Kisah Petualangan Sex Paidjo
Perkenalkan kawan-kawan, nama saya Paidjo.
Sebenarnya namaku yang sebenarnya adalah Ade Marjo alias Ade anaknya Pak Marjo.
Karena di kampung saya tidak ada yang bersudi memanggil saya dengan sebutan
Ade’ (adik), makanya orang-orang memanggil saya cukup dengan Djo! Ada yang
bilang Bedjo… ada yang bilang Nardjo atau Marjo… tapi paling banyak orang
memanggil saya dengan sebutan sederhana… Paidjo.
Banyak orang yang berkeluh bahwa hidup di kampung
nelayan saya ini sukar. Tapi saya ini masih bocah, tiga belas tahun… belum
kenal hidup susah. Semuanya dianggap senang-senang saja. Mau ikut melaut
bersama ayah-pun tidak diijinkan, masih terlalu muda kata mereka. Sekolah juga
sudah tutup di kampung saya, wong ndak ada yang punya uang untuk bayar
sekolahannya. Untung saya sudah lulus SD tahun lalu.
Kegemaran saya pergi ke pantai. Walaupun mata masih
keriyep-keriyep, setiap pagi saya menyempatkan diri untuk mengunjungi pantai
tak bernama di depan kampungku. Bukan untuk menghirup udara segar, bukan pula
untuk menikmati terbitnya terbit, kesukaan saya hanya satu, yaitu melihat
pemuda-pemuda desa yang gagah perkasa itu kembali dari laut yang ganas.
Dalam musim yang baik seperti saat ini mereka
tampak senang sekali. Jaringnya dipenuhi dengan berbagai penghuni laut.
Lelahpun tak mereka rasakan, asal sudah mendapat ikan untuk dijual dan dimakan
sendiri saja.
“Paidjo… nanti kamu mBantu saya mbelek ikan ya?”
“Paidjo… jala saya tolong dijahitkan…”
“Paidjo… turut nambal kapal?”
Paidjo ini… Paidjo itu… Waktu saya masih berumur
dua tahun, kakak lelaki saya meninggal termakan Laut Utara, akhirnya
pemuda-pemuda tadi semua saya anggap kakak saya sendiri. Yang paling saya
anggap kakak ya… Mas Sadikin. Orangnya tinggi besar, tidak pernah takut dengan
siapapun. Karena rumah kami bersebelahan, mungkin Mas ‘dikin menjadi yang
paling dekat dengan saya dari semua pemuda-pemuda itu.
“Lho kamu kok maen di sini, ndak ngurusi Bapakmu
sana?”
“Wong sudah tidur Mas, kecape’an… tadi sudah saya
bikinkan sarapan dan kopi, habis itu langsung mbleksek (terlelap)”
“Ya bagus lah, kamu jadi anak yang baik sekarang…
ingat pesan emakmu sebelum beliau meninggal kan?”
“Iya mas…”
“Eh, kamu bawa apa ini?”
“Singkong rebus Mas… kesukaan Mas ‘dikin…”
“Wah… makasih ya…”
Dengan lahapnya Sadikin menyantap singkong rebus
sederhana itu. Mulutnya penuh, peningnya bepeluh, seperti esok tiada hidangan
lagi.
“Wah uenak banget ‘djo… kamu ndak mau lagi?”
“Wis wareg (kenyang) mas… lho, apa itu
kuning-kuning jatuh di bawah dipan?”
Sadikin menengok ke arah yang ditunjukkan Paidjo
dan mengambil sebuah kartu pengenal berlaminating.
“Wah, makasih lagi ya ‘djo.. itu KTP-ku… mungkin
jatuh pas tidur semalam…”
(Sambil melihat kartu)
“Mas ini sudah tua ya… duapuluh lima tahun… kapan
mo nikah mas?”
“Ah, mana ada orang mau nikah sama saya ‘djo.. kamu
ini aneh… wong saya ini kan miskin, ndak punya apa-apa…”
“Ya tapi kan ndak semua perempuan nyari harta mas,
yang penting Mas bisa membahagiakan dia…”
“Kowe iki ‘cah cilik kok yo (kamu ini anak kecil
kok) sok tau banget…”
“Lho bener mas… dikasih tau guru ngaji waktu surau
di sana masih buka…”
“Ah dan lagi aku jelek gini ‘djo…”
“Jelek ‘piye (bagaimana) Mas? Wah mas ini ndak tau
ya… gadis-gadis sa’ (satu) kampung semua naksir sama Mas…” (sambil mengacungkan
kaca kecil ke depan wajah Sadikin)
“Mosok tha (yang benar)?”
Sadikin memandangi parasnya yang sangat maskulin.
“Iya, ya ‘djo… aku kayaknya ndak jelek-jelek
banget…”
“Ndak percaya kalo dikasih tau sih, kalo aku cewek
mungkin aku juga sudah naksir sama Mas… liat nih… badannya besar, tegap,
tangannya kuat, cambangnya tebal, dadanya bidang… banyak bulunya lagi… kurang
apa Mas?”
“hehe.. kamu ojo ngono lah (jangan begitu)… aku
nanti ge-er…”
“Aku sendiri berharap nanti kalo sudah gede bisa
keliatan seperti Mas ini… kalo nyukur brewok pagi-pagi saja, sorenya sudah
numbuh lagi…” “Walah… kok medheni ngono (menakutkan begitu) kamu ‘djo… masak
kamu memperhatikan aku sampai kayak begitu?”
Walah, piye iki (bagaimana ini)? Ketahuan.
“Lha tiap hari saya kesini, gimana ndak merhatiin?”
“Coba kalo aku merhatiin kamu sampai kayak gitu…
kamu ndak takut kalo saya naksir kamu?”
Deg.
Nama saya Sadikin. Saya berumur duapuluh lima
tahun. Saya anak asli kampung nelayan sini. Sudah pernah ke kota tapi ndak
senang, bising dengan suara mobil dan brompit (motor). Kota Jepara yang paling
dekat dengan dusunku ini saja sudah membuat saya pusing. Saya memang belum
menikah, pacaran saja belum pernah. Habis saya pemalu, ndak tau mau ngomong apa
kalo ketemu perempuan. Waktu saya akhirnya saya habiskan untuk bekerja saja.
Kerja apa lagi kalo bukan jadi nelayan…
Saya ndak pernah nolak rejeki dari Tuhan, walaupun
harus berangkat ke laut di malam gulita. Harapan saya hanya satu, bahwasannya
ketika saya kembali ke pantai saya akan disambut senyum ceria adik saya.
Oh pembaca mungkin belum tahu ya? Saya sebenarnya
tidak punya adik kakak… orang tua saya, yang tidak pernah saya kenal,
menitipkan saya di sini pada saat saya masih bayi. Yang saya anggap adik itu
sebenarnya anak tetangga saya, namanya Paidjo.
Wah, kerja satu hari satu malam ndak terasa capek
kalau melihat senyumnya. Dia anak baik-baik, saya ndak tega kalau melihat dia
susah seperti saya ini. Kalau ada uang lebih saya terkadang membelikannya buku
bacaan, seperti biasa dia akan membacanya keras-keras kepada saya yang buta
huruf ini.
Hari ini dia menyambut saya di pantai lagi.
Membawakan singkong rebus kesukaan saya. Wah adikku sayang, baik sekali dia…
Sudah berkali-kali kutahan napsu birahiku
kepadanya. Aku berusaha terus untuk eling (ingat) kepada Yang Kuasa.
Orang-orang bilang napsu itu dosa… apalagi saya baru ingat, paling Paidjo masih
dua belas atau tiga belas tahunan.
Fisiknya itu yang sering membuat saya terkecoh.
Anak itu jangkung sekali, seperti sudah enam belas atau tujuh belas tahun.
Kulit mulusnya coklat terbakar sinar matahari. Tapi yang membuat saya gemas itu
parasnya… lucu sekali… ganteng… seperti anak-anak juragan dari Semarang. Ingin
rasanya kucubit bokongnya (pantatnya) yang kenyal dan bundar itu. Jangan lah,
nanti saya lepas kekakangan, tak tahulah apa yang akan terjadi…
Hari ini juga aku baru tahu jika ia sangat
memperhatikan aku, hingga kepada hal-hal kecil dari tubuhku ini. Ingin sekali
kupeluk dia saat itu, aku sangat bahagia rasanya. Akhirnya saya, anak yang tak
kenal ibu-bapaknya ini memiliki seseorang yang memperhatikannya.
Kata-katanya masih terngiang-ngiang di kupingku,
“Ndak percaya kalo dikasih tau sih, kalo aku cewek
mungkin aku juga sudah naksir sama Mas… liat nih… badannya besar, tegap,
tangannya kuat, cambangnya tebal, dadanya bidang… banyak bulunya lagi… kurang
apa mas?”
Ada juga orang yang memujaku, kujawab saja,
“hehe.. kamu ojo ngono lah (jangan begitu)… aku
nanti ge-er…”
“Aku sendiri berharap nanti kalo sudah gede bisa
keliatan seperti Mas ini… kalo nyukur brewok pagi-pagi saja, sorenya sudah
numbuh lagi…”
Seperti saya harus bertindak sebagai kakak yang
baik dan tidak menjerumuskan anak kecil, “Walah… kok medheni ngono (menakutkan
begitu) kamu ‘djo… masak kamu memperhatikan aku sampai kayak begitu?”
“Lha tiap hari saya kesini, gimana ndak merhatiin?”
“Coba kalo aku merhatiin kamu sampai kayak gitu…
kamu ndak takut kalo saya naksir kamu?”
Deg. Dia terdiam. Sayapun ikut diam.
“Kamu dulu ndak diajari sama Santri di surau itu?”
tanyaku selanjutnya
Dia tetap terdiam.
“Saya ini yang ndak pernah tau sekolah dan beragama
saja tahu ‘djo… cah lanang kuwi kudu bareng cah wedo’ (lelaki itu harusnya
bersama wanita) ora’ yo mbek sing lanang ngoten lho (tidak dengan pria lainnya
begitu)…”
Waduh, saya merasa aneh sekali mengucapkan
kata-kata itu. Memang saya masih perjaka ting-ting, belum pernah berbuat
apa-apa. Tapi saya masih ada napsu membara yang terus saya usahakan untuk padam
terhadap adikku Paidjo ini.
Anak remaja itu akhirnya menangis kecil dan
mengucurkan air mata. Mungkin ia takut persahabatan kita berakhir sampai di
sini. Entahlah apa pikiran anak seumur itu…
“’djo… kamu kok nangis… aku jadi sedih juga…”
Tiba-tiba ia berlari keluar dari gubugku menuju
lepas pantai. Saya sangat takut jika ia berpikir untuk melakukan tindakan yang
bukan-bukan. Saya sudah naksir Mas Sadikin dari dulu, lama sekali… Mungkin
sejak ia sering mengganti popokku, atau sejak ia memandikanku ketika aku masih
kecil. Aku tidak bisa berbohong lagi padanya. Aku memang ingin Mas ‘dikin
menjadi kekasihku. Aku ingin merasakan belaian kasih sayangnya, dalam
perlindungan bulu dadanya yang hangat.
Ketika gayung tidak bersambut, akupun kehilangan
arah. Tubuh terasa menjadi semakin lemas, tak tau ingin apa dan bagaimana.
“Djo!!!”
Aku berusaha menghindarinya dan berlari
sekencang-kencangnya.
“Djo!!!”
Suara itu semakin mendekat dan mendekat, kakiku mulai
menyentuh air asin yang hangat pagi itu. Belum sempat aku melompat ke laut,
tiba-tiba kepalaku terasa pening. Sesuatu yang besar menimpaku.
Ah, lihatlah dia sedang tidur terlelap, seperti
malaikat kecil yang selalu membahagiakanku. Saya tadi sudah minta maaf dengan
dia. Kalau tidak saya lempar dengan buah kelapa, mungkin tadi dia sudah nekad
nyebur ke laut.
Ayahnya masih tidur. Akhirnya Paidjo yang tak
sadarkan diri itu saya bawa kembali saja ke gubug saya. Saya tidurkan dia di
dipan. Pagi-pagi kok sudah main kejar-kejaran, pikir saya. Padahal sudah sangat
lelah setelah melaut tadi malam. Akhirnya saya tertidur juga di sampingnya.
Terik mentari pantai utara memancarkan panas yang
mulai bergumul di dalam gubug sederhana itu. Atap seng itu terus menyerap suhu.
Udara dalam ruangan mulai terasa gerah dan lembab. Malaikat kecil dan dewasa
tadi masih teronggok lemas di atas dipan. Keringat telah membasahi sekujur
tubuh mereka.
“’djo… bangun djo… bangun…”
“Mas ‘dikin…”
“Udah gak usah dipikirin yang tadi… wah keringetan
semua ini…”
Paidjo berusaha bangun dari samping tubuh pemuda
pujaan desa ini tetapi Sadikin menahannya. Kepala bocah itu ia sandarkan pada
dadanya yang lebat bulu itu, dan rambut anak itu ia belai dengan sayang.
Dengan keras Paidjo berusaha menahan senyum
bahagianya. Ia nikmati saja gesekan pipinya pada bebuluan kasar di sana. Aroma
khas lelaki sejati dapat ia rasakan dari balik ketiak yang penuh rambut itu.
Perlahan tetapi pasti batang zakarnya mengeras hingga menyentuh paha kekar
Sadikin.
“Wah cilik-cilik wis iso mlembung manu’e yo?
Haha…(Wah, anak kecil sudah bisa ereksi ya?)” Sadikin tertawa.
Paidjo menunduk malu. Tatapannya malah kini tertuju
pada sarung yang dikenakan Sadikin, tepat di persimpangan paha pria yang
bermandikan keringat itu. Seonggok benda tumpul yang masih terkulai dengan
gagahnya tercetak jelas di balik sarung.
“Lho knopo tha ‘djo? Kok manukku mbok plototi
ngono?” (Lho, kenapa sih Djo, kok kamu memperhatikan kontol begitu?)
“Gini lho Dik, inget pembicaraan kita yang tadi
pagi tho?” Sadikin beranjak bangun dan berpindah ke sisi dipan yang lain dan
bersender ke dinding yang berhadapan dengan tubuh Paidjo.
“Maap Mas…”
“Denger dulu tha… Daripada kamu nanti berbuat bodoh
seperti yang tadi pagi itu, yo wiz aku rak popo lah, karepmu dewe’ meh mbok’
apa’ke aku (ya sudah aku boleh-boleh saja ingin kau apakan). Saiki kowe arep
ndelok manu’ku? (sekarang kamu mau lihat kontolku?)”
“I…iya… boleh Mas?” tanyanya malu-malu.
“Ko’sek yo… aku sa’ benere ora popo, cuma’ yo
ngonolah… (Sebentar ya… aku sebenernya boleh-boleh saja, cuman) aku masih malu
sama kamu…”
“Kamu duduk yang bener Djo…”
Dari posisi bersila bersadarkan dinding itu
perlahan-lahan Sadikin menegakkan kaki kanannya. Sedikit-demi sedikit ia
menyingkapkan sehelai penutup aurat yang ia kenakan dengan menarik ujung kain
itu ke dadanya. Bebuluan mulai saling kejar-mengejar di sepanjang kaki dan
lutut pria itu.
Jantung mereka berdua berdegup semakin kencang.
Ketika ujung sarung berhasil ditambatkan dilutut kanan Sadikin, hawa ruangan
itu berubah. Aroma lelaki terpancar dari pangkal paha yang rimbun itu.
Satu setengah meter dihadapannya duduklah Paidjo
dengan pandangan terbelalak menatap kemaluan Sadikin yang indah terkulai itu.
Buah lelaki kembarnya seakan bersarang di atas bebuluan yang hitam dan lebat.
Zakarnyapun terlihat nyaman bersemayam diatas buah kembar tersebut. Jamur besar
yang membentuk kepala kontol itu berwarna kemerahmudaan yang kemudian
terbalutkan oleh kulit bernuansa sawo matang.
“Nah piye Dik? Apik ora? (Bagaimana, bagus tidak?)”
“A… apik Mas, b… boleh saya pegang?” “Sini… tapi
pelan-pelan ya… soalnya belum pernah dipegang orang lain ini…”
Paidjo mendekat dan bersila sebelum ia berusaha
meringkuk dibalik sarung yang tersingkap itu. Sadikin kemudian membuka diri dan
melebarkan pahanya. Ular tidur dan kedua buahnya itu mendadak tergeletak di
atas dipan. Ia membiarkan jari-jari Padjo bermain disekujur tubuh kontolnya.
“Wah… besar sekali Mas, empuk ya…”
“Iya sebentar lagi akan menjadi keras dan tidak
empuk lagi Dik…”
Tanpa diberi aba-aba Paidjo seketika menelungkupkan
diri dan menyembunyikan kepalanya di dalam sarung tersebut.
“Hey… apa-apaan ini?”
Insting kehewanannya langsung melahap ular tidur
tersebut di dalam mulutnya. Dengan gerakan kasar Paidjo mulai menghisap batang
zakar itu naik turun. Ia mengulum kepala kontol itu seakan sedang menikmati
santapan terlezat tahun itu. Sadikin-pun seketika mengerang merasakan
kenikmatan jasmani tersebut. Tubuhnya kemudian lunglai dan terlentang di atas
dipan sementara Paidjo menyibukkan diri dibalik sehelai sarung yang Sadikin
kenakan itu.
Seperti layaknya seorang ibu yang hendak
melahirkan, Sadikin membuka pangkal pahanya agar Paidjo lebih leluasa bergerak
memuaskan keingintahuannya. Sadikin merasa benar-benar santai dan ia meletakkan
kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalan. Bulu dada lebatnya yang
tampak basah oleh keringat itu terus merambat hingga menjumput dibalik kedua
ketiaknya.
Birahi tinggi telah menghipnotis mereka berdua.
Ular tidur tersebut telah bangun dengan perkasanya. Mulut kecil Paidjo tak lagi
mampu menelan keseluruhan panjang tubuh kontol itu, Ketebalan tubuh setara
dengan kaleng minuman ringan itu terasa sangat sempit berada di dalam rongga
mulut Paidjo. Buah kelelakiannya pun semakin mengencang, bau lelaki semakin
terasa intensitasnya. Kedua tangan Sadikin sudah berubah posisi memberikan
navigasi bernafsu tinggi dibelakang kepala Paidjo yang tertutupi sarung
tersebut. Kedua mahluk yang tak berpengalaman itu meningkatkan harmoni
pergerakan mereka.
“Ugh… ugh….” Sadikin terus mengerang.
Tak lama kemudian sang ular naga mengamuk. Berulang
kali ia memuntahkan cairan kenikmatannya di dalam rongga mulut Paidjo hingga ia
tergulai lemas dalam kuluman dasyat itu. Tidak tahu berapa menit telah hilang
dari hidupnya, Sadikin dibuat tak sadar terlena keajaiban langit ketujuh yang
belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ketika ia membuka kelopak matanya, sarungnya telah
tersingkap dan sebuah pemandangan indah tersaji. Paidjo sedang sibuk
membersihkan hasil yang tersisa di kepala kontolnya dengan lidah kecilnya yang
berbakat. Batang zakar yang melemas itu terus ia jilati, begitu pula dengan
kedua buah kelelakian yang hangat itu.
“Mas… burungmu itu benar-benar enak untuk disantap,
apalagi dengan akhiran saus putih sebagai pemuas dahaga itu…”
Sadikin tergeletak kembali di atas dipan. Ada
senyum kecil dibibirnya. Tubuhnya terasa sangat lemas.
ketika ia membuka kelopak matanya, sarungnya telah
tersingkap. Paidjo sedang sibuk membersihkan hasil yang tersisa di kepala
kontolnya dengan lidah kecilnya yang berbakat. Batang zakar yang melemas itu
terus ia jilati, begitu pula dengan kedua buah kelelakian yang hangat itu.“Mas…
burungmu itu benar-benar enak untuk disantap, apalagi dengan akhiran saus putih
sebagai pemuas dahaga itu…”
Sadikin tergeletak kembali di atas dipan. Ada
senyum kecil dibibirnya. Tubuhnya terasa sangat lemas.
Setelah kejadian yang pertama itu nampaknya adik
angkat saya, Paidjo, benar-benar terobsesi dengan kontolku. Tak perduli kapan
dan dimanapun juga, setiap kali bertemu dengan saya, Paidjo selalu saja
langsung ingin menyusu dari kontolku. Apa mungkin ketika ia masih bayi, ibunya
kurang memberinya asi? Ya benar seperti anak sapi kecil saja. Bukannya saya
tidak senang dengan hal ini, toh setiap pria pasti merasakan kenikmatan dan
kepuasan jasmaniah yang satu ini.
Namun, lama-kelamaan saya merasa bahwa ia tak lagi
menghargai saya sebagai kakaknya. Sadikin sudah menjadi hanya sebagai pemuas
obsesinya terhadap air mani saya. Barang yang sifatnya lebih pribadi lagi dari
kemaluan seorang lelaki itu sendiri. Rupanya ia telah menganggap cairan
kelelakian itu sebagai protein utama dari santapan rohani harian yang harus ia
dapatkan.
Bayangkan teman-teman hampir setiap kali saya
membuka mata ketika terbangun, wajahnya yang lucu itu sudah setengah jalan
mengulum kontol saya. Selalu saja sarung saya sudah tersingkap untuk memberikan
Paidjo keleluasaan bergerak. Terkadang saya seperti merasa diperkosa saja. Dan
kegigihannya tak akan dapat diputuskan begitu saja. Ketika saya haus dan harus
mengambil minum saja, ia tetap tak melepaskan isapan kenyalnya dari kemaluan
saya. Ia takkan berhenti sampai mendapatkan imbalan susu kental dari kantung
pelir saya itu.
Paidjo bahkan dengan rajinnya selalu memasakkan
hidangan untuk saya. Walaupun terdengar mulia, sebenarnya ini merupakan bentuk
keegoisannya. Dia tidak mau saya repot-repot memasak sehingga saya dapat
langsung duduk saja di bangku sehingga adikku yang bandel itu langsung dapat
menyelusup ke bawah meja dan menyibakkan sarung saya untuk minta disusui lagi.
Mungkin karena aktifitas hormon priaku meningkat
drastis beberapa bulan belakangan ini berkat “bantuan” Paidjo, sayapun merasa
bahwa bebuluan di sekujur tubuh saya makin timbul dan menyerbak lebih lebat
lagi. Untung saya termasuk perkasa mungkin ya. Kantung pelir saya terus menerus
berproduksi sebagai pabrik alami untuk memuaskan napsu dahaga adik saya itu.
Rasanya kepala kontolku itu tidak pernah berstatus dalam keadaan kering
belakangan ini. Dalam satu hari bisa belasan kali lidah dan mulutnya yang
berbakat itu beraksi di sana.
Kejadian yang membuat saya nekad bertanya kepada
saudara-saudara ini adalah bahwa beberapa hari belakangan ini, Paidjo bahkan
tidak bisa ditahan untuk minta terus disusui bahkan ketika saya sedang membuang
hajat di jamban belakang gubug saya. Saya merasa bahwa dia sudah termabuk napsu
dan hal ini harus dihentikan.
Pertamanya ya memang sederhana saja, kebetulan
siang itu setelah istirahat dari laut, perut saya tiba-tiba berhasrat untuk
buang hajat. Segera saja saya berlari ke jamban di belakang. Saya gulung saja
sarung kesayanganku itu di pinggang sebelum saya berjongkok. Belum lewat dua
menit saya menikmati kesendirian itu, tiba-tiba Paidjo membuka pintu jamban
yang tingginya memang hanya sepinggang saya.
“Mas Dikin, saya mbok diajak…. Udah kepingin nyusu
lagi nih…”
“Wah Dik, tunggu sebentar di gubug ndak bisa? Nanti
ehm… ta’ kasih air mani yang banyak deh, Mas janji…”
Tidak memperhatikan perkataan saya, Paidjo langsung
berlutut di depan kontolku. Bahkan aroma hajat yang menusuk itupun tak ia
perhatikan lagi. Jemarinya langsung menimang kepala kontolku yang besar itu. Ia
mengelus-elusnya sebentar sebelum langsung melahapnya seperti biasa. Memang
pengalaman yang aneh, buang air sembari menerima kobaran napsunya. Aneh tapi
nikmat lho teman-teman. Rasanya lega sekali, dapat dua-duanya, crot di belakang
kemudian crot di depan juga. Tapi ya itu, aneh saja. Sudah beberapa hari ini
dia terus mengikuti saya hingga ke jamban seperti itu.
“Kamu ndak takut keciprat hajatku?”
“Ndak… yang penting dapat susu…”
Kenapa ya? Perutnya itu seakan tak pernah
terpuaskan oleh air mani saya? Dan apa yang membuat saya lebih bingung lagi?
Paidjo tak pernah mau saya sentuh atau telanjangi. Katanya ia malu dengan saya.
Memang saya harus bisa maklum dengan sifatnya yang memang masih bocah. Tapi
bagaimana ini?
Lama-lama tubuh saya lemas juga harus memberikan
enerjiku sebanyak itu perharinya. Karena sudah tidak tahu harus saya apakan
lagi, pada suatu malam saya putuskan untuk memperbincangkan masalah ini dengan
kawan-kawan saya sesama pemuda nelayan. Saat saya melaut adalah satu-satunya
saat saya bisa terbebaskan dari cengkraman napsu Paidjo.
“Wah ena’e piye yo Mang? (enaknya bagaimana ya
Mang)”
“Walah aku yo bingung ne’ ngadepin bocah sing ora
keno dikandani ngono… (aku juga bingung menghadapi bocah yang tak dapat
diberitahu itu)”
Lima sekawan itu mendengarkan persoalan Sadikin
dengan serius. Rata-rata dari mereka malah terkesan iri bahwa Sadikin mendapat
pelayanan seperti itu. Kemudian secara tak sengaja ide itu muncul…
(Garis Pembatas Jeda……..)
“Malem Mas mari masuk… sudah saya hidangkan
santapan malam untuk lima orang seperti yang Mas Sadikin minta tadi siang…”
Setelah semuanya duduk di dipan, Sadikin membuka
pembicaraan:
“Gini lho Dik… terus terang saja Mas Sadikin sudah
bercerita tentang kegemaran kamu menelan air mani itu kepada sahabat-sahabat
Mas ini…”
Paidjo langsung terdiam, wajahnya hampir pucat.
“Lho, ndak papa kok Dik, kita semua kan temannya
Mas Dikin, jadinya memang harus saling membantu…” ujar Iswanto.
“Jadi gini lho… supaya tubuh Mas Dikin tetap kuat,
terkadang ia juga butuh beristirahat kan? Nah, kami hanya ingin bilang bahwa
kalau Mas Dikin sudah lelah, kami berempat ini juga bersedia menyusui ‘dik
Paijo lho…”
Sadikin kemudian beranjak duduk di belakang Paidjo
dan kemudian mengusap-usap rambut bocah yang lembut itu. Paidjo masih terkejut
mendengar tawaran dari kakak-kakak ini yang kini semuanya sedang menyandarkan
diri di dinding. Sadikin kemudian memeluknya dari belakang selayaknya kakak
terhadap adiknya sendiri.
Keempat pria gagah di hadapan mereka perlahan mulai
menapakkan kaki mereka di dipan dan perlahan menyibakkan harta karun yang
paling berharga dari balik sarungnya masing-masing.
“Tuh liat… ndak kalah bagus tho? Sekarang kamu
punya empat mainan tambahan, seneng ndak Dik?”
Paidjo mengangguk sembari terkesima menyaksikan
empat kontol pria yang berbentuk sangat indah itu terpampang di hadapannya
untuk dimainkan.
Mereka menghabiskan dua jam sebelum waktu mereka
melaut malam itu dengan bermain kartu di meja makan. Tubuh-tubuh kekar yang
kini sudah bertelanjang bulat mengibarkan aroma kelelakian yang dasyat di gubug
kecil itu. Paidjo dengan cekatannya melayani mereka semua dari bawah daun meja.
Kedua tangan lembutnya masing-masing meremas batang-batang keras kakak-kakak
barunya itu sementara salah satu dari mereka mendapatkan pelayan khusus dari
mulutnya. Dengan sabar mereka menantikan gilirannya masing-masing.
Mereka hanya bermain kartu tiga ronde malam itu.
Karena dalam setiap rondenya Paidjo berhasil dengan sukses memaksakan kelima
lelaki itu untuk menyerahkan air maninya, maka ronde keempatpun diputuskan
untuk tidak dilanjutkan. Mereka mungkin akan kehilangan tenaga untuk berlayar
malam itu.
“Sampai ketemu besok pagi ya Dik… sekarang kamu
pulang dan tidur di rumah Bapakmu…”
“Iya… makasih ya kakak-kakak semua!!” ujarnya
tersenyum. Di pipinya masih berceceran banyak cipratan-cipratan sperma entah
milik siapa tadi. Malam ini Paidjo dapat tidur dengan nyenyak karena ia sudah
tiga ronde terkenyangkan oleh sup kental dari kelima pria tersebut.
Sementara itu disebuah kapal nelayan:
“Gila adikmu itu Kin!! Aku terus terang ndak bakal
sanggup melayaninya setiap hari… ia jauh lebih bernapsu daripada istriku!”
(Garis Pembatas Jeda……..)
Dan gawatnya bagaimana teman-teman?
Keesokan siangnya ketika saya terbangun dari
istirahat saya, seperti biasa saya sudah menemukan mulutnya disibukkan oleh
batang kelelakianku yang mengeras dengan sempurna itu.
“Selamat siang Dik… bagaimana tadi malam? Kamu
setuju ndak kalo kadang-kadang kamu bermain dengan mereka juga?”
“Ndak mau ah Mas…”
“Lho kenapa? Kan semuanya juga ganteng-ganteng dan
burungnya besar dan kenyal juga?”
“Iya tapi…”
“Tapi apa?”
“Yang lain susunya ndak seenak seperti punya Mas
Dikin…” kemudian ia meneruskan aktifitasnya memerah kontol saya dengan jepitan
bibirnya.
Mampus saya...
gawat ini, saya harus berbuat sesuatu” pikirku.
“Sini dulu lho Dik, jangan ngenyot terus lah…Lihat itu bibirmu semakin hari
jadi semakin merah dan tipis”
“Ya bagaimana Mas? Orang botol susunya berurat
kencang dan besar sekali!”
“Udah lah… sini Dik…”
“Nanti Mas sebentar dong, aku belum minum susu lagi
hari ini…”
Tanpa kompromi Sadikin kemudian menarik tubuh
Paidjo dan mendudukkannya tepat di sebelahnya di atas dipan kayu itu. Air
maninya masih memuncrat dengan deras dari lubang kecil di penghujung alat kelaminnya.
Setelah nafasnya tenang sedikit, ia melanjutkan
pembicaraannya,
“Dik… dunia ini luas sekali adanya. Kamu kan masih
muda. Banyak sekali hal yang dapat kamu pelajari di sana. Tidak cuman ngenyot
susu aja Dik… Coba kamu pikirkan, apakah kamu mau jadi nelayan seumur hidupmu
seperti kakek dan bapakmu? Apakah tidak ada hal-hal lain yang ingin kau
rasakan?”
“Kalau setiap hari kamu hanya belajar ngeyot susu
terus, ya, ndak akan maju nantinya kamu Dik…”
“Jadi maunya Mas Dikin bagaimana?” tatap bocah lucu
itu.
“Begini dik, saya sudah bicarakan dengan ayahmu
tentang hal ini. Kamu harus melanjutkan sekolah.”
“Tapi Mas di desa kita sudah tidak ada lagi sekolah
lanjutannya…”
“Makanya Mas mau ngirim kamu ke kota, supaya kamu
bisa belajar banyak. Nanti bila sudah menjadi orang yang berhasil, kamu harus
kembali ke desa ini untuk memajukannya…”
“Lha di kota saya tinggal dengan siapa Mas?”
“Aku sudah pikirkan hal itu. Minggu lalu waktu Mas
menjual hasil laut di pasar, aku bertemu dengan langgananku Meneer Suryo dari
kota. Kemudian saya berceritera panjang lebar tentang kamu Dik. Nah, karena ia
dan istrinya hingga sekarang ini belum juga dikaruniai anak, mereka malah
sangat mengharapkan kehadiranmu di sana. Bukan sebagai pekerja di sana. Tetapi
sebagai anak didik mereka sendiri. Bagaimana Dik?”
“Bapak sudah tau Mas?”
“Sudah dan beliau sangat setuju sekali tentang hal
ini…”
“Mas setuju juga?”
“Ya demi kemajuanmu Mas harus setuju lah…”
Baru sekali ini saya merasa benar-benar kesepian.
Tak ada lagi orang yang mau menerimaku di sampingnya. Bahkan Mas Dikin dan
Bapak sendiripun sudah merelakan kepergian saya. Tidak apa, mungkin saya tidak
berguna bagi mereka. Saya akan mengabulkan keinginan mereka.
“Paidjo, kamu harus tegar. Kamu tidak boleh
menangis…” ucap bocah itu dalam hati.
“Baiklah Mas, kapan saya berangkat?” jawabnya
lemas.
“Malam ini juga. Saya akan antarkan adik kepada
Meneer Suryo langsung ke kota lewat laut agar lebih cepat…”
Secepat itukah mereka harus membuang saya?
“Bergegaslah kamu pulang dik, pamit dengan Bapakmu.
Aku akan menunggumu di atas kapal nelayanku tepat pada saat magrib tiba”
Paidjo mengusapkan kepalan tangan kanannya di
bibirnya yang masih bernoda cairan kejantanan kakaknya tadi. Ia merasa sangat
sedih, tapi tetap saja ia membenahi pakaiannya dan melangkahkan kaki kecilnya
pulang ke rumah Bapaknya.
(Garis Pembatas Jeda……..)
“Djo, ini semua pakaianmu sudah Bapak kemas di
dalam karung goni ini. Belajarlah yang benar nak supaya nanti kamu bisa menjadi
orang yang berhasil. Maaf Bapak tidak dapat membawakan apa-apa untukmu pada
saat ini.”
“Tidak papa Pak. Terimakasih atas doanya. Paidjo
pamit dulu…”
“Jangan lupakan Bapak dan orang kampung sini Djo!”
Paidjo berhenti dari langkahnya, ia membalikkan
tubuhnya ke arah gubug sederhananya itu. Ia tersenyum sedih dan melambaikan
tangannya pada sang ayah. Tentang kapan ia akan kembali ke kampungnya tercinta
ini saja ia tidak tahu, jangankan menerka tentang nasibnya di kemudian hari.
Mentari sore sudah hampir habis tertelan lautan
luas pada saat ia menapakkan kakinya di pantai. Beberapa kawan sepermainannya
sudah menunggunya di tepi kapal nelayan Sadikin. Sadikin sendiri nampaknya
sedang sibuk memeriksa kesiap-layaran kapalnya.
“Djo… baek-baek kamu ya di kota…”
“Jangan lupakan kami….”
Tangan kekar itu menariknya ke atas kapal. Sadikin
yang baru saja mandi terlihat sangat segar dan tampan berbalutkan kemeja dan
celana sederhana berwarna putih. Sisa-sisa cahaya mentari memantul di pundaknya
yang kokoh. Bagaikan seorang malaikat ia terlihat.
“Terimakasih teman-teman… sampai jumpa semuanya!!”
Dan anak-anak kampung itupun mulai mendorong kapal
itu kearah laut. Suara motor tua mulai terdengar dari belakang kapal.
“Ah… kampung nelayan… doakanlah aku…..” ucapnya
dalam hati.
“Mas Dikin,
ini makan malamnya sudah saya siapkan…”
“Yuk makan dulu…”
Setelah sekitar satu jam mereka berada di laut,
Paidjo baru dapat membuka suaranya kembali.
Sadikin mematikan motor kapal dan membuang jangkar
ke laut. Cahaya bulan mulai bersinar. Malam yang sangat cerah, tak ada angin
yang bertiup. Kapalpun hanya terombang-ambing di tempatnya.
“Nanti Mas Dikin rindu ndak dengan saya?”
“Ya pasti lah Dik… masak ndak rindu? Adik sendiri?”
“Sama lah Mas, apalagi terhadap burungnya yang
besar itu…” kelakarnya.
Mereka berdua tertawa sambil menikmati hidangannya.
“Dik-dik… kamu ini lucu sekali orangnya…”
“Mas, Meneer Suryo itu baik orangnya?”
“Iya Dik, yang pasti dari cara berdagangnya saja,
ia selalu bersikap adil walaupun dengan orang-orang kampung seperti kita ini.
Kalau beliau tidak baik, masa saya nekat mengirimkan adikku kepada keluarganya
di kota?”
Setelah istirahat singkat itu selesai, Sadikin
kembali menarik jangkar dan Paidjopun mengidupkan mesin motor itu.
“Mas ini mesinnya sudah tua sekali?”
“Iya dik, maklum lah, bekas dari kapal sekoci
Belanda. Kalau baru Mas ndak akan mampu untuk membelinya…”
Malam semakin larut. Dan udara terasa
perlahan-lahan mendingin. Paidjo-pun mendudukkan dirinya disamping kemudi,
dimana Sadikin sedang mengendalikan kapal ini. Iapun memeluk Sadikin dari
samping.
“Mas dingin Mas…”
“Ambil sarungku dan kenakanlah. Setelah itu kamu
duduk di sini”
Paidjo melakukan perintah kakak angkatnya ini.
Beberapa detik kemudian ia sudah duduk di pangkuan Sadikin.
“Masih dingin ndak Dik?”
“Ndak Mas… tapi…”
Kemudian ia tersenyum nakal dan mulai menjulurkan
tangannya di belakang tubuh remajanya.
“Dik…”
Jemarinya mulai meraba kelelakian Sadikin dari
depan celana putih itu.
“Mas… tolonglah… untuk terakhir kalinya saya ingin
minum susu Mas Dikin…”
Melihat tatapan mengiba dari adiknya itu ia tak
kuasa menolak. Akhirnya ia berdiri tegap. Ia membiarkan Paidjo melucuti
celananya. Seperti orang kampung kebanyakan pada jaman itu, Sadikinpun tidak
mengenakan celana dalam. Ia membuka kakinya agar Paidjo dapat melepaskan celana
itu seluruhnya. Seperti biasa, kelelakiannya tampak mantap menggantung tertidur
di atas kedua buah zakarnya yang besar itu. Bau kelelakian mulai menyerbak.
Kemudian ia duduk kembali sembari memegang kendali
kapal tersebut.
Paidjo berlutut dihadapannya. Jemari kecilnya mulai
menimang buah zakar yang berat itu. Lama sekali ia menimang buah kenikmatan
itu. Seakan membuang waktu ia hanya menatapnya.
“Kenapa Dik?” tanya Sadikin.
“Ndak papa Mas, saya hanya ingin mengingat dengan
baik semua benda berharga milik Mas Dikin ini”
Seakan dunia hanya milik mereka berdua, suasana di
tengah laut malam itupun sunyi senyap. Tak satu suarapun kecuali degup nafas
mereka berdua yang terdengar.
Srek. Srek. Srek.
Suara belaian tangan Paidjo terdengar ketika harus
menyentuh bebuluan yang kasar di bawah buah kelelakian Sadikin. Jemari kecilnya
membelai dengan halus. Ujung jarinya pun menjelajah dalam, ketengah hutan hitam
yang lebih lebat tepat disekitar lubang dubur Sadikin.
Tanpa satu kata yang terucapkan, batang tersebut
mulai mengeras perlahan-lahan.
Sementara tangan kirinya menyentuh permukaan lubang
kebahagiaan itu, tangan kanannya mulai menggengam kontol kakak angkatnya dengan
mesra. Benda tidur itupun terbangun dengan gagahnya. Kepalanya yang besar
memantulkan remang-remang cahaya rembulan. Irama nafas Sadikin mulai bertambah
cepat.
Kini Paidjo menggenggam kelelakian itu dengan kedua
belah tangannya. Ia mulai menciumi sekujur batang yang keras itu. Lidahnyapun
mulai dengan perlahan ia julurkan. Dengan sangat perlahan ia menggiring ular
itu melewati bibir kecilnya ke arah rongga mulutnya.
“Arghhhh…..” Sadikin mengeluarkan desis kecil.
Paidjo sangat menikmati santapan terakhirnya ini.
Ia melakukan semuanya dengan perlahan-lahan. Ujung jemarinya masih berada di
bawah buah raksasa itu mempermainkan dan membelainya dengan lembut. Jemarinya
yang lain menggenggam dasar kokoh menara daging itu.
Kini mulutnya ia benamkan di salah satu buah zakar
itu. Bebuluan mulai mengusik rongga mulutnya. Tak lupa ia memberikan kasih
sayang yang sama kepada buah zakar yang lainnya. Dengan mesra ia memisahkan
kedua kantung hangat pria itu. Satu persatu ia genggam di tangan yang berbeda,
sembari ujung jemarinya mengusap-usap daerah sensitip itu dengan pasti.
Mulutnya kembali beraksi mengulum monster besar
itu. Sadikin secara alami mulai menggerakkan bokongnya dan menghujamkan alat
kelaminnya ke mulut Paidjo.
Suara nafas mereka mulai tersenggal-senggal. Kedua
buah zakar tersebut mulai beranjak naik kearah kehangatan tubuh Sadikin. Paidjo
yang sudah sangat terlatih itu dengan sigap menanggapi keadaan.
Ia berhenti dari gerakan maju-mundurnya. Dengan
tetap menggenggam buah zakar Sadikin ia merelakan kakak angkatnya dengan birahi
tingginya menghujami mulutnya dengan alat vital kebesarannya itu.
Kesunyian malam terusik dengan teriakan Sadikin
yang menggema…
“Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhh…………..”
Sadikin menikmati semburan demi semburan air mani
hangat pria itu dalam mulutnya. Rasanya sangatlah manis dan nikmat. Obsesinya
masih belum juga hilang. Sedikit demi sedikit ia menelan cairan kental itu
melalui kerongkongannya yang kemudian langsung menghangatkan usus dan
lambungnya.
Karena volume semburan yang sangat besar, banyak
cairan lelaki tersebut yang akhirnya mengucur melalui sela-sela bibirnya dan
menetes melalui pipi kanannya.
Sadikin terkapar di lantai kayu itu. Tubuhnya
terasa lunglai seperti seluruh enerji kehidupannya sudah terserap oleh Paidjo.
Bocah itupun membiarkan batang berwarna hitam kecoklatan itu melemas di dalam
mulutnya. Ia merasa senang dapat membahagiakan kakaknya malam ini.
Sadikin kemudian menarik wajah anak itu dan
menciumnya. Ia masih dapat merasakan kentalnya cairan maninya di mulut anak
itu. Aroma esensial Sadikin menyerbak dari gigi geligi kecilnya. Mereka
terjebak dalam ciuman mesra itu cukup lama. Kemudian hal yang tidak pernah
terjadi sebelumnya menjadi kenyataan.
Dengan mesra ia melucuti kemeja dan celana Paidjo.
Entah mengapa kali ini ia tidak berontak seperti biasanya. Kemudian ia pun
menanggalkan kemeja putihnya yang basah karena keringat.
Ia menciumi sekujur tubuh jangkung anak itu dengan
lembut. Mereka berbaring sebelah-menyebelah. Lidahnya tertanam dalam mulut
Paidjo. Tangan kirinya membelai pinggang lembut Paidjo dan tangan kanannya
merebak kedua belah kaki bocah itu dan membelai-belai kedua belahan pantat yang
kenyal itu.
Ketika lidahnya mulai membasahi dan menghangatkan
puting kecil Paidjo, bocah tadi mengerang. Apalagi tangan kanannya kini mulai
menjelajah menyisir daerah lubang kenikmatan Paidjo.
Tubuh mulusnya mulai berkeringat. Sadikin sudah
beranjak berada di bawahnya. Ia merasakan kedua tangan kekar Sadikin mulai
menggiring kedua belahan pahanya naik.
“Pegang Dik…”
Punggungnya berkeringat dan bertumpu pada lantai
keras itu. Ia kini memegang kedua kakinya sendiri di awang-awang sehingga
kemaluan dan liang anusnya terbuka dengan jelas memancarkan keindahannya tepat
di depan wajah Sadikin.
Perlahan Sadikin mulai menjilati pahanya yang
empuk. Kemudian ia mulai menciumi dan menjilati garis pemisah paha dan pantat
anak itu.
“Mas…” suaranya terdengar terengah-engah.
Sedikit demi sedikit Sadikin menuju ke arah
persimpangan jalan itu. Lidahnya kini ia sisirkan di atas anus bocah itu.
Wewangian yang indah itu mulai tercium. Ia menjilatinya dengan mesra. Dan
seperti bibir yang sedang dicium, bibir bawah itupun membuka dan mengatup
dengan nikmatnya. Dengan paksa Sadikin mencoba memasukkan lidahnya kedalam
liang yang membara itu. Paidjo mengalami kenikmatan yang luar biasa.
“Dik, enak ndak?”
“Jangan berhenti mas… tolong… Ayo masuki aku lagi…”
Sepertinya bocah tersebut sedang terserang musim
birahi. Sadikin menurutinya. Ia kembali menusuk-nusukkan lidahnya kedalam
pembukaan hangat di lubang sempit itu.
“Benar-benar membuatku bernapsu…” pikir Sadikin.
“Bocah ini masih perawan dan tak satu helai rambutpun kutemukan di sekitar
kelamin dan duburnya…”
Kemudian ia membasuhi jari tengahnya dengan
ludahnya. Perlahan ia masukkan ke dalam dubur manis Paidjo. Sadikin mengerti
dengan pasti bagaimana ia harus memainkan jarinya di sana. Hal itu membuat
Paidjo terguncang-guncang sembari mengerang dengan penuh birahi.
Sambil bermain dengan jemarinya di dalam lubang
sempit itu, Sadikin menjilati buah zakar polos anak itu. Keduanya dengan
mudahnya dia hangatkan di dalam rongga mulutnya. Lidahnya bermain dengan
terampil membasahi seluruh kantung mani anak itu. Paidjo makin mengerang ketika
dengan mudahnya Sadikin memasukkan seluruh kejantanan bocah itu di dalam
mulutnya. Kepala jamurnya makin mengeras di sana. Ia menggerakkan mulutnya naik
turun. Jarinya sudah berhenti melakukan gerakan maju-mundur di lubang itu.
Sedotan-sedotan mesra mulai ia lakukan bertubi-tubi
pada penis kecil itu. Jarinya mulai menggeliat di dalam anus panas Paidjo
kembali. Ia tau bahwa saatnya sudah tiba.
Cairan bening tersebut menghantam dinding mulut
Sadikin, dengan mudah ia telan kesemuanya. Air mani bocah itu terasa sangat
menawan pada indra pengecapannya. Tubuh Paidjo kembali terguncang-guncang secara
alami hingga pada tetes terakhir yang dapat ia berikan untuk kakaknya.
Kemudian ia menangis.
“Lho kenapa Dik?”
“Maaf Mas, barusan Paidjo ngga tahan lagi, Paidjo
kencing di dalam mulut Mas…”
“Hus ngawur kamu! Itu bukan air seni, tapi itu air
susumu sendiri yang sering kamu ambil dari tubuh Mas Dikin.”
“Wah rasanya senang sekali ya Mas…”
“Memang benar, makanya Mas rela memberikan air susu
Mas untukmu berkali-kali dalam sehari. Lho memangnya kamu belum pernah
mengeluarkan air mani sebelumnya?”
“Belum, baru kali ini Mas…”
“Oh ya?”
Jawaban polos itu terserap di pemikiran Sadikin
dengan cepat. Kini napsu birahinya menjadi bangkit kembali.
“Dik… sebelum berpisah Mas ingin memberikan sebuah
kenang-kenangan buat kamu…”
“Apa Mas?” tanyanya
“Hmm, ini… Mas ingin meninggalkan benih Mas di
dalam tubuhmu… Emm… kamu keberatan tidak bila Mas ingin bersetubuh denganmu?”
Dengan kalimat itu Sadikin mulai membelai-belai
putting Paidjo, ia menelusurinya jauh kebawah sembari menaik turunkan penis
kecil itu di antara jari telunjuk dan ibu jarinya.
“Emm… caranya Mas?”
“Kamu capek ndak… masih mau main?”
“Ya masih dong…”
Di situlah letak kebahagiaan bocah lelaki pada awal
masa remaja itu. Mereka dapat membangkitkan gairah mereka kapan dan dimanapun
saja. Sadikin tersenyum ketika melihat bahwa bocah tersebut sudah
mempertunjukkan ereksinya sekali lagi.
Perlahan ia menarik anak itu ke atas kasur di
lantai kayu itu. Sadikin mengajaknya berlutut di depannya. Ia menciumi leher
dan pundak bocah itu dengan manja. Tangannya mempermainkan kedua puting Paidjo
dengan ganas.
Kemudian ia mendorong tubuh anak itu ke arah
ranjang sehingga tangan dan kakinya menopang tubuhnya. Sekali lagi ia menciumi
bokong anak itu dengan rakus sebelum ia mempermainkan jari-jemarinya kembali di
kedalaman lubang kenikmatan itu.
“Siap Dik…?”
“Pelan-pelan Mas…”
Kepala besar yang sudah licin berlumurkan liur itu
mulai menerobos dinding perbatasan. Lubang perawan yang sangat sempit seperti
tidak menginginkan adanya serangan. Dengan sangat perlahan ia memasuki tubuh
Paidjo.
Waktu terasa berhenti. Sinar rembulan semakin
memuncak. Kesunyian semakin mencekam.
Dengan cermat ia memperhatikan jepitan anus adik
angkatnya itu. Bila terasa sudah agak santai, beberapa centimeter ia masukkan
lagi. Limabelas menit telah mereka buang hingga akhirnya Paidjo dapat merasakan
belaian bulu kelamin Sadikin pada bokong mulus dan kenyalnya. Kini batang
monster itu sudah sepenuhnya masuk. Sadikin takut untuk bergerak. Ia takut
menyakiti adik yang baru saja kehilangan keperawanan ini.
“Sakit dik?”
“Ndak Mas… monggo…” bocah itu berbohong. Ia akan
melakukan apa saja untuk membahagiakan Sadikin. Air matanya menetes kembali.
Tentu saja Sadikin yang dibelakanginya tidak mengetahui hal ini.
Kemudian ia mulai memaju mundurkan batang raksasa
itu di dalam lubang sempit Paidjo. Rongga anus remaja pria itu terasa nyeri dan
lelah. Sadikin sudah menggagahinya hampir satu jam hingga saat ini. Ia mulai
mempercepat pergerakannya. Terkadang batang itu tertarik keluar sepenuhnya
untuk dihantamkan segera kedalam liang kecil itu. Pada saat itu justru keadaan
berubah.
Paidjo merasakan sensasi kenikmatan yang luar
biasa. Ketika seluruh tubuh ular itu bergerak dengan kasar di dalam duburnya,
penis kecilnya malah mengeras kembali. Berkali-kali kepala jamur raksasa itu
menyentuh titik kenikmatannya, hingga pada akhirnya ia tak kuasa menahan
kebahagiaan itu…
“Aaaaahhhhhhhhhhhh……..” Paidjo mengalami orgasme
yang kedua dalam malam itu. Ketika cipratan demi cipratan air maninya sedang
mengucur keluar, otot-otot anusnya pun segera bereaksi dengan memijat, menyusu
dan mencengkeranm alat vital Sadikin lebih erat lagi. Jepitan kencang itu
dengan semena-mena telah memaksanya menuju nirwana ke tujuh malam itu. Tetes
keringat mulai bercucuran dari peningnya. Ia mempercepat gerakannya, menurunkan
tubuhnya sehingga bersatu dengan tubuh Paidjo. Gerakan Sadikin bertambah cepat
sebelum menyemburkan seluruh cairan lembut dan kental nan hangat yang tersisa
dari tubuhnya di dalam rongga anus Paidjo.
Kehangatan yang luar biasa ia rasakan di dalam
perutnya. Burung yang besar itu telah menamkan benih cintanya pada diri Paidjo.
Dirinya terasa sangat penuh. Keduanya mengucurkan air mata. Baru saja cinta
mempersatukan mereka, kali inipun mereka berpisah.
Di kejauhan cahaya lampu dari pelabuhan tua itu
mulai berpijar. Tanpa sadar perahu mereka dengan sendirinya telah menghantarkan
mereka mencapai tempat tujuan.
“Dik bangun…” ujarnya seraya memeluk bocah itu
dengan kuat. Seperti tidak mau terputuskan oleh keadaan. Kelamin pria itu masih
tetap dalam keadaan kokoh bersenggama dan bersarang di kedalaman liang hangat
Paidjo yang kini mulai lelah.
Paidjo membalikkan wajahnya dan memandangi wajah
elok Sadikin dengan cermat. Sebentar lagi tak ada pria gagah perkasa yang akan
terus melindunginya dan memberikan kenikmatan padanya setiap saat.
“Tak lama lagi kita akan tiba di pelabuhan kota….”
Paidjo belum pernah menginjakkan kakinya di sana.
Kota pelabuhan itu dijuluki dengan nama Semarang
Kerlipan cahaya petromaks dari kapal nelayan dan
rumah penampungan ikan di pelabuhan semakin terlihat. Denyut nafas merekapun
semakin tersenggal-senggal.
Sering kali memang hal ini dirasakan para pria pada
umumnya. Walau benak tak mengijinkan, napsu birahi dimenangkan di atas
segalanya.
Kelaminnya yang masih mengeras di dalam rongga
sempit itupun mulai ia panaskan kembali bak mesin kapal tuanya itu. Paidjopun
tersenyum melihat keberingasan Sadikin.
Kali ini pria itu menyetubuhinya tanpa belas kasih,
hanya serangai kebinatangan yang terlihat. Ia menarik bokong Paidjo agar
berdiri lebih dekat dan rapat, menurunkan pundak bocah itu ke kasur dan ia
mulai menegakkan tubuhnya. Ia menaikki tubuh anak itu dengan napsu badaniah
yang tak terelakkan. Belahan kakinya ia mantapkan pada pinggang kiri dan kanan
Paidjo sementara ia menggerakkan alat kelaminnya memompa dan memompa semakin
dalam dan kasar.
Pantatnya yang keras dan bulat mulai mengucurkan
keringat. Batang keras di dalam liang sempit itu mulai kegerahan. Cairan
sebelumnya memudahkan pergerakan tiang kuat itu di dalam sana. Buah
zakarnya-pun mulai mengeluhkan kelelahannya. Genggamannya meremas penis kecil
Paidjo dengan ganas.
Tak lama kemudian ia memuntahkan seluruh air
maninya kembali di dalam tubuh bocah itu.
“Hmmphh…hmpphhhh.. ahhh…..”
Kenikmatan tingkat tinggi itu akhirnya disusul oleh
erangan kecil Paidjo seraya ia hangatkan seluruh genggaman Sadikin dengan benih
cintanya sendiri. Jepitan dasyat kembali terasa di sekeliling batang zakar pria
itu sehingga ia dengan terpaksa memuncratkan cairan berwarna putih kekuningan
itu sekali lagi….
Akhirnya mereka berdua tergelepar di atas kasur
tipis itu.
Keramaian mulai terdengar dari kejauhan. Untuk
terakhir kalinya pada malam itu mereka berciuman. Sebelum perlahan mengenakan
pakaiannya masing-masing.
Perlahan kapal itu mulai menyentuh bibir pelabuhan.
Nampak beberapa nelayan bersiap berangkat untuk berlayar malam itu. Mereka
menaikkan awak kapal, jala, perlengkapan lainnya dan santapan untuk persediaan.
Ratusan kapal lainnya tampak tertambat pada tiang kayu yang menjulur ke atas
permukaan air. Kapal besar dan kecil semuanya terayun ombak kecil di sana.
Pemandangan malam itu tampak sangat megah bagi seorang anak desa yang baru
pertama kalinya mengunjungi sebuah kota besar.
Ketika harus berdiri dan mengenakan pakaian, Paidjo
merasa liang duburnya menjadi sangat longgar dan sakit. Dua kali sudah Sadikin
menanamkan benih kelelakiannya di sana malam ini. Rongga kecil itupun tampaknya
tak cukup untuk menampung semuanya. Lelehan kental mulai terasa menetes dari
bibir anusnya dan mengalir perlahan di bagian dalam pahanya.
Cepat-cepat Sadikin menampung lelehan tersebut
dalam mulutnya. Ia mengerahkan jari tengahnya di permukaan dubur Paidjo seakan
menutup katup pembukaan lubang itu. Dengan kedua tanggannya ia kemudian
menyatukan kedua belahan bokong bocah itu untuk menahan lelehan selanjutnya.
Ia bersikeras bahwa benih kenikmatan itu tetap
harus tertanamkan dalam diri Paidjo malam itu. Setelah berpikir beberapa saat
ia mengeluarkan sebuah sapu tangan putih dari kantong celananya, melipat benda
itu dengan kasar dan menyumbatkannya pada pembukaan dubur Paidjo yang sedang
kelelahan itu.
“Nah, sekarang Mas tidak perlu khawatir lagi.
Sumbat sementara ini akan mengurangi rasa sakit di bokongmu Dik, benar ndak?”
“Iya Mas”
“Dan lagi… benihku jadi aman didalam tubuhmu malam
ini Dik…”
Paidjo tersenyum melihat kekonyolan kakaknya ini.
Setelah mereka berpakaian, mereka berciuman lagi hingga kapal nelayan yang
terdekat mulai melewati kapal mereka.
(Garis Pembatas Jeda……..)
“Dik kenalkan ini Meneer Suryo dan istrinya…”
“Malam Pak, malam Bu…”
“Nah mulai saat ini adik akan berada dibawah
lindungan dan didikan mereka. Ngerti dik?”
“Iya Kak…” air mata mulai berlinang.
Perpisahan itu seperti perpisahan lainnya bukanlah
suatu hal yang mudah. Pelumas di dalam duburnya membuatnya ia merasa tidak
wajar ketika berjalan menjauhi kapal Sadikin.
“Selamat tinggal Mas Dikin!” teriaknya.
(Garis Pembatas Jeda……..)
Mereka melalui jalan-jalan yang megah dihiasi pohon
kelapa di tengah boulevard itu. Gedung-gedung besar berwarna putih. Pemandangan
malam di kota Semarang pada tahun 1939.
Mobil hitam bermesin besar itu memasuki salah satu
kompleks di Simpang Lima. Obor-obor kecil disekujur kompleks pribadi itu
menyambut kedatangan mereka. Rumah megah bergaya Jawa dan kolonial Belanda itu
membuka dirinya untuk seorang Paidjo yang lusuh.
“Nak, Bapak dan Ibu akan membicarakan tentang hal
ini besok saja ya. Saat ini kamu tidur saja, tampaknya kamu sangat letih…”
“Baik Pak… terimakasih sekali lagi…”
“Jangan sungkan-sungkan Djo…”
Seorang pelayan pria menhantarkan Paidjo ke ruang
tidurnya. Koridor yang dihiasi cahaya lampu gas dan listrik itu menuju sebuah
rumah kecil yang berpendopo di depannya.
“Di sinilah Kang Mas akan tinggal…”
“Sendiri?”
“Tentu tidak, saya akan menemani Kang Mas…”
“Mas sendiri namanya siapa dan mengapa harus
menemani saya?”
“Saya dipanggil Adhi dan sebagai abdi dalem dari
Raden Mas Suryo sudah merupakan tugas saya untuk menemani Kang Mas”
“Raden Mas Suryo?”
“Iya, beliau adalah adik dari Bupati Semarang dan
memang masih berdarah biru dari Keratonan Surakarta”
“Oh ya?”
“Raden Mas tidak suka menjabat dalam pemerintahan,
ia lebih memilih untuk menjadi pedagang yang sukses.”
Ia melewati sebuah ruang tamu dengan perabotan jati
yang mewah diterangi sebuah chandelier dari tanah Eropah yang tergantung dari
langit-langit tinggi ruangan itu. Di sebelah kirinya adalah ruang belajar
dengan perpustakaan kecil yang dipenuhi dengan buku-buku berbahasa asing. Di
sebelah kanannya ada sebuah ruang musik yang biasanya dipergunakan untuk minum
teh dan bercengkrama. Adhi kemudian menunjukkan ruang tidurnya yang sangat
luas. Hanya sebuah lemari pakaian dan ranjang besar lengkap dengan kelambunya
mengisi ruangan itu.
“Besar sekali tempat tidur ini…”
“Dan satu lagi… kamar mandi Kang Mas tersembunyi
dibelakang pintu rahasia ini…”
Krieekkk. Tembok itu terbuka dan nampaklah sebuah
ruang mandi yang seluruhnya terbuat dari batu marmer putih.
“Mas Adhi harus menunjukkan bagaimana cara saya
mempergunakan peralatan ini…” ujarnya sembari mengusap mata pancuran yang
terbuat dari besi yang berlapiskan perak.
“Di kampung saya ndak punya kamar mandi… kita mandi
di pantai dan buang air di jamban dekat sawah…” Adhi tersenyum melihat keluguan
tuan muda barunya.
Tenaga gas menghangatkan air pada wastafel itu.
“Wah segarnya…” ucapnya seraya membasuh wajahnya.
“Selamat malam dan selamat istirahat Kang Mas…”
“Katanya Mas Adhi akan menemani saya?”
“Saya tidur di ruang tamu bila Anda membutuhkan
saya…”
Paidjo mengikuti langkah Adhi ke arah ruang tamu di
mana abdi dalam itu menggelar selembar kasur kapuk tipis yang beralaskan tikar
rotan.
“Makasih Mas Adhi… selamat tidur…”
“Sama-sama Kang Mas…”
Ia membuka lemari pakaian itu. Di dalamnya berisi
pakaian-pakain yang terbuat dari kain berkualitas dan sangat lembut di tangan
kasarnya. Sarung batik yang mewah terlipat rapih di beberapa lacinya.
“Wah, ngimpi apa saya semalam…”
Ia membuka pakaiannya satu persatu. Kemeja… dan
kemudian celana lusuhnya. Ia beranjak naik ke atas ranjang empuk raksasa itu.
Menutup kelambu dan dengan segera ia terlelap tanpa mengenakan sehelai
benangpun. Kain satin lembut itu telah memeluk dirinya sepanjang malam.
(Garis Pembatas Jeda……..)
Mentari baru saja beranjak dari timur ketika Adhi
membuka pintu ruang tidur itu.
“Selamat pagi Kang Mas…”
“Sudah panggil saja aku Paidjo, jangan pake Kang
Mas- Kang Mas segala…”
“Maaf Kang Mas… saya tidak diperbolehkan memanggil
nama saja…”
Paidjo masih belum juga bergerak walaupun sudah
menyambut panggilan Adhi.
Ketika Adhi menyibakkan kelambu ia tampak sangat
terkejut dengan kehadiran mahluk sensual di hadapannya.
Tubuh Paidjo yang mulus sedang membelakanginya
tengkurap dengan sebelah kaki terangkat. Kedua belahan pantat dan lubang
anusnya yang tersumbat oleh sehelai sapu tangan itu menjadi pemandangan yang
sangat merangsang bagi Adhi.
“Ndak bangun sekarang Kang Mas? Lekas mandi karena
sebentar lagi Kang Mas akan diundang untuk makan pagi bersama keluarga Raden
Mas…”
“Sebentar lagi saja… Mas Adhi… saya sedang
menikmati lembutnya seprei mengkilap ini”
“Baiklah… hmm, Kang Mas… itu ada saputangan yang,
ehm, maaf, sepertinya menyumbat di bawah sana…” ujar Adhi malu-malu.
“Wah iya, aku lupa. Kemarin malam sebelum berpisah,
Mas Sadikin sahabatku telah menanamkan benihnya dua kali. Saya tidak ingin
benih-benih tersebut meleleh keluar dari tubuhku”
Saat itu juga Adhi dapat membayangkan apa yang baru
saja terjadi pada anak lelaki ini.
“Gini lho Kang Mas. Mungkin benih itu sangat
berharga untuk Kang Mas. Namun sebenarnya itu lebih merupakan simbolisasi
pemberian cinta saja. Karena cepat atau lambat Kang Maspun harus buang air dan
cairan tersebut akan terdorong keluar bersamanya. Cairan kental itu mungkin
harus keluar, tetapi benih cinta itu akan terus bersama Kang Mas di dalam
hati…”
“Wah, benar sekali Mas Adhi, lalu sekarang
bagaimana?”
“Apakah kemarin malam adalah malam pertama Kang Mas
menerima benih cinta?”
“Benar.”
“Kalau begitu, biarkanlah saya mencabut sumbat ini
dan membersihkannya untuk Kang Mas.”
Tangannya terasa hangat membelah kedua bokong empuk
Paidjo. Dengan perlahan Adhi mengelus daging kenyal tersebut sedikit-demi
sedikit menuju pembukaan lubang duburnya.
Dengan jarinya yang lembut ia membuka bokong
tersebut sehingga terlihat dengan jelas di muka wajahnya saat ini. Ia membuat
lingkaran-lingkaran kecil mengelilingi bibir tersumbat itu agar Paidjo dapat
merasa santai dan lebih membuka dirinya. Sedikit demi sedikit sapu tangan putih
itu ia lepaskan dari cengkraman bibir yang luka itu. Keputihannya sudah
ternodai oleh warna kuning dan sedikit warna merah darah dari bibir itu.
“Ahhh… Pedih….” Jerit Paidjo.
“Iya, Kang Mas luka di sini… harus saya obati
segera…”
Ia membiarkan cairan gemuk dan kental itu meleleh
keluar dari anus Paidjo. Pemandangan itu sangat erotis. Adhi pun merasa
kelelakianya sudah mulai mengeras.
“Dorong sedikit Kang Mas.”
Dengan sangat telaten ia membersihkan semua sisa
birahi dan luka dari malam sebelumnya.
“Mari ke kamar mandi…” ajaknya.
“Silahkan sekarang Kang Mas duduk di sana dan
cobalah untuk membuang hajat. Karena setelah bersih baru saya benar-benar dapat
mengobati luka di sana…”
“Dengan Mas Adhi di sini? Saya malu ah”
“Wah ini sudah tugas saya sehari-hari, kan kita
sama-sama lelaki, mengapa musti malu bukan? Dan lagi saya sudah melihat tubuh
indah Kang Mas telanjang bulat sejak pagi ini”
Adhi mulai mengisi air panas untuk memandikan
Paidjo, sedangkan bocah itu langsung terduduk di jamban model Eropa dan
menuruti permintaan abdi dalamnya.
Siapapun yang ingat akan saat pertama kehilangan
keperawanannya pasti akan setuju dengan Paidjo pada pagi hari itu
“Liangku terasa sangat longgar sehingga susah untuk
mendorongnya keluar Mas Adhi…”
Kemudian Adhi mengambil sebuah botol berisi minyak
telon. Ia mengurapi perut Paidjo dengan lembut untuk menghangatkannya.
Nampaknya usapan hangat itu berpengaruh pada napsu birahi bocah itu. Penis
kecilnya mulai bangun kembali.
“Weh… bangun Kang Mas!” ujar Adhi seraya tersenyum.
Paidjo hanya menunduk malu.
Setelah selesai iapun segera dibersihkan dengan
seksama oleh Adhi sebelum melangkah ke bak mandi berisi air hangat dengan
mahkota mawar yang mengambang di sana-sini. Perlahan Paidjo dituntun masuk ke
bak mandi yang ditanamkan di tengah ruang luas itu. Lubang pantatnya masih
terasa nyeri akibat serangan bertubi-tubi dari Sadikin tadi malam.
Untuk pertama kalinya ia merasakan betapa nikmatnya
layanan dan perabot yang bisa kita nikmati dengan uang. Tubuhnya dimandikan
dengan cermat, sabun berbusa mewah yang diimport dari Perancis membersihkan
semua debu yang melekat pada tubuhnya bertahun-tahun ini. Beberapa macam sikat
dipergunakan untuk membersihkan anak desa ini dengan baik.
“Aw, sakit Mas Adhi…”
“Maaf, menggosoknya terlalu kasar ya…”
Setelah mandi dan dikeringkan dengan handuk yang
tebal, Adhi memberikan sebuah kemeja putih bergaya Eropa untuk ia kenakan.
Sebelum ia mengenakan celana panjang berwarna khaki itu, Adhi menahannya.
“Kang Mas, saya harus memberikan pengobatan pada
lubang tersebut dahulu agar cepat sembuh dan membaik”
“Baiklah…”
Adhi menuntunnya kembali ke kamar mandi. Ia meminta
Paidjo untuk duduk menghadapnya di atas meja besar di samping kanan wastafel.
“Bisa mundur sedikit Kang Mas?”
Perlahan Adhi menidurkan tubuh Paidjo di meja besar
itu dan ia menaikkan kedua pahanya yang harum itu sehingga lubang duburnya
terbuka lebar untuk dinikmati. Kemudian ia mengambil sebuah balsam dingin yang
selanjutnya ia lulurkan pada jari tengahnya.
“Mungkin masih agak nyeri ya Kang Mas…” katanya
memberikan peringatan sebelum memasukkan jari tersebut perlahan-lahan ke dalam
lubang yang luka itu.
“Awww…”
“Maaf Kang Mas…”
Ia menambahkan balsam dingin itu pada jarinya dan
kemudian memaju-mundurkan ruas tersebut di dalam anus Paidjo.
“Enak Kang Mas?”
“Iya hehe… adem rasanya….” Penis kecilnya mulai
bangkit kembali.
“Wah tentu saja pria tidak bisa memulai harinya
dengan kelamin yang bangkit Kang Mas… mari saya bantu…”
Tanpa permisi Adhi mulai mengulum kelamin Paidjo
yang terasa nikmat di mulutnya. Jarinya ia keluarkan dari dubur anak itu supaya
tidak terjadi iritasi lebih lanjut. Kini balsam dingin itu ia oleskan perlahan
pada permukaan bibir yang koyak itu. Sensasi yang nikmat menyerang Paidjo.
Adhi yang berusia dua-puluh-satu tahun itu sudah
sangat terampil menghisap batang zakar Paidjo. Ia mengerti kapan saatnya harus
mempercepat gerakannya, kapan harus memperlambatnya. Tentu saja, Adhi sudah
bekerja di sana sejak ia berusia tiga-belas tahun. Ia sudah sangat terlatih
untuk memuaskan para lelaki penguasa rumah itu sejak ia kecil.
“Mas Adhi… saya… saya….”
Ia memuncratkan cairan birahinya langsung di dalam
mulut Adhi. Dengan sabar Adhi menunggu hingga tuan mudanya tuntas dan puas
sebelum ia menelan seluruh air kenikmatan itu melalui kerongkongannya.
Senyum kecil menghiasi wajahnya. Ia menyukai tuan
muda barunya ini.
Dengan bersiul santai ia membersihkan kemaluan
Paidjo dengan seksama sebelum memakaikan celana dalam, menepuk pantat
kenyalnya, dan menariknya kembali untuk berdiri dan mengenakan celana.
(Garis Pembatas Jeda……..)
Tidak hanya Adhi, kesahajaan dan keramahan Paidjo
dengan cepat membuatnya diterima oleh seluruh rumah tangga RM Suryo.
Selama beberapa bulan sejak kehadirannya ia telah
belajar berbagai hal. Cara bersikap yang baik, cara makan yang baik, berbicara
dalam bahasa Jawa halus, bahasa Arab, bahasa Indonesia (sesuai dengan Sumpah
Pemuda) dan pengenalan bahasa Belanda. Kini ia dapat menulis kaligrafi dengan
halus, menunggang kuda dengan anggun, dan bertukar pikiran selayaknya ia
dilahirkan di dalam keluarga terpelajar.
Ibu Suryo sendiri yang mengajarinya kesemuanya itu
karena ia adalah guru yang paling baik untuk penanaman pendidikan dasar. Untung
saja beliau memiliki murid yang cerdas seperti Paidjo. Tahun depan ia akan
didaftarkan pada sekolah menengah pertama milik Belanda. Dirinya harus siap
disetarakan dengan lulusan sekolah dasar Eropa.
“Djo, ayo latihan bahasa Belanda lagi sama Ibu.
Sekolahmu itu susah sekali masukknya. Dan bisa mendaftar biasanya hanya
keturunan Belanda, keluarga ningrat, atau dari kalangan pengusaha besar….”.
Kata Ibu Suryo ia pendam dalam batinnya.
“Saya harus bisa…” ucapnya dalam hati.
Raden Mas sangat membantu kemajuannya, begitu pula
saudara-saudara angkatnya (putra-putri dari saudara kandung RM Suryo) di rumah
besar itu. Matematika, sejarah, bahasa, musik dan olah raga.
Mereka benar-benar mendidik dan membesarkannya bak
buah kasih mereka sendiri. Tiga bulan kemudian ia tak nampak berbeda dengan
anak juragan lainnya dari kota Semarang.
(Garis Pembatas Jeda……..)
Begitu banyak hal yang harus ia kuasai sehingga
obsesinya terhadap air susu priapun tidak terlalu menganggu pikirannya. Karena
bila dahulu ada Mas Sadikin yang akan memuaskannya, kinipun Paidjo mempunyai
Mas Adhi untuk melepaskan dahaga birahinya.
Ketika malam tiba dan seluruh penghuni kompleks
terlelap. Ia akan membantu Adhi mempersiapkan ranjangnya. Kemudian seperti
biasa ia melepaskan pakaian Adhi secara perlahan-lahan dan mulai menciumi bibir
tipisnya. Jejaka muda nan rupawan itupun akan ia kecupi seluruh tubuhnya, mainkan
puttingnya dengan lidahnya yang hangat, dan ia akan mengendus ketiak lebatnya
dengan mesra.
Beberapa minggu sekali Adhi akan mencukur bersih
bebuluan yang mulai tumbuh di sekitar ketiak, kelamin dan lubang dubur Paidjo.
Karena ia ingin Paidjo terlihat muda untuk selamanya. Untung saja remaja pria
itu belum juga ditumbuhi bebuluan pada wajahnya.
Setelah dibasuh dengan sabun dan air hangat, Adhi
akan segera menikmati hasil cukurannya yang sempurna. Ia menelentangkan Paidjo
tengkurap di ranjangnya. Menyibak kedua belah bokong bundarnya. Dan mulai
mengendus dan menjilati kemulusan dubur remaja pria itu. Begitu juga dengan
ketiak dan batang zakarnya yang mulai membesar dengan bertambahnya usia.
Setiap pagi dengan rajin Adhi memijat-mijat batang
kekerasan Paidjo dengan sabar dengan kepercayaan bahwa hal itu dapat menambah
ukuran dengan lebih cepat. Pada malamnya ia akan membuat Paidjo bergelinjang
ketika lidahnya yang cekatan membuat batang belia itu memuncratkan isi hatinya.
Setelah itu ia akan dengan sabar dan penuh kasih sayang menunggangi Paidjo
selama beberapa jam hingga mereka kelelahan. Bahkan ukuran kelamin Adhi yang
hampir serupa dengan Mas Sadikinpun tidak lagi menyakitinya. Sepertinya
penetrasi yang dilatihkan hampir setiap malam itu membuat dinding lubang kecil
itu terbentuk untuk dapat menerima batang kenikmatan itu dengan baik.
Ia akan menikmati tubuh tuan mudanya hingga titik
kenikmatan itu datang di penghujung malam. Kemudian iapun selalu meninggalkan
benih kejantanannya dalam liang dubur Paidjo, sehingga ketika subuh tiba dan
batang itu sudah mulai melemas di sana, lelehan kental itu akan dengan perlahan
mengalir keluar dari anusnya.
Adhi tak lagi tidur di ruang tamu. Tetapi ia selalu
menemani Paidjo setiap malam. Paidjo pun akan mendapatkan protein harian
rohaninya dari Adhi di pagi hari ketika mereka berdua mandi bersama.
“Kang Mas… aduh…” ujarnya tak tertahankan lagi.
Paidjo menerima semburan kental yang nikmat itu
dengan santai sembari terus memaju mundurkan kepalanya.
“Kang Mas… cukup…”
Paidjo tidak perduli, ia harus mendapatkan madu
kehidupan itu sebanyak-banyaknya.
Begitulah hari-hari Paidjo di rumah RM Suryo,
sampai pada suatu hari berita itupun tiba…
“Kang Mas… ayah Kang Mas di desa telah meninggal
tadi malam karena sakit di rumahnya…”
(bersambung)
Bergegas ia mengemasi pakaiannya untuk segera
memberi penghormatan pada ayahnya di kampung. Ketika ia tiba di ruang jamuan
Keluarga Suryo, keduanya nampak prihatin dengan berita buruk ini.
“Pak, Bu, saya pamit untuk pemakaman ayah di
kampung…”
“Baiklah Nak, mobil sudah saya suruh berjaga di
depan…”
“Saya naik kereta saja Pak, setelah itu akan ada
dokar yang menjemput dari kampung saya menurut kabar dari Mas Adhi. Saya akan
merasa malu dan tidak pantas kembali ke desa saya dengan mobil mewah Bapak”
“Baiklah bila itu keinginanmu…”
“Kami turut berduka cita Nak…”
Perjalanan kereta berlangsung dengan cepat dan
tanpa halangan. Perjalanan diteruskan ke arah laut dengan dokar. Tarikan kuda
pada dokar itu mulai melambat ketika masuk ke wilayah kampung nelayannya. Di
sana tanah liat bercampur dengan pasir dan lumpur sehingga menjadikan dokar itu
terasa lebih berat dan kesat.
Dari sana ia melihat upacara sedang berlangsung.
Kemudian tanpa pikir panjang ia langsung berlari menuju pantai untuk memberikan
penghormatan kepada ayahnya untuk yang terakhir kalinya. Tradisi masyarakat
setempat adalah memulangkan warganya yang sudah tiada untuk kembali ke laut.
“Ayah….”
Dengan terengah-engah ia mengucapkan doa dan
syahadat sembari ikut mendorong sampan kecil itu menyusul mentari yang sebentar
lagi hilang dari ufuk cakrawala.
(Garis Pembatas Jeda……..)
Kampung itu masih terlihat seperti sebelumnya.
Tidak ada hal baru yang terjadi di sana. Waktu seakan melupakan tempat
terpencil itu. Seminggu sudah ia membereskan gubug kecil ayahnya dan merapikan
barang-barang peninggalannya.
Kini ia sudah tak mempunyai siapa-siapa. Mas
Sadikin sudah bekerja di Jepara. Untung Paidjo menuruti permintaan ayahnya yang
terakhir. Kini ia memiliki sebuah keluarga baru yang mencintainya.
Kesedihannya masih belum berakhir ketika ia
mengendus hawa yang familiar merasuki ruangan itu.
“Halo Dik!” Sadikin tersenyum sedih menyapanya.
Mereka berbicara dalam bahasa Jawa yang
diterjemahkan sekiranya demikian:
“Bagaimana kabarnya Mas?”
“Saya baik-baik saja. Baru saja saya tiba dari
Jepara, beritanya terlambat sampai di telinga saya… Turut berduka cita ya Dik…
kamu sendiri gimana?”
“Ya saya masih sedih Mas. Ayah yang membesarkanku
sendirian tanpa ibu. Semua jasa-jasanya akan saya kenang seumur hidup saya…”
“Kamu betah di Semarang Dik?”
“Tentu saja, mereka begitu baik padaku”
“Dan mereka mengajarimu dengan baik pula Dik! Tata
bahasa yang kau pergunakan sudah tinggi, seperti engkau terlahir di balik
dinding Keraton Demak”
“Memang keluarga Keraton Demak itu masih bersaudara
dengan Ibu Suryo Mas… dan Keraton Surakarta ada hubungan darah dengan RM Suryo
sendiri…”
“Wah, hidupmu terjamin pasti Dik…”
“Mas sendiri bagaimana ini? Saya dengar sudah
berhenti menjadi nelayan?”
“Iya, saya sekarang menjadi mandor proyek bangunan
di Jepara. Gajinya lumayan untuk mencukupi hidup sehari-hari lah Dik. Tapi
sebelumnya saya ada berita baik yang harus saya bagi dengan Adik…”
“Apa itu Mas?”
“Bulan depan saya akan menikah dengan Warti…”
“Warti anaknya Pak Rahmat tetangga kita?”
“Iya…. Tadinya aku juga ndak mau Dik pas kita
dijodohkan…”
“Tapi ia sering datang membawa makanan dan
berceritera kepadaku” lanjut Sadikin
“Setelah saya terbiasa tanpa kehadiranmu Dik,
lama-kelamaan saya mulai bisa menerima perhatian baik dari Warti… Dua bulan
yang lalu ia ikut saya ke Jepara untuk mencari pekerjaan. Kini ia menjadi
penjaga toko di pasar besar. Ia titip belasungkawa untuk Dik Paidjo”
“Terimakasih Mas…”:
“Kapan kamu kembali ke Semarang dik?”
“Saya sudah hampir satu minggu di sini, rencananya
besok saya akan kembali…”
“Wah terburu-buru sekali Dik?”
“Saya harus banyak belajar untuk bisa lolos ujian
sekolah menengah Belanda Mas…”
“Wah, kagum saya padamu Dik… umm, kalo begitu… umm,
malam ini… Dik Paidjo mau menemani saya di sebelah?” tanyanya dengan manja.
“Untuk apa Mas?” Paidjo tersenyum sambil menjawab
pertanyaan tadi dengan pertanyaan.
“Yah, untuk melepas kangen-kangenan lah…. Terakhir
kali sebelum saya menikah Dik…”
“Baik lah…”
(Garis Pembatas Jeda……..)
Sambil mengelus rambutnya yang hitam berkilau,
Sadikin bercerita tentang pekerjaannya, tentang Warti dan tentang hidupnya
sepeninggal Paidjo. Iapun banyak bertanya tentang kehidupan baru remaja itu.
Pembicaraan itu berlangsung dengan santai. Mereka
baru saja selesai bercinta. Air kental yang nikmat itu baru saja ia sembahkan
bagi Paidjo di dalam liang anusnya.
“Ngomong-ngomong Dik… tiga bulan ini kamu banyak
latihan ya?” ujarnya bercanda.
“Iya Mas… dengan Mas Adhi, yang mengurusi
keseharianku”
“Pantes sekarang kamu makin pandai bercinta untuk
memuaskan hasrat lelaki”
Satu jam kemudian hasrat itu kembali membara.
Untung saja Adhi sudah mempersiapkan Paidjo dengan baik. Tentu saja dengan
penuh kebinalan dan keganasan Sadikin menungganginya kembali bagaikan binatang
buas dari hutan belantara.
Hal ini mengingatkan Paidjo pada malam terakhir di
atas kapal nelayan…
Ia menarik bokong Paidjo agar berdiri lebih dekat
dan rapat, menurunkan pundak bocah itu ke kasur dan ia mulai menegakkan
tubuhnya. Ia menaikki tubuh anak itu dengan napsu badaniah yang tak terelakkan.
Belahan kakinya ia mantapkan pada pinggang kiri dan kanan Paidjo sementara ia
menggerakkan alat kelaminnya memompa dan memompa semakin dalam dan kasar.
Dengusannya bagaikan kuda liar pada musim kawin.
Sebelum akhirnya iapun menyerah pasrah kepada kepiawaian permainan Paidjo. Kali
ini tidak hanya semburan… tetapi bagaikan waduk yang retak… air maninya
mengalir deras mengosongkan kantung zakar pria itu terus menerus selama
beberapa detik. Ia kemudian terjatuh di atas tubuh sensual Paidjo. Tubuhnya
menggelinjang seperti kerasukan roh halus. Mulut ular itu masih terus
memuntahkan madu kehidupan yang nikmat dari buah pelirnya.
(Garis Pembatas Jeda……..)
Satu tahun penuh ia berada di kota Semarang.
Pendidikannya yang baik di rumah RM Suryo telah mempersiapkan dirinya untuk
hari yang bersejarah ini.
“Nak semoga sukses ya ujian masuknya…”
“Terimakasih Pak, Bu…”
Dua setengah jam yang melelahkan itu akhirnya
memberikan hasil tepat satu minggu kemudian.
“Paaaak…. Bu…. Aku diterima di Santo Loyola!!!”
Mereka langsung bersembahyang bersama-sama, karena
akhirnya hasil jerih payah mereka berbuah juga. Acara syukuran mereka adakan
pada malamnya dengan mengundang seluruh petinggi kota Semarang.
(Garis Pembatas Jeda……..)
“Di mana ya saya pernah melihat dia?” tanya Paidjo
penasaran.
Setiap pulang sekolah dengan sepeda sederhana itu,
ia selalu melewati Istana Gubernuran, yang kala itu dijabat oleh Gubernur Van
Hoeve.
Wajah tampan prajurit asing itu setiap hari ia
lewati dari depan pos penjagaannya.
Setiap hari pula ia bertanya pada dirinya sendiri,
“Sebelum ini saya sudah pernah berbincang-bincang
dengan beliau. Tapi, di mana ya saya pernah melihat dia?”
Sudah lebih dari satu bulan mereka beradu pandang
dari titik yang sama. Saling melempar senyum dan sapaan kecil.
“Selamat siang!”
“Apa kabar?” dalam bahasa Belanda.
Prajurit asing itupun mungkin tak beda jauh usianya
dengan dirinya. Mungkin seusia dengan Adhi. Tubuhnya yang tinggi dan kekar
menarik perhatian Paidjo. Matanya yang biru bagaikan magnet yang mengundang
Paidjo untuk mencium bibirnya yang menawan. Kulitnya pun tidak seperti bangsa
kulit putih lainnya. Pria itu terlalu banyak menghabiskan waktu di bawah terik
mentari Semarang sehingga kulitnya berwarna coklat tua kemerahan. Sesekali
Paidjo melihatnya sedang melepaskan helm prajuritnya karena terlalu panas. Rambut
pendeknya yang coklat tua tidak terusik tertiup angin. Serdadu muda penjaga pos
keamanan istana itu terus bermain di dalam benaknya.
Rasanya ia sedang jatuh cinta.
(Garis Pembatas Jeda……..)
“Garis bahu yang kokoh itu tidak salah lagi” batin
Paidjo.
“Selamat malam Lady Ambassador…”
“Selamat malam Mister Surjadi…”
Kini sebagai tuan muda dari Karesidenan Semarang,
iapun mempunyai kewajiban sosial yang tinggi. Ia sedang berada di kastil
peristirahatan Ambassador Bavaria di pegunungan dekat kota Salatiga. Nampaknya
para tamu yang hadir saat itu agak canggung berpesta pora di kastil itu. Pesta
itu adalah pesta terakhir yang akan diadakan keluarga ambassador. Hari itu
Bavaria baru saja kehilangan martabat dirinya setelah dipaksa bergabung dengan
Jerman dibawah pemerintahan Hitler.
Para pejabat dari Sumatera, seluruh pulau Jawa dan
dari Ibukota Batavia semuanya hadir di sana untuk mengucapkan selamat jalan
pada keluarga duta besar. Mereka membahas tentang hal-hal yang menyedihkan.
Perang sebentar lagi akan berkobar di tanah Eropa dan seluruh dunia akan
merasakan imbasnya. Belum lagi serdadu Dai Nippon milik Kerajaan Jepang telah
berhasil menguasai Mongolia, Cina dan Korea. Mereka terus bergerak ke tenggara
benua Asia, setelah tidak berhasil menguasai Muangthai.
Dengan setelan pakaian kenegaraan yang mewah
perlahan-lahan Paidjo melepaskan diri dari tugas perbincangan tingkat
tingginya. Pandangannya hanya tertuju kepada seseorang prajurit tampan yang
sedang berbincang dengan rekan-rekannya di tangga pendopo kastil itu. Ia
berpura-pura tak sengaja melewati kerumunan pemuda asing yang gagah itu.
“Hey kamu!” panggil pemuda pujaannya.
“Hey apa kabar?” jawab Paidjo dengan fasih.
“Teman-teman sebentar ya, saya ingin berbicara
dengan kawan lama saya ini…” ia permisi dan menarik dirinya.
Mereka berdua berjalan santai mengelilingi air
mancur besar di tengah taman cantik itu. Gemerlap lampu dari kota Semarang
terlihat sangat indah di tepi bukit itu.
“Sudah makan?” ujarnya membuka pembicaraan.
“Sudah, kamu sendiri? Sepertinya sibuk sekali
melayani pembicaraan para tamu agung kita kali ini?”
“Ya benar… boleh saya tau namamu?”
“Karl” ucapnya singkat.
“Saya…”
“Paidjo… melihat kamu setiap hari membuat saya
sangat ingin mengetahui lebih banyak tentang kamu” ia tersenyum memperlihatkan
lesung pipitnya.
“Iya benar. Kamu sudah tau tentang asal saya yang
dari kampung itu?”
“Sudah, semua orang iri padamu di ruangan itu. Kamu
terlihat sangat aristokratik. Tidak seperti orang yang di besarkan di kampung
nelayan.”
Mereka berdua tersenyum.
“Kamu mengawal Gubernur Van Hoeve malam ini?”
“Ya kebetulan saya menjadi supir pribadinya untuk
acara ini”
“Oh begitu… eh, saya lapar nih. Ndak papa kan nemenin
saya makan sate sebentar?”
“Silakan… pesta baru saja dimulai, pasti mereka
akan melanjutkannya hingga larut malam”
“Ya… misteri itu sudah terjawab sekarang!”
“Hah?”
“Di mana saya melihatmu untuk pertama kalinya?”
“Masak kamu tidak ingat? Di pesta kamu sendiri,
ketika syukuran diterima di sekolah menengah!”
“Sejak itu saya tidak dapat melupakan wajahmu
Karl.”
Karl tertunduk dan tersipu malu. Mereka berjalan
perlahan menuju gerbang kastil itu. Semerbak wangi bakaran sate ayam menggugah
hidung mereka. Tukang sate pikulan itu selalu berjualan di depan pagar kastil
jika pesta sedang berlangsung di sini. Sang pedagang tau bahwa banyak
officer-officer muda yang lebih meminati sate dagangannya daripada sampanye dan
hors-d’oeuvre yang mewah tetapi tidak mengenyangkan di dalam kastil.
Benar juga.
“Apa kabar Pak Kamsi?”
“Baik Den… mesen seperti biasa?”
“Kamu mau juga Karl?”
“Ya tentu saja…”
“Dua ya Pak buat temen saya ini juga!”
“Rame Den, pestanya di dalam?”
“Rame sekali Pak. Hari terakhir Mister Ambassador
ada di Pulau Jawa. Dagangan laris Pak?”
“Ya alhamdulilah begitu Den. Tuh serdadu asing lagi
pada duduk di rumput menikmati dagangan saya. Ada yang nambah lho Den…”
“Oh ya?”
“Balik lagi ke pesta terakhir Mister Ambassador,
pantes ya plat mobil dari Batavia banyak juga yang terlihat.”
Sembari duduk di pinggir jalan, mereka berdua
menikmati hidangannya sambil bercengkrama. Kemudian Karl membisikkan sesuatu
kepada Paidjo.
“Djo, akhir pekan ini kamu mau kemana?”
“Belum tahu Karl. Kenapa?”
“Nonton bioskop yuk di dekat Gubernuran. Ada film
komedi baru masuk dari Hollywood tuh…”
“Oh ya judulnya apa?”
“Wah, saya sendiri juga belum tahu. Kayaknya bagus
sih…”
“Jadi ini kencan?” bisik Paidjo di telinga Karl.
“Hmm… ya begitulah….” Keduanyapun lalu tersenyum.
“Setiap siang kamu melewati pos jaga saya… Rasanya
bagaikan melihat oasis di tengah padang pasir Sahara…”
“Ah gombal”
“Deh… ngga percaya dia…..” Karl mempercepat
langkahnya mengikuti Paidjo yang berjalan kembali ke arah kastil.
“Djo… kamu mau liat preview dari film itu nggak?”
“Preview?”
“Sini…”
Karl menariknya ke belakang sebuah pohon cemara
yang sangat rimbun.
“Begini previewnya…” ia memandu tangan kiri Paidjo
menuju kemaluannya.
“Hmm.. bagus juga previewnya… Hmmm?” ujarnya
terkejut.
“Kamu suka?”
“Hmm… wow… Ya Tuhan…. Besar sekali!”
“Sshhh…diem dong… nanti ketahuan…”
Paidjo mulai memijati keperkasaan lelaki itu dari
depan celana hijau militernya. Batang tersebut sudah keluar dari celana dalam
Karl dan kini melintang di paha kirinya di dalam balutan celana ketat militer
itu.
“Karl, besar sekali ini… boleh saya buka celanamu?
Aku benar-benar ingin bersamamu malam ini!!”
Kemudian Karl menepiskan tangan Paidjo dari alat
kelamin kuda jantan itu.
Dengan santai ia mencubit bokong Paidjo dan
beranjak meninggalkannya, tetapi sebelumnya ia sempat berbisik di telinga
remaja pria itu:
“Darling… Memang kau pikir aku wanita macam apa?”
ujarnya seraya meledek kekasih barunya.
“Ha?”
Sesuai janjinya Karl datang tepat pukul 10 di pagi
hari Sabtu itu. Suara deru sepedamotor perang itu seperti gelegar petir yang
mengacaukan keheningan kompleks kediaman keluarga Suryo.
“Hai apa kabar?” sapa Paidjo.
“Semuanya baik Paidjo, saya rindu sekali
padamu....”
“Iya saya juga Karl, gimana? Mau pergi sekarang?
Tapi filmnya khan baru diputar jam satu siang nanti?”
“Gak papa... kita pergi ke Salatiga dulu, kita
pergi ke Pak Kamsi makan sate lagi yuk?”
“Wah, ketagihan gini...Lho dia khan hanya berjualan
pikulan di malam hari?”
“Ngga, aku tau dia punya warung di depan rumahnya
pada siang hari”
“Gila, tau dari mana?”
Jalan yang kebanyakan masih tanah tak beraspal itu
tidak memberikan halangan yang berarti bagi motor besar itu. Tak lama kemudian
mereka sudah bercengkrama dengan Pak Kamsi di warung satenya di tepi pegunungan
itu. Namun tak disangka, langitpun berubah muram seketika. Gulungan kumulus
mulai terlihat saling kejar mengejar dari balik gunung.
“Jo, cepetan balik ke Semarang yuk? Bentar lagi
hujan nih...”
“Okeh... kita bayar Pak Kamsi dulu...”
“Siap? Aku mau ngebut nih, pegang erat-erat ya...”
Tanpa dikomandopun Paidjo sebenarnya sudah memeluk
tubuh Karl yang kekar itu dari sadel belakang. Ia menyenderkan kepalanya ke
punggung pemuda Belanda itu.
Tetes air hujan mulai membasahi bumi. Motor itupun
segera melaju seakan ingin mendahului takdiran alam. Tetapi apa boleh buat,
pada setengah perjalanan kembali ke Semarang hujan mengguyur dengan derasnya.
Tubuh merekapun segera basah kuyup. Karl memperlambat kecepatan motornya dan
menepi ke arah sebuah pohon beringin besar yang sekiranya dapat memayungi
mereka untuk sementara.
Pria itu segera melompat dari motor sembari menarik
lengan Paidjo untuk segera berlari ke arah perlindungan di bawah pohon.
“Jo, kamu baik-baik saja? Tubuhmu menggigil!”
Iapun segera duduk di akar beringin itu dan
mendekap Paidjo ke dadanya.
“Tubuhmu panas Jo! Kamu harus segera melepaskan
pakaian basah ini. Kalau tidak kamu akan terserang demam karena hypothermia”
Bocah itu sudah hampir pingsan, ia hanya terdiam
saja ketika Karl melucuti seluruh bahan pakaian yang menempel di tubuhnya.
“Aku harus menghangatkanmu saat ini, maaf, saya
terpaksa melakukan ini.”
Dengan cekatan prajurit itupun menelanjangi dirinya
sendiri hingga tak satu benangpun menempel di tubuh kekarnya. Ia kembali duduk
di akar pohon itu, membuka dirinya, kemudian menarik Paidjo dan membenamkan
bocah itu dalam pelukannya yang hangat.
Sesekali ia dapat merasakan tubuh Paidjo yang
menggigil kedinginan. Segera ia mengusap-usapkan telapak tangannya yang hangat
di sekujur punggung dan paha Paidjo untuk mengeringkannya.
“Maaf saya merepotkan” ujar Paidjo dengan suara
yang melemah.
“Ssshhh, diam saja kamu... beristirahatlah dalam
pelukanku...” kemudian ia membelai-belai kepala Paidjo dengan kasih sayang.
Guyuran hujan lebat itu hampir tidak terasa dibawah
naungan pohon besar itu. Paidjopun tak lama terlelap dengan irama hujan dan
kehangatan kekasih disampingnya.
Sekitar dua jam kemudian badai itupun berlalu.
Mentari memberikan senyum hangatnya sekali lagi. Melihat kesempatan baik itu,
perlahan tanpa membangunkan Paidjo, Karl membopong tubuh sahabat kecilnya itu
ke arah padang rumput tak jauh dari tempat mereka beristirahat tadi.
Kehangatan sang surya semakin terasa.
“Mungkin ini bisa menghangatkan dia....” pikir
Karl.
Ia membaringkan tubuh Paidjo di rerumputan dan
membiarkan kehangatan dunia ini merasuki tubuh anak itu. Sesudah itu ia segera
mengambil pakaian basah mereka berdua dan menjemurnya di ranting-ranting pohon
sekitar tempat itu. Ia menangkap sekelibat keajaiban alam ketika sedang
menjemur helai pakaian yang terakhir.
Tiba-tiba sahabat kecilnya membalikkan posisi
tidurnya. Tubuh kuning langsat Paidjo seakan berkilauan dan memantulkan cahaya
keemasan dari sang Surya. Anak itu masih juga polos dan nyaris tidak ditumbuhi
bulu sedikitpun pada tubuh indahnya. Posisi bokongnya benar-benar menggemaskan.
Seakan kepanasan, Paidjo tanpa sadar melipat sebelah pahanya, memberikan
sedikit pemandangan menakjubkan atas pasangan buah zakarnya yang lembut dan
menggiurkan. Garis-garis tegas menandai kebundaran dan kekenyalan pantat remaja
putra itu. Bola-bola cahaya seakan mengambang di atas kemontokan bokong bocah
itu.
Tanpa ia sadari, Karl mulai merasa terangsang oleh
pertunjukkan alam ini. Suhu tubuhnya turut meningkat dengan datangnya kembali
sang mentari bersama rangsangan ini. Peluh mulai menetes dari keningnya. Iapun
berjalan ke arah di mana Paidjo tergeletak dengan segala daya tariknya.
Ia segera berbaring di belakang Paidjo dan perlahan
mendaratkan kecupan demi kecupan ringan di pundak sahabatnya itu. Jemari
kekarnya mulai menggerayangi kemontokan bokong indah itu. Ia terus membelai dan
membelai dengan mesra. Ruas jari tengahnya ia gosok-gosokkan pada belahan
pantat Paidjo. Jari manis dan telunjuknya secara refleks melonggarkan jepitan
kenyal bokong anak itu. Perlahan tapi pasti ruas jari tengahnya mulai menyentuh
bibir anus yang bebas dari bebuluan di sana. Gesekan demi gesekan mulai membuat
bibir kecil itu terasa hangat dan lembab. Keringat bercampur pelumas alami
mulai membasahi daerah itu. Ia menghabiskan waktu dengan santai dan tak
tergesa-gesa. Sedikit demi sedikit batang kelelakian Paidjopun mulai mengeras
atas rangsangan ini.
Kecupannya ia lanjutkan hingga di leher anak itu.
Kemudian ia memutuskan untuk memandikan daun telinga Paidjo dengan bibirnya.
Ketika lidahnya mulai memasuki rongga telinga yang sensitip itu, Paidjo
kemudian mengeluarkan erangan kecil.
“Mmmphhh.....”
Kejantanan Karl sudah mencapai titik kesempurnaan.
Kepala penis yang berbentuk seperti buah jeruk itu sudah menggeliat kepanasan
keluar dari perlindungan kulit fulup yang tak tersunat itu.
Paidjopun akhirnya terbangun karena tikaman-tikaman
ringan kelelakian Karl pada punggungnya.
“Tidur enak sayang?” sapa Karl.
“Iya... rasanya enak sekali...” penis remaja putra
itupun sudah bangkit maksimum pada saat tersebut.
“Say, tubuhmu ini benar-benar menyihirku...”
“Oh ya?” balas Paidjo tak percaya...
“Bolehkan kujelajahi tubuh indahmu saat ini?”
“Terserah kamu sayang...”
“Bangun yuk...”
Ia membimbing remaja itu kembali ke arah pohon
beringin besar itu. Kini fungsinya berubah menjadi tempat berteduh terhadap
sengatan mentari yang mulai mengganas kembali.
“Jo, coba kamu panjat dahan rendah itu...”
Paidjopun menuruti instruksi kekasihnya.
“Cukup, jangan naik terlalu tinggi, nanti aku tak
dapat meraihmu dari sini.”
“Lalu sekarang?”
Karl meletakkan kedua tangan Paidjo pada batang
beringin sebagai sarana yang dapat anak itu pegang.
“Coba renggangkan kaki kananmu... ya... taruh di
dahan yang itu. Dan kaki kirimu di dahan yang... ini.... Oke, sekarang pegang
pohon ini erat-erat dan coba kau turunkan tubuhmu perlahan seperti hendak
berjongkok....”
Karl kemudian menghela nafas panjang.
“Indah sekali bokongmu ini Jo...”
Paidjo dalam keadaan mengangkang dan ia memberikan
pemandangan anusnya yang menakjubkan tepat di depan wajah Karl. Pemuda Belanda
itu ia buat takjub dengan keahliannya mengendalikan bibir anus kecilnya
sehingga menciptakan kerlingan-kerlingan yang sangat merangsang.
Seperti ditarik oleh magnet yang berdaya tinggi,
Karl bergerak mendekati bibir bawah tersebut. Ia meletakkan kedua tanggannya
sedemikian rupa sehingga semakin membuka belahan pantat yang paling pribadi
itu. Dengan mesra ia segera memberikan kecupan pertamanya di sana.
Paidjo segera mengerang kembali.
Hidung mancung pemuda Eropa itu mengendus-endus
dengan seksama pada daerah itu. Hangatnya hembusan nafas Karl semakin
merangsang Paidjo.
“Ah, aroma yang sangat merangsang Jo. Wewangian
lezat yang tak tertandingi sayangku!” ujar Karl.
Iapun segera menyapukan lidah hangatnya dalam
bentuk lingkaran-lingkaran kecil. Mulai dari sekeliling garis pembelah
tersebut, hingga perlahan memfokuskan diri pada liang kenikmatan yang sempit
itu.
“Cium bibirku Jo!!” Karl memerintahkan Paidjo untuk
mendorong bibir anusnya keluar hingga menyentuh bibir Karl. Dari sana lubang
kecil nan hangat itu ia paksa buka dengan lidahnya yang menggeliat dengan satu
arah tujuan.
Kemudian ia menepuk-nepuk bukaan anus nan indah itu
dengan mesra menggunakan ujung jari tengahnya sebelum ruas jari itu ia dorong
masuk untuk merasakan medan pertempuran yang sesungguhnya.
Sembari memasuki lubang sempit itu dengan jari
tengahnya, Karl membalikkan tubuhnya dan masuk ke bawah selangkangan Paidjo.
Seluruh penis bocah itu dapat ia benamkan dalam
rongga mulutnya tanpa masalah. Dengan perhatian yang tinggi ia mulai
memaju-mundurkan kepalanya. Paidjo mulai mengeluarkan desah-desah kenikmatan.
Batang bocah itu menegang dengan dasyatnya. Sodokan
jemari Karl pada liang anusnya pun mulai bekerja dengan baik. Titik prostatnya
telah terstimulasikan sedemikian rupa.
Karlpun tahu saatnya akan tiba segera.
Tubuh Paidjo kemudian langsung menggelinjang
berkali-kali seiring irama semburan air maninya yang ia muntahkan langsung ke
dalam tenggorokan Karl hingga memenuhi rongga mulut pria asing itu.
Tubuhnyapun mulai melemas, genggaman tangannya di
pohon mulai goyah. Karl segera menangkap Paidjo sebelum ia terjatuh bebas dari
dahan tersebut.
“Enak say?” tanya Karl sembari tersenyum mesra.
“Banget!!!!”
“Manimu juga enak sekali rasanya say...”
“Oh ya?” tanya Paijo manja sembari menggengam penis
raksasa kekasihnya yang masih bervoltase tinggi itu.
Seperti yang sudah ia perkirakan sebelumnya. Mulut
kecilnya hanya mampu mengulum kepala jeruk berwarna merah muda pucat itu. Ular
naga itu terlalu besar untuk distimulasikan secara oral.
“Karl, kamu duduk di sini deh...”
Perlahan Paidjo berjongkok berhadapan dengan wajah
pacar barunya itu dan langsung menuju target. Ia mencoba menduduki kelelakian
yang tebal dan besar itu.
“Pelan-pelan say...” wanti Karl karena ia tak ingin
menyakiti Paidjo.
Waktu terasa berjalan sangat lambat. Memerlukan
proses yang tidak sedikit hingga akhirnya batang perkasa itu dapat terselimuti
dengan total oleh jonjot otot liang Paidjo yang senantiasa meremas dan menyusui
itu.
“Ah.... sempit sekali kamu Jo... nikmat rasanya....”
ujarnya bahagia sembari membuka-tutup kelopak matanya.
Walaupun ukuran Karl ini terbilang yang terbesar
yang pernah memasuki rongga kenikmayan bocah itu, tetapi Paidjo sangatlah
terlatih untuk dapat membahagiakan siapapun pasangannya.
Remaja itu mulai menaik turunkan bokongnya dengan
tegas. Lengannya ia pelukkan di sekitar leher Karl sembari menciumi bibir pria
Belanda itu dengan napsu yang membara.
Merekapun berganti posisi dengan rebahan di sisi
tubuh mereka. Karl dengan perkasa tetap menggenjot dari belakang. Jemarinya
yang kasar membuat puting Paidjo yang sensitip terangsang dengan tegang,
sementara ia tetap mengendalikan otot anusnya sehingga terus menggeloyoti penis
pria asing itu dengan kesatnya.
“Huh.... huh....”
Bebuluan kasar pada pangkal paha Karl seakan
menusuk buah pelir dan bagian belakang lainnya ketika pria itu membenamkan
seluruh zakar perkasanya di dalam lubang nan sempit itu.
Tubuh Paidjo terasa sangat penuh oleh serangan
misil berukuran raksasa itu. Tak lama kemudian Paidjo mendapatkan kepuasan
badaniah tertinggi sekali lagi.
“Aaaaaaahhhhh.......” bocah itu menjerit
kegirangan.
Bersamaan dengan itu jepitan bokongnya semakin
mengeras dan memeras buah zakar Karl untuk mengeluarkan benih cintanya pada
saat itu juga. Tubuh mereka terguncang-guncang hingga beberapa saat.
Tanpa disadari sperma Belanda yang ia hasilkan
kebanyakan akhirnya terbuang melalui celah kecil di rongga sempit itu. Ukuran
raksasa itu telah menghabiskan seluruh tempat penampungan yang seyogyanya
tersedia. Cairan kental berwarna putih-kuning itu telah berubah menjadi buih
yang menodai seluruh selakangan mereka berdua. Cairan itu perlahan menetes
turun dari buah zakar mereka.
Untuk Paidjo pribadi, mungkin kenikmatan inggil
seperti ini belum pernah ia rasakan hingga tingkat yang baru saja mereka lalui.
Tanpa dapat mengeluarkan sepatahkatapun, ia langsung tergolek lemas di dalam
dekapan Karl dan tertidur lelap.
Tidak halnya dengan Karl pemirsa. Ia sangat
menikmati permainan ini. Kenikmatan luar biasa yang sangat jarang ia dapatkan.
Karl menghabiskan sore yang hangat itu dengan
menyetubuhi anak itu berkali-kali sampai iapun tak kuasa menahan letih walaupun
napsu tetap menguasai. Sementara Paidjo terlelap lemas dan tanpa sadar
merelakan tubuhnya dipakai untuk pemuasan birahi kekasihnya.
Setiap setengah hingga tiga-perempat jam sekali,
sayup-sayup terdengar teriakan orgasmik dari pria Belanda itu dari kedalaman
pegunungan itu. Pelangi terlihat indah menaungi Salatiga.
(Garis Pembatas Jeda……..)
Setiap pria yang sudah berkenalan dengan Paidjo
akan berubah menjadi maniak. Tidak tahu ada unsur magis apa yang dimiliki oleh
bocah itu. Hal yang samapun terjadi pada Karl.
Mulai dari kencan pertama mereka yang sangat
menegangkan di pengunungan, Karl kini dapat tanpa malu-malu mengajak Paidjo berkencan
di mana saja.
Mereka pernah melakukannya di gardu jaga Karl, di
dalam wc umum, bahkan di semak-semak tepi jalan yang ramaipun mereka sudah
tidak perduli.
Walaupun sepertinya nuansa birahi yang selalu
menonjol, ternyata sudah dua tahun belakangan ini mereka bersama. Sebentar
lagipun Paidjo akan lulus ujian sekolah menengah. Mereka berdua sudah tak
terpisahkan lagi. Antara cinta dan napsu belaka sebagai pengikat yang
membingungkan setiap pihak ketiga yang penasaran.
(Garis Pembatas Jeda……..)
Untuk ulang tahunnya yang ke tujuhbelas, Raden
Suryo, menghadiahkan sebuah bungalow kecil menghadap ke lepas pantai tepat di
luar pelabuhan yang kini dikenal dengan nama Tanjung Mas. Paidjo diijinkan
untuk tinggal di sana asalkan tetap ditemani oleh Adhi sang abdi dalem.
Seiring dengan bertambahnya usia, secara alami
bebuluan sudah terlihat tumbuh di tubuh Paidjo. Masalahnya Karl tidak menyukai
hal itu. Ia menginginkan tubuh Paidjo tetap belia seperti saat pertama ia jatuh
hati pada sahabat mudanya ini.
Maka dari itu setiap beberapa minggu sekali Adhi
akan disibukkan dengan ritual menghabisi bebuluan di sekujur tubuh Paidjo
dengan alat pencukur sederhana.
Sama seperti yang terjadi pada malam yang hangat di
permulaan tahun ini. Karl sudah tidak sabar untuk menikmati hasil kerajinan
tangan Adhi. Ia melebarkan selangkangannya dan sudah mulai meremas-remas
kontolnya itu sejak beberapa jam yang lalu karena ia sangat terangsang oleh
pemandangan ritual pencukuran bulu yang dilaksanakan oleh Adhi. Apalagi pada
saat itu adalah tugas terberat abdi dalem itu, yaitu membuat bokong Paidjo yang
sudah beranjak dewasa itu bisa mulus kembali seperti bayi. Pupuran bedak
diberikan untuk memperhalus cukuran. Bibir anus yang terbuka itu seakan sudah
memanggil penis Karl untuk segera melakukan tugasnya di sana. Karl semakin
bernapsu memerah keperkasaaannya.
“Kapan selesainya sih Dhi?”
“Sebentar lagi Meneer....”
“Aduh udah ndak tahan nih...”
“Sabar ya Meneer...”
Seperti minggu-minggu sebelumnya yang juga sudah
pernah terjadi. Karl mendekati mereka.
“Waduh nanti jadi lama selesainya Meneer...”
Pria tegap dan tinggi itu menyingkapkan sarung yang
dikenakan Adhi ke atas, kearah punggung abdi dalem itu, dan mulai meraba-raba
lubang anus abdi dalem itu di sana.
“Maaf Dhi... saya sudah tidak tahan lagi.”
Ia kemudian naik ke atas ranjang bersama mereka.
Mendorong tubuh Adhi ke depan sehingga, anusnya terbuka dalam pemandangan.
Iapun langsung menancapkan keperkasaan raksasanya itu di sana.
Karl tidak perduli dengan dubur Adhi yang tidak
tercukur, karena ia tidak berniat untuk menciumi dan memuja dubur Adhi seperti
yang ia lakukan pada Paidjo yang merangsang itu.
Hantaman-hantaman yang kuat membuat Adhi tidak bisa
bekerja dengan baik menghabisi seluruh bebuluan halus yang menumbuhi sekitar
liang kenikmatan Paidjo. Akhirnya ia memutusnya untuk mengulum penis tuannya
yang juga sudah menjadi kemaluan lelaki sejati saat itu. Kepala dan batang
zakar itu tidak semudah dahulu berkeliaran di dalam rongga mulut Adhi.
Karl semakin meninggi gairahnya. Ia menunggangi
Adhi seperti hewan liar yang sedang birahi.
Tiba-tiba di atas kepala mereka terdengar suara
mesin pesawat yang sedang terbang rendah. Dan bukan hanya satu pesawat saja
yang mereka dengar. Keterkejutan itu belum berakhir ketika suara desingan bom
udara mulai terdengar dari langit. Ledakan bertubi-tubi mereka rasakan bagai
gempa bumi dalam skala richter yang tertinggi.
Kemudian sirene militer dari pos jaga di pelabuhan
mulai mengaung membisingkan siapa saja.
Dengan tubuh telanjang itu, mereka segera bergegas
menuju balkoni untuk melihat apa yang sedang terjadi dan wajah mereka
menampakkan ketakutan yang tidak dibuat-buat. Jantung mulai berdegub kencang.
Beberapa armada perang angkatan laut berbendera
Mentari Terbit itu bergerak perlahan menghimpit pelabuhan Tanjung Mas. Disertai
dengan ratusan pesawat tempur yang bergerak berputar-putar seperti lalat di
atas langit Semarang.
Suara penyiar radio dalam bahasa Indonesia terdengar
berkobar-kobar:
“Saudara-saudara satu jam yang lalu kota Surabaya
sudah direbut oleh Jepun dari tangan Belanda. Mereka ini mungkin yang akan
membebaskan kita dari penjajahan VOC selama tiga setengah abad ini!!”
Wajah Karl berubah pucat.
Bersama dengan Paidjo dan Adhi mereka bertiga
berlari menghindari mortir menuju ke Simpang Lima, kediaman keluarga Suryo.
Di tengah jalan Karl seakan sudah dijemput oleh
satu batalyon prajurit Belanda entah mau apa mereka.
“Karl ayo naik, kita tidak bisa menang dalam
serangan dadakan ini. Gubernur kita sudah memutuskan untuk menyerah
mentah-mentah kepada Jepun daripada terjadi pertumpahan darah”
“Tapi... saya....”
“Cepat naik, daripada dibunuh mereka, lebih baik
kita kembali ke Belanda!!”
Dengan itu mereka menarik Karl ke atas truk tentara
itu tanpa bisa memberi penjelasan apapun untuk Paidjo kekasihnya. Malam itu
merupakan hari terakhir Karl di Indonesia, sekaligus hari terakhir bagi
keduanya untuk bersua sebagai kekasih.
Paidjo hanya bisa tertegun di tengah kepanikan masa
melihat Karl yang berangsur-angsur hilang di kejauhan.
“Kang Mas, maaf hal ini harus terjadi, tetapi
sebaiknya kita segera bergegas ke rumah Raden Mas, agar kita dapat berlindung
di sana”
Adhi menarik lengan Paidjo yang dengan tegar
menerobos kumpulan kekisruhan keadaan. Ia tak mengganti ekspresi wajahnya yang
masih terkejut itu. Tetapi diam-diam air mata menetes ke pipinya ketika mereka
berlari dan berlari seabad lamanya.
(Garis Pembatas Jeda……..)
Betapa terkejutnya mereka ketika sampai di tujuan,
mereka menemukan rumah keluarga Suryo sudah diduduki oleh tentara Jepang.
Seluruh penghuni lama sedang dikumpulkan di halaman depan kompleks keluarga
tersebut. Dari kejauhan Adhi dan Paidjo dapat melihat bapak dan ibu sedang
diinterogasi seseorang yang terlihat berpangkat.
Sayup-sayup akhirnya mereka mengerti bahwa rupanya
salah satu jendral angkatan laut yang sedang meluncurkan serangan terhadap kota
Semarang ini, berkeinginan untuk tinggal di sana dengan cara apapun. Rumah yang
sangat mewah dan berada di jantung kota Semarang. Mungkin di antara para
jendral itu nantinya akan saling gontok-gontokan sendiri untuk memperebutkan
rumah Suryo ini.
“Kang Mas, mau ngapain?” cegah Adhi ketika Paidjo
mulai beranjak dari persembunyian mereka.
“Saya harus bertemu bapak ibu Dhi...”
Paidjo melangkah dengan gagah berani dan pasti.
Benar saja, ia sudah menjadi pria sejati pemirsa.
Di bawah acungan puluhan laras senapan ia mendekati
bapak dan ibu angkatnya ke arah sang Jendral.
Dalam bahasa Jepang pria itu menghardik,
“Siapa kamu? Ada perlu apa?”
“Nama saya Paidjo dan saya adalah anak dari Bapak
dan Ibu Suryo!”
Kemudian sang Jendral berjalan mendekati Paidjo. Ia
mengamati tubuh anak itu dengan seksama sembari mengitari pria muda itu.
Setelah itu ia memanggil ajudannya dan berbisik sedikit.
“Aduh Pak, mau diapakan anak kita itu?”
“Tenang Bu... tenang...”
Paidjo yang sudah dua tahun belakangan ini
diberikan guru privat oleh Ibu Suryo untuk belajar bahasa Jepang mengerti
dengan pasti apa yang mereka inginkan. Tanpa diberi aba-aba ia menatap sang
Jendral dan menuturkan kalimat berikut ini dalam bahasa Jepang yang tanpa
cacat:
“Ya, saya bersedia... asalkan, kau tinggalkan
keluarga saya baik-baik di sini."
.