Page Tab Header

Thursday, February 14, 2013

Doni, Maafkan Ayah



Doni, Maafkan Ayah




Cerita yang terinspirasi dari kisah nyata. Semoga kita menjadi orang tua yang lebih sayang anak. Selamat membaca!

Jenjang pernikahanku dengan Cantika hanya seumur jagung. Hanya 3 tahun lebih sedikit. Tidak berapa lama setelah pertengkaran hebat itu, Cantika mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Hakim memutuskan aku dan Cantika resmi bercerai. Yang lebih menyedihkan adalah aku harus rela dan berjiwa ayah sekaligus berperan ibu bagi anak darah dagingku sendiri, Doni. Karena Cantika kembali ke keluarganya, dan segera menikah dengan mantan pacarnya ketika mereka berpacaran saat duduk di bangku SMA. Aku tidak sanggup menjadi ayah yang baik bagi Doni.
Bukan aku tidak pintar merawat, bukan. Karena aku sangat sayang pada Doni. Aku memang tidak sepantasnya menjadi ayah buat Doni yang masih kecil itu. Sosok ibu harus ada di dalam kehidupan Doni. Tapi Doni bersamaku adalah juga keinginanku dan juga orang tuaku walau mereka sudah renta dan tidak bisa membantu merawatnya, dan yang memaksakan kehendakku sendiri.
Aku tidak mau dikatakan semua orang bahwa aku bukanlah ayah yang tidak bertanggung jawab. Sehingga aku harus mengambil hak asuh Doni. Padahal Cantika sudah memintaku sepenuhnya kalau Cantika akan membawa Doni, merawatnya setulus hati bersama suami barunya kelak. Tapi aku tidak merelakannya. Cantika menerima keputusanku. Hingga akhirnya Doni harus sering sakit-sakitan karena sering aku tinggal sendirian di rumah, karena aku harus ke rumah bf-ku, menemaninya layaknya seorang suami bagi dirinya. Padahal bf-ku tak lebih dari cowok matre yang manja dan selalu meminta apa saja sekehendaknya. Karena Donni sering sakit, dan lama-kelamaan mengetahuinya kalau aku adalah seorang gay. Donni tertekan jiwanya karena ejekan teman-teman TK-nya. Donni-ku yang masih anak-anak pun paham, hubungan sejenis memang menyakitkan. Anak semata wayangku akhirnya menghembuskan napas terakhir tanpa sepengetahuanku. Donni meninggal dunia saat sedang opnam di rumah sakit. Waktu itu aku tetap setia menemani bf-ku jalan-jalan ke Mall. Hanya sesal tiada akhir yang tidak bisa diperbaiki lagi. Sungguh menyesal aku jadi ayah Donni. Tapi aku ingin mengenangnya buat seluruh manusia. Aku ingin bercerita sepenuh hati. Ini aku anggap sebagai wahana katarsis.
Orang tuaku telah sepakat bahwa sekolah, pekerjaan, sampai jodoh telah dibuatkan skenario terbaik buat siapa lagi kalau bukan untuk aku, anak semata wayang mereka. Bagi kedua orang tuaku yang sangat memperhatikan harkat dan martabat keluarga, pendidikan, karir, serta jodoh yang tepat haruslah sesuai dengan prestis yang mampu paling tidak menjaga kewibawaan keluarga. Syukur bisa menaikan pencintraan diri.
Semuanya berawal dari mengagumi dan tidak bersyukur kepada pemberian yang kuasa. Kalau aku ingin mengenang, memang pahit. Tapi kenangan itu tidak akan pernah hilang dari ingatan, sehingga aku ingin membagikannya dengan bertutur sepenuh hati.
Sebelum aku lulus sarjana teknik di Yogjakarta, ayah dan ibuku pernah mengutarakan sesuatu yang membuatku begitu terkejut. Aku merasa seperti diinterogasi oleh polisi yang suka mengintimidasi. Dan aku harus menjawab pertanyaan yang sebenarnya sederhana bagi siapa pun yang mendengarkannya. Namun bagiku pertanyaan dari ayah dan ibuku begitu mendalam hingga aku harus berpikir keras untuk menjawabnya. Pertanyaan itu seperti ini;

“Iwan, kamu sudah mau wisuda kok belum pernah mengajak pacarmu ke sini?” tanya ibuku.
“Belum punya bu!”
“Ayah harapkan segera dikenalkan pacar kamu ke rumah ini nak? Biar nanti setelah kamu wisuda dan bekerja, ayah rencanakan kapan sebaiknya pernikahanmu dilaksanakan.”
“Iya ayah. Nanti kalau sudah punya Iwan kenalkan.”
“Memang tidak ada yang kamu taksir apa Wan?” tanya ibu.
“Ada Bu. Banyak. Tapi belum cocok saja.”
“Ibu lihat cewek-cewek saat kamu masih SMA banyak main ke sini, pasti mereka naksir sama kamu. Lagian mereka cantik-cantik. Kamu tinggal pilih mana yang kamu suka kan?”
“Ya Ibu. Nanti Iwan kalau sudah punya pacar akan Iwan kenalkan kok. Iwan akan ajak ke rumah ini.”
“Ya sudah kalau begitu misal kamu belum punya pacar, teman ayah punya putri yang mau wisuda juga. Coba kapan-kapan ayah main ke sana. Pak Budiman itu teman baik ayah. Putrinya cantik lo Wan. Mudah-mudah kalian bisa segera berkenalan.”
“Wah ibu kok baru ingat Yah. Namanya mbak Cantika. Bu Budiman kemarin ketemu ibu saat arisan. Mudah-mudahan kalian jodoh.”
“Ya, kita teman sangat akrab dulu.” sambung Ayah Iwan.
“Tapi misal Mbak Cantika sudah punya pacar gimana Yah?”
“Ya gak apa-apa. Namanya juga usaha.” sahut ibu Iwan dengan senyum merekah.

Pertanyaan itu sebenarnya sangat mengganggu hati dan pikiranku. Seakan aku sedang berontak untuk melepaskan dari masalah terbesar dalam hidupku, tapi aku tidak bisa lepas begitu saja. Karena yang menanyakan adalah kedua orang tuaku yang sudah memberikan cinta dan kasihnya sepenuh hati. Mereka telah mengorbankan jiwa raganya hanya untuk aku anak satu-satunya. Sehingga dengan berat hati aku berbohong karena bagaimanapun  nantinya memang aku menyadari pastilah kelak aku menikah.
Memang aku belum pernah membawa teman kuliah satu pun sejak aku duduk dibangku kuliah. Hanya beberapa teman cewek yang bersama-sama aku ajak ke rumah. Karena memang satu profesi sebagai model dan masih sering bertemu di forum alumni dutawisata. Mereka semua adalah teman-teman yang sudah mengetahui siapa sebenarnya aku. Tapi mereka bisa jaga privasiku sehingga orang tuaku tidak sampai mengetahui mengapa aku tidak pernah membawa pacar cewek.
Sebenarnya aku pernah membawa beberapa pacarku ke rumah tanpa sepengetahuan mereka. Karena memang pacarku semuanya cowok. Seingatku lebih dari lima cowok pernah menginap di rumahku. Memang aku kenalkan mereka semua sebagai teman kuliah atau teman dutawisata. Sehingga ayah dan ibuku percaya sepenuhnya padaku.
Betapa aku telah banyak bohong kepada mereka, ayah dan ibu. Hatiku sebenarnya ingin menjerit sekeras-kerasnya terhadap beban hidup ini yang begitu besar rasanya. Sampai hati aku tega bohong sama orang tua. Mendustakan pacarku yang sebenarnya adalah yang pernah beberapa hari menemaniku saat aku sakit kala itu. Sampai ayah dan ibuku mengelukan bf-ku begitu baik mau menemaniku saat aku sedang sakit sekalipun. Bagi mereka aneh, bagiku itu sudah seharusnya. Snebagai tipe bf setia harus menemaniku setiap saat. Namun sebenarnya aku sekarang menyadari betapa kesiasiaan telah menikamku sejak lama. Dan itu mengapa terus menghantuiku hingga aku sangat berat meninggalkan semuanya. Dunia binan memang sudah menjadi bagian hidupku yang susah dan aku sampai saat ini tidak bisa lepas darinya. Walau aku sudah menikah, punya anak sekalipun. Tidak bisa hilang kenangan itu. Otakku mungkin sudah terisi satu jenis pemikiran untuk menyukai sesama jenis saja. Walaupun aku masih bisa berhubungan layaknya suami istri. Semuanya harus hancur. Itu karena aku sendiri. Aku yang harus menanggungnya. Juga anakku nanti. Aku lelaki harus bisa seharusnya menjadi ayah yang pantas buat istriku, anakku, dan keluargaku.
Inilah detik-detik yang selalu terkenang tak akan bisa kulupakan sepanjang sejarah hidupku. Ketika waktu telah begitu dekat mendekati hari wisuda, ayah benar-benar menemui sahabatnya, Pak Budiono. Menanyakan hal ikhwal putrinya, Mbak Cantika itu, dan entah keputusan tuhan atau sebuah mukjizat serta keajaiban yang menyertainya, Mbak Cantika belum punya pacar, dan mau diperkenalkan kepadaku. Aku mendengarkan betapa bersemangat ayah dan ibuku bercerita tentang itu padaku. Aku hanya mengangguk saja, sambil mengimbangi senyum mereka. Walau yang tertampilkan hanyalah senyum palsu dariku.

“Besok malam Minggu ayah sama ibu mau silaturahmi ke rumah Pak Budiono, sekalian ngenalin kamu. Biar Mbak Cantika juga kenal.”
“Ya Wan. Ibu juga harapkan kalian bisa berkenalan disana.” Sambung ibu.
“Ya bu.”
“Ayah sudah telepon Pak Budiono, nanti mau ajak Iwan biar saling kenal sama Mbak Cantika.”
“Kami itu teman kuliah dulu Wan, satu angkatan lagi. Jadi sangat akrab. Tapi karena tugas dinas Pak Budiono di luar Jawa jadi setelah bisa mutasi baru bisa ketemu lagi sama kita-kita.”
“Ayah sudah seperti keluarga sendiri di keluarga Pak Budiono. Begitu juga sebaliknya. Mumpung sudah lama gak ketemu ayah dan ibu ingin jumpa, reuni kecil-kecilan gitu hehehe.”
“Ya. Ibu tuh sama Bu Budiono dulu satu kos lo. Kita selalu kemana-mana bersama. Dari awal kuliah sampai wisuda pun bareng. Tapi setelah berkeluarga kami semua harus berpisah.”
“Nah besok pasti seru karena kita sudah punya anak yang sama-sama sedang kuliah, sama-sama punya anak tunggal. Jadi mudah-mudahan kami bisa besanan.”
“Ya yah. Ibu juga harapkan gitu. Bukan begitu Iwan?”
“Ya bu.”

Mereka bertiga saling tersenyum penuh keharuan dan kegembiraan atas sebuah rencana indah yang masih dalam bayangan itu. Walau aku sedikitpun tidak tertarik. Sama sekali tidak merasa bahagia dengan rencan ayah dan ibu. Sebaliknya, perasaanku begitu tidak menentu. Aku merasakan sesuatu yang menusuk-nusuk dari dalam diriku sendiri. Dari lubuk hatiku terdalam bahwa seandainya aku dikenalkan dengan Mbak Citra putri dari teman ayah, apakah dia juga akan suka padaku? Sebuah pertanyaan yang cukup memberikan kelegaan sebenarnya pada diriku. Aku berharap Mbak Citra tidak suka padaku sehingga bebanku akan terkurangi. Tapi menjalin pertemanan biasa itu lebih baik.
*
Hari perkenalanku dengan Mbak Citra putri teman ayah semakin dekat. Aku hanya tinggal menunggu wisuda saja. Tidak banyak yang kukerjakan dirumah. Aku hanya banyak menghabiskan waktu untuk memainkan piano klasik milik ayah. Sesekali ibu mengiri alunan piano yang kumainkan dengan suaranya. Aku sangat dekat sekali dengan ibu, terlebih saat-saat seperti ini ketika suasana perkuliahan yang baru saja selesai begitu cepatnya harus berhenti karena memang aku sudah selesai beban kredit semester yang telah ku ambil semua.
Waktu tidak bisa diputar lagi. Waktu bukan emas yang bisa dicari dengan kerja keras untuk meraih hiasan indah itu. Tapi waktu adalah kesempatan yang tidak datang dua kali seumur hidup, terus berputar. Tidak dapat ditarik kembali menjadi sejarah tiap manusia. Tiada terasa bahwa nanti malam adalah momen yang tidak akan terlupakan dalam sejarahku bertemu dengan seorang cewek yang sesungguhnya dia tidaklah pantas untuk istriku. Dia begitu cantik dan sederhana.
Ayah dan ibu sudah bersiap diri sebaik mungkin. Ayah dan Ibu mengajakku pergi ke salon. Aku  sekedar ingin facial dan creambath saja. Ayah pun ingin mempermuda diri dengan menyemir hitam rambutnya. Lebih gila lagi ibuku yang ingin tampil lebih modis bertemu teman dekatnya saat kuliah dulu. Ke salon menjadikan sarana mematut diri lebih baik.
Senja kala bertabur cahaya yang menerangi lampu di rumah elit kawasan Tembalang Semarang, dekat dengan Universitas Diponegoro begitu membuatku semakin bergidig saja. Padahal ayah dan ibu semakin asyik ngobrol kenangan-kenangan bersama teman lama mereka, Pak Budiono.
Dengan keramahan bagai tamu paling terhormat, Pak Budiono beserta seluruh keluarganya yang hanya terdiri dari istri dan putri semata wayangnya, Cantika. Mereka saling berpelukan tiada henti-hentinya saling merona wajah-wajah yang menahan kangen tiada tara itu bercampur jadi satu. Gelak tawa membahana ruang tamu.

“Budi, ini lo anak ku Iwan yang mau wisuda itu?”
“Oalah Mas Iwan ganteng banget kayak artis saja hehehe.” Sambut Bu Budiono sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Tante biasa saja kok. Jelek gini dibilang ganteng.” Sambil malu-malu tersenyum.
“Wah Mbak Cantika udah punya pacar lom?”
“Belom Om?” sambil senyum kecil Cantika menjawab pertanyaan ayah Iwan.
“Nah sekarang kalian berdua bisa ngobrol-ngobrol sambil saling kenal ya, kami mau reunian hehehe.”
“Ya Ma.”
“Cantika, kamu ajak Mas Iwan makan ya?”
“Ya bu.”
“Ayo Mas Iwan, makan bareng sana sama Cantika?”
“Ya tante. Makasih tante.”
“Ayo semuanya selamat makan di rumah saya, anggap rumah sendiri deh!”
“Ok. Wah banyak sekali masakannya, sampai bingung nih. Bu Budiono jago masak hahaha.” ayah Iwan memuji Bu Budiono, yang dipuji tersipu.
“Sering-sering aja tante masak-masak yang enak, terus kita diundang pasti datang hehehe.”
“Beres Mas Iwan. Nanti tante masakin yang lebih enak lagi biar kamu kerasan disini ya nak?”
“Ya tante.”
“Tante kapan gantian berkunjung ke rumah Iwan?”
“Itu bisa diatur, kapan saja bisa. Kita kan udah pindahan ke Jawa jadi gampang ke sana ke mari.”
“Jangan lupa ya Jeng, Mbak Cantika diajak lo hehehe? sambung ibunya Iwan.
“Pasti dong hahaha.”

Suasana rumah begitu meriah. Dinner yang sangat harmonis diantara dua keluarga itu. Tidak ada yang menunjukkan saling memahami salah satu sudut hati diantara mereka. Karena yang ada hanyalah temu kangen. Namun disatu pihak ada dua hati yang terasa ikut larut bersama untuk mencairkan suasana. Situasi memang mendukung demikian. Apa dikata, gayung bersambut, ucapan kata-kata mampu memberikan komunikasi yang efektif bagi dua insan seumuran.
Adalah Iwan dan Cantika yang merasakan sebuah kepenatan pada awal mulanya. Kikuk bercampur malu. Tapi situasi memberikan pelajaran alamiah kepada mereka. Iwan mencoba lebih manly bersikap. Ia tunjukkan citra maskulin sejati di hadapan perempuan cantik yang mengenakan gaun malam warna putih keperakan itu. Sambil sesekali menyelipkan gurauan masing-masing, mereka berdua begitu cepat akrab.

“Wan, kamu kapan wisuda?”
“Dua minggu lagi. Lah kamu kapan?”
“Aku sudah wisuda. Lagi nunggu panggilan interview di perusahaan ayah. Kebetulan perusahaan itu milik saudara ayah.”
“Kamu nanti kerja di bagian apa rencananya?”
“Aku di personalia.”
“Masuk HRD ya?”
“Begitulah.”
“Asyik dong. Habis wisuda langsung dapat kerja, lah aku juga mau dibantu ayah carikan kerja, kata ayah aku mau dititipkan di perusahaan milik sahabatnya. Di bagian PR.”
“Wow, karena kamu pinter komunikasi, pinter bergaul pastinya ayah gak salah pilih nitipin kamu ke perusahaan sahabatnya.”
“Mudah-mudahan demikian.”
“Cantika cowoknya anak mana?”
“Ah kamu kok nanya gitu sih?”
“Ya maaf kalau menyinggung perasaan kamu.”
“Hmm. Aku belum boleh pacaran sama ibu dan ayah. Kata ayah, aku mau dijodohin. Dan memang aku setelah putus sama cowokku pertengahan kuliah, sebenarnya sih aku pacaran diam-diam, biar gak ketahuan orang tuaku, aku sampai sekarang ngejomblo aja sih.” Sambung Cantika dengan cukup antusias.
“Aku masih pengen sendiri dulu. Jadi wanita karir hehehe.”
“Oh gitu ya!”
“Bagus kalau begitu.” Sambung Iwan.
“By the way, kamu sudah punya pacar belum Wan?”
“Belum hehehe.”
“Masa sih. Cowok seganteng kamu kok belum punya?”
“Bener.”
“Ah bohong banget kamu.”
“Eh gak percaya. Jujur belum punya. Sama kayak kamu. Aku single. Hehehe.”

Bu Budiono denga langkah cepat menghampiri Iwan dan Cantika yang sedang asyik ngobrol di teras. Sambil membawa dua toples berisi makanan ia berseloroh penuh senyum natural.

“Nah kalian ternyata cepat sekali akrab.”
“Ya tante.” Iwan mengangguk.
“Ayo dimakan semuanya ya. Habiskan kue-kue bikinan tante dan Cantika.”
“Pasti tante, jangan khawatir, Iwan doyan banget kalau disuruh makan.”
“Ya sudah ya, tante tinggal dulu, masih reunian sama ayah dan ibu kamu nak hehehe.”
“Ya Bu.” Jawab Cantika sekedarnya.

Suasana obrolan dua pasangan yang sudah lama tidak jumpa begitu cair. Gelak tawa bebas lepas tiada henti. Mengenang masa-masa indah persahabatan dulu dan cerita yang tiada pernah habis ide dan mengolah secara empat arah bahkan saling sindir yang mengguraukan suasana terasa manis itu bagaikan sebuah opera yang sedang di tonton jutaan penggemar. Live perfomance tanpa skneario. Hanyalah pelepasan rindu semata.
Diantara obrolan yang tiada habis-habis itu, ayah Iwan berseloroh pelan tapi serius kepada Pak Budiono dan istrinya. Ibu Iwan sambil masih senyum-senyum menyimak baik-baik perkataan suami tercintanya.

“Mbak Cantika bener belum punya pacar?”
“Belum kok. Saya memang larang dulu untuk berpacaran sejak SMA. Berteman boleh, tapi untuk pacaran nanti saja kalau sudah lulus kuliah dan harus segera menikah. Itu nasihat saya. Biar gak kebablasan.” Ibu Cantika yang menjawabnya.
“Bagus malah kalau gitu!”
“Nah gimana kalau anakku Iwan dan Mbak Cantika kita jodohkan saja?”
“Bisa tuh. Biar kita makin erat saja hahaha.”
“Coba nanti aku tanya si Cantika dulu ya?”
“Okelah jeng.”
“Kita harus sabar menghadapi anak yang sudah besar. Walau kita gampang memberikan nasihat, tapi kadang kemauan mereka harus diperhatikan juga.”
“Benar juga. Malah kita sebagai orang tua sebaiknya begitu, bisa memberikan pilihan yang terbaik untuk mereka. Apalagi soal jodoh.”
“Tapi kayaknya mereka berdua langsung akrab kan?”
“Iya. Mudah-mudahan tidak hanya akrab saja tapi lebih dari itu.”
“Ya juga sih.” Lanjut Pak Budiono.
“Atau biar mereka saling kenal dulu, biar lebih dekat?”
“Itu lebih baik. Daripada harus dipaksakan malah semakin menjauh nantinya.”

Perbincangan seru dua pasang suami istri itu semakin larut malam. Iwan tak berani pamit lebih dulu. Padahal sebenarnya dirinya sudah bete banget ingin segera pulang. Karena besok harus menjadi salah satu model untuk pemotretan sebuah produk fashion for men. Sehingga ia merasa harus istirahat cukup. Tapi waktu memang tidak bisa ditawar, terus berputar.
Akhirnya sambil membawa kebahagiaan yang tercurahkan setelah lama tak berjumpa, dua pasang suami istri beserta masing-masing anak tunggalnya berpamitan bersama. Diringi gelak tawa riuh rendah yang menentramkan hati.
*

Seiring berjalannya waktu, aku tidak berpikir secepat kilat bahwa tawaran ayah ibuku begitu kuat mencengkram hidupku. Aku hanya bisa mengangguk dan mengiyakan apa yang diminta kedua orangtuaku.
Suatu hari entah siapa yang harus aku salahkan, dirikukah yang telah menerima tawaran bahwa aku memang mau menjadi suami Cantika, tetapi hanya bibirku saja. Padahal hatiku merasa biasa saja. Aku hanya tidak mau dikatakan tidak mau menuruti orang tua dan tentu saja tidak akan pernah mau dikatakan pria tidak normal. Seperti inilah kelemahanku, aku hanya bisa pasrah kepada keadaan.
Cantika pun semakin mendekat dalam posisi sebagai calon istriku. Dia pun tidak mengerti sebenarnya bagaimana perasaanku kepadanya. Aku hanya menampilkan yang terbaik bahwa aku mencintainya. Dan dia pun mencintaiku. Sekalipun tidak terbesit kata cinta dihatiku, namun bibirku itu mampu menyampaikannya. Begitu lancar dan tidak ada cela sedikitpun. Semuanya berjalan mulus hingga di acara pertunangan tiba.
Aku dan Cantika akhir-akhir menjelang wisudaku sering aku ajak jalan ke mall, makan bareng disana, nonton film dan karaoke. Semuanya tidak ada yang menyangka bahwa teman-teman binanku kaget, dan mereka mendukungku untuk segera menikah walau aku semakin iri saja karena teman-temanku dengan bf mereka tambah banyak saja yang sudah gonta-ganti pasangan dan lebih cakep tentunya.
Aku hanya tersenyum kalau disapa mereka. Belum lama aku sering kumpul di foodcourt dengan mereka. Sekarang aku harus jaim karena aku akan segera menikah. Meninggalkan dunia binan begitu sulit kurasakan. Tapi aku harus bisa mengenyahkan pikiran yang tidak seharusnya aku larut kepada perasaan atau aku ingin terus mengagumi ketampanan belaka. Padahal sudah menanti dengan pasti sosok wanita yang akan menjadi istriku, Cantika.
Setelah wisuda aku sangat beruntung langsung mendapatkan pekerjaan atas rekomendasi ayahku disebuah perusahaan yang bergerak di bidang furniture. Posisiku di bagian kearsipan. Selang tiga bulan bekerja, ayah dan ibuku memberikan kejutan yang sangat membuatku shock. Lamaran akan dilaksanakan dua minggu lagi. Aku hanya mengiyakan saja. Padahal dalam hati bicara secara jujur bahwa rasa cinta ini tidak ada sama sekali. Entah apa yang membuatku tidak  bisa berdecak kagum pada Cantika. Padahal ia sangat cantik. Teman-teman kantorku pun sudah mengetahui tunanganku itu. Semuanya mengatakan padaku bahwa Cantika cantiknya kebangetan. Aku tidak habis pikir. Dan aku tidak mau membuat ayah dan ibuku kecewa. Bukankah aku anak tunggal mereka yang sepenuhnya mencurahkan cinta dan sayangnya untukku? Aku harus bisa membahagiakan mereka. Harus. Apapun yang terjadi memang sudah seharusnya aku berbuat seperti itu. Karena mereka lah, ayah dan ibu, aku ada di dunia ini. Setulus cintanya yang begitu besar hanya buatku semata. Aku anak semata wayang mereka yang didambakan mampu meneruskan generasi keluarga berikutnya. Kalau sampai aku tidak menikah lantas siapa lagi.
Ayah dan ibuku sibuk menyiapkan acara lamaranku yang tinggal beberapa hari lagi. Karena saudara dari orang tuaku memang tunggal semua dan berada di luar kota, Pak De dari ibuku-lah yang ikut membersamai acara lamarannya nanti bersama dengan salah satu sahabat ayah dan juga sahabat calon mertuaku. Reuni semasa kuliah akan terjadi lagi nanti saat lamaranku dengan Cantika seperti saat aku pertama kali berkunjung ke rumahnya bersama kedua orang tuaku.
Hatiku berdetak semakin cepat dari hari ke hari. Debaran yang aneh kurasakan. Antara keraguan dan kebimbangan tapi harus aku upayakan bertampang serius dihadapan ayah dan ibu, dan juga tentu saja menjaga sikapku dihadapan Cantika dan calon mertuaku yang sangat bersahaja itu. Persahabatan kedua orang tuaku berlanjut hingga ke tingkat ikatan perkawinan kelak.
Hari-hari setelah lamaran, aku mulai membantu persiapan yang sangat memakan pikiran. Walau dari pihak Cantika, calon istriku sudah memercayakan sepenuhnya untuk ditangani oleh sebuah wedding organizer kenamaan, namun pikiranku bergelayut terus-menerus. Dalam hati selalu berbicara apakah aku sanggup membahagiakan Cantika? Karena selama masa kenalan dengan dia, katakanlah kami berdua menjalin pacaran semu bagiku, aku sekali menciumnya. Memeluknya pun kadang-kadang saja. Aku hanya mencoba menjadi pria yang mampu menyejukan dan membahagiakan dia. Padahal keraguan mendalam yang mendera dihatiku begitu pilu kurasakan.
Persiapan mental adalah jalan satu-satunya yang harus kutempuh untuk menjadi lelaki sejati. Tidak hanya itu saja, aku harus benar-benar bersih dari pergaulanku yang sudah lalu. Bergaul dengan para binan. Untuk itu, selang sebulan aku mengganti nomor HP. Ini untuk kenyamanan dan menjaga privasiku dengan istriku kelak, supaya jangan sampai ada pesan masuk yang mencurigakan. Hanya teman-teman normalku saja yang aku beri tahu nomor baruku, tentunya juga Cantika, keluargaku, saudaraku dan teman-teman di kantor. Aku tidak mau semuanya hancur gara-gara ada pesan atau mungkin panggilan telepon yang tidak diinginkan. Semuanya harus diperbarui. Secara holistik tentunya. Biar semuanya sesuai dengan keinginan hati yang paling kecil ini. Bahwa sebenarnya aku ini pada mulanya adalah lelaki normal. Tapi entah mengapa aku bisa terjerembab di gunia binan yang kelam itu. Dunia semu tanpa status cinta yang jelas. Hanyalah napsu birahi semata yang diumbar. Dan aku harap dengan menikah itulah semuanya akan sembuh dan aku akan mendapatkan cinta sejati walau itu harus dengan kepura-puraan terlebih dahulu. Bukankah sebagai orang Jawa aku sangat percaya bahwa tresna jalaran soko kulina? Cinta disebabkan karena sering berjumpa.
Aku harap dengan menikahi Cantika, hari-hariku akan selalu bersamanya sehingga akan tumbuh rasa cinta.
*

Cantika merasakan begitu senang dan bahagia mendapatkan calon suami seperti yang diidamkannya. Iwan yang sangat memesona ketampanannya, ditambah dengan tingkat intelektua yang cerdas, dan penyayang. Tidak hanya sayang kepada dirinya, ayah dan ibunya pun sangat disayanginya. Sebuah pencitraan yang mampu disembunyikan oleh Iwan. Ia berkeyakinan bahwa Iwanlah yang akan terus mencintainya hingga mati kelak. Membesarkan anak-anak sepenuh jiwa dengan cinta berdua sehingga keinginan ayah dan ibunya untuk segera menimang cucu menjadi sebuah kebahagiaan tak terkira sudah didepan mata. Angan dan rencana akan menjadi kenyataan pasti.
Lamunan Cantika terus melambung hingga tak sadar saat disampingnya sambil mengelus pipi dan sesekali membelai rambutnya yang selesembut sutra, sosok yang selalu membuatnya sejuk dihati ikut tersenyum.

“Lagi mikiran apa Cantika sayang?”
“Oh gak mikirin apa-apa kok bu.”
“Hmm pasti mikirin Mas Iwan kan hehehe?”
“Ihh ibu kok bisa aja sih tahu yang Cantika pikirin?”
“Lah ibu kan pernah muda sayang. Saat mau nikah kadang terbayang sesuatu yang indah banget. Kadang juga malah sebel sendiri. Pokoknya campur aduk.”
“Tapi Cantika yakin bu sama Mas Iwan. Sangat percaya kalau Mas Iwan akan bahagiakan aku kelak, menjadi ayah yang baik bagi anak-anak. Dan pasti sayang sama mertua hehehe.”
“Ibu lihat juga gitu Cantika. Mas Iwan memang pria dewasa yang sudah matang, cerdas, berpendidikan dan mampu menyayangi calon istrinya.”
“Ayo makan dulu sayang?”
“Ya Bu. Bentar ada yang nelpon Cantika bu!”

Cantika menuju kamarnya mengambil HP yang sedang berdering diatas meja. Ia meraihnya. Nama Mas Iwan muncul di layar touch screen itu.

“Assalamu’alaikum Mas Iwan?”
“Wa’alaikum salam Cantika. Lagi ngapain sayang?”
“Mau makan sama ayah dan ibu. Mas Iwan lagi ngapain disana?”
“Baru saja makan. Sama ayah dan ibu juga.”
“Oh gitu.”
“Cantika, aku mau ganti nomor HP ya, biar nomor operatorku dan nomor operatormu sama. OK? Nanti aku sms deh nomor baruku ya?”
“OK deh mas. Cantika tunggu.”
“Ya dah met makan malam ya, salam buat ayah dan ibu ya?”
“Nanti Cantika salamin sayang?”
“Udah dulu ya. Assalamu’alaikum?”
“Waalaikum salam.”

Tut tut tut.

Selang beberapa menit kemudian ada pesan masuk di HP Cantika. Sebuah nomor baru. Cantika masih berjalan menuju ruang makan keluarga.
From: 08XXXXX

Cantika, ni no Iwan. Save ea?

Dengan cekatan Cantika segera menyimpan nomor baru Iwan. Lantas ia membalas pesan itu.

Reply:

Ea Mas Iwan. Udah Cantika Save kok.

Beberapa detik selanjutnya Iwan membalasnya. Dan Cantika membukanya dengan senyum mengembang yang diiringi oleh senyum ayah dan ibunya. Suami istri itu sedang duduk menunggu putri satu-satunya ikut menikmati makan malam bersama.

From: Mas Iwan

Sama2 sayang 

Cantika menghampiri ayah dan ibunya sambil terus mengembangkan senyum naturalnya yang lebar. Kedua orang tuanya pun sambil menatap putri satu-satunya tidak lepas menghentikan senyuman kebahagiaan itu. Mereka menikmati makan malam bersama dengan rileks, santai diselingin canda tawa keluarga kecil yang sedang menantikan terbentuknya sebuah keluarga baru antara putri mereka, Cantika dan calon menantu idaman yang sangat disayang dan dinantikan, Mas Iwan.
Karena hari pelaksanaan pernikahan sudah dekat, kesiapan yang diutamakan semakin ditingkatkan. Kesibukan dengan sinergi yang penuh berseri itu terasa begitu ringan dan walau melelahkan tapi nuansa keharmonisan keluarga mencerminkan betapa perpaduan dua keluarga yang sudah menjalin persahabatan sejak kuliah akan semakin meningkat dengan hubungan sangat spesial yaitu besanan.
Iwan merupakan sosok pria idaman siapapun. Ganteng, intelek, sudah mapan secara pekerjaan, ramah, dan dari keluarga terhormat.
*

Undangan pernikahan antara Cantika Prihatika dengan Iwan Wirawan sudah tersebar pada kerabat, rekan, sahabat dan kolega. Pelaksanaannya tinggal satu minggu lagi. Bertempat di rumah kediaman Cantika yang cukup besar itu, resepsi pernikahan pun akan dibuat seromantis mungkin. Mengambil tema “A Romantic Wedding” dengan ornamen dan nuansa seromantis mungkin akan membuat takjub semua yang hadir pada acara pernikahan sepasang insan itu.
Cantika mengundang sahabat-sahabat semasa SMP dan SMA. Karena kuliahnya di luar Jawa, semua sahabat kuliahnya tidak ada yang bisa hadir. Ucapan selamat menempuh hidup baru kepadanya. Permohonan maaf tidak bisa menghadiri hari paling spesial dan momen khusus seumur hidup itu silih berganti, baik melalui HP maupun Facebook.
Lain hal dengan Iwan yang hanya mengundang sahabat-sahabat terdekatnya saja. Terutama sahabat ketika ia SMA. Sedikit sekali sahabatnya di bangku kuliah yang ia undang. Selektif. Ia berharap jangan sampai teman-teman binan atau bahkan mantan BF-nya akan hadir di acara resepsi pernikahannya. Iwan ingin mengubur masa lalunya itu.
Bagaimana pun aku tidak akan pernah berhubungan dengan yang namanya cowok. Apapun yang terjadi aku sudah membulatkan tekad untuk sembuh dari penyakit jiwa ini. Walau berat melupakan kenangan bersama beberapa mantan BF-ku, tapi aku harus bisa menunjukkan betapa aku segera menjadi seorang suami yang harus gentle dan pasti manly dihadapan istri dan besanku kelak.
Jangan sampai aku terlihat oleh sesama binan yang sudah aku kenal, walau dengan sangat baik pun, mereka tidak boleh hadir pada acara yang paling bersejarah dalam hidupku. Jangan sampai terjadi. Aku tidak mau melihat mereka, cowok-cowok sakit jiwa itu. Secakep, atletis seperti para finalis L-Men pun, aku tidak akan menaruh hati secuilpun. Aku harap aku kembali normal seperti semula. Karena memang aku bukanlah pria sakit seperti yang pernah aku alami. Tuhan aku ingin sembuh.
Hari-hariku terasa panjang. Tiada pernah aku merasakan saat-saat yang paling mendebarkan dari detik ke detik dengan begitu bermakna. Suasana rumahku pun membuatku semakin terharu saja. Ayah dan ibuku beserta tetanggaku, dan juga kerabat dekat dari pihak ayah terutama saling membantu menyiapkan untuk hari pernikahanku. Mereka sangat antusias sekali karena aku adalah anak semata wayang yang sangat dibanggakana sehingga nuansa seperti ini pastilah membuat semua yang menatapku dan mereka pun sebenarnya merasakan detik-detik yang khusus untuk menuju pelaminanku yang tinggal beberapa hari lagi.
Perasaanku kadang kacau tidak menentu. Sesekali aku menatap kartu undangan yang tersisa di atas meja kamarku dengan sedikit menyunggingkan bibir. Tiga buah foto pre wedding dengan senyum antara aku dan Cantika menatap rembulan purnama dengan ornamen klasik itu benar-benar membuatku kadang tidak mengerti mengapa aku akan menikah dengannya? Tidak satu pun pemikiran melintas sejauh ini. Aku hanya bisa mengiyakan saja. Harapan bahwa mudah-mudahan dengan menikah orientasi seksualku kembali normal. Dan aku bisa hidup dengan wajar seperti layaknya orang di mata masyarakat.
Untuk mengusir kegalauan hati yang naik turun debarannya, aku mencoba mengusirnya dengan memutar lagu-lagu kesayanganku yang mampu membuatku semakin bisa menguatkan diri tentang arti pernikahan kelak. Ku dengarkan syair lagu berjudul Symphony yang Indah yang dinyanyikan oleh Once Mekel dengan begitu merdu dan syahdu. Kata-kata lembut yang mampu menggelorakan hati untuk kemudian bersatu padu di hari yang paling bersejarah itu. Pernikahan.
Begitu asyik mendengarkan lagu itu, sehingga aku tidak bosan-bosannya untuk berkali-kali menyimak. Kadang bahkan aku sembari ikut bernyanyi bersama Once. Di winamp yang sedang menyala itu, hanya satu lagu saja, Symphony yang Indah. Aku begitu menghayati arti kebahagiaan dalam pernikahan. Tidak hanya saat haru ketika aku beberapa kali menghadiri ijab qabul teman dan resepsinya, karena unsur ruhiyah yang menjelma dihati dengan kekuatan Maha-Nya mampu menentramkan jiwa manusia. Sehingga aku tidak keliru kalau menikah dengan Cantika yang tinggal menghitung hari saja. Karena walau aku tidak mencintainya pun aku punya harapan akan tumbuh benih-benih cintaku padanya.
Tidak terasa malam berganti malam dengan nuansa penuh debar akan hari pelaksanaan pernikahanku. Aku usahakan tetap tersenyum kepada siapapun yang berjumpa denganku. Ledekan khas calon pengantin baru senantiasa aku terima dari tetangga, rekan kerja kantor dan juga sahabat-sahabatku. Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya.
Saat aku membuka Facebook normalku, karena aku punya dua facebook, yang satu tentu saja aku khususkan untuk wahana pertemanku dengan para binan, betapa para teman-teman di Facebook menyambut berita pernikahanku dengan sangat antusias. Mereka semua mendoakan diriku agar kelak bisa membina rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Sebuah keluarga yang tenang, penuh kedamaian dan kasih sayang.
Karena dua minggu sebelum hari pelaksanaan pernikahanku, aku memang menggunakan foto profil pre weddingku. Sehingga di bagian komentar foto profil terpampang banyak sekali komentar yang senantiasa membuatku tersenyum sangat terharu membacanya dan pasti merasakannya. Betapa nikmat kurasakan menyimak doa-doa dan harapan dari teman-temanku karena menikah akan segera dilaksanakan.
Di Facebook yang khusus para binan pun banyak yang sudah mengetahui kalau diriku akan menikah. Walau aku belum pernah memasang status yang menunjukkan kalau pernikahanku akan segera dihelat, apalagi memasang foto profil pre weddingku dengan Cantika. Tidak mungkin aku melakukannya. Sangatlah munafik diriku yang masih menyimpan rasa menyukai sesama jenis dan tentu saja mengagumi cowok tampan akan menikah. Padahal aku ingin sekali membuang perasaan itu sejauh-jauhnya. Agar aku sembuh total dari penyakit jiwa ini. Walau aku sadar orientasi seksual memang terbentu karena sistem otak dan saraf yang saling sinergi satu sama lain dengan hubungan sebab akibat terus menerus sehingga sulit disembuhkan. Aku sadar, ini menjadi kerusakan permanen yang kurasakan betapa beratnya untuk meninggalkan dunia semu ini walau kadang aku butuh tempat penyaluran yang kini sekarang harus aku tinggalkan.
Aku sengaja menata semua foto, status, daftar pertemanan, info supaya tidak bisa diakses oleh siapapun agar keberadaanku tidak diketahui banyak orang. Karena aku pahami bahwa semakin hari jumlah para binan semakin meningkat. Entah fenomena apa ini? Entah mengapa orientasi seksual sejenis menjadi menjamur.
Dalam pikiranku apakah Facebook yang khusus para binan aku buang saja ya? Tapi entah bagaimana pun aku harus bisa menjaga rahasia ini sebaik mungkin. Kalau dibuang caranya gimana ya? Aku terus berpikir. Akhirnya satu aku membiarkannya saja. Tapi aku memang menghindari membuka Facebook yang itu, aku lebih berusaha meng up date status atau memberikan komentar, menjawab komentar di Facebookku yang normal.
Walau aku sudah mengganti nomor handphone-ku, tapi aku merasakan sebuah kesepian yang mendera jiwa. Entah mengapa hal ini bisa terjadi dalam hidupku. Kadang aku merasa tidak ada sebuah perhatian yang mengarah pada ranah afektifku yang menuju ke sebuah pertemanan serius. Sebuah perbincangan yang seru dan asyik tidak bisa aku dapatkan dengan teman-teman normal. Aku masih saja merasakan betapa asyik dan heboh saling mengirim sms, membalas sms dari teman-teman sesama binan. Dan aku harus menghentikannya selamanya. Bisakah aku? Karena aku akan menjadi seorang suami sehingga harus bisa memutuskan mata rantai hubunganku dengan para binan yang bisa merusak pernikahanku, merusak citraku dihadapan mertuaku, orang tuaku, sahabatku, dan rekan-rekanku. Ini harus aku hentikan bagaimana pun caranya. Yang jelas aku membiarkan diriku menahan diri untuk tidak membuka Facebook tidak normalku. Harus bisa. Itu sumpahku untuk diriku sendiri. Bagaimanapun aku akan segera membuka lembar hidup baru yang belum terbayangkan sebelumnya. Keraguan menjalin cinta dengan status pernikahan akankah mampu membuatku normal? Hantu yang menakutkan bagaikan monster sepanjang hidup yang terus bergentayangan.
*
Dua hari menjelang hari pelaksanaan pernikahan, Cantika mengirimku sebuab pesan singkat yang membuatku sangat haru. Sampai aku menitikan air mata. Tidak bisa berkata-kata dibuatnya. Sebuah kalimat yang langsung menyentakan detak jantungku, dan itu membuatku tersadar sepenuhnya bahwa aku akan segera menjadi seorang suami dari dia, Cantika.

From: Cantika

Mas Iwan tampan, suamiku sayang, aku harap kita bisa hidup bersama selamanya

Sejenak aku hanya menghela napas untuk  menenangkan diri membaca pesan singkat Cantika. Aku tidak bisa langsung membalasnya, entah kata-kata apa yang tepat untuk mengucapkan sesuatu yang mampu mengimbangi kalimat tersebut. Lama nian aku berpikir. Akhirnya aku menuliskan balasan singkat dari SMS itu.

To: Cantika

Aku juga istriku Cantika sayang.

Tidak lama selang beberapa detik aku mendapatkan SMS dari Cantika kembali dengan kata-kata yang menusuk jantungku, bahkan hingga ke ulu hati. Sangat tajam kata-katanya. Aku tidak berkutik. Sambil merebahkan diri diatas tempat tidur aku membacanya berulang-ulang. Karena Cantika adalah calon istriku, padahal kalau orang lain yang menerima SMS dari kekasih apalagi calon istri akan menganggapnya tidak berlebihan seperti diriku. Apakah aku karena pura-pura cinta padanya?

From: Cantika

I Love you Mas Iwan

Jemariku menuntunku mengarahkan ke keypad. Mengetik balasan yang membuatku menangis haru. Aku ini calon suaminya. Hatiku berkata pelan,

“Bahagiakan dia Iwan?”

Balasan SMS ini untuk  Cantika aku harap mampu membahagiakannya.

To: Cantika

Love you too Cantika
*

Tibalah hari bersejarah itu.
Aku bersama ayah dan ibuku beserta sanak kerabat handai tolan mengiriku menuju rumah calon istriku. Ijab Qabul akan dilaksanakan jam 8 pagi. Jam tujuh aku sudah siap, tidak hanya aku saja, rombongan pengantin pria tinggal berangkat untuk menyaksikan perhelatan bersejarah yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hayatku nanti.
Dengan menaiki mobil didampingi  ayah dan ibu, aku merasa lebih nyaman. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya diam seribu bahasa menikmati suasana hati yang tidak tenang. Sambil memandang ke arah jalan kiri dan kanan, aku mencoba berpikir jernih bagaimana nanti suasana Ijab Qabul itu. Walau aku sudah menghapalkannya namun hatiku tetap saja gundah bercampur resah menjadi satu secara simultan. Apajadinya nanti kalau aku sampai lupa melafalkan kata-kata saat Ijab Qabul. Tidak hanya itu saja, aku tidak kuasa menahan air mata membayangkan senyum Cantika dan kedua orang tuanya, sementara aku hanya bisa terdiam saja diatas kepura-puraan ini.
Pura-pura aku mau menikahi Cantika. Walau aku tidak ada perasaan cinta sama sekali. Tetapi mengapa aku mau saja dengan peristiwa yang sangat mendera ini? Apakah karena sebuah pencitraan yang akan aku bangun bahwa aku ini memang normal dan harus menunjukkan dengan acara pernikahan segala? Apakah aku pantas menjadi suami yang baik untuk Cantika, menjadi menantu untuk besan orang tuaku? Apakah aku rela dengan diri sendiri mengorbankan naluri yang harus dibeli dengan penciptaan keadaan yang justru menyiksaku sendiri ini? Apakah aku rela membohongi mereka yang sangat tulus memberikan kepercayaan sepenuhnya padaku? Aku tidak kuat menahan semua ini. Aku hanya memegangi kepalaku sambil menunduk.

“Kenapa Iwan, pusing ya?” Ibuku menyapaku.
“Agak pening bu!”
“Udah sarapan kan tadi?”
“Udah kan sama ibu.”
“Masuk angin mungkin kamu nak.”
“Gak tahu ini bu, agak mual juga.”
“Ibu pijitin ya?”

Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan ini. Sebenarnya aku hanya terlintas nanti bagaimana aku akan mengucapkan kata-kata sewaktu penghulu mulai melaksanakan tugasnya. Aku akan dinikahkan dengan Cantika. Harusnya aku bahagia ketika keinginan semua orang untuk berumah tangga sudah di depan mata. Tapi entahlah. Aku malah ragu akan hal ini.
Perlahan-lahan kurasakan uluran tangan hangat dan lembut menyentuh leher bagian belakangku. Memijitnya pelan dan penuh kasih sayang. Sesekali ibu menempelkan tangannya dikeningku.

“Agak panas nak?”
“Gak apa-apa bu. Iwan baik-baik saja.”
“Mau muntah gak?”
“Agak mual tapi gak pengen muntah kok.”
“Ya udah gak apa-apa berarti kalau gituh.”
“Kita hampir sampai di rumah calon istrimu nak. Ayo rapikan jas mu, dasimu juga.”

Ibuku dengan penuh perhatian membantu mengencangkan dasiku yang memang sudah aku buka saat baru mulai perjalanan. Aku merasa gerah saja. Ibuku menyarankan mengikat dasi satu kali saja karena kalau memakai jas, ujung dasi yang dekat dengan leher kalau diikatkan sebanyak dua kali akan terlihat besar dan lucu. Sehingga tidak enak dilihat. Aku pun mengiyakan dan memang saat aku dulu mendapatkan pembekalan perfoming art di karantina pemilihan duta wisata instrukturku pun menjelaskan demikian.
Mobil berhenti. Akhirnya sampai juga di rumah Cantika. Ayah, ibuku dan para pengiringku satu-persatu keluar dari dalam mobil. Aku hanya terpekur melihat tarub beserta kursi-kursi tamu yang banyak berjejer. Walau masih di dalam mobil mataku langsung tertuju ke arah pelaminan dengan dekorasi sangat baik dan romantis. Tapi hatiku teriris dibuatnya.
Semuanya sudah keluar siap masuk ke area rumah Cantika. Para penerima tamu sudah berjejer berdiri dengan pakaian seragam yang ceria, aku hanya menatapnya nanar. Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak dan kurang apa aku ini sehingga gugup dengan keadaan yang sedang aku alami.
Ayah dan ibuku memanggil-manggilku supaya aku lekas keluar dari dalam mobil. Dengan berat hati, kakiku melangkah keluar. Mataku hanya tertunduk. Tiba-tiba sebuah dorongan hebat yang menuntunku supaya bersikap jantan, ramah, dan menunjukkan wibawa bahwa aku ini calon pengantin pria.
Langkahku begitu tegap sekarang dan bisa memandangi dengan lebih jelas suasana riuh di kediaman Cantika. Kulihat ayah dan ibu Cantika berpelukan lama saling bergantian dengan ayah dan ibuku. Ketika aku bersalaman dengan ayah dan ibu Cantika, mereka menitikan air mata melihat calon menantu yang sangat dibanggakannya dengan penampilan yang sangat gagah ini. Banyak yang memuji diriku atas ketampanan yang tertampilkan. Padahal pujian itu semua malah membuatku semakin menderita.
Rombongan dari pengantin pria ditempatkan dibagian utama. Sajian teh panas dan makanan kecil segera diantar oleh para petugas. Sambutan luar biasa hangat ini membuatku merasa sangat bersalah dalam bersikap. Waktu terasa betapa lama akan perhelatan yang akan terjadi nanti.
Aku belum melihat Cantika keluar. Entah apa yang ia rasakan saat ini. Aku galau.
Tiba-tiba aku melihat serombongan kecil memasuki halaman yang sedang aku tatap itu. Hatiku langsung berdesir. Penghulu dan petugas pencatat pernikahan sudah datang. Waktu menunjukkan pukul 07.30. Setengah jam lagi dimulai ijab qabul itu. Deg-degan kurasakan semakin menggila saja. Sesekali aku mengelap butiran keringat yang menetes di wajah, leher. Keringat pun membasahi kemejaku. Aku pun kadang membuka peci yang aku kenakan di kepalaku. Menyisir rambut dengan jemariku dan meremasnya kesal.
Selang beberapa menit, pembaca acara mengumandankan susunan acara dengan sistematis. Aku, ayah dan dua saksi yang telah ditunjuk oleh ayahku segera menuju pelaminan. Dua saksi dari pihak Cantika pun satu per satu duduk dibelakang kursiku.
Ayah cantika berada tepat di depan penghulu, aku disamping ayah Cantika, calon mertuaku.
Alunan ayat suci Al-Qur’an menyejukkan hatiku setelah dibuka oleh penghulu. Hatiku luluh. Disebelah kananku kulihat Cantika begitu terharu, sama-sama menunduk haru. Sebelah kiriku, ayah Cantika. Detik-detik menegangkan kurasakan semakin kencang menerjangku. Hingga akhirnya ijab qabul selesai dengan kata ‘Sah’ dari penghulu diikuti semua saksi. Pujian kepada Tuhan semesta alam dan Amin membahana. Isak tangis haru dari Cantika, orang tuaku dan orang tua Cantika. Air mataku tumpah tak tertahankan. Aku segera menggamit bolpoin untuk menandatangani surat nikah. Disusul Cantika yang sudah sah menjadi istriku. Begitu lega rasanya semua orang yang hadir menatapku dan Cantika. Tapi hatiku kelu.
Sungkeman pun segera dimulai. Aku tidak kuasa lagi menangis. Sambil menciumi ibuku, ayahku, dan juga mertuaku. Hingga akhirnya aku menjamah telapak tangan Cantika. Ku kecup ujung jari manisnya dengan lembut. Kudaratkan ciuman dikeningnya. Ia tersenyum lebar natural kepadaku.
Lega rasanya ijab qabul telah selesai. Cantika dan aku segera dibawa masuk ke kediamannya untuk berganti pakaian yang akan digunakan untuk resepsi jam sepuluh nanti dengan menggunakan adat Jawa.
Tidak  begitu kaku diriku ketika harus memakai beskap karena aku beberapa kali memakainya sewaktu menjabat sebagai Duta Wisata. Betapa aku sangat terpukau saat keluar kamar dan menuju kamar sebelah dimana Cantika masih dirias. Ia begitu cantik. Tepatnya semakin cantik saja dipandang mata. Sanak familinya terus menerus memujinya. Hatiku semakin bangga padanya. Mungkinkah ini mulai timbul rasa sayang dan cinya padanya? Yang jelas aku tidak malu punya istri secantik dia.
Sekitar jam setengah sepuluh kemudian, para tamu undangan mulai berdatangan. Mereka adalah tamu-tamu rekan kerja ayah dan juga ibu Cantika. Teman-teman kerja Cantika pun banyak yang datang dan menyaksikan ijab qabul. Dan jam 10 tepat aku dan Cantika diiringi keluargaku dan keluarga Cantika memasuki pelaminan. Resepsi pernikahanku begitu hingar bingar meriahnya karena adanya music Live yang memesona perhelatan dengan lagu-lagu cintanya.
Seserahan sambutan dari dua belah pihak pengantin aku dan Cantika yang masing-masing diwakili kerabat dekat dengan bahasa Jawa Krama Inggil mampu menyejukan hatiku. Aku tidak melepaskan tangan Cantika yang memegang tanganku. Kadang risih kurasakan berdesir di dada.
Foto-foto dengan keluarga untuk mengabadikan momen spesial pernikahan ini begitu menggembirakan rasanya. Tidak hanya keluargaku dan keluarga Cantika saja, rekan kerja, teman kuliah apalagi sahabatku dan sahabat istriku pun turut serta berfoto bersama. Sungguh mengukir sejarah yang akan menyejarah seumur hidupku.
*
Pesta pernikahan telah usai. Selang semingg kemudian Cantika mengajak aku menuju studio foto yang menggarap dokumentasi momen spesial kami. Perasaan tidak karuan menghentaku. Cantika begitu menyala-nyala karena kebahagiaan yang kebangetan melihat foto-foto pernikahan yang baru saja dihelat. Betapa kebahagiaan itu tak terucap dengan kata-kata. Rona merah dengan kembangan senyum sangat natural sama-sama terpancar. Aku pun berusaha mengimbanginya. Cantika memeluku didepan petugas di studio foto. Setelah pamit, tidak henti-hentinya Cantika menikmati foto-foto dalam dua album secara bergantian disebelahku. Aku hanya konsentrasi menyetir mobil menuju rumah makan Padang favoritku yang ada di depan Kampus UMS.
Suasana rumah tangga yang aku bina bersama Cantika adem ayem saja. Tiada pernah hubungan yang kurang komunikatif. Aku berusaha menjadi suami yang baik bagi dia, selalu mendengarkan keluhannya, curhatnya dan menuruti semua keinginannya dengan sepenuh hati. Begitu juga sebaliknya. Cantika sangat menghargai aku sebagai suaminya. Dia melayaniku setulus murni cintanya. Apalagi aku tinggal bersamanya di rumah orang tuanya. Sehingga aku benar-benar merasakan betapa mertuaku, Cantika istriku sangat membanggakan diriku seutuhnya. Aku merasa tersanjung dan memiliki keseriusan untuk membina rumah tangga dengannya sampai akhir khayat.
Kadang-kadang aku dan Cantika menginap di rumahku sendiri. Aku tidak tega dengan kedua orang tuaku yang kesepian tanpa diriku. Apalagi setelah aku menikah tentu keberadaanku sudah sangat jarang sekali bersama mereka. Terlebih selang dua bulan menikah tanda-tanda kehamilan mulai nampak. Aku semakin jarang ke rumah sendiri. Hanya melalui HP atau telepon rumah saja ibu yang sering menelponku. Kadang malah ibu mertuaku yang menelpon ayah atau ibuku.
Sesekali pada akhir pekan biasanya ayah dan ibuku berkunjung ke rumah Cantika, menengok aku dan bertemu besan. Awal-awal menikah aku sempatkan pulang ke rumah sehabis bekerja. Tapi ibu melarangku. Padahal suasana galau di hatiku tidak menentu yang membuat diriku entah dibilang kerasan atau karena suasana yang mendukungku untuk  berusaha kerasan tinggal dirumah mertua sendiri.
Aku disarankan agar selalu berada didekat Cantika istriku kapan saja dan dimana saja. Lebih ekstrim lagi, ayah dan ibuku memberikan kesempatan pada Cantika kelak kalau hamil tidak perlu bekerja saja. Biar suaminya yang mencari nafkah. Namun mertuaku sebaliknya memberikan keputusan pada Cantika sendiri. Terlebih ibu mertuaku yang justru menyarankan agar tetap bekerja. Karena kalau dirumah juga  sendirian. Tapi ayah Cantika mendukung usualan orang tuaku untuk berhenti bekerja saat hamil nanti. Beliau sangat khawatir dengan kondisi perempuan yang sedang hamil sambil bekerja. Apalagi anak semata wayangnya yang hamil dan tentu saja menantikan cucunya.
Setelah memasuki bulan ke empat masa hamilnya, aku sesekali menyelingi pembicaraan dengan Cantika terkait dengan kehamilannya yang mulai membesar. Aku sangat khawatir. Kerja sebagai advokat membuatku tidak bisa berpikir kritis bagaimana tingkat manajemen stress yang dihadapi istriku. Entah mengapa Cantika tetap enjoy saja menikmati karirnya. Tidak ada gangguan berarti semasa kehamilan Cantika.
Cantika bukanlah sosok perempuan cengeng. Ia sangat mandiri dan cuek terhadapa masalah sepele yang tidak perlu dibesar-besarkan. Kadang aku merasa iri saja dengan rumah tangga yang belum genap satu tahun ini. Tapi entah bagaimana suasana yang mendukung dari mertuaku, orang tuaku dan juga Cantika sendiri yang benar-benar bisa bekerja sama dengan baik serta tidak mau memperpanjang masalah sampai titik didih bertengkar hebat sekalipun. Benar juga yang diceritakan ibuku kalau ayah dan ibu Cantika menanamkan sifat untuk jangan memperbesar masalah. Karena pada prinsipnya semua masalah sudah terukur dan manusia pasti bisa menyelesaikannya.
Aku sadari persiapan persalinan Cantika tinggal menunggu sebulan lagi. Setelah melakukan tes OSG di rumah sakit Yarsis, diperkirakan anak pertamaku berjenis kelamin seorang laki-laki. Aku hanya bisa tersenyum saja mendengarkan keterangan Prof Harso, S.POG. yang sangat terkenal dan pakar dibidang kandungan itu. Istriku, mertuaku dan juga ayah ibuku memberikan respons kegembiraan yang meledak-ledak. Cucu pertama mereka akan lahir seorang laki-laki. Sebuah kebanggaan tersendiri yang menimbulkan gelak tawa dan senyum tiada habisnya. Dan itu sedikit membuatku menyunggingkan senyum untuk membersamai mereka.
Alat-alat perlengkapan bayi mulai dari baju-baju bayi seperti popok, kaus tangan, kaus kaki, selimut bayi, box buat tidur bayi yang sangat lucu bentuk dan warnanya, sampai bantal bayi pun sudah tercukupi semuanya. Kini tinggal menunggu beberapa hari lagi sang buah hati akan lahir  ke dunia untuk membersamaiku dan Cantika serta memberikan kebahagiaan buat kakek-neneknya yang sudah sangat rindu atas kehadiran cucu pertama mereka.
Kurasakan perbedaan sikap berlebihan hari-hari menjelang persalinan kandungan Cantika. Ia semakin manja saja. Kadang cepat marah, mudah emosi tapi segera reda. Pernah suatu kali ia minta makanan kesukaannya, nasi padang dengan rendang, yang itu juga merupakan makanan kegemaranku di suatu malam. Aku diminta membelikannya sekitar jam 11. Padahal kondisiku sedang sangat kelelahan karena baru pulang kerja jam 9 malam. Karena ada perjamuan tamu kantor serta presentasi dari beberpa klients sehingga harus menunggu semuanya kelar. Aku sebagai penanggung jawab penyelenggara tidak bisa ijin keluar rumah. Cantika memang memintaku membelikannya buat makan malam. Ayah dan ibunya memasakan rendang kesukaannya tapi ia kurang begitu berselera kalau tidak makan denganku.
Aku sampaikan bahwa kondisiku sedang tidak fit dan aku sudah makan malam di kantor dengan para klients. Cantika memaksaku untuk makan malam bersamanya di rumah makan padang depan UMS. Aku naik pitam. Aku bentak dia, Cantika menangis.
Tangisnya hanya sebatas terdengar di kamarku saja. Sambil sesenggukan Cantika perlahan mendekatiku setelah bangkit berdiri dari kursi. Aku yang sudah terbaring dan pura-pura tidur tidak mau memedulikannya dengan semestinya. Kata-kata yang terucap begitu menyakitkan hatiku.

“Mas Iwan kejam!”
“Mas Iwan gak mau nurutin aku kan?”
“Beliin nasi rendang Padang aja alasan capek!”
“Aku ini lagi hamil anak kamu Mas?”
“Iya tahu kamu lagi hamil anak darah dagingku sendiri. Terus kamu mau nyiksa suamimu yang seharian cari nafkah buat kamu ya?”
“Memang kalau gak makan nasi rendang Padang kamu gak bisa makan yang lain apa?”
“Gitu ya suami lebay!”
“Apa kamu bilang?”
“Aku lebay?”
Aku yang setengah ngantuk hilang sudah rasa kantuk itu. Aku bangkit, mengucek mata kemudian memandangnya tanpa kedip. Mataku nanar tajam dihadapanku ini perempuan yang membuatku memunculkan amarah, dicampur emosi yang membuatku hilang kesabaran.
Sambil marah aku yang hanya mengenakan celana boxer bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil. Ku coba membasuh mukaku yang kucel karena kelelahan seharian bekerja. Setelah mengerinkan mukaku dengan handuk yang ada digantungan pintu kamar mandi, aku melangkah menuju kamarku. Kudengar Ibu Cantika sudah di dalam kamarku. Aku tidak langsung masuk. Terpaku di depan pintu sambil memandangi dua perempuan ibu dan anak saling berpelukan.

“Udah ya Cantika jangan nangis gitu dong. Ibu jadi khawatir dengan kangdunganmu. Ntar jadi terganggu gimana?”
“Mas Iwan gak sayang sama Cantika Bu?”
“Mas Iwan egois.”
“Egois gimana?”
“Aku mau nasi rendang Padang gak mau beliin Bu?”
“Kamu mintanya kapan pada Mas Iwan?”
“Barusan Bu?”
“Jam 11 malam gini ya kasihan Mas Iwan, lagian baru pulang kerja. Kenapa tadi sebelum pulang gak minta aja dibeliin?”
“Cantika kan baru kepengen.”
“Kamu harus hargai suamimu yang baru pulang kerja kemalaman. Lagian hanya nasi rendang Padang jadi marah kayak gini.”
“Aku benci Mas Iwan Bu.”

Aku hanya menatap Cantika dan Ibunya yang masih berpelukan erat. Berdiam diri mematung membuatku jengkel. Api amarah mulai membara kesekujur tubuhku. Cantika menolehku. Ia melepaskan pelukan ibunya. Ibu mertuaku menatapku tajam.

“Ayo belikan saja Iwan buat istrimu yang sedang hamil tua ini.”
“Gak tahu apa Bu, aku baru pulang kerja capek banget.”
“Iya. Ibu mengerti. Tapi keinginan istri harus kamu turuti.”
“Gak mau kalo diperintah memaksa kayak gini.”
“Apa kamu bilang Iwan?”
“Kamu bilang istrimu memaksa kamu?”
“Ya Bu.”
“Ibu juga ikut-ikutan maksa malam-malam begini beli nasi rendang Padang kan?”
“Itu buat kebaikan kalian berdua. Ibu hanya menyarankan saja, kalau gak mau itu bukan urusan Ibu. Mulai lancang ya kamu sama mertua!”

Ibu mertuaku berpaling dari kamarku. Ia sambil melotot tajam ke arahku pergi meninggalkan kamarku. Aku langsung membuka lemari pakaian, mengambil kaos dan memakainya. Jaket tebal segera aku kenakan. Aku langsung memutuskan bermalam di rumah orang tuaku saja. Paling 30 menit sampai. Aku tidak berpamitan pada Cantika. Langsung membawa motor keluar rumah. Perasaaan lega segera terasakan olehku dijalan sambil menyusuri malam dengan bintang gemintang di langit. Betapa geram hatiku diperlakukan istri yang memandangku seperti pesuruh.
Aku sadar apa yang diinginkan istriku mungkin nalurinya yang sedang tidak labil atau bagaimana aku memahaminya sehingga sangat memaksakan diri meminta sesuatu dan harus terpenuhi saat itu juga. Memang aku ini suaminya dan berkewajiban memuliakannya. Tapi dimana tenggang rasa yang ia miliki dan curahkan padaku sebagai istri yang baik melihat aku suaminya yang baru pulang kerja, sedang merebahkan badan sebentar saja langsung dibentak seperti anjing saja aku ini.
Sembilan bulan menikah dengan Cantika bagaikan tersambar kilat disiang hari yang sangat singkat terasa sakitnya sekarang ini. Mungkin sejak awal menikah semuanya biasa saja. Bertengkar hampir tidak pernah. Dan malam ini baru aku merasakan bagaimana rasanya dibentak istri, disuruh membelikan sesuatu yang harus aku lakukan saat itu juga.
Sesampai di rumah ibu membukakan pintu dengan wajah cemberut dan bertanya-tanya mengapa malam-malam pulang ke rumah. Aku hanya membisu saja. Memandang wajahnya pun enggan. Malu dan ingin segera masuk kamarku terus tidur biar lupa soal kekurangajaran Cantika.
Ketika aku baru saja masuk kamar, Ibu bertanya pelan dengan nada khawatir. Aku tak tega mendengarkan suaranya yang lembut itu. Aku jadi iba. Merasa bersalah padanya.

“Iwan, ada apa kamu pulang malam-malam gini nak?”
“Gak apa-apa Bu?”
“Gak apa-apa maksudnya apa nak?”
“Bener gak apa-apa. Iwan ingin pulang ke sini saja, tidur dikamar sendiri seperti saat kecil hingga belum nikah.”
“Kok harus malam gini. Ini hampir jam 12 malam. Lagian istrimu gak kamu ajak kenapa lagi Iwan?”
“Udah malam ya gak mungkin diajak Bu.”
“Ada yang gak beres.”
“Semuanya baik-baik saja Bu. Ibu gak usah khawatir. Percaya saja sama Iwan ya Bu. Iwan mau tidur sekarang.”
“Ibu belum selesai bicara. Jelaskan kamu tuh lagi ada masalah pasti. Ibu pengen kamu jujur, terus terang biar Ibu bantu kamu. Bicaralah Iwan!”
“Besok saja Bu. Iwan capek.”

Pintu kamarku segera kututup rapat. Aku tahu Ibu masih berdiri di depan pintu menunggu jawabanku mengapa aku pulang malam-malam. Entah apa yang Ibu risaukan melihatku pulang larut tengah malam. Aku sangat tidak enak melihat Ibu khawatir padaku.
Setelah aku mengunci pintu kamar, aku segera ke kamar mandi. Udara dingin menusuk pori-pori kulitku sehingga aku tidak bisa menahan air kencing lagi. Tidak seharusnya aku memaksakan diri secakep ini. Memang aku kebangetan capeknya kerja seharian demi kepentingan kantorku dan juga karirku. Sehingga loyalitas kinerja semaksimal mungkin harus selalu aku utamakan. Inipun aku lakukan sebagai suami yang baik, yang selalu berusaha membahagiakan istri dengan bekerja keras.
Rasa mengantuk menjalar kuat. Namun hati belum bisa berkompromi hingga aku terlelap tidur hingga tabuh subuh mengumandangkan panggilan bersujud.
*

Rasanya seperti kebingungan mau ngapain aku pagi ini. Rasa kantuk yang masih menjalar begitu kuat harus aku lawan karena aku hari ini pun wajib berangkat kerja. Padahal hari Minggu. Karena salah satu klient di kantorku memang punya janji bertemu hari ini di sebuah hotel. Aku sengaja berpakaian casual karena memang untuk menghangatkan suasana libur kata atasanku janganlah terlalu formal. Dibikin santai saja biar klient merasa nyaman sehingga kemitraan akan terus lancar bersama.
Setelah aku berpakaian rapi, tapi terkesan santai, segera ibuku mengetuk pintu kamarku dengan keras tidak seperti biasanya. Ibuku yang berpembawaan lembut tiba-tiba bersuara lumayan mengagetkanku.

“Iwan, kamu kenapa sudah memalukan keluarga nak!”
“Kamu ingat ya, Cantika itu istrimu, kenapa kamu tidak menuruti keinginannya?”
“Kamu bilang semuanya baik-baik saja. Ternyata kamu pulang membawa masalah besar bagi mertuamu, istrimu dan juga Ibu dan Ayahmu!”
“Ibu baru saja menerima telpon dari mertuamu, kamu harusnya tidak egois. Kamu harus bisa menuruti keinginan istrimu.”

Aku tidak tahan menatap wajah Ibu. Matanya begitu tajam nanar padaku. Dari arah belakang Ayah menghampiriku. Ia berkata bijak. Dengan berseloroh sambil menenangkan Ibu, Ayah mengajak aku untuk duduk di meja makan. Ibu sudah menyiapkan sarapan dengan menu kesukaanku sejak kecil, opor ayam dan rempela ati goreng.
“Ayo lah cerita Iwan?”
“Ayah akan senang mendengarkan semua ceritamu, biar Ibu mu juga lega. Dan kamu sendiri bisa terbantu memecahkan masalahnya. Ya kan?”
“Iwan, ceritakan semua yang telah terjadi antara kamu dan Cantika. Dan juga Ibu mertuamu ya?” Sambung Ibu sambil mengambilkan nasi untuk Ayah dan aku.
“Makasih Bu.”
“Ya dah sekarang sarapan yang kenyang dulu. Katanya mau kerja seharian lagi menuntaskan proyek kantor di hotel Lor In nanti acaranya.”
“Iwan gak mau ngomong sekarang Bu.”
“Ayah, Iwan minta maaf belum bisa cerita masalah aku dan Cantika.”
“Iwan gak ada masalah dengan mertua kok. Semuanya akan baik-baik saja. Biar nanti Iwan selesaikan sendiri. Ayah dan Ibu tidak usah khawatirkan Iwan. Cantika memang akhir-akhir ini mudah emosi dan marah kalau gak diturutin kemauannya saat itu juga.”
“Terus kenapa kamu malah pulang tengah malam?”
“Tahu gak tadi pagi Ibu mertuamu nelpon ibu. Betapa hati Ibu hancur mendengar caci maki yang membuat Ibu marah. Tega mertua yang sudah Ibu dan Ayah anggap seperti saudara sendiri sejak kuliah mengata-ngatai kamu.”
“Terus kamu sudah berbuat apa sama Cantika sehingga istrimu merasa dilecehkan begitu Wan? Ayo Ayah dan Ibu pengen tahu sebenarnya ada apa dengan kalian? Sehingga Ibu mertuamu turut campur.”
“Udah lah Bu. Iwan bisa atasi masalah ini kok. Cantika lagi emosi ya gitu ngatain Iwan semaunya dihadapan Ibu. Kalau ayahnya gak banyak cingcong. Gak secerewet ibunya.”
“Tapi ayah dan Ibu seperti ditampar-tampar dengan kampak. Sangat menyakitkan. Sakit Iwan?”
“Iya Ibu. Iwan ngerti. Udah ya, Iwan berangkat kerja dulu?”
“Bentar. Ayah dan Ibumu belum lega kalau masalah yang belum selesai kok malah ditinggal pergi begitu saja. Ibu malu, sakit dan kecewa dengan kamu Iwan. Terutama mertuamu yang tidak menjaga sopan santun. Mengatakan anakku tidak bisa membahagiakan anaknya. Betapa hati Ibu hancur Iwan? Hati Ayahmu juga terluka. Paham kan kamu Iwan?”
“Paham Ibu. Tapi keburu siang nanti Iwan terlambat dimarahin Bos. Iwan berangkat sekarang Bu.?”
“Ayah Iwan berangkat!”

Kucium tangan Ayah dan Ibuku. Sambil membawa tas laptop, aku segera membawa mobil kantor yang kubawa pulang atas suruhan bos pelan-pelan menuju Lor In di Colomadu. Sebelumnya aku menjemput beberapa karyawan yang sedang menunggu di beberapa titik jalan. Mereka para SPB dan SPG kantorku. Setelah itu aku meluncur kencang menuju tujuan bertemu klients.
Entah perasaan apa yang menggelayut di relung batinku saat baru sampai meeting room. Salah satu anak buah klients yang duduk dihadapanku menyambutku dengan tatapan aneh. Tatapannya syahdu. Dia masih karyawan baru. Aku tahu dari baju yang ia pakai masih kelihatan baru lulus wisuda. Aku yakin dia sakit, binan. Dan aku jangan sampai terpengaruh oleh tatapan syahdu itu walau dia lumayan tampan. Naluri maho ku keluar dan aku tidak mau terperangkap kembali ke dalam dunia binan yang sudah aku tinggalkan selama sepuluh bulan rentang usia pernikahanku dengan Cantika. Aku ingin menepis semua yang berbau kekaguman terhadap sesama jenis walau berat tapi aku bisa membuktikannya dengan serius. Keyakinan itu memang penting dan memaksa diri untuk melakukannya jauh lebih berat. Aku paksakan jangan sampai ikut menatap tatapannya. Membalas tatapannya dan mengumbar mataku adalah sebuah celah untuk menanam kembali perasaan kagum yang tidak semestinya tersalurkan itu pada hal yang sangat menyiksa batin kala saat-saat seperti dimana sosok perempuan sangat memberikan kekecewaan di jiwaku. Ingin semuanya tidak seperti keadaannya.
Coffee break tiba pada saatnya. Sekitar jam 10 meeting perdana usai dan akan dilanjutkan setelah setengah jam kemudian. Aku mengambil satu gelas kopi panas dengan campuran bubuk coklat serta cream yang cukup nikmat kuminum usai berbincang dengan klients. Sambil membawa beberapa makanan ringan, aku menuju sebuah meja disudut ruangan coffee break. Hanya aku yang duduk disana sendirian, sementara yang lain menggerombol dengan rekan kerja terdekat. Bukan aku tidak mau bersama mereka, aku hanya ingin menyendiri saja.
Beberapa teguk kopi panas yang kuminum mampu mengalirkan kehangatan tersendiri. Tidak hanya bagi tubuhku yang berada di ruang ber-AC tapi juga nuansa otak pikiran yang sedang kalut terpacu terus memikirkan suasana rumah yang tidak mengenakan itu dan aku sambil menikmati makanan ringan tiba-tiba dikejutkan suara disampingku, dia yang memandangiku saat meeting menyapaku lembut dan penuh perhatian. Aku hanya mengangguk saja. Tapi lelaki atletis dan tampan disampingku entah bagaimana mengajaku berbincang ringan sehingga aku tidak bisa menghindarinya. Aku tiba-tiba ingin melakukan  katarsis dengannya.

“Maaf Pak sendirian?”
“Iya.”
“Kayaknya sedang ada masalah berat Pak, kok kelihatan kurang semangat?”
“Oh tidak apa-apa. Cuma kurang tidur saja semalam.”
“Rumahnya dimana Pak?”
“Saya sekitar sini saja.”
“Boleh tahu nama Bapak?”
“Saya Iwan. Mas Iwan saja ya panggil saya, lagian usia kita paling selisih dua-tiga tahun kan?”
“Saya Andy, 24 tahun.”
“Kita  selisih satu tahun saja.”
“Udah lama kerja Mas Iwan?”
“Baru dua tahun sejak lulus kuliah. Kamu?”
“Satu tahun kerja setelah lulus kuliah juga.”

Mencerocos saja Andy berbicara tanpa henti dan menanyakan apa saja tentang aku. Betapa cowok yang ada dihadapanku sekarang sangat menaruh rasa antusias tidak hanya berbincang masalah sederhana tapi menanyakan sesuatu yang serius. Dia bertanya apakah aku sudah punya pacar? Aku hanya menjawab belum. Padahal aku sudah menikah.
HP yang aku pegang dengan tangan kiriku berdering. Tangan kananku masih memegang cangkir kopi. Aku masih mendengarkan apa saja yang dibicarakan Andy. Menjadi pendengar yang baik bagi seseorang yang sedang berbicara dihadapanku adalah suatu hal yang istimewa. Mendengarkan dengan seksama menjadikan lawan bicara seakan nomor satu di dunia karena merasa dikhususkan. Panggilan telepon dari  Cantika. Ia menelponku mengabarkan bahwa perutnya mulas, kemudian Ibunya menyambung pembicaraan dan memintaku segera pulang untuk mengantarkan Cantika ke rumah sakit bersalin.
Segera aku minta maaf karena ada hal penting yang harus kulakukan. Aku utarakan pada Andy, ia menyilakanku beranjak pergi. Aku segera menemui atasanku mengabarkan bahwa istriku akan melahirkan. Dengan nada gembira atasanku memberikan ucapan selamat akan menjadi ayah padaku. Senyum simpul yang sedikit mengembang muncul dibibirku merespon ucapan itu. Aku langsung menuju parkir Lor In Hotel. Meluncur menembus padatnya lalu lintas sepanjang jalan ke Manahan lurus ke timur hingga sampai di rumah mertuaku.
Aku membawa Cantika ke Rumah Sakit Moewardi ditemani Ibu dan Ayah mertuaku. Di klinik bersalin Cantika diperiksa dan dokter beserta bidan menyarankan untuk menunggu beberapa saat, kami bertiga keluar ruang pemeriksaan.
Selang beberapa menit, dokter keluar. Ia tersenyum manis pada kami bertiga. Dokter yang masih muda dengan kerudung putih itu memberikan penjelasan bahwa sudah mulai pembukaan. Menunggu  kelahiran anak darah dagingku sendiri semakin mendebarkan hati dan jantungku. Setelah dipersilakan masuk, aku beserta ibu mertuaku menemui Cantika yang meringis menahan nyeri. Ayah mertuaku menunggui di luar kamar persalinan.
Sudah lebih dari dua jam aku bersama Ibu mertuaku menemani Cantika. Bidan dan dokter serta dua perawat memberikan layanannya secara optimal. Akhirnya kelahiran berjalan normal telah dilalui Cantika. Tangis bayi mendendangkan lagu cinta membahana jiwaku. Setelah dimandikan dan dibalut kain lembut, aku menyuarakan adzan disebelah kanan telinga anak lelakiku yang tampan itu. Menunaikan iqamah ditelinga kirinya sambil tersenyum aku menciuminya. Aku sudah jadi ayah. Rasa bahagia menyeruak menghentakan dentuman yang tiada pernah aku rasakan sebelumnya.
Tidak lama berselang kelahiran anakku, ayah dan ibuku datang. Raut wajah yang sudah merindukan hadirnya cucu pun terobati betapa cerahnya. Mereka berdua bergantian menciumi bayi mungil yang sedang tidur disamping Cantika yang masih lemah.
*
Tiga tahun kemudian.

Donny anak yang manis, lucu, menggemaskan dan sudah lancar berbicara. Sangat fasih. Dengan kedua kakek neneknya sangat akrab. Kakek neneknya begitu mencintainya. Sangat dimanja bahkan anak ku itu. Cantika pun tidak begitu kerepotan mengasuhnya sejak melahirkan. Walau selang 3 bulan cuti bekerja, tidak menyurutkan semangat kerjanya. Terlebih Donny sudah bisa dikatakan tidak rewel kalau ditinggal bekerja ibunya.
Ibuku menderita gula tidak bisa melihat cucunya, Donny bisa berjalan. Ibu kandung yang sangat kucintai meninggal tepat ketika Donny berumur 1 tahun. Sehingga aku kadang menemani Ayah yang sendirian dirumah. Aku pun tidak mungkin membawa Donny serta Cantika sering-sering karena mertuaku susah diajak berkompromi. Sebaik hati mertua tetap ingin selalu dekat dengan cucunya. Dan itu membuat kedua orang tuaku iri. Terutama Ibuku yang membela mati-matian supaya selalu dibawa kerumahku agar orang tuaku bisa menimangnya.
Kini tinggal Ayahku yang memintaku membawa Donny dan istriku Cantika bersamanya menemani masa-masa tuanya yang merana sehabis ditinggal Ibu. Aku kadang mengusahakan sehari semalam selama dua sampai tiga kali dalam sebulan. Itu pun membuat mertuaku marah-marah padaku. Karena mertuaku pun yang sudah berusia tidak muda lagi ingin diperhatikan seperti anak kecil. Rentang usia membuat perubahan jiwa secara psikologis dan perilaku yang lebih manja dari biasanya.
Tidak pernah terpikir akan memiliki masalah yang silih berganti dari hari ke hari. Donny yang selalu ingin bersama ibu mertuaku lama-lama menganggap bahwa ibunya sendiri Cantika tidak memegang peran dominan. Padahal ia ibu kandungnya sendiri. Mungkin Donny sebagai anak laki-laki yang belum pernah diasuh oleh mertuaku sehingga nuansanya sangat berbeda. Aura lelaki membangkit rasa tersendiri bagi jiwa perempuan walau sudah usia lanjut sekalipun. Begitu juga Ayah mertuaku yang sangat intens mengajak bermain sepeda dikala pagi hari berkeliling kompleks perumahan sekitar hingga aku tidak sampai melihatnya lagi ketika aku akan berangkat ke kantor. Tapi Cantika tidak pernah memerhatikan diriku bahwa aku juga seorang ayah bagi anaknya. Aku ingin menciumnya saat aku mau berangkat. Paling tidak sekedar kalimat lucunya yang terucap “Dada Ayah?” dan yang lebih menggemaskan dan menimbulkan kerinduan tiada habisnya adalah ketika aku mencium pipinya, mengelus rambut kepalanya. Betapa aku memang sudah menjadi ayah.
Nuansa datar rumah tanggaku tidak bisa aku sembunyikan lagi. Rekan kerja Cantika kulihat sering mengirim pesan singkat, kadang menelpon disaat malam hari. Dan aku tidak boleh membuka HP-nya sejak Ibuku meninggal. Entah apa indikasi itu. Aku pun sudah membiarkan keterbukaan menjadi tradisi sejak mulai menikah. Tapi entah pemikiran bagaimana yang muncul dalam benak istriku itu, aku sendiri tidak memahaminya. Terserah dia mau berbuat apa yang penting aku tidak mau ikut campur sehingga membuat bentrok. Akibatnya aku akan mendapatkan semprotan menyakitkan tiada lain dari Ibu mertuaku.
Tidak betah rasanya tinggal dirumah mertua yang membuatku sejak menikah seperti dipenjara. Aku memang merasakan tiada rasa merdeka yang sekuat dulu kurasakan tinggal bersama kedua orang tuaku. Tidak ada. Semuanya telah sirna. Sirna ditelan ketidakberdayaan diriku sendiri yang mau menikah dengan perempuan yang dikenalkan orang tuaku. Lama-lama aku paham inilah buntut dari pura-pura cinta. Padahal aku hanya menyembunyikan suasana biar aku disebut normal. Padahal rasa cinta sedikitpun tidak ada. Hubungan ranjang pun hanya pelepas horny saja padanya. Setelah ejakulasi semuanya kembali datar. Tidak ada yang kutemukan suasana istimewa hadir antara aku dan istriku. Dia pun aku rasakan betapa dinginnya dia. Aku sedikit tidak paham selama tiga tahun bersamanya. Sikap acuh yang sama-sama terbangun antara aku dan dia sehingga menimbulkan gejolak tidak mau tahu satu sama lain, membiarkan semuanya berjalan apa adanya membuat aku dan istriku bersikap saling menjaga supaya komunikasi dan perilaku tidak mencolok, tidak menimbulkan cek-cok. Apalagi menimbulkan berseteru. Aku takut akan dicampuri mertua hanyab gara-gara masalah sepele. Dan aku jaga dan aku tahan entah sampai kapan akan berakhir. Tidak pernah terbayangkan dan merasakan indahnya berumah tangga seperti rekan kerjaku dikantor, seperti teman-teman dekatku semasa kuliah yang terlihat sangat harmonis. Aku belum merasakan itu, kapan? Entahlah. Yang mungkin terjadi dan itu seakan menjadi mimpi buruk yang terus menghantui adalah suasana ketidaknyamanan dirumah tanggaku.
Sejak pertemuanku dengan para klients di Lor In, komunikasi Andy membuatku menjadi sebuah pertemanan hangat. Dia sosok yang sangat perhatian benar-benar mampu menghiburku. Naluri binanku semakin menggila saja. Tapi aku belum pernah berbuat yang macam-macam dengannya. Aku masih mengingat betul statusku masih menjadi suami Cantika. Hingga suatu hari, Andy menjemputku ketika aku memang sedang kurang enak badan. Mertuaku tidak mengetahui dengan pasti bahwa Andy memang perhatiannya sungguh berlebihan. Aku menjadi luluh karenanya. Walaupun berbeda kantor, kesetiannya sungguh luar biasa.
Kurang lebih empat bulan berjalan pertemanan yang intens itu membuat Cantika menyeruakan nada-nada aneh yang kurasakan. Karena SMS di HP-ku dari Andy yang berlebihan membuatnya curiga. Buat apa seorang teman sesama pria memberikan perhatian kepadaku yang sederhan dengan menanyakan “Sudah  makan?” atau bahkan yang pernah membuatku cukup terkejut dari apa yang Cantika tunjukkan padaku saat membaca sms dari Andy,

“Mas Iwan, met bobok ya?”

Tidak lama kemudian Cantika mencurigaiku siapa diriku ini yang sebenarnya. Padahal aku sudah membiasakan bahwa diriku tidak pernah menyentuh sesama jenis selama ini sejak menikah dengannya. Walau sikapnya yang dingin memang membuatku sedikit berpikir dan merenung bagaimana aku menyalurkan hasrat kasih sayang yang aku harapkan mampu sebanding dengan apa yang aku rasakan.
Cantika tidak mau kalah bersaing, atau mungkin balas dendam karena aku diperhatikan orang lain. Padahal dirinya memang tidak memiliki perhatian yang menunjukkan rasa cinta kasih padaku layaknya istri kepada suami sejak dulu.
Suatu siang ketika aku pulang awal karena meeting dengan klients di luar kantor selesai lebih awal, sekitar jam 1, aku singgah di sebuah rumah makan dekat Grand Mall, betapa aku sangat terkejut menatap sepasang pria wanita sedang menikmati makan siang begitu romantis sambil senyum-senyum genit dan saling memuji satu sama lain. Aku bersembunyi agak jauh dari meja yang diduduki siapa lagi kalau bukan istriku sendiri. Dia sudah main hati rupanya. Tidak ada yang curiga bahwa aku sedang mengamatinya. Rekan kerjaku hanya memandangku aneh, serta bertanya mengapa aku menatap meja paling pojok itu. Aku hanya menjawab salah satunya teman dekat. Memang rekan kerjaku banyak yang belum mengenal istriku.
Sambil menyantap makan siang Andy mengirim SMS yang membuatku bertambah yakin atas perhatiannya. Aku ajak dia renang nanti sore di Cokro. Andy dengan senang hati mengiyakan ajakanku.
Pulang kerja aku menemukan Donny badannya panas. Sambil digendong kakeknya, Donny ingin dibelikan es krim. Ayah dan Ibu mertuaku melarangku menurutinya. Aku katakan nanti sewaktu habis pulang renang akan membeli es krim kesukaannya, Magnum Classic. Setelah aku ambil alih dari kakeknya, Donny kupeluk erat sambil kutidurkan. Ia lelap sambil merangkul leherku. Aku sangat menyanginya. Sangat.
Belum nyenyak tidur siangku, ibu mertuaku masuk ke kamarku, menanyakan keberadaan Cantika.

“Cantika kok belum pulang sudah jam 3 lho?”
“Mungkin banyak kerjaan Bu?”
“Biasanya pulang jam 2 kan?”
“Coba kamu telepon ya?”
“Nanti pasti pulang Bu.” Aku menjawab masih dalam keadaan mata terpejam.
“Iwan, kamu itu suami macam apa sih, istri belum pulang kok jawab nanti pasti pulang. Mana tanggung jawabmu sebagai suami yang tidak becus memperhatikan istri? Mana?”
Aku terperanjat dengan bentakan Ibu mertuaku. Serta merta aku bangkit dari rebahanku. Menatap wanita yang tua dihadapanku dengan marah. Tapi aku tahan supaya jawabanku tidak meledak-ledak dan membuat suasana semakin runyam.
Tiba-tiba suara klakson mobil asing berbunyi di depan rumah. Itu pasti bukan mobil yang biasa digunakan Cantika. Ibu mertuaku segera keluar. Aku masih duduk ditepi ranjang. Samar-samar aku mendengar percakapan Cantika dengan laki-laki yang mengantarnya.

“Kok mobilnya tidak dibawa pulang Cantika?”
“Nanti Mas Iwan saja yang mengambil dikantor. Tadi diajak makan siang Mas Budi. Dia kakak kelasku Bu saat SMA dulu.”
“Oh. Lho kok gak disuruh mampir dulu?”
“Masih ada kerjaan Bu.”
“Ya sudah. Tuh Donny badannya panas.”
“Mungkin mau pilek Bu?”
“Sekarang sedang tidur sama suamimu yang lebay itu.”
“Biar saja Bu.”
“Aku sudah muak punya suami kayak dia!”
“Aku mau minta cerai saja Bu?”
“Ya dah kalau itu maumu. Ibu setuju saja. Kamu masih cantik kok anak Ibu yang cantik?”
“Iih Ibu bisa aja sih?”
“Be- bener kok hehehe.”

Mereka berdua tidak tahu sedang aku perhatikan. Benar-benar kegenitan. Tua muda sudah beristri dan bercucu memiliki pemikiran untuk berbuat mesum dan ingin selingkuh. Entah apa maksudnya semua perkataan Cantika dan Ibu mertuaku itu.
Cantik masuk ke kamarku tanpa sepatah katapun terucap. Ia langsung berganti pakaian lantas ke kamar mandi kemudian menemui ibunya kembali dikamarnya. Aku mendengar didalam tasnya tanda pesan masuk. Tergerak hatiku ingin membukanya. Si empunya sedang pergi membuatku membulatkan tekad bahwa aku harus tahu apa isi pesan SMS di HP Cantika. Kubuka tas perlahan. Aku ambil HP dan membuka pesannya.

From: Mas Budi
Cantik, lagi apa nih?

Aku langsung membalasnya biar dikira dari Cantika betulan.

To: Mas Andy

Lagi mikirin kamu Mas hehehe

Pesan terkiri. Selang beberapa detik HP yang sedang kupegang milik istriku berdering tanda panggilan. Aku biarkan saja sebentar karena pasti Cantika mendengarkan nada dering yang bersuara keras. Benar saja. Cantika langsung bergegas masuk, aku serahkan HP-nya. Dia berjalan cepat keluar kamar.
Aku hanya terdiam sambil menatap Donny yang terlelap tidur. Badannya masih panas. Walau sudah minum obat penurun panas, aku merasa semakin khawatir kalau terjadi hal-hal yang lebih parah. Tapi aku yakin Donny pasti segera membaik keadaannya. Benar saja setelah aku sentuh keningnya Donny panasnya belum turun.
Aku ingat hampir jam mau renang sama Andy. Segera saja aku menyiapkan celana renang dan kaca mata renang. Handuk dan alat mandi aku ambil dikamar mandi. Setelah itu aku masukan semuanya ke dalam tas sporty.
Cantika kembali ke kamarku. Ia mengatakan nanti malam mau keluar dengan teman SMA-nya. Aku mempersilakan dan juga menyampaikan kalau Donny panasnya belum turun. Aku harap Cantika menjaganya. Tapi apa respon Cantika? Ia berkelit kalau aku yang seharusnya menjaganya. Akhirnya aku mengalah dan mengangguk pelan. Tidak habis pikir mengapa ibunya sendiri sikapnya secuek itu. Setan apa yang sedang merasuki pikirannya. Aku pun mengerti alasannya dan juga aura yang tersibak dari raut wajahnya yang merengut ke arahku. Nuansa kasmaran terlihat walau sudut matanya menatap kebencian padaku. Aku tahu itu dan tidak perlu aku interogasi keadaan ini yang sudah semakin parah. Sadar diriku bahwa rumah tanggaku sedang goncang.
Aku membiarkan Donny tidur sendirian. Cantika dan Ibunya sedang asyik bergosip ria dikamar Ibu mertuaku. Ayah mertuaku sedang menonton TV sambil terkantuk-kantuk. Aku menghampiri Cantika mengabarkan kalau aku akan berenang di Cokro. Nanti jam 6 sudah pulang.

“Pulang sampai malam juga gak apa-apa kok. Gak ada yang larang kamu.”
“Maksud kamu apa?”
“Gak apa-apa. Sana renang sepuasmu sama cowok-cowok kan?”
“Kamu ngomong apa?”
“Terserah aku mau ngomong apa. Mulut-mulutku sendiri.”
“Ya. Kamu silakan kencan sekarang juga bukan urusanku kan!”
“Anak lagi sakit aja kamu malah janjian kencan. Aku dah baca sms dari pacar barumu. Mas Andy kan?”
“Apa? Kamu berani buka HP-ku?”
“Ceraikan aku sekarang Mas Iwan?”
“Silakan ke pengadilan Agama sendiri. Cerai memang lebih baik.”
“Betul. Daripada aku bersuamikan lelaki gay macam kamu!”
Praaaak-praaakkkk-prakkkkk!

“Kamu berani tampar aku?”
“Apa kamu bilang, aku gay? Dasar PELACUR murahan!”

Aku bergegas meninggalkan cantika yang menutupi wajahnya. Ia menangis sambil terduduk. Tangisnya pecah membangunkan Donny, segera ia berjalan mendekati Cantika dan memeluknya. Kutatap sekali lagi Cantika dan anakku yang kemudian Ibu mertuaku menghampiri Cantika. Membujuknya untuk bercerita. Aku mengambil sepeda motor menuju Cokro.
Ibu mertuaku mengejarku sambil lari-lari ke arah garasi. Sesampai dihalaman, aku dihadang. Ia berkacak pinggang. Matanya merah jalang menyala tak berkedip.

“Kau apakan Cantika hah. Beraninya nampar perempuan. Kamu diajari mukul ya sama orang tuamu?”
“Ibu harusnya tahu mengapa aku sampai tega tampar Cantika. Dia sudah selingkuh! Paham?”
“Maksud kamu apa Iwan?”
“Tanyakan sendiri. Muak aku!”
“Kamu jangan pergi dulu. Selesaikan semuanya sekarang juga.”
“Semuanya sudah selesai.”
“Apa?”
“Tunggu-tungguuuuuuu menantu kurang ajar!”

*
Sampai di Cokro, Andy menyapaku hangat sekali. Entah apa yang membuatnya begitu memukau sore ini dengan aura ketampanannya yang membuatku suka padanya. Tatapannya semakin membuatku tidak bisa bergeming bahwa rasa yang berdesir-desir itu mulai menampakan bahwa aku harus mengungkapkannya secepat mungkin. Karena selama ini belum ada yang mau menyatakan suka apalagi cinta.
Peregangan sebentar yang dilakukan Andy dihadapanku membuatku bertambah kagum saja. Aku hanya duduk di pinggir kolam tidak lantas ikut melakukan pemanasan bersamanya. Aku tertunduk, masih terlintas suasana rumah. Ingat Donny yang masih panas badannya, Cantika dan Ibu mertuaku yang membuat semakin runyam rumah tanggaku.
Andy menghampiriku. Tangannya merangkul pundaku. Dia begitu perhatian. Sehingga aku pun menggamit tangan satunya dan aku letakan dilututku. Kami saling bertatapan. Entah siapa sebenarnya yang harus mulai berkata, sayup-sayup riak air kolam pun  ikut membersamai permulaan perbincangan. Dan itu membuatku tidak mampu berkutik bahwa aku sudah saatnya mengungkapkan bahwa semuanya harus berakhir. Akhir rumah tanggaku dengan Cantika. Tapi untuk menjalin hubungan serius dengan Andy bukan sebuah perkara yang mudah ataupun sulit. Aku tidak mau publik mengetahui orientasi seksual sejenis yang membuat mata melotot mengatakan tidak normal, sakit jiwa dan sebagainya. Entah sampai kapan waktu yang akan berbicara pada semua jiwa yang haus akan nuansa cinta.

Aku menikmati renangku sore ini. Pikiran yang kacau sedikit banyak terbantu terasa ringan aku memikirkannya walau dalam kondisi berenang aku tetap tidak bisa menghilangkan bayangan istriku, anakku, mertuaku, dan ayah. Mereka satu demi satu hadir menyelinap saat aku menghempaskan udara di air. Menghirupnya secara ritmis.
Beberapa gaya sudah menghabiskan tenagaku. Mulai gaya bebas yang paling mudah dan gaya yang membuatku riang jenaka adalah gaya katak. Tapi sangat menyenangkan. Ditambah air kolam alami, bebas kaporit yang tidak pedih dimata dan tentu tidak merusak kelembapan kulit.
Menepi di pinggir kolam sambil melihat orang-orang yang lalu lalang berenang membuatku sedikit terhibur. Apalagi kalau yang renang cowok ganteng dan atletis. Andy pun sama. Ia sambil berenang matanya jalang menatap cowok-cowok yang sedang berenang itu.
Setelah lelah berenang aku beranjak duduk di depan kolam. Kursi-kursi malas yang enak dan santai sambil memandang cahaya matahari sore berwarna merah menyala membuat tentram dan damai di hati. Aku dikejutkan hentakan kecil dikursi yang sedang aku duduki. Karena melalum aku tidak tahu siapa yang datang menghampiriku, ternyata Andy. Dia membawakan satu gelas jus yang membuat tenggorokanku seakan-akan disiram minuman surga. Rasa haus langsung hilang, kesegaran terasakan menjalar di kerongkongan sampai kehati berdebum nikmatnya. Sebelum berenang kembali Andy mengikutiku duduk di sampingku. Ia memijat kakiku pelan dan aku merasakan getaran aneh yang langsung menusuk jantungku.

“Kamu kecapean ya Mas?”
“Nggak Andy. Makasih ya.”
“Makasih kenapa? Memang aku memberi apa kok bilang makasih?”
“Perhatianmu.”
“Ada ada saja kamu Mas.”
“Biasa saja kok, gak lebih perhatianku.”
“Kamu mampu membuatku sedikit tenang.”
“Ada apa memangnya. Ayo cerita saja, Andy siap dengerin!”
“Aku sudah gak betah lagi hidup dengan istriku. Cantika gak pantas lagi dikatakan sebagai istri yang baik. Aku mungkin mau bercerai dalam waktu dekat ini. Kamu tahu Andy? Dia sudah tahu hubungan kita ini. Kau paham maksudku?”
“Hubungan kita Mas?”
“Ya. Aku ingin kamu jadi bf-ku. Mau kan?”
“Maaf, aku belum sanggup untuk jadi bf-mu sekarang kalau kamu masih punya istri. Dan aku tahu kau juga punya anak. Aku tidak mau dikatakan orang yang mencampuri urusan rumah tangga orang lain, apalagi merusak hubungan harmonis suami-istri.”
“Tapi kamu mau gak jadi bf-ku?”

Aku bangkit dari sandaran kursi malas yang membuatku nyaman sambil terus dipijit Andy. Dia merona menatapku. Pertanyaanku membuat wajahnya memerah.

“Aku mau mau Mas. Tapi jangan sekarang ya?”
“Sekarang atau besok sama saja. Aku mau kau jadi bf-ku yang setia.”
“Ya Mas. Ayo sudah mau magrib. Kita pulang sekarang ya?”
“Aku tidur dikosmu ya?”
“Lha apa nanti kamu gak dicari istrimu?”
“Sudahlah. Cantika mau kencan sama cowoknya. Buat apa aku pulang.”
“Kamu punya anak Mas. Dan kamu tinggal dirumah mertua.”
“Please Andy, aku butuh ketenangan dengan orang yang sayang sama aku. Dan kaulah orang yang aku sayang sekarang ini di dunia. Aku sudah tidak ada rasa sama sekali sejak awal pernikahan sama perempuan jalang itu.”
“Ya sudah kalau begitu. Mas Iwan kok jadi mengumpat-ngumpat istri sendiri.”
“Cantika sudah tahu kalau aku gay. Dia baca sms kamu. Cantika cukup sensitif membaca kata-kata mu yang sok perhatian padaku.”
“Benarkah?”
“Sudahlah gak usah mikirin itu lagi. Segera mandi dan langsung pulang ke kosmu. Nanti aku telepon ibu mertuaku. Aku mau bilang  nanti malam mau nemenin ayah dirumah. Sudah satu minggu gak pulang nengok ayah.”
“Ya Mas.”
Jalan aspal lurus ke timur dari Cokro ke arah Delanggu dengan tiada kelokan, lurus, mengencangkan semakin kencang laju sepeda motor yang aku kendarai. Hawa dingin menyerang, menusuk kulit dan hatiku. Gundah hati, resah jiwa membara. Namun aku akan labuhkan segala perasaan ini untuk seseorang yang mau mengerti diriku seutuhnya. Walau pun begitu berat, tapi aku yakin dunia akan paham pada diriku, cintaku, perasaanku, dan alam raya akan mendukungku untuk mewujudkannya. Aku ingin menumpahkan segala rasa yang ada.
Kos Andy terletak tidak jauh dari Tugu Kartasura. Tugu yang kokoh berdiri dipertigaan jalur ke arah Boyolali, Klaten dan ke Solo dengan warna hitam kelam menunjukkan kekohannya yang biasa dengan tetap seperti biasa dari waktu-ke waktu mulai kapan aku pun tak tahu kapan dibangunnya. Sekitar dua ratus meter ke arah Solo, ke timur ada Traffic Light. Kalau mau ke Bandara Adi Soemarmo belok kiri lurus terus. Sampai di Hotel Sadinah, di sampingnya ada gang kecil. Lurus mentok, rumah paling pojok bercat coklat tua. Rumah yang sederhana terlihat tapi nyaman dihuni baik untuk kos-kosan mahasiswa maupun bagi yang sudah bekerja.
Andy dan aku berhenti, lega rasanya bisa sampai di kos orang yang paham akan segala rasa yang aku tumpahkan. Andy mengajakku pertama kali ke kosnya saat aku paham bahwa kita sama-sama binan, tapi aku belum menaruh hati padanya, tapi aku yakin dia suka sama aku, dan sekarang aku akan berada disana bersamanya nanti malam.
Aku harapkan semuanya akan baik-baik saja, bisa melupakan masalah rumah tanggaku yang semrawut dan menyebalkan.
*
Magrib tiba. Temaram petang menyusuri sendi-sendi bumi yang menggelapkan cahaya matahari. Digantikan lampu-lampu listrik nan silau dengan suara-suara berisik laju kendaraan lalu lalang, meriakan gegap kehidupan  dimana pun berada.
Cantika sedang mempercantik dirinya, memakai aksesoris modis dan trendy, matching dengan baju yang dikenakannya. Dandanannya semakin menor. Aroma wangi tubuhnya mengundang siapa saja, terlebih kaum Adam. Ibunya saja dibuat terpana oleh kecantikannya. Cantika mengatakan bahwa beberapa menit lagi kekasih barunya akan mengajaknya kencan. Ibunya mengiyakan dengan senang hati.

“Wah cantiknya kamu Cantika anak Ibu satu-satunya benar-benar seperti bidadari.”
“Ibu kok muji aku kebangetan.”
“Gak lah sayang. Biar Mas Budi senang kan?”
“Ya lah. Lagian suamiku sendiri seorang gay. Suami tidak berguna, menjijikan. Besok aku mau gugat cerai ke pengadilan Agama Bu.”
“OK. Ibu temani ya. Jangan khawatir. Mertuamu sudah aku telepon tadi, dan tahu gak sekarang suamimu dimana? Barusan telepon Ibu, lagi nginap di rumah Ayahnya. Padahal sedang dirumah cowoknya. Dikira Ibu goblok apa ya, Ibu sudah telepon Ayahnya tidak disana. Kemana lagi kalau bukan ke rumah si Andy itu!”

Di luar rumah, klakson mobil Budi terdengar.

“Biarin saja deh Bu. Mas Budy sudah datang Bu. Aku berangkat sekarang ya?”
“Mas Budi suruh mampir dulu dong, ibu ingin bicara sebentar.”
“Bentar, Cantika keluar dulu nemuin Mas Budi.”

Cantika melangkah keluar, ke pelataran rumahnya dengan anggun, semerbak wangi yang menyengat menebar ke segala penjuru ruang-ruang dan kamar, bahkan Budi yang baru saja keluar dari mobil tersentak dengan aroma wangi perempuan beranak satu itu.

“Mas Budi, makasih udah datang. Katanya jam 7 Mas, baru setengah tujuh lho?”
“Emang gak boleh?”
“Gak apa-apa sih?”
“Suamimu ada?”
“Please deh Mas. Suamiku lagi kencan sama pacarnya. Jadi gak ada. Ayo masuk, Ibu ingin ketemu kamu Mas?”

“Wah jadi malu aku, Cantika!”
“Kenapa harus malu, ibuku sangat setuju dengan hubungan kita kok!”
“Oh ya?”
“Bener deh. Serius.”
“Walau aku duda?”
“Alaaah, kamu kan duren, duda keren hehehe.”
“Bisa saja kamu!”
“Ayo duduk dulu ya. Ibu lagi bikinin coffee buat kamu.”
“Gak usah repot-repot.”
“Ah Mas Budi ganteng.”

Sambil menjatuhkan diri ke pangkuan Budi, Cantika langsung dibelai manja oleh lelaki atletis itu. Selang sebentar Ibu Cantika membawa nampan berisi coffe panas dan dua toples kue-kue. Dengan senyum mengembang, Budi menyapa perempuan yang ikut-ikutan berdandan menor itu. Sangat kemayu, girang sekali menyambut pacar anaknya.

“Malam tante?”
“Iya Mas Budi. Ayo diminum coffee, dan kuenya. Gak usah malu ya sama tante.”
“Makasih tante.”
“Ya udah Mas Budi, Ibu tinggal dulu ya, titip Cantika ya?”
“Ya tante.”

Setelah meneguk sedikit coffee panas didepannya, Budi mengajak Cantika, membimbingnya berdiri untuk hang out. Cantika masuk ke ruang TV dimana Ibu dan Ayahnya sedang menyuapi Donny anaknya sambil menikmati sinetron.

“Cantika pergi dulu sama Mas Budi Bu, Ayah?”
“Ya.”
“Hati-hati Cantika?”
“Ya Bu, Ayah!”
“Dadah Donny?”
“Dadah Mama?!!”

Udara malam menghempas perjalanan sepasang anak manusia yang sedang kasmaran atas nama kebahagiaan, cinta, dan rasa yang terus membumbung ke dalam relung jiwa. Cantika dan kekasihnya menuju Grand Mall. Disana mereka dinner di foodcourt lantas menikmati film romantis di 21 Cinema.
*

Tidak kalah seru rasanya kalau makan malam hanya biasa-biasa saja. Bersama kekasih menjadi lebih nikmat dan hangat. Begitulah diriku dengan Andy. Setelah itu aku mengajaknya pulang ke kos, tapi Andy menolak. Ia ingin tidur di Lor In. Dekat juga dari arah kosnya. Aku pun mengabulkan untuk tidur bersamanya.
Sebenarnya bermalam di hotel bagiku membuang uang banyak. Tapi aku tidak bisa mengelak kehendak bf-ku. Aku tidak mau membuatnya marah dan yang pasti nanti aku terkesan gak sayang sama dia. Apalagi kelihatan pelit. Keinginan Andy memang begitu banyak terutama masalah fashion, makan, ngemall, dan karauke. Sejak mulai akrab sama dia sudah terlihat watak borosnya, tapi aku merasa enjoy saja. Walau gajiku habis buat nyenengin dia aku tak peduli. Toh anak dan istriku masih tetap bisa makan dirumah mertuaku. Jadi aku gak kehilangan akal untuk terus nurutin Andy.
Sudah jam sebelas malam aku menghabiskan waktu bersama Andy sejak tadi sore berenang di Cokro. Tiada pernah aku merasakan kedamaian bersama seseorang yang selama ini aku cari. Inilah detik-detik yang selalu kutunggu, dengannya aku sunyi tapi merasa berdua dalam satu dunia. Sepi tanpa ada seorang pun yang membuatku amarah dalam jiwaku. Tidak ada Cantika, Ibu mertuaku yang cerewet walau rindu memeluk putra semata wayangku, Donny. Aku yakin sekarang Donny sedang tertidur pulas entah dengan Cantika atau pun dengan kakek neneknya. Tapi malam ini aku ingin bersama kekasihku, Andy.
Andy ingin menggunakan HP-ku untuk meng-up-date status Facebook-nya. Tapi di Facebook HP-ku belum aku log out. Sehingga ia berusaha me-log out terlebih dulu. Andy membaca statusku,

“Habis renang di Cokro, huft seger….”

Dibawah statusku, Cantika memberikan komentar yang memuakan.

“Romantisnya hahaha.”

Andy pun tergugah membuka Facebook Cantika, dan menunjukkannya padaku. Aku sangat terkejut membaca statusnya.

“Malam ini aku sangat bahagia bersama kekasihku. Thanks Mas Budi cayangk.”

Banyak komentar dari teman-temannya. Diantaranya tertulis ucapan selamat punya gebetan baru. Kemudian dimana Mas Iwan suamimu? Adalagi yang menuliskan komentar, wah siapa tuh Mas Budi? Yang paling heboh dan menyakitkan adalah status Budi, kekasih baru Cantika.

“Sama-sama sayangku, I love u full.”

Cantika pun membalas komentar dengan mesranya.

“Love you too. Muaaaaaaaaaaaahhh.”

Aku marah tentunya. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Toh aku pun sedang sama-sama selingkuh. Dan akhirnya detik-detik yang membuatku semakin pasrah ketika di Facebook Cantika sendiri sudah mengganti info menikah denganku, diganti dengan bertunangan dengan Budi. Remuk. Hancur hati ini. Lengkap sudah dan berakhir malam ini. Walau pun sadar sepenuhnya diriku lari dari kenyataan siapakah yang sebenarnya bersalah, aku atau Cantika?
Menangis aku pun menangis sejadi-jadinya. Andy merengkuhku ke dalam pelukannya. Tidak bisa aku pungkiri aku salah dengan hidup yang aku jalani. Salah dan tidak bisa ingkari semuanya harus berakhir. Aku tahu besok pagi Cantika akan ke Pengadilan Agama, menggugat cerai diriku. Siap saja. Toh pada kenyataannya rumah tanggaku sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Tapi aku akan tetap mempertahankan jangan sampai Donny diasuh oleh Cantika dan mertuaku. Jangan sampai, aku tidak rela. Donny anak kandungku, putraku. Walau aku harus mengasuhnya sendiri sekalipun, aku tetap akan bertahan mati-matian mendapatkan hak asuh.
Tidak sekali lagi tidak untuk bersama perempuan macam Cantika dan mertuaku yang menganggap aku bukan menantunya. Aku ini sudah dianggap kerbau pembajak sawah, sapi perahan, budak yang hanya diharapkan gajinya semata. Memangnya aku mesin pencetak uang apa? Walau pada awalnya mertuaku menganakemaskan diriku, tapi semuanya sudah berakhir sejak kepergian ibuku. Hancur semuanya. Apakah karena aku menikah diatas kepura-puraan menuruti keinginan orang tua? Baik orang tuaku, Cantika pun demikian karena orang tuanya? Sudahlah. Sudah. Rumah tanggaku harus berakhir, meninggalkan akhir yang pilu. Mendeburkan suasana suram dihatiku. Ayahku pasti terpukul dan aku yakin akan membelaku mempertahankan hak asuhku.
*
Pagi-pagi sekali aku ditelpon ayah, mengabarkan kalau hari ini sekitar jam sembilan pagi diminta mengantarku ke kantor Pengadilan Agama. Tiada lain hanya satu urusan, perceraian. Aku masih memeluk Andy, tetap mendekapnya begitu erat. Andy tetap lelap dalam tidurnya. Karena perceraian aku dan Cantika memang akan terjadi. Gelisah, ya, terpukul, ya. Senang pun tidak. Hanya runyam kurasakan karena tidak bisa memimpin biduk rumah tangga yang utuh. Aku tidak mampu membahagiakan ayah, ibu hingga akhirnya akan terjadi hal-hal yang tidak semestinya terjadi. Tapi memang harus terjadi secepatnya dalam hidupku.
Check out dari Lor In aku langsung menujur rumah, menemui Ayahku yang sangat aku sayangi. Beliau menatapku tajam, tanpa kedip ketika aku baru saja melangkahkan kaki di halaman. Ayahku sedang menyirami bunga-bunga kesayangan Ibu.
Aku menyalaminya. Mencium jemari tangannya yang keriput. Matanya merah, tak ada suara sepatahpun terucap darinya.

“Ayah, maafkan Iwan.”
“Maafkan kesalahan Iwan, Iwan gak bisa mempertahankan rumah tangga dengan Cantika.”
“Sudahlah. Ayo kamu siap-siap sana. Ganti baju dan kita sarapan di dekat Pengadilan Agama saja. Biar nggak telat.”
“Iya Ayah.”

Entah sebenarnya kapan Cantika melaporkan ingin bercerai sehingga pemanggilan diriku harus hari ini. Bilangnya kemarin baru mau dilaporkan ke Kantor Urusan Agama. Sudahlah aku gak mau merepotkan masalah ini berlarut-larut. Dan sebentar lagi sidang perceraian akan dilaksanakan.
*
Sidang berjalan mulus tidak ada yang memberatkan kedua belah pihak. Alasan yang membuat malu Ayahku tiada lain karena aku seorang gay. Ayah sangat terpukul. Hak asuh Donny sesuai rencanaku. Aku berusaha mengasuhnya sebaik-baiknya. Ayahku pun akan selalu senang hati dan jiwa ikut andil membesarkan cucu satu-satunya.
Barang-barang yang aku miliki di rumah Cantika sudah kuangkut semua. Donny belum mau aku ajak tinggal bersamaku. Tapi Ibu mertuaku terus belum rela kalau Donny harus diasuh oleh seorang ayah seperti. Khawatir kalau Donny akan tertular yang katanya aku berpenyakit jiwa. Tidak rela cucunya berayah seorang gay. Tapi aku tak peduli. Semuanya pasti akan berlalu dengan indahnya.
Jelas Donny meronta-ronta menangis ketika harus berpisah dengan ibunya. Kakek-neneknya belum ikhlas melepas cucu semata wayangnya. Aku memaksanya ikut tinggal denganku dan kakeknya, ayahku.
Betapa tangisan anak adalah sebuah kesabaran tingkat tinggi yang luar biasa mendesak segenap amarah. Tapi aku tidak boleh marah menghadapi tangisan Donny yang ingin pulang ke rumah ibunya. Itu sangat wajar bagi anak kecil seusianya. Wajar sekali. Secara psikologis perkembangan, usia tiga tahun masih sangat dekat emosionalnya dengan ibu yang memberikan kasih sayang sepenuh hati. Figur ayah belum seberapa besar pengaruhnya pada anak sekecil itu. Walau pun sangat penting untuk pengayom jiwa anak.
Ayahku pun tidak begitu menyoalkan keberadaan ibunya yang harus berpisah dengan Donny. Karena sejak aku lahir, Ayah dan Ibuku bahu membahu bersama merawat diriku. Sehingga kehadiran Donny tidak membuatnya kaku. Walau umurnya sudah tidak muda lagi, Ayah tetap bersemangat menyayangi dan mengasuh cucunya, anakku Donny.
Kepercayaanku pada Ayah dalam mengasuh Donny sepenuhnya membuatku terlena dengan kekasihku Andy  yang makin manja saja, menuruti semua keinginannya. Hingga aku harus mengorbankan jiwa raga dan hartaku. Dia tipe pemboros, memaksakan kehendak, kalau tidak dituruti akan marah dan tentun saja ngambek.
Andy sering membuatku pusing, menuruti keinginannya yang menguras uangku. Tiap awal bulan pasti ada-ada saja yang diinginkannya. Aku sampai bokek. Sering meninggalkan Donny, membuat ayahku kepayahan. Ayahku menjadi sering sakit-sakitan. Padahal aku sebagai ayahnya malah lebih memperhatikan BF-ku saja. Tidak memedulikan anak sendiri. Egois sekali diriku.
Bulan ke lima Donny tinggal dirumahku dengan kakeknya yang sangat memanjakannya membuatnya sudah kerasan, betah. Ia jarang sekali bertanya keberadaan ibu dan kakek-neneknya. Walau kadang Cantika atau neneknya menengoknya, tapi Donny sudah tidak mau diajak pulang. Itu membuatku senang.
Pukulan terberatku adalah ketika Ayahku mulai sakit-sakitan. Aku harus merawatnya, membesarkan Donny, dan tentu saja memberikan kasih sayang pada Andy. Tidak terasa perhatianku membengkak pada BF-ku sendiri. Aku lebih mementingkan perasaanku yang sudah terlanjur sayang padanya. Sehingga hari-hari siang malamku banyak kuhabiskan bersamanya. Rasa cinta anak kepada orang tua satu-satunya yang masih hidup begitu mudah tersisih dalam hidupku. Begitu pula kewajiban diriku sebagai Ayah Donny sangat renta, tidak sepenuhnya membesarkan secara perhatian dan memantau perkembangannya.
Aku tidak pernah percaya lagi dengan statusku sendiri sebagai anak untuk merawat Ayah kandungku yang sudah tua, sedang sakit, dan tentu Ayah telah paham keadaan diriku. Sosok pendiamnya memang mendiamkan semua apa yang aku perbuat sekehendakku. Anak macam apa aku ini. Hingga malaikat pencabut nyawa melaksanakan tugasnya, Ayah harus berpulang dihadapan-Nya. Inilah aku yang harus kehilangan kedua orang tua. Tinggal Dony bersamaku. Anak dan ayah yang merana.
Beberapa kali aku mengajak Andy untuk tinggal serumah denganku, ia menolaknya. Alasannya satu, anakku Donny akan mengganggunya. Memang Donny walaupun tanpa Ibu disampingnya pembawaannya tetap riang. Aku mengkondisikan bagaimana dirinya selalu ceria.
Lama-kelamaan, aku tak tahan untuk selalu menolak keinginan Andy menemaninya sepanjang waktu. Karena aku jelas mengorbankan Donny. Malam hari yang mencekam Donny sering aku tinggal tidur sendirian. Pagi baru aku kembali menyiapkan sarapannya, mencuci bajunya, menemaninya bermain sebentar sebelum  bersamaku berangkat kerja, dan aku membawanya ke penitipan anak.
Ketika aku harus selalu memerhatikan BF dan anakku, Andy lebih menuntut untuk diperhatikan segalanya. Aku sudah sangat mencintainya. Tidak bisa berkutik apapun untuk bisa lepas darinya. Tidak bertemu sehari rasanya hampa. Gila aku ini dibuatnya.
Ketika Donny harus menahan rasa sakit ketika malam hari terjatuh dari tempat tidur, sementara aku sedang berada di kos Andy, lantas pagi hari sudah aku temukan anakku sendiri, sudah meninggal. Betapa sesal tiada berguna aku perbuat. Tega menelantarkan anak hanya demi mempertahankan hubungan sesama jenis dengan BF-ku yang matre dan posesif itu. Semuanya berakhir dengan pilu.

1 comment: