para binan aku buang saja ya? Tapi entah bagaimana pun aku
harus bisa menjaga rahasia ini sebaik mungkin. Kalau dibuang caranya gimana ya?
Aku terus berpikir. Akhirnya satu aku membiarkannya saja. Tapi aku memang
menghindari membuka Facebook yang itu, aku lebih berusaha meng up date status
atau memberikan komentar, menjawab komentar di Facebookku yang normal.
Walau aku sudah
mengganti nomor handphone-ku, tapi aku merasakan sebuah kesepian yang mendera
jiwa. Entah mengapa hal ini bisa terjadi dalam hidupku. Kadang aku merasa tidak
ada sebuah perhatian yang mengarah pada ranah afektifku yang menuju ke sebuah
pertemanan serius. Sebuah perbincangan yang seru dan asyik tidak bisa aku
dapatkan dengan teman-teman normal. Aku masih saja merasakan betapa asyik dan
heboh saling mengirim sms, membalas sms dari teman-teman sesama binan. Dan aku
harus menghentikannya selamanya. Bisakah aku? Karena aku akan menjadi seorang
suami sehingga harus bisa memutuskan mata rantai hubunganku dengan para binan
yang bisa merusak pernikahanku, merusak citraku dihadapan mertuaku, orang
tuaku, sahabatku, dan rekan-rekanku. Ini harus aku hentikan bagaimana pun
caranya. Yang jelas aku membiarkan diriku menahan diri untuk tidak membuka
Facebook tidak normalku. Harus bisa. Itu sumpahku untuk diriku sendiri.
Bagaimanapun aku akan segera membuka lembar hidup baru yang belum terbayangkan
sebelumnya. Keraguan menjalin cinta dengan status pernikahan akankah mampu
membuatku normal? Hantu yang menakutkan bagaikan monster sepanjang hidup yang
terus bergentayangan.
*
Dua hari menjelang hari
pelaksanaan pernikahan, Cantika mengirimku sebuab pesan singkat yang membuatku
sangat haru. Sampai aku menitikan air mata. Tidak bisa berkata-kata dibuatnya.
Sebuah kalimat yang langsung menyentakan detak jantungku, dan itu membuatku
tersadar sepenuhnya bahwa aku akan segera menjadi seorang suami dari dia,
Cantika.
From: Cantika
Mas Iwan tampan,
suamiku sayang, aku harap kita bisa hidup bersama selamanya
Sejenak aku hanya
menghela napas untuk menenangkan diri
membaca pesan singkat Cantika. Aku tidak bisa langsung membalasnya, entah
kata-kata apa yang tepat untuk mengucapkan sesuatu yang mampu mengimbangi
kalimat tersebut. Lama nian aku berpikir. Akhirnya aku menuliskan balasan
singkat dari SMS itu.
To: Cantika
Aku juga istriku
Cantika sayang.
Tidak lama selang
beberapa detik aku mendapatkan SMS dari Cantika kembali dengan kata-kata yang
menusuk jantungku, bahkan hingga ke ulu hati. Sangat tajam kata-katanya. Aku
tidak berkutik. Sambil merebahkan diri diatas tempat tidur aku membacanya berulang-ulang.
Karena Cantika adalah calon istriku, padahal kalau orang lain yang menerima SMS
dari kekasih apalagi calon istri akan menganggapnya tidak berlebihan seperti
diriku. Apakah aku karena pura-pura cinta padanya?
From: Cantika
I Love you Mas Iwan
Jemariku menuntunku
mengarahkan ke keypad. Mengetik balasan yang membuatku menangis haru. Aku ini
calon suaminya. Hatiku berkata pelan,
“Bahagiakan dia Iwan?”
Balasan SMS ini
untuk Cantika aku harap mampu
membahagiakannya.
To: Cantika
Love you too Cantika
*
Tibalah hari bersejarah
itu.
Aku bersama ayah dan
ibuku beserta sanak kerabat handai tolan mengiriku menuju rumah calon istriku.
Ijab Qabul akan dilaksanakan jam 8 pagi. Jam tujuh aku sudah siap, tidak hanya
aku saja, rombongan pengantin pria tinggal berangkat untuk menyaksikan
perhelatan bersejarah yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hayatku
nanti.
Dengan menaiki mobil
didampingi ayah dan ibu, aku merasa
lebih nyaman. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya diam seribu bahasa
menikmati suasana hati yang tidak tenang. Sambil memandang ke arah jalan kiri
dan kanan, aku mencoba berpikir jernih bagaimana nanti suasana Ijab Qabul itu.
Walau aku sudah menghapalkannya namun hatiku tetap saja gundah bercampur resah
menjadi satu secara simultan. Apajadinya nanti kalau aku sampai lupa melafalkan
kata-kata saat Ijab Qabul. Tidak hanya itu saja, aku tidak kuasa menahan air
mata membayangkan senyum Cantika dan kedua orang tuanya, sementara aku hanya
bisa terdiam saja diatas kepura-puraan ini.
Pura-pura aku mau
menikahi Cantika. Walau aku tidak ada perasaan cinta sama sekali. Tetapi
mengapa aku mau saja dengan peristiwa yang sangat mendera ini? Apakah karena
sebuah pencitraan yang akan aku bangun bahwa aku ini memang normal dan harus
menunjukkan dengan acara pernikahan segala? Apakah aku pantas menjadi suami
yang baik untuk Cantika, menjadi menantu untuk besan orang tuaku? Apakah aku
rela dengan diri sendiri mengorbankan naluri yang harus dibeli dengan
penciptaan keadaan yang justru menyiksaku sendiri ini? Apakah aku rela
membohongi mereka yang sangat tulus memberikan kepercayaan sepenuhnya padaku?
Aku tidak kuat menahan semua ini. Aku hanya memegangi kepalaku sambil menunduk.
“Kenapa Iwan, pusing
ya?” Ibuku menyapaku.
“Agak pening bu!”
“Udah sarapan kan
tadi?”
“Udah kan sama ibu.”
“Masuk angin mungkin
kamu nak.”
“Gak tahu ini bu, agak
mual juga.”
“Ibu pijitin ya?”
Aku hanya bisa pasrah
dengan keadaan ini. Sebenarnya aku hanya terlintas nanti bagaimana aku akan
mengucapkan kata-kata sewaktu penghulu mulai melaksanakan tugasnya. Aku akan
dinikahkan dengan Cantika. Harusnya aku bahagia ketika keinginan semua orang
untuk berumah tangga sudah di depan mata. Tapi entahlah. Aku malah ragu akan
hal ini.
Perlahan-lahan
kurasakan uluran tangan hangat dan lembut menyentuh leher bagian belakangku.
Memijitnya pelan dan penuh kasih sayang. Sesekali ibu menempelkan tangannya
dikeningku.
“Agak panas nak?”
“Gak apa-apa bu. Iwan
baik-baik saja.”
“Mau muntah gak?”
“Agak mual tapi gak
pengen muntah kok.”
“Ya udah gak apa-apa
berarti kalau gituh.”
“Kita hampir sampai di
rumah calon istrimu nak. Ayo rapikan jas mu, dasimu juga.”
Ibuku dengan penuh
perhatian membantu mengencangkan dasiku yang memang sudah aku buka saat baru
mulai perjalanan. Aku merasa gerah saja. Ibuku menyarankan mengikat dasi satu
kali saja karena kalau memakai jas, ujung dasi yang dekat dengan leher kalau
diikatkan sebanyak dua kali akan terlihat besar dan lucu. Sehingga tidak enak
dilihat. Aku pun mengiyakan dan memang saat aku dulu mendapatkan pembekalan
perfoming art di karantina pemilihan duta wisata instrukturku pun menjelaskan
demikian.
Mobil berhenti. Akhirnya
sampai juga di rumah Cantika. Ayah, ibuku dan para pengiringku satu-persatu
keluar dari dalam mobil. Aku hanya terpekur melihat tarub beserta kursi-kursi
tamu yang banyak berjejer. Walau masih di dalam mobil mataku langsung tertuju
ke arah pelaminan dengan dekorasi sangat baik dan romantis. Tapi hatiku teriris
dibuatnya.
Semuanya sudah keluar
siap masuk ke area rumah Cantika. Para penerima tamu sudah berjejer berdiri
dengan pakaian seragam yang ceria, aku hanya menatapnya nanar. Entah mengapa
perasaanku menjadi tidak enak dan kurang apa aku ini sehingga gugup dengan
keadaan yang sedang aku alami.
Ayah dan ibuku
memanggil-manggilku supaya aku lekas keluar dari dalam mobil. Dengan berat
hati, kakiku melangkah keluar. Mataku hanya tertunduk. Tiba-tiba sebuah
dorongan hebat yang menuntunku supaya bersikap jantan, ramah, dan menunjukkan
wibawa bahwa aku ini calon pengantin pria.
Langkahku begitu tegap
sekarang dan bisa memandangi dengan lebih jelas suasana riuh di kediaman
Cantika. Kulihat ayah dan ibu Cantika berpelukan lama saling bergantian dengan
ayah dan ibuku. Ketika aku bersalaman dengan ayah dan ibu Cantika, mereka
menitikan air mata melihat calon menantu yang sangat dibanggakannya dengan
penampilan yang sangat gagah ini. Banyak yang memuji diriku atas ketampanan
yang tertampilkan. Padahal pujian itu semua malah membuatku semakin menderita.
Rombongan dari
pengantin pria ditempatkan dibagian utama. Sajian teh panas dan makanan kecil
segera diantar oleh para petugas. Sambutan luar biasa hangat ini membuatku
merasa sangat bersalah dalam bersikap. Waktu terasa betapa lama akan perhelatan
yang akan terjadi nanti.
Aku belum melihat
Cantika keluar. Entah apa yang ia rasakan saat ini. Aku galau.
Tiba-tiba aku melihat
serombongan kecil memasuki halaman yang sedang aku tatap itu. Hatiku langsung
berdesir. Penghulu dan petugas pencatat pernikahan sudah datang. Waktu
menunjukkan pukul 07.30. Setengah jam lagi dimulai ijab qabul itu. Deg-degan
kurasakan semakin menggila saja. Sesekali aku mengelap butiran keringat yang
menetes di wajah, leher. Keringat pun membasahi kemejaku. Aku pun kadang
membuka peci yang aku kenakan di kepalaku. Menyisir rambut dengan jemariku dan
meremasnya kesal.
Selang beberapa menit,
pembaca acara mengumandankan susunan acara dengan sistematis. Aku, ayah dan dua
saksi yang telah ditunjuk oleh ayahku segera menuju pelaminan. Dua saksi dari
pihak Cantika pun satu per satu duduk dibelakang kursiku.
Ayah cantika berada
tepat di depan penghulu, aku disamping ayah Cantika, calon mertuaku.
Alunan ayat suci
Al-Qur’an menyejukkan hatiku setelah dibuka oleh penghulu. Hatiku luluh.
Disebelah kananku kulihat Cantika begitu terharu, sama-sama menunduk haru.
Sebelah kiriku, ayah Cantika. Detik-detik menegangkan kurasakan semakin kencang
menerjangku. Hingga akhirnya ijab qabul selesai dengan kata ‘Sah’ dari penghulu
diikuti semua saksi. Pujian kepada Tuhan semesta alam dan Amin membahana. Isak
tangis haru dari Cantika, orang tuaku dan orang tua Cantika. Air mataku tumpah
tak tertahankan. Aku segera menggamit bolpoin untuk menandatangani surat nikah.
Disusul Cantika yang sudah sah menjadi istriku. Begitu lega rasanya semua orang
yang hadir menatapku dan Cantika. Tapi hatiku kelu.
Sungkeman pun segera
dimulai. Aku tidak kuasa lagi menangis. Sambil menciumi ibuku, ayahku, dan juga
mertuaku. Hingga akhirnya aku menjamah telapak tangan Cantika. Ku kecup ujung
jari manisnya dengan lembut. Kudaratkan ciuman dikeningnya. Ia tersenyum lebar
natural kepadaku.
Lega rasanya ijab qabul
telah selesai. Cantika dan aku segera dibawa masuk ke kediamannya untuk
berganti pakaian yang akan digunakan untuk resepsi jam sepuluh nanti dengan
menggunakan adat Jawa.
Tidak begitu kaku diriku ketika harus memakai
beskap karena aku beberapa kali memakainya sewaktu menjabat sebagai Duta Wisata.
Betapa aku sangat terpukau saat keluar kamar dan menuju kamar sebelah dimana
Cantika masih dirias. Ia begitu cantik. Tepatnya semakin cantik saja dipandang
mata. Sanak familinya terus menerus memujinya. Hatiku semakin bangga padanya.
Mungkinkah ini mulai timbul rasa sayang dan cinya padanya? Yang jelas aku tidak
malu punya istri secantik dia.
Sekitar jam setengah
sepuluh kemudian, para tamu undangan mulai berdatangan. Mereka adalah tamu-tamu
rekan kerja ayah dan juga ibu Cantika. Teman-teman kerja Cantika pun banyak
yang datang dan menyaksikan ijab qabul. Dan jam 10 tepat aku dan Cantika
diiringi keluargaku dan keluarga Cantika memasuki pelaminan. Resepsi
pernikahanku begitu hingar bingar meriahnya karena adanya music Live yang
memesona perhelatan dengan lagu-lagu cintanya.
Seserahan sambutan dari
dua belah pihak pengantin aku dan Cantika yang masing-masing diwakili kerabat
dekat dengan bahasa Jawa Krama Inggil mampu menyejukan hatiku. Aku tidak
melepaskan tangan Cantika yang memegang tanganku. Kadang risih kurasakan
berdesir di dada.
Foto-foto dengan
keluarga untuk mengabadikan momen spesial pernikahan ini begitu menggembirakan
rasanya. Tidak hanya keluargaku dan keluarga Cantika saja, rekan kerja, teman
kuliah apalagi sahabatku dan sahabat istriku pun turut serta berfoto bersama.
Sungguh mengukir sejarah yang akan menyejarah seumur hidupku.
*
Pesta pernikahan telah
usai. Selang semingg kemudian Cantika mengajak aku menuju studio foto yang
menggarap dokumentasi momen spesial kami. Perasaan tidak karuan menghentaku.
Cantika begitu menyala-nyala karena kebahagiaan yang kebangetan melihat
foto-foto pernikahan yang baru saja dihelat. Betapa kebahagiaan itu tak terucap
dengan kata-kata. Rona merah dengan kembangan senyum sangat natural sama-sama
terpancar. Aku pun berusaha mengimbanginya. Cantika memeluku didepan petugas di
studio foto. Setelah pamit, tidak henti-hentinya Cantika menikmati foto-foto
dalam dua album secara bergantian disebelahku. Aku hanya konsentrasi menyetir
mobil menuju rumah makan Padang favoritku yang ada di depan Kampus UMS.
Suasana rumah tangga
yang aku bina bersama Cantika adem ayem saja. Tiada pernah hubungan yang kurang
komunikatif. Aku berusaha menjadi suami yang baik bagi dia, selalu mendengarkan
keluhannya, curhatnya dan menuruti semua keinginannya dengan sepenuh hati.
Begitu juga sebaliknya. Cantika sangat menghargai aku sebagai suaminya. Dia
melayaniku setulus murni cintanya. Apalagi aku tinggal bersamanya di rumah
orang tuanya. Sehingga aku benar-benar merasakan betapa mertuaku, Cantika
istriku sangat membanggakan diriku seutuhnya. Aku merasa tersanjung dan
memiliki keseriusan untuk membina rumah tangga dengannya sampai akhir khayat.
Kadang-kadang aku dan
Cantika menginap di rumahku sendiri. Aku tidak tega dengan kedua orang tuaku
yang kesepian tanpa diriku. Apalagi setelah aku menikah tentu keberadaanku
sudah sangat jarang sekali bersama mereka. Terlebih selang dua bulan menikah
tanda-tanda kehamilan mulai nampak. Aku semakin jarang ke rumah sendiri. Hanya
melalui HP atau telepon rumah saja ibu yang sering menelponku. Kadang malah ibu
mertuaku yang menelpon ayah atau ibuku.
Sesekali pada akhir
pekan biasanya ayah dan ibuku berkunjung ke rumah Cantika, menengok aku dan
bertemu besan. Awal-awal menikah aku sempatkan pulang ke rumah sehabis bekerja.
Tapi ibu melarangku. Padahal suasana galau di hatiku tidak menentu yang membuat
diriku entah dibilang kerasan atau karena suasana yang mendukungku untuk berusaha kerasan tinggal dirumah mertua
sendiri.
Aku disarankan agar
selalu berada didekat Cantika istriku kapan saja dan dimana saja. Lebih ekstrim
lagi, ayah dan ibuku memberikan kesempatan pada Cantika kelak kalau hamil tidak
perlu bekerja saja. Biar suaminya yang mencari nafkah. Namun mertuaku
sebaliknya memberikan keputusan pada Cantika sendiri. Terlebih ibu mertuaku
yang justru menyarankan agar tetap bekerja. Karena kalau dirumah juga sendirian. Tapi ayah Cantika mendukung
usualan orang tuaku untuk berhenti bekerja saat hamil nanti. Beliau sangat khawatir
dengan kondisi perempuan yang sedang hamil sambil bekerja. Apalagi anak semata
wayangnya yang hamil dan tentu saja menantikan cucunya.
Setelah memasuki bulan
ke empat masa hamilnya, aku sesekali menyelingi pembicaraan dengan Cantika
terkait dengan kehamilannya yang mulai membesar. Aku sangat khawatir. Kerja
sebagai advokat membuatku tidak bisa berpikir kritis bagaimana tingkat
manajemen stress yang dihadapi istriku. Entah mengapa Cantika tetap enjoy saja
menikmati karirnya. Tidak ada gangguan berarti semasa kehamilan Cantika.
Cantika bukanlah sosok
perempuan cengeng. Ia sangat mandiri dan cuek terhadapa masalah sepele yang
tidak perlu dibesar-besarkan. Kadang aku merasa iri saja dengan rumah tangga
yang belum genap satu tahun ini. Tapi entah bagaimana suasana yang mendukung
dari mertuaku, orang tuaku dan juga Cantika sendiri yang benar-benar bisa
bekerja sama dengan baik serta tidak mau memperpanjang masalah sampai titik
didih bertengkar hebat sekalipun. Benar juga yang diceritakan ibuku kalau ayah
dan ibu Cantika menanamkan sifat untuk jangan memperbesar masalah. Karena pada
prinsipnya semua masalah sudah terukur dan manusia pasti bisa menyelesaikannya.
Aku sadari persiapan
persalinan Cantika tinggal menunggu sebulan lagi. Setelah melakukan tes OSG di
rumah sakit Yarsis, diperkirakan anak pertamaku berjenis kelamin seorang
laki-laki. Aku hanya bisa tersenyum saja mendengarkan keterangan Prof Harso,
S.POG. yang sangat terkenal dan pakar dibidang kandungan itu. Istriku, mertuaku
dan juga ayah ibuku memberikan respons kegembiraan yang meledak-ledak. Cucu
pertama mereka akan lahir seorang laki-laki. Sebuah kebanggaan tersendiri yang
menimbulkan gelak tawa dan senyum tiada habisnya. Dan itu sedikit membuatku
menyunggingkan senyum untuk membersamai mereka.
Alat-alat perlengkapan
bayi mulai dari baju-baju bayi seperti popok, kaus tangan, kaus kaki, selimut
bayi, box buat tidur bayi yang sangat lucu bentuk dan warnanya, sampai bantal
bayi pun sudah tercukupi semuanya. Kini tinggal menunggu beberapa hari lagi
sang buah hati akan lahir ke dunia untuk
membersamaiku dan Cantika serta memberikan kebahagiaan buat kakek-neneknya yang
sudah sangat rindu atas kehadiran cucu pertama mereka.
Kurasakan perbedaan
sikap berlebihan hari-hari menjelang persalinan kandungan Cantika. Ia semakin
manja saja. Kadang cepat marah, mudah emosi tapi segera reda. Pernah suatu kali
ia minta makanan kesukaannya, nasi padang dengan rendang, yang itu juga
merupakan makanan kegemaranku di suatu malam. Aku diminta membelikannya sekitar
jam 11. Padahal kondisiku sedang sangat kelelahan karena baru pulang kerja jam
9 malam. Karena ada perjamuan tamu kantor serta presentasi dari beberpa klients
sehingga harus menunggu semuanya kelar. Aku sebagai penanggung jawab
penyelenggara tidak bisa ijin keluar rumah. Cantika memang memintaku membelikannya
buat makan malam. Ayah dan ibunya memasakan rendang kesukaannya tapi ia kurang
begitu berselera kalau tidak makan denganku.
Aku sampaikan bahwa
kondisiku sedang tidak fit dan aku sudah makan malam di kantor dengan para
klients. Cantika memaksaku untuk makan malam bersamanya di rumah makan padang
depan UMS. Aku naik pitam. Aku bentak dia, Cantika menangis.
Tangisnya hanya sebatas
terdengar di kamarku saja. Sambil sesenggukan Cantika perlahan mendekatiku
setelah bangkit berdiri dari kursi. Aku yang sudah terbaring dan pura-pura
tidur tidak mau memedulikannya dengan semestinya. Kata-kata yang terucap begitu
menyakitkan hatiku.
“Mas Iwan kejam!”
“Mas Iwan gak mau
nurutin aku kan?”
“Beliin nasi rendang
Padang aja alasan capek!”
“Aku ini lagi hamil
anak kamu Mas?”
“Iya tahu kamu lagi
hamil anak darah dagingku sendiri. Terus kamu mau nyiksa suamimu yang seharian
cari nafkah buat kamu ya?”
“Memang kalau gak makan
nasi rendang Padang kamu gak bisa makan yang lain apa?”
“Gitu ya suami lebay!”
“Apa kamu bilang?”
“Aku lebay?”
Aku yang setengah
ngantuk hilang sudah rasa kantuk itu. Aku bangkit, mengucek mata kemudian
memandangnya tanpa kedip. Mataku nanar tajam dihadapanku ini perempuan yang
membuatku memunculkan amarah, dicampur emosi yang membuatku hilang kesabaran.
Sambil marah aku yang
hanya mengenakan celana boxer bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil. Ku
coba membasuh mukaku yang kucel karena kelelahan seharian bekerja. Setelah
mengerinkan mukaku dengan handuk yang ada digantungan pintu kamar mandi, aku
melangkah menuju kamarku. Kudengar Ibu Cantika sudah di dalam kamarku. Aku
tidak langsung masuk. Terpaku di depan pintu sambil memandangi dua perempuan
ibu dan anak saling berpelukan.
“Udah ya Cantika jangan
nangis gitu dong. Ibu jadi khawatir dengan kangdunganmu. Ntar jadi terganggu
gimana?”
“Mas Iwan gak sayang
sama Cantika Bu?”
“Mas Iwan egois.”
“Egois gimana?”
“Aku mau nasi rendang
Padang gak mau beliin Bu?”
“Kamu mintanya kapan
pada Mas Iwan?”
“Barusan Bu?”
“Jam 11 malam gini ya
kasihan Mas Iwan, lagian baru pulang kerja. Kenapa tadi sebelum pulang gak
minta aja dibeliin?”
“Cantika kan baru
kepengen.”
“Kamu harus hargai
suamimu yang baru pulang kerja kemalaman. Lagian hanya nasi rendang Padang jadi
marah kayak gini.”
“Aku benci Mas Iwan
Bu.”
Aku hanya menatap
Cantika dan Ibunya yang masih berpelukan erat. Berdiam diri mematung membuatku
jengkel. Api amarah mulai membara kesekujur tubuhku. Cantika menolehku. Ia
melepaskan pelukan ibunya. Ibu mertuaku menatapku tajam.
“Ayo belikan saja Iwan
buat istrimu yang sedang hamil tua ini.”
“Gak tahu apa Bu, aku
baru pulang kerja capek banget.”
“Iya. Ibu mengerti.
Tapi keinginan istri harus kamu turuti.”
“Gak mau kalo
diperintah memaksa kayak gini.”
“Apa kamu bilang Iwan?”
“Kamu bilang istrimu
memaksa kamu?”
“Ya Bu.”
“Ibu juga ikut-ikutan
maksa malam-malam begini beli nasi rendang Padang kan?”
“Itu buat kebaikan
kalian berdua. Ibu hanya menyarankan saja, kalau gak mau itu bukan urusan Ibu.
Mulai lancang ya kamu sama mertua!”
Ibu mertuaku berpaling
dari kamarku. Ia sambil melotot tajam ke arahku pergi meninggalkan kamarku. Aku
langsung membuka lemari pakaian, mengambil kaos dan memakainya. Jaket tebal
segera aku kenakan. Aku langsung memutuskan bermalam di rumah orang tuaku saja.
Paling 30 menit sampai. Aku tidak berpamitan pada Cantika. Langsung membawa
motor keluar rumah. Perasaaan lega segera terasakan olehku dijalan sambil
menyusuri malam dengan bintang gemintang di langit. Betapa geram hatiku
diperlakukan istri yang memandangku seperti pesuruh.
Aku sadar apa yang
diinginkan istriku mungkin nalurinya yang sedang tidak labil atau bagaimana aku
memahaminya sehingga sangat memaksakan diri meminta sesuatu dan harus terpenuhi
saat itu juga. Memang aku ini suaminya dan berkewajiban memuliakannya. Tapi
dimana tenggang rasa yang ia miliki dan curahkan padaku sebagai istri yang baik
melihat aku suaminya yang baru pulang kerja, sedang merebahkan badan sebentar
saja langsung dibentak seperti anjing saja aku ini.
Sembilan bulan menikah
dengan Cantika bagaikan tersambar kilat disiang hari yang sangat singkat terasa
sakitnya sekarang ini. Mungkin sejak awal menikah semuanya biasa saja.
Bertengkar hampir tidak pernah. Dan malam ini baru aku merasakan bagaimana
rasanya dibentak istri, disuruh membelikan sesuatu yang harus aku lakukan saat
itu juga.
Sesampai di rumah ibu
membukakan pintu dengan wajah cemberut dan bertanya-tanya mengapa malam-malam
pulang ke rumah. Aku hanya membisu saja. Memandang wajahnya pun enggan. Malu
dan ingin segera masuk kamarku terus tidur biar lupa soal kekurangajaran
Cantika.
Ketika aku baru saja
masuk kamar, Ibu bertanya pelan dengan nada khawatir. Aku tak tega mendengarkan
suaranya yang lembut itu. Aku jadi iba. Merasa bersalah padanya.
“Iwan, ada apa kamu
pulang malam-malam gini nak?”
“Gak apa-apa Bu?”
“Gak apa-apa maksudnya
apa nak?”
“Bener gak apa-apa.
Iwan ingin pulang ke sini saja, tidur dikamar sendiri seperti saat kecil hingga
belum nikah.”
“Kok harus malam gini.
Ini hampir jam 12 malam. Lagian istrimu gak kamu ajak kenapa lagi Iwan?”
“Udah malam ya gak
mungkin diajak Bu.”
“Ada yang gak beres.”
“Semuanya baik-baik
saja Bu. Ibu gak usah khawatir. Percaya saja sama Iwan ya Bu. Iwan mau tidur
sekarang.”
“Ibu belum selesai
bicara. Jelaskan kamu tuh lagi ada masalah pasti. Ibu pengen kamu jujur, terus
terang biar Ibu bantu kamu. Bicaralah Iwan!”
“Besok saja Bu. Iwan
capek.”
Pintu kamarku segera
kututup rapat. Aku tahu Ibu masih berdiri di depan pintu menunggu jawabanku
mengapa aku pulang malam-malam. Entah apa yang Ibu risaukan melihatku pulang
larut tengah malam. Aku sangat tidak enak melihat Ibu khawatir padaku.
Setelah aku mengunci pintu
kamar, aku segera ke kamar mandi. Udara dingin menusuk pori-pori kulitku
sehingga aku tidak bisa menahan air kencing lagi. Tidak seharusnya aku
memaksakan diri secakep ini. Memang aku kebangetan capeknya kerja seharian demi
kepentingan kantorku dan juga karirku. Sehingga loyalitas kinerja semaksimal
mungkin harus selalu aku utamakan. Inipun aku lakukan sebagai suami yang baik,
yang selalu berusaha membahagiakan istri dengan bekerja keras.
Rasa mengantuk menjalar
kuat. Namun hati belum bisa berkompromi hingga aku terlelap tidur hingga tabuh
subuh mengumandangkan panggilan bersujud.
*
Rasanya seperti
kebingungan mau ngapain aku pagi ini. Rasa kantuk yang masih menjalar begitu
kuat harus aku lawan karena aku hari ini pun wajib berangkat kerja. Padahal
hari Minggu. Karena salah satu klient di kantorku memang punya janji bertemu
hari ini di sebuah hotel. Aku sengaja berpakaian casual karena memang untuk
menghangatkan suasana libur kata atasanku janganlah terlalu formal. Dibikin
santai saja biar klient merasa nyaman sehingga kemitraan akan terus lancar
bersama.
Setelah aku berpakaian
rapi, tapi terkesan santai, segera ibuku mengetuk pintu kamarku dengan keras
tidak seperti biasanya. Ibuku yang berpembawaan lembut tiba-tiba bersuara
lumayan mengagetkanku.
“Iwan, kamu kenapa
sudah memalukan keluarga nak!”
“Kamu ingat ya, Cantika
itu istrimu, kenapa kamu tidak menuruti keinginannya?”
“Kamu bilang semuanya
baik-baik saja. Ternyata kamu pulang membawa masalah besar bagi mertuamu,
istrimu dan juga Ibu dan Ayahmu!”
“Ibu baru saja menerima
telpon dari mertuamu, kamu harusnya tidak egois. Kamu harus bisa menuruti
keinginan istrimu.”
Aku tidak tahan menatap
wajah Ibu. Matanya begitu tajam nanar padaku. Dari arah belakang Ayah
menghampiriku. Ia berkata bijak. Dengan berseloroh sambil menenangkan Ibu, Ayah
mengajak aku untuk duduk di meja makan. Ibu sudah menyiapkan sarapan dengan
menu kesukaanku sejak kecil, opor ayam dan rempela ati goreng.
“Ayo lah cerita Iwan?”
“Ayah akan senang
mendengarkan semua ceritamu, biar Ibu mu juga lega. Dan kamu sendiri bisa
terbantu memecahkan masalahnya. Ya kan?”
“Iwan, ceritakan semua
yang telah terjadi antara kamu dan Cantika. Dan juga Ibu mertuamu ya?” Sambung
Ibu sambil mengambilkan nasi untuk Ayah dan aku.
“Makasih Bu.”
“Ya dah sekarang
sarapan yang kenyang dulu. Katanya mau kerja seharian lagi menuntaskan proyek
kantor di hotel Lor In nanti acaranya.”
“Iwan gak mau ngomong
sekarang Bu.”
“Ayah, Iwan minta maaf
belum bisa cerita masalah aku dan Cantika.”
“Iwan gak ada masalah
dengan mertua kok. Semuanya akan baik-baik saja. Biar nanti Iwan selesaikan
sendiri. Ayah dan Ibu tidak usah khawatirkan Iwan. Cantika memang akhir-akhir
ini mudah emosi dan marah kalau gak diturutin kemauannya saat itu juga.”
“Terus kenapa kamu
malah pulang tengah malam?”
“Tahu gak tadi pagi Ibu
mertuamu nelpon ibu. Betapa hati Ibu hancur mendengar caci maki yang membuat
Ibu marah. Tega mertua yang sudah Ibu dan Ayah anggap seperti saudara sendiri
sejak kuliah mengata-ngatai kamu.”
“Terus kamu sudah
berbuat apa sama Cantika sehingga istrimu merasa dilecehkan begitu Wan? Ayo
Ayah dan Ibu pengen tahu sebenarnya ada apa dengan kalian? Sehingga Ibu
mertuamu turut campur.”
“Udah lah Bu. Iwan bisa
atasi masalah ini kok. Cantika lagi emosi ya gitu ngatain Iwan semaunya
dihadapan Ibu. Kalau ayahnya gak banyak cingcong. Gak secerewet ibunya.”
“Tapi ayah dan Ibu
seperti ditampar-tampar dengan kampak. Sangat menyakitkan. Sakit Iwan?”
“Iya Ibu. Iwan ngerti.
Udah ya, Iwan berangkat kerja dulu?”
“Bentar. Ayah dan Ibumu
belum lega kalau masalah yang belum selesai kok malah ditinggal pergi begitu
saja. Ibu malu, sakit dan kecewa dengan kamu Iwan. Terutama mertuamu yang tidak
menjaga sopan santun. Mengatakan anakku tidak bisa membahagiakan anaknya.
Betapa hati Ibu hancur Iwan? Hati Ayahmu juga terluka. Paham kan kamu Iwan?”
“Paham Ibu. Tapi keburu
siang nanti Iwan terlambat dimarahin Bos. Iwan berangkat sekarang Bu.?”
“Ayah Iwan berangkat!”
Kucium tangan Ayah dan
Ibuku. Sambil membawa tas laptop, aku segera membawa mobil kantor yang kubawa
pulang atas suruhan bos pelan-pelan menuju Lor In di Colomadu. Sebelumnya aku
menjemput beberapa karyawan yang sedang menunggu di beberapa titik jalan. Mereka
para SPB dan SPG kantorku. Setelah itu aku meluncur kencang menuju tujuan
bertemu klients.
Entah perasaan apa yang
menggelayut di relung batinku saat baru sampai meeting room. Salah satu anak
buah klients yang duduk dihadapanku menyambutku dengan tatapan aneh. Tatapannya
syahdu. Dia masih karyawan baru. Aku tahu dari baju yang ia pakai masih
kelihatan baru lulus wisuda. Aku yakin dia sakit, binan. Dan aku jangan sampai
terpengaruh oleh tatapan syahdu itu walau dia lumayan tampan. Naluri maho ku
keluar dan aku tidak mau terperangkap kembali ke dalam dunia binan yang sudah
aku tinggalkan selama sepuluh bulan rentang usia pernikahanku dengan Cantika.
Aku ingin menepis semua yang berbau kekaguman terhadap sesama jenis walau berat
tapi aku bisa membuktikannya dengan serius. Keyakinan itu memang penting dan
memaksa diri untuk melakukannya jauh lebih berat. Aku paksakan jangan sampai
ikut menatap tatapannya. Membalas tatapannya dan mengumbar mataku adalah sebuah
celah untuk menanam kembali perasaan kagum yang tidak semestinya tersalurkan
itu pada hal yang sangat menyiksa batin kala saat-saat seperti dimana sosok
perempuan sangat memberikan kekecewaan di jiwaku. Ingin semuanya tidak seperti
keadaannya.
Coffee break tiba pada
saatnya. Sekitar jam 10 meeting perdana usai dan akan dilanjutkan setelah
setengah jam kemudian. Aku mengambil satu gelas kopi panas dengan campuran
bubuk coklat serta cream yang cukup nikmat kuminum usai berbincang dengan
klients. Sambil membawa beberapa makanan ringan, aku menuju sebuah meja disudut
ruangan coffee break. Hanya aku yang duduk disana sendirian, sementara yang
lain menggerombol dengan rekan kerja terdekat. Bukan aku tidak mau bersama
mereka, aku hanya ingin menyendiri saja.
Beberapa teguk kopi
panas yang kuminum mampu mengalirkan kehangatan tersendiri. Tidak hanya bagi
tubuhku yang berada di ruang ber-AC tapi juga nuansa otak pikiran yang sedang
kalut terpacu terus memikirkan suasana rumah yang tidak mengenakan itu dan aku
sambil menikmati makanan ringan tiba-tiba dikejutkan suara disampingku, dia
yang memandangiku saat meeting menyapaku lembut dan penuh perhatian. Aku hanya
mengangguk saja. Tapi lelaki atletis dan tampan disampingku entah bagaimana
mengajaku berbincang ringan sehingga aku tidak bisa menghindarinya. Aku
tiba-tiba ingin melakukan katarsis
dengannya.
“Maaf Pak sendirian?”
“Iya.”
“Kayaknya sedang ada
masalah berat Pak, kok kelihatan kurang semangat?”
“Oh tidak apa-apa. Cuma
kurang tidur saja semalam.”
“Rumahnya dimana Pak?”
“Saya sekitar sini
saja.”
“Boleh tahu nama Bapak?”
“Saya Iwan. Mas Iwan
saja ya panggil saya, lagian usia kita paling selisih dua-tiga tahun kan?”
“Saya Andy, 24 tahun.”
“Kita selisih satu tahun saja.”
“Udah lama kerja Mas
Iwan?”
“Baru dua tahun sejak
lulus kuliah. Kamu?”
“Satu tahun kerja
setelah lulus kuliah juga.”
Mencerocos saja Andy
berbicara tanpa henti dan menanyakan apa saja tentang aku. Betapa cowok yang
ada dihadapanku sekarang sangat menaruh rasa antusias tidak hanya berbincang
masalah sederhana tapi menanyakan sesuatu yang serius. Dia bertanya apakah aku
sudah punya pacar? Aku hanya menjawab belum. Padahal aku sudah menikah.
HP yang aku pegang
dengan tangan kiriku berdering. Tangan kananku masih memegang cangkir kopi. Aku
masih mendengarkan apa saja yang dibicarakan Andy. Menjadi pendengar yang baik
bagi seseorang yang sedang berbicara dihadapanku adalah suatu hal yang
istimewa. Mendengarkan dengan seksama menjadikan lawan bicara seakan nomor satu
di dunia karena merasa dikhususkan. Panggilan telepon dari Cantika. Ia menelponku mengabarkan bahwa
perutnya mulas, kemudian Ibunya menyambung pembicaraan dan memintaku segera
pulang untuk mengantarkan Cantika ke rumah sakit bersalin.
Segera aku minta maaf
karena ada hal penting yang harus kulakukan. Aku utarakan pada Andy, ia
menyilakanku beranjak pergi. Aku segera menemui atasanku mengabarkan bahwa
istriku akan melahirkan. Dengan nada gembira atasanku memberikan ucapan selamat
akan menjadi ayah padaku. Senyum simpul yang sedikit mengembang muncul
dibibirku merespon ucapan itu. Aku langsung menuju parkir Lor In Hotel.
Meluncur menembus padatnya lalu lintas sepanjang jalan ke Manahan lurus ke
timur hingga sampai di rumah mertuaku.
Aku membawa Cantika ke
Rumah Sakit Moewardi ditemani Ibu dan Ayah mertuaku. Di klinik bersalin Cantika
diperiksa dan dokter beserta bidan menyarankan untuk menunggu beberapa saat,
kami bertiga keluar ruang pemeriksaan.
Selang beberapa menit,
dokter keluar. Ia tersenyum manis pada kami bertiga. Dokter yang masih muda
dengan kerudung putih itu memberikan penjelasan bahwa sudah mulai pembukaan.
Menunggu kelahiran anak darah dagingku
sendiri semakin mendebarkan hati dan jantungku. Setelah dipersilakan masuk, aku
beserta ibu mertuaku menemui Cantika yang meringis menahan nyeri. Ayah mertuaku
menunggui di luar kamar persalinan.
Sudah lebih dari dua
jam aku bersama Ibu mertuaku menemani Cantika. Bidan dan dokter serta dua
perawat memberikan layanannya secara optimal. Akhirnya kelahiran berjalan
normal telah dilalui Cantika. Tangis bayi mendendangkan lagu cinta membahana
jiwaku. Setelah dimandikan dan dibalut kain lembut, aku menyuarakan adzan
disebelah kanan telinga anak lelakiku yang tampan itu. Menunaikan iqamah
ditelinga kirinya sambil tersenyum aku menciuminya. Aku sudah jadi ayah. Rasa
bahagia menyeruak menghentakan dentuman yang tiada pernah aku rasakan
sebelumnya.
Tidak lama berselang
kelahiran anakku, ayah dan ibuku datang. Raut wajah yang sudah merindukan
hadirnya cucu pun terobati betapa cerahnya. Mereka berdua bergantian menciumi
bayi mungil yang sedang tidur disamping Cantika yang masih lemah.
*
Tiga tahun kemudian.
Donny anak yang manis,
lucu, menggemaskan dan sudah lancar berbicara. Sangat fasih. Dengan kedua kakek
neneknya sangat akrab. Kakek neneknya begitu mencintainya. Sangat dimanja
bahkan anak ku itu. Cantika pun tidak begitu kerepotan mengasuhnya sejak melahirkan.
Walau selang 3 bulan cuti bekerja, tidak menyurutkan semangat kerjanya.
Terlebih Donny sudah bisa dikatakan tidak rewel kalau ditinggal bekerja ibunya.
Ibuku menderita gula
tidak bisa melihat cucunya, Donny bisa berjalan. Ibu kandung yang sangat kucintai
meninggal tepat ketika Donny berumur 1 tahun. Sehingga aku kadang menemani Ayah
yang sendirian dirumah. Aku pun tidak mungkin membawa Donny serta Cantika
sering-sering karena mertuaku susah diajak berkompromi. Sebaik hati mertua
tetap ingin selalu dekat dengan cucunya. Dan itu membuat kedua orang tuaku iri.
Terutama Ibuku yang membela mati-matian supaya selalu dibawa kerumahku agar
orang tuaku bisa menimangnya.
Kini tinggal Ayahku
yang memintaku membawa Donny dan istriku Cantika bersamanya menemani masa-masa
tuanya yang merana sehabis ditinggal Ibu. Aku kadang mengusahakan sehari
semalam selama dua sampai tiga kali dalam sebulan. Itu pun membuat mertuaku
marah-marah padaku. Karena mertuaku pun yang sudah berusia tidak muda lagi
ingin diperhatikan seperti anak kecil. Rentang usia membuat perubahan jiwa
secara psikologis dan perilaku yang lebih manja dari biasanya.
Tidak pernah terpikir
akan memiliki masalah yang silih berganti dari hari ke hari. Donny yang selalu
ingin bersama ibu mertuaku lama-lama menganggap bahwa ibunya sendiri Cantika
tidak memegang peran dominan. Padahal ia ibu kandungnya sendiri. Mungkin Donny
sebagai anak laki-laki yang belum pernah diasuh oleh mertuaku sehingga
nuansanya sangat berbeda. Aura lelaki membangkit rasa tersendiri bagi jiwa
perempuan walau sudah usia lanjut sekalipun. Begitu juga Ayah mertuaku yang
sangat intens mengajak bermain sepeda dikala pagi hari berkeliling kompleks
perumahan sekitar hingga aku tidak sampai melihatnya lagi ketika aku akan
berangkat ke kantor. Tapi Cantika tidak pernah memerhatikan diriku bahwa aku
juga seorang ayah bagi anaknya. Aku ingin menciumnya saat aku mau berangkat.
Paling tidak sekedar kalimat lucunya yang terucap “Dada Ayah?” dan yang lebih
menggemaskan dan menimbulkan kerinduan tiada habisnya adalah ketika aku mencium
pipinya, mengelus rambut kepalanya. Betapa aku memang sudah menjadi ayah.
Nuansa datar rumah
tanggaku tidak bisa aku sembunyikan lagi. Rekan kerja Cantika kulihat sering
mengirim pesan singkat, kadang menelpon disaat malam hari. Dan aku tidak boleh
membuka HP-nya sejak Ibuku meninggal. Entah apa indikasi itu. Aku pun sudah
membiarkan keterbukaan menjadi tradisi sejak mulai menikah. Tapi entah
pemikiran bagaimana yang muncul dalam benak istriku itu, aku sendiri tidak
memahaminya. Terserah dia mau berbuat apa yang penting aku tidak mau ikut
campur sehingga membuat bentrok. Akibatnya aku akan mendapatkan semprotan
menyakitkan tiada lain dari Ibu mertuaku.
Tidak betah rasanya
tinggal dirumah mertua yang membuatku sejak menikah seperti dipenjara. Aku
memang merasakan tiada rasa merdeka yang sekuat dulu kurasakan tinggal bersama
kedua orang tuaku. Tidak ada. Semuanya telah sirna. Sirna ditelan
ketidakberdayaan diriku sendiri yang mau menikah dengan perempuan yang
dikenalkan orang tuaku. Lama-lama aku paham inilah buntut dari pura-pura cinta.
Padahal aku hanya menyembunyikan suasana biar aku disebut normal. Padahal rasa
cinta sedikitpun tidak ada. Hubungan ranjang pun hanya pelepas horny saja
padanya. Setelah ejakulasi semuanya kembali datar. Tidak ada yang kutemukan
suasana istimewa hadir antara aku dan istriku. Dia pun aku rasakan betapa
dinginnya dia. Aku sedikit tidak paham selama tiga tahun bersamanya. Sikap acuh
yang sama-sama terbangun antara aku dan dia sehingga menimbulkan gejolak tidak
mau tahu satu sama lain, membiarkan semuanya berjalan apa adanya membuat aku
dan istriku bersikap saling menjaga supaya komunikasi dan perilaku tidak
mencolok, tidak menimbulkan cek-cok. Apalagi menimbulkan berseteru. Aku takut
akan dicampuri mertua hanyab gara-gara masalah sepele. Dan aku jaga dan aku
tahan entah sampai kapan akan berakhir. Tidak pernah terbayangkan dan merasakan
indahnya berumah tangga seperti rekan kerjaku dikantor, seperti teman-teman
dekatku semasa kuliah yang terlihat sangat harmonis. Aku belum merasakan itu,
kapan? Entahlah. Yang mungkin terjadi dan itu seakan menjadi mimpi buruk yang
terus menghantui adalah suasana ketidaknyamanan dirumah tanggaku.
Sejak pertemuanku
dengan para klients di Lor In, komunikasi Andy membuatku menjadi sebuah
pertemanan hangat. Dia sosok yang sangat perhatian benar-benar mampu
menghiburku. Naluri binanku semakin menggila saja. Tapi aku belum pernah
berbuat yang macam-macam dengannya. Aku masih mengingat betul statusku masih
menjadi suami Cantika. Hingga suatu hari, Andy menjemputku ketika aku memang
sedang kurang enak badan. Mertuaku tidak mengetahui dengan pasti bahwa Andy
memang perhatiannya sungguh berlebihan. Aku menjadi luluh karenanya. Walaupun
berbeda kantor, kesetiannya sungguh luar biasa.
Kurang lebih empat
bulan berjalan pertemanan yang intens itu membuat Cantika menyeruakan nada-nada
aneh yang kurasakan. Karena SMS di HP-ku dari Andy yang berlebihan membuatnya
curiga. Buat apa seorang teman sesama pria memberikan perhatian kepadaku yang sederhan
dengan menanyakan “Sudah makan?” atau
bahkan yang pernah membuatku cukup terkejut dari apa yang Cantika tunjukkan
padaku saat membaca sms dari Andy,
“Mas Iwan, met bobok
ya?”
Tidak lama kemudian
Cantika mencurigaiku siapa diriku ini yang sebenarnya. Padahal aku sudah
membiasakan bahwa diriku tidak pernah menyentuh sesama jenis selama ini sejak
menikah dengannya. Walau sikapnya yang dingin memang membuatku sedikit berpikir
dan merenung bagaimana aku menyalurkan hasrat kasih sayang yang aku harapkan mampu
sebanding dengan apa yang aku rasakan.
Cantika tidak mau kalah
bersaing, atau mungkin balas dendam karena aku diperhatikan orang lain. Padahal
dirinya memang tidak memiliki perhatian yang menunjukkan rasa cinta kasih
padaku layaknya istri kepada suami sejak dulu.
Suatu siang ketika aku
pulang awal karena meeting dengan klients di luar kantor selesai lebih awal,
sekitar jam 1, aku singgah di sebuah rumah makan dekat Grand Mall, betapa aku
sangat terkejut menatap sepasang pria wanita sedang menikmati makan siang
begitu romantis sambil senyum-senyum genit dan saling memuji satu sama lain.
Aku bersembunyi agak jauh dari meja yang diduduki siapa lagi kalau bukan
istriku sendiri. Dia sudah main hati rupanya. Tidak ada yang curiga bahwa aku
sedang mengamatinya. Rekan kerjaku hanya memandangku aneh, serta bertanya
mengapa aku menatap meja paling pojok itu. Aku hanya menjawab salah satunya
teman dekat. Memang rekan kerjaku banyak yang belum mengenal istriku.
Sambil menyantap makan
siang Andy mengirim SMS yang membuatku bertambah yakin atas perhatiannya. Aku
ajak dia renang nanti sore di Cokro. Andy dengan senang hati mengiyakan
ajakanku.
Pulang kerja aku
menemukan Donny badannya panas. Sambil digendong kakeknya, Donny ingin
dibelikan es krim. Ayah dan Ibu mertuaku melarangku menurutinya. Aku katakan
nanti sewaktu habis pulang renang akan membeli es krim kesukaannya, Magnum
Classic. Setelah aku ambil alih dari kakeknya, Donny kupeluk erat sambil
kutidurkan. Ia lelap sambil merangkul leherku. Aku sangat menyanginya. Sangat.
Belum nyenyak tidur
siangku, ibu mertuaku masuk ke kamarku, menanyakan keberadaan Cantika.
“Cantika kok belum
pulang sudah jam 3 lho?”
“Mungkin banyak kerjaan
Bu?”
“Biasanya pulang jam 2
kan?”
“Coba kamu telepon ya?”
“Nanti pasti pulang
Bu.” Aku menjawab masih dalam keadaan mata terpejam.
“Iwan, kamu itu suami
macam apa sih, istri belum pulang kok jawab nanti pasti pulang. Mana tanggung
jawabmu sebagai suami yang tidak becus memperhatikan istri? Mana?”
Aku terperanjat dengan
bentakan Ibu mertuaku. Serta merta aku bangkit dari rebahanku. Menatap wanita
yang tua dihadapanku dengan marah. Tapi aku tahan supaya jawabanku tidak
meledak-ledak dan membuat suasana semakin runyam.
Tiba-tiba suara klakson
mobil asing berbunyi di depan rumah. Itu pasti bukan mobil yang biasa digunakan
Cantika. Ibu mertuaku segera keluar. Aku masih duduk ditepi ranjang.
Samar-samar aku mendengar percakapan Cantika dengan laki-laki yang
mengantarnya.
“Kok mobilnya tidak
dibawa pulang Cantika?”
“Nanti Mas Iwan saja
yang mengambil dikantor. Tadi diajak makan siang Mas Budi. Dia kakak kelasku Bu
saat SMA dulu.”
“Oh. Lho kok gak
disuruh mampir dulu?”
“Masih ada kerjaan Bu.”
“Ya sudah. Tuh Donny
badannya panas.”
“Mungkin mau pilek Bu?”
“Sekarang sedang tidur
sama suamimu yang lebay itu.”
“Biar saja Bu.”
“Aku sudah muak punya
suami kayak dia!”
“Aku mau minta cerai
saja Bu?”
“Ya dah kalau itu
maumu. Ibu setuju saja. Kamu masih cantik kok anak Ibu yang cantik?”
“Iih Ibu bisa aja sih?”
“Be- bener kok hehehe.”
Mereka berdua tidak
tahu sedang aku perhatikan. Benar-benar kegenitan. Tua muda sudah beristri dan
bercucu memiliki pemikiran untuk berbuat mesum dan ingin selingkuh. Entah apa
maksudnya semua perkataan Cantika dan Ibu mertuaku itu.
Cantik masuk ke kamarku
tanpa sepatah katapun terucap. Ia langsung berganti pakaian lantas ke kamar
mandi kemudian menemui ibunya kembali dikamarnya. Aku mendengar didalam tasnya
tanda pesan masuk. Tergerak hatiku ingin membukanya. Si empunya sedang pergi
membuatku membulatkan tekad bahwa aku harus tahu apa isi pesan SMS di HP
Cantika. Kubuka tas perlahan. Aku ambil HP dan membuka pesannya.
From: Mas Budi
Cantik, lagi apa nih?
Aku langsung
membalasnya biar dikira dari Cantika betulan.
To: Mas Andy
Lagi mikirin kamu Mas hehehe
Pesan terkiri. Selang
beberapa detik HP yang sedang kupegang milik istriku berdering tanda panggilan.
Aku biarkan saja sebentar karena pasti Cantika mendengarkan nada dering yang
bersuara keras. Benar saja. Cantika langsung bergegas masuk, aku serahkan
HP-nya. Dia berjalan cepat keluar kamar.
Aku hanya terdiam
sambil menatap Donny yang terlelap tidur. Badannya masih panas. Walau sudah
minum obat penurun panas, aku merasa semakin khawatir kalau terjadi hal-hal
yang lebih parah. Tapi aku yakin Donny pasti segera membaik keadaannya. Benar
saja setelah aku sentuh keningnya Donny panasnya belum turun.
Aku ingat hampir jam
mau renang sama Andy. Segera saja aku menyiapkan celana renang dan kaca mata
renang. Handuk dan alat mandi aku ambil dikamar mandi. Setelah itu aku masukan
semuanya ke dalam tas sporty.
Cantika kembali ke
kamarku. Ia mengatakan nanti malam mau keluar dengan teman SMA-nya. Aku
mempersilakan dan juga menyampaikan kalau Donny panasnya belum turun. Aku harap
Cantika menjaganya. Tapi apa respon Cantika? Ia berkelit kalau aku yang
seharusnya menjaganya. Akhirnya aku mengalah dan mengangguk pelan. Tidak habis
pikir mengapa ibunya sendiri sikapnya secuek itu. Setan apa yang sedang
merasuki pikirannya. Aku pun mengerti alasannya dan juga aura yang tersibak
dari raut wajahnya yang merengut ke arahku. Nuansa kasmaran terlihat walau
sudut matanya menatap kebencian padaku. Aku tahu itu dan tidak perlu aku
interogasi keadaan ini yang sudah semakin parah. Sadar diriku bahwa rumah
tanggaku sedang goncang.
Aku membiarkan Donny
tidur sendirian. Cantika dan Ibunya sedang asyik bergosip ria dikamar Ibu
mertuaku. Ayah mertuaku sedang menonton TV sambil terkantuk-kantuk. Aku
menghampiri Cantika mengabarkan kalau aku akan berenang di Cokro. Nanti jam 6
sudah pulang.
“Pulang sampai malam
juga gak apa-apa kok. Gak ada yang larang kamu.”
“Maksud kamu apa?”
“Gak apa-apa. Sana
renang sepuasmu sama cowok-cowok kan?”
“Kamu ngomong apa?”
“Terserah aku mau
ngomong apa. Mulut-mulutku sendiri.”
“Ya. Kamu silakan
kencan sekarang juga bukan urusanku kan!”
“Anak lagi sakit aja
kamu malah janjian kencan. Aku dah baca sms dari pacar barumu. Mas Andy kan?”
“Apa? Kamu berani buka
HP-ku?”
“Ceraikan aku sekarang
Mas Iwan?”
“Silakan ke pengadilan
Agama sendiri. Cerai memang lebih baik.”
“Betul. Daripada aku
bersuamikan lelaki gay macam kamu!”
Praaaak-praaakkkk-prakkkkk!
“Kamu berani tampar
aku?”
“Apa kamu bilang, aku
gay? Dasar PELACUR murahan!”
Aku bergegas
meninggalkan cantika yang menutupi wajahnya. Ia menangis sambil terduduk. Tangisnya
pecah membangunkan Donny, segera ia berjalan mendekati Cantika dan memeluknya.
Kutatap sekali lagi Cantika dan anakku yang kemudian Ibu mertuaku menghampiri
Cantika. Membujuknya untuk bercerita. Aku mengambil sepeda motor menuju Cokro.
Ibu mertuaku mengejarku
sambil lari-lari ke arah garasi. Sesampai dihalaman, aku dihadang. Ia berkacak
pinggang. Matanya merah jalang menyala tak berkedip.
“Kau apakan Cantika
hah. Beraninya nampar perempuan. Kamu diajari mukul ya sama orang tuamu?”
“Ibu harusnya tahu
mengapa aku sampai tega tampar Cantika. Dia sudah selingkuh! Paham?”
“Maksud kamu apa Iwan?”
“Tanyakan sendiri. Muak
aku!”
“Kamu jangan pergi
dulu. Selesaikan semuanya sekarang juga.”
“Semuanya sudah
selesai.”
“Apa?”
“Tunggu-tungguuuuuuu
menantu kurang ajar!”
*
Sampai di Cokro, Andy
menyapaku hangat sekali. Entah apa yang membuatnya begitu memukau sore ini
dengan aura ketampanannya yang membuatku suka padanya. Tatapannya semakin
membuatku tidak bisa bergeming bahwa rasa yang berdesir-desir itu mulai
menampakan bahwa aku harus mengungkapkannya secepat mungkin. Karena selama ini
belum ada yang mau menyatakan suka apalagi cinta.
Peregangan sebentar
yang dilakukan Andy dihadapanku membuatku bertambah kagum saja. Aku hanya duduk
di pinggir kolam tidak lantas ikut melakukan pemanasan bersamanya. Aku
tertunduk, masih terlintas suasana rumah. Ingat Donny yang masih panas
badannya, Cantika dan Ibu mertuaku yang membuat semakin runyam rumah tanggaku.
Andy menghampiriku.
Tangannya merangkul pundaku. Dia begitu perhatian. Sehingga aku pun menggamit
tangan satunya dan aku letakan dilututku. Kami saling bertatapan. Entah siapa
sebenarnya yang harus mulai berkata, sayup-sayup riak air kolam pun ikut membersamai permulaan perbincangan. Dan
itu membuatku tidak mampu berkutik bahwa aku sudah saatnya mengungkapkan bahwa
semuanya harus berakhir. Akhir rumah tanggaku dengan Cantika. Tapi untuk
menjalin hubungan serius dengan Andy bukan sebuah perkara yang mudah ataupun
sulit. Aku tidak mau publik mengetahui orientasi seksual sejenis yang membuat
mata melotot mengatakan tidak normal, sakit jiwa dan sebagainya. Entah sampai
kapan waktu yang akan berbicara pada semua jiwa yang haus akan nuansa cinta.
Aku menikmati renangku
sore ini. Pikiran yang kacau sedikit banyak terbantu terasa ringan aku
memikirkannya walau dalam kondisi berenang aku tetap tidak bisa menghilangkan
bayangan istriku, anakku, mertuaku, dan ayah. Mereka satu demi satu hadir
menyelinap saat aku menghempaskan udara di air. Menghirupnya secara ritmis.
Beberapa gaya sudah
menghabiskan tenagaku. Mulai gaya bebas yang paling mudah dan gaya yang
membuatku riang jenaka adalah gaya katak. Tapi sangat menyenangkan. Ditambah
air kolam alami, bebas kaporit yang tidak pedih dimata dan tentu tidak merusak
kelembapan kulit.
Menepi di pinggir kolam
sambil melihat orang-orang yang lalu lalang berenang membuatku sedikit
terhibur. Apalagi kalau yang renang cowok ganteng dan atletis. Andy pun sama.
Ia sambil berenang matanya jalang menatap cowok-cowok yang sedang berenang itu.
Setelah lelah berenang
aku beranjak duduk di depan kolam. Kursi-kursi malas yang enak dan santai
sambil memandang cahaya matahari sore berwarna merah menyala membuat tentram
dan damai di hati. Aku dikejutkan hentakan kecil dikursi yang sedang aku
duduki. Karena melalum aku tidak tahu siapa yang datang menghampiriku, ternyata
Andy. Dia membawakan satu gelas jus yang membuat tenggorokanku seakan-akan
disiram minuman surga. Rasa haus langsung hilang, kesegaran terasakan menjalar
di kerongkongan sampai kehati berdebum nikmatnya. Sebelum berenang kembali Andy
mengikutiku duduk di sampingku. Ia memijat kakiku pelan dan aku merasakan
getaran aneh yang langsung menusuk jantungku.
“Kamu kecapean ya Mas?”
“Nggak Andy. Makasih
ya.”
“Makasih kenapa? Memang
aku memberi apa kok bilang makasih?”
“Perhatianmu.”
“Ada ada saja kamu
Mas.”
“Biasa saja kok, gak
lebih perhatianku.”
“Kamu mampu membuatku
sedikit tenang.”
“Ada apa memangnya. Ayo
cerita saja, Andy siap dengerin!”
“Aku sudah gak betah
lagi hidup dengan istriku. Cantika gak pantas lagi dikatakan sebagai istri yang
baik. Aku mungkin mau bercerai dalam waktu dekat ini. Kamu tahu Andy? Dia sudah
tahu hubungan kita ini. Kau paham maksudku?”
“Hubungan kita Mas?”
“Ya. Aku ingin kamu
jadi bf-ku. Mau kan?”
“Maaf, aku belum
sanggup untuk jadi bf-mu sekarang kalau kamu masih punya istri. Dan aku tahu
kau juga punya anak. Aku tidak mau dikatakan orang yang mencampuri urusan rumah
tangga orang lain, apalagi merusak hubungan harmonis suami-istri.”
“Tapi kamu mau gak jadi
bf-ku?”
Aku bangkit dari sandaran
kursi malas yang membuatku nyaman sambil terus dipijit Andy. Dia merona
menatapku. Pertanyaanku membuat wajahnya memerah.
“Aku mau mau Mas. Tapi
jangan sekarang ya?”
“Sekarang atau besok
sama saja. Aku mau kau jadi bf-ku yang setia.”
“Ya Mas. Ayo sudah mau
magrib. Kita pulang sekarang ya?”
“Aku tidur dikosmu ya?”
“Lha apa nanti kamu gak
dicari istrimu?”
“Sudahlah. Cantika mau
kencan sama cowoknya. Buat apa aku pulang.”
“Kamu punya anak Mas.
Dan kamu tinggal dirumah mertua.”
“Please Andy, aku butuh
ketenangan dengan orang yang sayang sama aku. Dan kaulah orang yang aku sayang
sekarang ini di dunia. Aku sudah tidak ada rasa sama sekali sejak awal
pernikahan sama perempuan jalang itu.”
“Ya sudah kalau begitu.
Mas Iwan kok jadi mengumpat-ngumpat istri sendiri.”
“Cantika sudah tahu
kalau aku gay. Dia baca sms kamu. Cantika cukup sensitif membaca kata-kata mu
yang sok perhatian padaku.”
“Benarkah?”
“Sudahlah gak usah
mikirin itu lagi. Segera mandi dan langsung pulang ke kosmu. Nanti aku telepon
ibu mertuaku. Aku mau bilang nanti malam
mau nemenin ayah dirumah. Sudah satu minggu gak pulang nengok ayah.”
“Ya Mas.”
Jalan aspal lurus ke
timur dari Cokro ke arah Delanggu dengan tiada kelokan, lurus, mengencangkan
semakin kencang laju sepeda motor yang aku kendarai. Hawa dingin menyerang,
menusuk kulit dan hatiku. Gundah hati, resah jiwa membara. Namun aku akan
labuhkan segala perasaan ini untuk seseorang yang mau mengerti diriku
seutuhnya. Walau pun begitu berat, tapi aku yakin dunia akan paham pada diriku,
cintaku, perasaanku, dan alam raya akan mendukungku untuk mewujudkannya. Aku
ingin menumpahkan segala rasa yang ada.
Kos Andy terletak tidak
jauh dari Tugu Kartasura. Tugu yang kokoh berdiri dipertigaan jalur ke arah
Boyolali, Klaten dan ke Solo dengan warna hitam kelam menunjukkan kekohannya
yang biasa dengan tetap seperti biasa dari waktu-ke waktu mulai kapan aku pun
tak tahu kapan dibangunnya. Sekitar dua ratus meter ke arah Solo, ke timur ada
Traffic Light. Kalau mau ke Bandara Adi Soemarmo belok kiri lurus terus. Sampai
di Hotel Sadinah, di sampingnya ada gang kecil. Lurus mentok, rumah paling
pojok bercat coklat tua. Rumah yang sederhana terlihat tapi nyaman dihuni baik
untuk kos-kosan mahasiswa maupun bagi yang sudah bekerja.
Andy dan aku berhenti,
lega rasanya bisa sampai di kos orang yang paham akan segala rasa yang aku
tumpahkan. Andy mengajakku pertama kali ke kosnya saat aku paham bahwa kita
sama-sama binan, tapi aku belum menaruh hati padanya, tapi aku yakin dia suka
sama aku, dan sekarang aku akan berada disana bersamanya nanti malam.
Aku harapkan semuanya
akan baik-baik saja, bisa melupakan masalah rumah tanggaku yang semrawut dan
menyebalkan.
*
Magrib tiba. Temaram
petang menyusuri sendi-sendi bumi yang menggelapkan cahaya matahari. Digantikan
lampu-lampu listrik nan silau dengan suara-suara berisik laju kendaraan lalu
lalang, meriakan gegap kehidupan dimana
pun berada.
Cantika sedang
mempercantik dirinya, memakai aksesoris modis dan trendy, matching dengan baju
yang dikenakannya. Dandanannya semakin menor. Aroma wangi tubuhnya mengundang
siapa saja, terlebih kaum Adam. Ibunya saja dibuat terpana oleh kecantikannya.
Cantika mengatakan bahwa beberapa menit lagi kekasih barunya akan mengajaknya
kencan. Ibunya mengiyakan dengan senang hati.
“Wah cantiknya kamu
Cantika anak Ibu satu-satunya benar-benar seperti bidadari.”
“Ibu kok muji aku
kebangetan.”
“Gak lah sayang. Biar
Mas Budi senang kan?”
“Ya lah. Lagian suamiku
sendiri seorang gay. Suami tidak berguna, menjijikan. Besok aku mau gugat cerai
ke pengadilan Agama Bu.”
“OK. Ibu temani ya.
Jangan khawatir. Mertuamu sudah aku telepon tadi, dan tahu gak sekarang suamimu
dimana? Barusan telepon Ibu, lagi nginap di rumah Ayahnya. Padahal sedang
dirumah cowoknya. Dikira Ibu goblok apa ya, Ibu sudah telepon Ayahnya tidak
disana. Kemana lagi kalau bukan ke rumah si Andy itu!”
Di luar rumah, klakson
mobil Budi terdengar.
“Biarin saja deh Bu.
Mas Budy sudah datang Bu. Aku berangkat sekarang ya?”
“Mas Budi suruh mampir
dulu dong, ibu ingin bicara sebentar.”
“Bentar, Cantika keluar
dulu nemuin Mas Budi.”
Cantika melangkah
keluar, ke pelataran rumahnya dengan anggun, semerbak wangi yang menyengat
menebar ke segala penjuru ruang-ruang dan kamar, bahkan Budi yang baru saja
keluar dari mobil tersentak dengan aroma wangi perempuan beranak satu itu.
“Mas Budi, makasih udah
datang. Katanya jam 7 Mas, baru setengah tujuh lho?”
“Emang gak boleh?”
“Gak apa-apa sih?”
“Suamimu ada?”
“Please deh Mas.
Suamiku lagi kencan sama pacarnya. Jadi gak ada. Ayo masuk, Ibu ingin ketemu
kamu Mas?”
“Wah jadi malu aku,
Cantika!”
“Kenapa harus malu,
ibuku sangat setuju dengan hubungan kita kok!”
“Oh ya?”
“Bener deh. Serius.”
“Walau aku duda?”
“Alaaah, kamu kan
duren, duda keren hehehe.”
“Bisa saja kamu!”
“Ayo duduk dulu ya. Ibu
lagi bikinin coffee buat kamu.”
“Gak usah repot-repot.”
“Ah Mas Budi ganteng.”
Sambil menjatuhkan diri
ke pangkuan Budi, Cantika langsung dibelai manja oleh lelaki atletis itu.
Selang sebentar Ibu Cantika membawa nampan berisi coffe panas dan dua toples
kue-kue. Dengan senyum mengembang, Budi menyapa perempuan yang ikut-ikutan
berdandan menor itu. Sangat kemayu, girang sekali menyambut pacar anaknya.
“Malam tante?”
“Iya Mas Budi. Ayo
diminum coffee, dan kuenya. Gak usah malu ya sama tante.”
“Makasih tante.”
“Ya udah Mas Budi, Ibu
tinggal dulu ya, titip Cantika ya?”
“Ya tante.”
Setelah meneguk sedikit
coffee panas didepannya, Budi mengajak Cantika, membimbingnya berdiri untuk
hang out. Cantika masuk ke ruang TV dimana Ibu dan Ayahnya sedang menyuapi
Donny anaknya sambil menikmati sinetron.
“Cantika pergi dulu
sama Mas Budi Bu, Ayah?”
“Ya.”
“Hati-hati Cantika?”
“Ya Bu, Ayah!”
“Dadah Donny?”
“Dadah Mama?!!”
Udara malam menghempas
perjalanan sepasang anak manusia yang sedang kasmaran atas nama kebahagiaan,
cinta, dan rasa yang terus membumbung ke dalam relung jiwa. Cantika dan
kekasihnya menuju Grand Mall. Disana mereka dinner di foodcourt lantas
menikmati film romantis di 21 Cinema.
*
Tidak kalah seru
rasanya kalau makan malam hanya biasa-biasa saja. Bersama kekasih menjadi lebih
nikmat dan hangat. Begitulah diriku dengan Andy. Setelah itu aku mengajaknya
pulang ke kos, tapi Andy menolak. Ia ingin tidur di Lor In. Dekat juga dari
arah kosnya. Aku pun mengabulkan untuk tidur bersamanya.
Sebenarnya bermalam di
hotel bagiku membuang uang banyak. Tapi aku tidak bisa mengelak kehendak bf-ku.
Aku tidak mau membuatnya marah dan yang pasti nanti aku terkesan gak sayang
sama dia. Apalagi kelihatan pelit. Keinginan Andy memang begitu banyak terutama
masalah fashion, makan, ngemall, dan karauke. Sejak mulai akrab sama dia sudah
terlihat watak borosnya, tapi aku merasa enjoy saja. Walau gajiku habis buat
nyenengin dia aku tak peduli. Toh anak dan istriku masih tetap bisa makan
dirumah mertuaku. Jadi aku gak kehilangan akal untuk terus nurutin Andy.
Sudah jam sebelas malam
aku menghabiskan waktu bersama Andy sejak tadi sore berenang di Cokro. Tiada
pernah aku merasakan kedamaian bersama seseorang yang selama ini aku cari.
Inilah detik-detik yang selalu kutunggu, dengannya aku sunyi tapi merasa berdua
dalam satu dunia. Sepi tanpa ada seorang pun yang membuatku amarah dalam
jiwaku. Tidak ada Cantika, Ibu mertuaku yang cerewet walau rindu memeluk putra
semata wayangku, Donny. Aku yakin sekarang Donny sedang tertidur pulas entah
dengan Cantika atau pun dengan kakek neneknya. Tapi malam ini aku ingin bersama
kekasihku, Andy.
Andy ingin menggunakan
HP-ku untuk meng-up-date status Facebook-nya. Tapi di Facebook HP-ku belum aku
log out. Sehingga ia berusaha me-log out terlebih dulu. Andy membaca statusku,
“Habis renang di Cokro,
huft seger….”
Dibawah statusku,
Cantika memberikan komentar yang memuakan.
“Romantisnya hahaha.”
Andy pun tergugah
membuka Facebook Cantika, dan menunjukkannya padaku. Aku sangat terkejut
membaca statusnya.
“Malam ini aku sangat
bahagia bersama kekasihku. Thanks Mas Budi cayangk.”
Banyak komentar dari
teman-temannya. Diantaranya tertulis ucapan selamat punya gebetan baru.
Kemudian dimana Mas Iwan suamimu? Adalagi yang menuliskan komentar, wah siapa
tuh Mas Budi? Yang paling heboh dan menyakitkan adalah status Budi, kekasih
baru Cantika.
“Sama-sama sayangku, I
love u full.”
Cantika pun membalas
komentar dengan mesranya.
“Love you too.
Muaaaaaaaaaaaahhh.”
Aku marah tentunya.
Tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Toh aku pun sedang sama-sama selingkuh. Dan
akhirnya detik-detik yang membuatku semakin pasrah ketika di Facebook Cantika
sendiri sudah mengganti info menikah denganku, diganti dengan bertunangan dengan
Budi. Remuk. Hancur hati ini. Lengkap sudah dan berakhir malam ini. Walau pun
sadar sepenuhnya diriku lari dari kenyataan siapakah yang sebenarnya bersalah,
aku atau Cantika?
Menangis aku pun
menangis sejadi-jadinya. Andy merengkuhku ke dalam pelukannya. Tidak bisa aku
pungkiri aku salah dengan hidup yang aku jalani. Salah dan tidak bisa ingkari
semuanya harus berakhir. Aku tahu besok pagi Cantika akan ke Pengadilan Agama,
menggugat cerai diriku. Siap saja. Toh pada kenyataannya rumah tanggaku sudah
tidak bisa lagi diselamatkan. Tapi aku akan tetap mempertahankan jangan sampai
Donny diasuh oleh Cantika dan mertuaku. Jangan sampai, aku tidak rela. Donny
anak kandungku, putraku. Walau aku harus mengasuhnya sendiri sekalipun, aku
tetap akan bertahan mati-matian mendapatkan hak asuh.
Tidak sekali lagi tidak
untuk bersama perempuan macam Cantika dan mertuaku yang menganggap aku bukan
menantunya. Aku ini sudah dianggap kerbau pembajak sawah, sapi perahan, budak
yang hanya diharapkan gajinya semata. Memangnya aku mesin pencetak uang apa?
Walau pada awalnya mertuaku menganakemaskan diriku, tapi semuanya sudah
berakhir sejak kepergian ibuku. Hancur semuanya. Apakah karena aku menikah
diatas kepura-puraan menuruti keinginan orang tua? Baik orang tuaku, Cantika
pun demikian karena orang tuanya? Sudahlah. Sudah. Rumah tanggaku harus
berakhir, meninggalkan akhir yang pilu. Mendeburkan suasana suram dihatiku.
Ayahku pasti terpukul dan aku yakin akan membelaku mempertahankan hak asuhku.
*
Pagi-pagi sekali aku
ditelpon ayah, mengabarkan kalau hari ini sekitar jam sembilan pagi diminta
mengantarku ke kantor Pengadilan Agama. Tiada lain hanya satu urusan,
perceraian. Aku masih memeluk Andy, tetap mendekapnya begitu erat. Andy tetap
lelap dalam tidurnya. Karena perceraian aku dan Cantika memang akan terjadi.
Gelisah, ya, terpukul, ya. Senang pun tidak. Hanya runyam kurasakan karena
tidak bisa memimpin biduk rumah tangga yang utuh. Aku tidak mampu membahagiakan
ayah, ibu hingga akhirnya akan terjadi hal-hal yang tidak semestinya terjadi.
Tapi memang harus terjadi secepatnya dalam hidupku.
Check out dari Lor In
aku langsung menujur rumah, menemui Ayahku yang sangat aku sayangi. Beliau
menatapku tajam, tanpa kedip ketika aku baru saja melangkahkan kaki di halaman.
Ayahku sedang menyirami bunga-bunga kesayangan Ibu.
Aku menyalaminya.
Mencium jemari tangannya yang keriput. Matanya merah, tak ada suara sepatahpun
terucap darinya.
“Ayah, maafkan Iwan.”
“Maafkan kesalahan
Iwan, Iwan gak bisa mempertahankan rumah tangga dengan Cantika.”
“Sudahlah. Ayo kamu
siap-siap sana. Ganti baju dan kita sarapan di dekat Pengadilan Agama saja.
Biar nggak telat.”
“Iya Ayah.”
Entah sebenarnya kapan
Cantika melaporkan ingin bercerai sehingga pemanggilan diriku harus hari ini.
Bilangnya kemarin baru mau dilaporkan ke Kantor Urusan Agama. Sudahlah aku gak
mau merepotkan masalah ini berlarut-larut. Dan sebentar lagi sidang perceraian
akan dilaksanakan.
*
Sidang berjalan mulus
tidak ada yang memberatkan kedua belah pihak. Alasan yang membuat malu Ayahku
tiada lain karena aku seorang gay. Ayah sangat terpukul. Hak asuh Donny sesuai
rencanaku. Aku berusaha mengasuhnya sebaik-baiknya. Ayahku pun akan selalu
senang hati dan jiwa ikut andil membesarkan cucu satu-satunya.
Barang-barang yang aku
miliki di rumah Cantika sudah kuangkut semua. Donny belum mau aku ajak tinggal
bersamaku. Tapi Ibu mertuaku terus belum rela kalau Donny harus diasuh oleh
seorang ayah seperti. Khawatir kalau Donny akan tertular yang katanya aku
berpenyakit jiwa. Tidak rela cucunya berayah seorang gay. Tapi aku tak peduli.
Semuanya pasti akan berlalu dengan indahnya.
Jelas Donny
meronta-ronta menangis ketika harus berpisah dengan ibunya. Kakek-neneknya
belum ikhlas melepas cucu semata wayangnya. Aku memaksanya ikut tinggal
denganku dan kakeknya, ayahku.
Betapa tangisan anak
adalah sebuah kesabaran tingkat tinggi yang luar biasa mendesak segenap amarah.
Tapi aku tidak boleh marah menghadapi tangisan Donny yang ingin pulang ke rumah
ibunya. Itu sangat wajar bagi anak kecil seusianya. Wajar sekali. Secara
psikologis perkembangan, usia tiga tahun masih sangat dekat emosionalnya dengan
ibu yang memberikan kasih sayang sepenuh hati. Figur ayah belum seberapa besar
pengaruhnya pada anak sekecil itu. Walau pun sangat penting untuk pengayom jiwa
anak.
Ayahku pun tidak begitu
menyoalkan keberadaan ibunya yang harus berpisah dengan Donny. Karena sejak aku
lahir, Ayah dan Ibuku bahu membahu bersama merawat diriku. Sehingga kehadiran
Donny tidak membuatnya kaku. Walau umurnya sudah tidak muda lagi, Ayah tetap bersemangat
menyayangi dan mengasuh cucunya, anakku Donny.
Kepercayaanku pada Ayah
dalam mengasuh Donny sepenuhnya membuatku terlena dengan kekasihku Andy yang makin manja saja, menuruti semua
keinginannya. Hingga aku harus mengorbankan jiwa raga dan hartaku. Dia tipe
pemboros, memaksakan kehendak, kalau tidak dituruti akan marah dan tentun saja
ngambek.
Andy sering membuatku
pusing, menuruti keinginannya yang menguras uangku. Tiap awal bulan pasti
ada-ada saja yang diinginkannya. Aku sampai bokek. Sering meninggalkan Donny,
membuat ayahku kepayahan. Ayahku menjadi sering sakit-sakitan. Padahal aku
sebagai ayahnya malah lebih memperhatikan BF-ku saja. Tidak memedulikan anak
sendiri. Egois sekali diriku.
Bulan ke lima Donny
tinggal dirumahku dengan kakeknya yang sangat memanjakannya membuatnya sudah
kerasan, betah. Ia jarang sekali bertanya keberadaan ibu dan kakek-neneknya.
Walau kadang Cantika atau neneknya menengoknya, tapi Donny sudah tidak mau
diajak pulang. Itu membuatku senang.
Pukulan terberatku
adalah ketika Ayahku mulai sakit-sakitan. Aku harus merawatnya, membesarkan
Donny, dan tentu saja memberikan kasih sayang pada Andy. Tidak terasa
perhatianku membengkak pada BF-ku sendiri. Aku lebih mementingkan perasaanku
yang sudah terlanjur sayang padanya. Sehingga hari-hari siang malamku banyak
kuhabiskan bersamanya. Rasa cinta anak kepada orang tua satu-satunya yang masih
hidup begitu mudah tersisih dalam hidupku. Begitu pula kewajiban diriku sebagai
Ayah Donny sangat renta, tidak sepenuhnya membesarkan secara perhatian dan
memantau perkembangannya.
Aku tidak pernah
percaya lagi dengan statusku sendiri sebagai anak untuk merawat Ayah kandungku
yang sudah tua, sedang sakit, dan tentu Ayah telah paham keadaan diriku. Sosok
pendiamnya memang mendiamkan semua apa yang aku perbuat sekehendakku. Anak
macam apa aku ini. Hingga malaikat pencabut nyawa melaksanakan tugasnya, Ayah
harus berpulang dihadapan-Nya. Inilah aku yang harus kehilangan kedua orang
tua. Tinggal Dony bersamaku. Anak dan ayah yang merana.
Beberapa kali aku
mengajak Andy untuk tinggal serumah denganku, ia menolaknya. Alasannya satu,
anakku Donny akan mengganggunya. Memang Donny walaupun tanpa Ibu disampingnya
pembawaannya tetap riang. Aku mengkondisikan bagaimana dirinya selalu ceria.
Lama-kelamaan, aku tak
tahan untuk selalu menolak keinginan Andy menemaninya sepanjang waktu. Karena
aku jelas mengorbankan Donny. Malam hari yang mencekam Donny sering aku tinggal
tidur sendirian. Pagi baru aku kembali menyiapkan sarapannya, mencuci bajunya,
menemaninya bermain sebentar sebelum
bersamaku berangkat kerja, dan aku membawanya ke penitipan anak.
Ketika aku harus selalu
memerhatikan BF dan anakku, Andy lebih menuntut untuk diperhatikan segalanya.
Aku sudah sangat mencintainya. Tidak bisa berkutik apapun untuk bisa lepas
darinya. Tidak bertemu sehari rasanya hampa. Gila aku ini dibuatnya.
Ketika Donny harus
menahan rasa sakit ketika malam hari terjatuh dari tempat tidur, sementara aku
sedang berada di kos Andy, lantas pagi hari sudah aku temukan anakku sendiri,
sudah meninggal. Betapa sesal tiada berguna aku perbuat. Tega menelantarkan
anak hanya demi mempertahankan hubungan sesama jenis dengan BF-ku yang matre
dan posesif itu. Semuanya berakhir dengan pilu.
Cina yg agak hensem,ws 0182437254
ReplyDelete