Page Tab Header

Tuesday, April 9, 2013

Paidjo


Kisah Petualangan Sex Paidjo



Perkenalkan kawan-kawan, nama saya Paidjo. Sebenarnya namaku yang sebenarnya adalah Ade Marjo alias Ade anaknya Pak Marjo. Karena di kampung saya tidak ada yang bersudi memanggil saya dengan sebutan Ade’ (adik), makanya orang-orang memanggil saya cukup dengan Djo! Ada yang bilang Bedjo… ada yang bilang Nardjo atau Marjo… tapi paling banyak orang memanggil saya dengan sebutan sederhana… Paidjo.Banyak orang yang berkeluh bahwa hidup di kampung nelayan saya ini sukar. Tapi saya ini masih bocah, tiga belas tahun… belum kenal hidup susah. Semuanya dianggap senang-senang saja. Mau ikut melaut bersama ayah-pun tidak diijinkan, masih terlalu muda kata mereka. Sekolah juga sudah tutup di kampung saya, wong ndak ada yang punya uang untuk bayar sekolahannya. Untung saya sudah lulus SD tahun lalu.Kegemaran saya pergi ke pantai. Walaupun mata masih keriyep-keriyep, setiap pagi saya menyempatkan diri untuk mengunjungi pantai tak bernama di depan kampungku. Bukan untuk menghirup udara segar, bukan pula untuk menikmati terbitnya terbit, kesukaan saya hanya satu, yaitu melihat pemuda-pemuda desa yang gagah perkasa itu kembali dari laut yang ganas.Dalam musim yang baik seperti saat ini mereka tampak senang sekali. Jaringnya dipenuhi dengan berbagai penghuni laut. Lelahpun tak mereka rasakan, asal sudah mendapat ikan untuk dijual dan dimakan sendiri saja.“Paidjo… nanti kamu mBantu saya mbelek ikan ya?”“Paidjo… jala saya tolong dijahitkan…”“Paidjo… turut nambal kapal?”Paidjo ini… Paidjo itu… Waktu saya masih berumur dua tahun, kakak lelaki saya meninggal termakan Laut Utara, akhirnya pemuda-pemuda tadi semua saya anggap kakak saya sendiri. Yang paling saya anggap kakak ya… Mas Sadikin. Orangnya tinggi besar, tidak pernah takut dengan siapapun. Karena rumah kami bersebelahan, mungkin Mas ‘dikin menjadi yang paling dekat dengan saya dari semua pemuda-pemuda itu.“Lho kamu kok maen di sini, ndak ngurusi Bapakmu sana?”“Wong sudah tidur Mas, kecape’an… tadi sudah saya bikinkan sarapan dan kopi, habis itu langsung mbleksek (terlelap)”“Ya bagus lah, kamu jadi anak yang baik sekarang… ingat pesan emakmu sebelum beliau meninggal kan?”“Iya mas…”“Eh, kamu bawa apa ini?”“Singkong rebus Mas… kesukaan Mas ‘dikin…”“Wah… makasih ya…”Dengan lahapnya Sadikin menyantap singkong rebus sederhana itu. Mulutnya penuh, peningnya bepeluh, seperti esok tiada hidangan lagi.“Wah uenak banget ‘djo… kamu ndak mau lagi?”“Wis wareg (kenyang) mas… lho, apa itu kuning-kuning jatuh di bawah dipan?”Sadikin menengok ke arah yang ditunjukkan Paidjo dan mengambil sebuah kartu pengenal berlaminating.“Wah, makasih lagi ya ‘djo.. itu KTP-ku… mungkin jatuh pas tidur semalam…”(Sambil melihat kartu)“Mas ini sudah tua ya… duapuluh lima tahun… kapan mo nikah mas?”“Ah, mana ada orang mau nikah sama saya ‘djo.. kamu ini aneh… wong saya ini kan miskin, ndak punya apa-apa…”“Ya tapi kan ndak semua perempuan nyari harta mas, yang penting Mas bisa membahagiakan dia…”“Kowe iki ‘cah cilik kok yo (kamu ini anak kecil kok) sok tau banget…”“Lho bener mas… dikasih tau guru ngaji waktu surau di sana masih buka…”“Ah dan lagi aku jelek gini ‘djo…”“Jelek ‘piye (bagaimana) Mas? Wah mas ini ndak tau ya… gadis-gadis sa’ (satu) kampung semua naksir sama Mas…” (sambil mengacungkan kaca kecil ke depan wajah Sadikin)“Mosok tha (yang benar)?”Sadikin memandangi parasnya yang sangat maskulin.“Iya, ya ‘djo… aku kayaknya ndak jelek-jelek banget…”“Ndak percaya kalo dikasih tau sih, kalo aku cewek mungkin aku juga sudah naksir sama Mas… liat nih… badannya besar, tegap, tangannya kuat, cambangnya tebal, dadanya bidang… banyak bulunya lagi… kurang apa Mas?”“hehe.. kamu ojo ngono lah (jangan begitu)… aku nanti ge-er…”“Aku sendiri berharap nanti kalo sudah gede bisa keliatan seperti Mas ini… kalo nyukur brewok pagi-pagi saja, sorenya sudah numbuh lagi…” “Walah… kok medheni ngono (menakutkan begitu) kamu ‘djo… masak kamu memperhatikan aku sampai kayak begitu?”Walah, piye iki (bagaimana ini)? Ketahuan.“Lha tiap hari saya kesini, gimana ndak merhatiin?”“Coba kalo aku merhatiin kamu sampai kayak gitu… kamu ndak takut kalo saya naksir kamu?”Deg.Nama saya Sadikin. Saya berumur duapuluh lima tahun. Saya anak asli kampung nelayan sini. Sudah pernah ke kota tapi ndak senang, bising dengan suara mobil dan brompit (motor). Kota Jepara yang paling dekat dengan dusunku ini saja sudah membuat saya pusing. Saya memang belum menikah, pacaran saja belum pernah. Habis saya pemalu, ndak tau mau ngomong apa kalo ketemu perempuan. Waktu saya akhirnya saya habiskan untuk bekerja saja. Kerja apa lagi kalo bukan jadi nelayan…Saya ndak pernah nolak rejeki dari Tuhan, walaupun harus berangkat ke laut di malam gulita. Harapan saya hanya satu, bahwasannya ketika saya kembali ke pantai saya akan disambut senyum ceria adik saya.Oh pembaca mungkin belum tahu ya? Saya sebenarnya tidak punya adik kakak… orang tua saya, yang tidak pernah saya kenal, menitipkan saya di sini pada saat saya masih bayi. Yang saya anggap adik itu sebenarnya anak tetangga saya, namanya Paidjo.Wah, kerja satu hari satu malam ndak terasa capek kalau melihat senyumnya. Dia anak baik-baik, saya ndak tega kalau melihat dia susah seperti saya ini. Kalau ada uang lebih saya terkadang membelikannya buku bacaan, seperti biasa dia akan membacanya keras-keras kepada saya yang buta huruf ini.Hari ini dia menyambut saya di pantai lagi. Membawakan singkong rebus kesukaan saya. Wah adikku sayang, baik sekali dia…Sudah berkali-kali kutahan napsu birahiku kepadanya. Aku berusaha terus untuk eling (ingat) kepada Yang Kuasa. Orang-orang bilang napsu itu dosa… apalagi saya baru ingat, paling Paidjo masih dua belas atau tiga belas tahunan.Fisiknya itu yang sering membuat saya terkecoh. Anak itu jangkung sekali, seperti sudah enam belas atau tujuh belas tahun. Kulit mulusnya coklat terbakar sinar matahari. Tapi yang membuat saya gemas itu parasnya… lucu sekali… ganteng… seperti anak-anak juragan dari Semarang. Ingin rasanya kucubit bokongnya (pantatnya) yang kenyal dan bundar itu. Jangan lah, nanti saya lepas kekakangan, tak tahulah apa yang akan terjadi…Hari ini juga aku baru tahu jika ia sangat memperhatikan aku, hingga kepada hal-hal kecil dari tubuhku ini. Ingin sekali kupeluk dia saat itu, aku sangat bahagia rasanya. Akhirnya saya, anak yang tak kenal ibu-bapaknya ini memiliki seseorang yang memperhatikannya.Kata-katanya masih terngiang-ngiang di kupingku,“Ndak percaya kalo dikasih tau sih, kalo aku cewek mungkin aku juga sudah naksir sama Mas… liat nih… badannya besar, tegap, tangannya kuat, cambangnya tebal, dadanya bidang… banyak bulunya lagi… kurang apa mas?”Ada juga orang yang memujaku, kujawab saja,“hehe.. kamu ojo ngono lah (jangan begitu)… aku nanti ge-er…”“Aku sendiri berharap nanti kalo sudah gede bisa keliatan seperti Mas ini… kalo nyukur brewok pagi-pagi saja, sorenya sudah numbuh lagi…”Seperti saya harus bertindak sebagai kakak yang baik dan tidak menjerumuskan anak kecil, “Walah… kok medheni ngono (menakutkan begitu) kamu ‘djo… masak kamu memperhatikan aku sampai kayak begitu?”“Lha tiap hari saya kesini, gimana ndak merhatiin?”“Coba kalo aku merhatiin kamu sampai kayak gitu… kamu ndak takut kalo saya naksir kamu?”Deg. Dia terdiam. Sayapun ikut diam.“Kamu dulu ndak diajari sama Santri di surau itu?” tanyaku selanjutnyaDia tetap terdiam.“Saya ini yang ndak pernah tau sekolah dan beragama saja tahu ‘djo… cah lanang kuwi kudu bareng cah wedo’ (lelaki itu harusnya bersama wanita) ora’ yo mbek sing lanang ngoten lho (tidak dengan pria lainnya begitu)…”Waduh, saya merasa aneh sekali mengucapkan kata-kata itu. Memang saya masih perjaka ting-ting, belum pernah berbuat apa-apa. Tapi saya masih ada napsu membara yang terus saya usahakan untuk padam terhadap adikku Paidjo ini.Anak remaja itu akhirnya menangis kecil dan mengucurkan air mata. Mungkin ia takut persahabatan kita berakhir sampai di sini. Entahlah apa pikiran anak seumur itu…“’djo… kamu kok nangis… aku jadi sedih juga…”Tiba-tiba ia berlari keluar dari gubugku menuju lepas pantai. Saya sangat takut jika ia berpikir untuk melakukan tindakan yang bukan-bukan. Saya sudah naksir Mas Sadikin dari dulu, lama sekali… Mungkin sejak ia sering mengganti popokku, atau sejak ia memandikanku ketika aku masih kecil. Aku tidak bisa berbohong lagi padanya. Aku memang ingin Mas ‘dikin menjadi kekasihku. Aku ingin merasakan belaian kasih sayangnya, dalam perlindungan bulu dadanya yang hangat.Ketika gayung tidak bersambut, akupun kehilangan arah. Tubuh terasa menjadi semakin lemas, tak tau ingin apa dan bagaimana.“Djo!!!”Aku berusaha menghindarinya dan berlari sekencang-kencangnya.“Djo!!!”Suara itu semakin mendekat dan mendekat, kakiku mulai menyentuh air asin yang hangat pagi itu. Belum sempat aku melompat ke laut, tiba-tiba kepalaku terasa pening. Sesuatu yang besar menimpaku.Ah, lihatlah dia sedang tidur terlelap, seperti malaikat kecil yang selalu membahagiakanku. Saya tadi sudah minta maaf dengan dia. Kalau tidak saya lempar dengan buah kelapa, mungkin tadi dia sudah nekad nyebur ke laut.Ayahnya masih tidur. Akhirnya Paidjo yang tak sadarkan diri itu saya bawa kembali saja ke gubug saya. Saya tidurkan dia di dipan. Pagi-pagi kok sudah main kejar-kejaran, pikir saya. Padahal sudah sangat lelah setelah melaut tadi malam. Akhirnya saya tertidur juga di sampingnya.Terik mentari pantai utara memancarkan panas yang mulai bergumul di dalam gubug sederhana itu. Atap seng itu terus menyerap suhu. Udara dalam ruangan mulai terasa gerah dan lembab. Malaikat kecil dan dewasa tadi masih teronggok lemas di atas dipan. Keringat telah membasahi sekujur tubuh mereka.“’djo… bangun djo… bangun…”“Mas ‘dikin…”“Udah gak usah dipikirin yang tadi… wah keringetan semua ini…”Paidjo berusaha bangun dari samping tubuh pemuda pujaan desa ini tetapi Sadikin menahannya. Kepala bocah itu ia sandarkan pada dadanya yang lebat bulu itu, dan rambut anak itu ia belai dengan sayang.Dengan keras Paidjo berusaha menahan senyum bahagianya. Ia nikmati saja gesekan pipinya pada bebuluan kasar di sana. Aroma khas lelaki sejati dapat ia rasakan dari balik ketiak yang penuh rambut itu. Perlahan tetapi pasti batang zakarnya mengeras hingga menyentuh paha kekar Sadikin.“Wah cilik-cilik wis iso mlembung manu’e yo? Haha…(Wah, anak kecil sudah bisa ereksi ya?)” Sadikin tertawa.Paidjo menunduk malu. Tatapannya malah kini tertuju pada sarung yang dikenakan Sadikin, tepat di persimpangan paha pria yang bermandikan keringat itu. Seonggok benda tumpul yang masih terkulai dengan gagahnya tercetak jelas di balik sarung.“Lho knopo tha ‘djo? Kok manukku mbok plototi ngono?” (Lho, kenapa sih Djo, kok kamu memperhatikan kontol begitu?)“Gini lho Dik, inget pembicaraan kita yang tadi pagi tho?” Sadikin beranjak bangun dan berpindah ke sisi dipan yang lain dan bersender ke dinding yang berhadapan dengan tubuh Paidjo.“Maap Mas…”“Denger dulu tha… Daripada kamu nanti berbuat bodoh seperti yang tadi pagi itu, yo wiz aku rak popo lah, karepmu dewe’ meh mbok’ apa’ke aku (ya sudah aku boleh-boleh saja ingin kau apakan). Saiki kowe arep ndelok manu’ku? (sekarang kamu mau lihat kontolku?)”“I…iya… boleh Mas?” tanyanya malu-malu.“Ko’sek yo… aku sa’ benere ora popo, cuma’ yo ngonolah… (Sebentar ya… aku sebenernya boleh-boleh saja, cuman) aku masih malu sama kamu…”“Kamu duduk yang bener Djo…”Dari posisi bersila bersadarkan dinding itu perlahan-lahan Sadikin menegakkan kaki kanannya. Sedikit-demi sedikit ia menyingkapkan sehelai penutup aurat yang ia kenakan dengan menarik ujung kain itu ke dadanya. Bebuluan mulai saling kejar-mengejar di sepanjang kaki dan lutut pria itu.Jantung mereka berdua berdegup semakin kencang. Ketika ujung sarung berhasil ditambatkan dilutut kanan Sadikin, hawa ruangan itu berubah. Aroma lelaki terpancar dari pangkal paha yang rimbun itu.Satu setengah meter dihadapannya duduklah Paidjo dengan pandangan terbelalak menatap kemaluan Sadikin yang indah terkulai itu. Buah lelaki kembarnya seakan bersarang di atas bebuluan yang hitam dan lebat. Zakarnyapun terlihat nyaman bersemayam diatas buah kembar tersebut. Jamur besar yang membentuk kepala kontol itu berwarna kemerahmudaan yang kemudian terbalutkan oleh kulit bernuansa sawo matang.“Nah piye Dik? Apik ora? (Bagaimana, bagus tidak?)”“A… apik Mas, b… boleh saya pegang?” “Sini… tapi pelan-pelan ya… soalnya belum pernah dipegang orang lain ini…”Paidjo mendekat dan bersila sebelum ia berusaha meringkuk dibalik sarung yang tersingkap itu. Sadikin kemudian membuka diri dan melebarkan pahanya. Ular tidur dan kedua buahnya itu mendadak tergeletak di atas dipan. Ia membiarkan jari-jari Padjo bermain disekujur tubuh kontolnya.“Wah… besar sekali Mas, empuk ya…”“Iya sebentar lagi akan menjadi keras dan tidak empuk lagi Dik…”Tanpa diberi aba-aba Paidjo seketika menelungkupkan diri dan menyembunyikan kepalanya di dalam sarung tersebut.“Hey… apa-apaan ini?”Insting kehewanannya langsung melahap ular tidur tersebut di dalam mulutnya. Dengan gerakan kasar Paidjo mulai menghisap batang zakar itu naik turun. Ia mengulum kepala kontol itu seakan sedang menikmati santapan terlezat tahun itu. Sadikin-pun seketika mengerang merasakan kenikmatan jasmani tersebut. Tubuhnya kemudian lunglai dan terlentang di atas dipan sementara Paidjo menyibukkan diri dibalik sehelai sarung yang Sadikin kenakan itu.Seperti layaknya seorang ibu yang hendak melahirkan, Sadikin membuka pangkal pahanya agar Paidjo lebih leluasa bergerak memuaskan keingintahuannya. Sadikin merasa benar-benar santai dan ia meletakkan kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalan. Bulu dada lebatnya yang tampak basah oleh keringat itu terus merambat hingga menjumput dibalik kedua ketiaknya.Birahi tinggi telah menghipnotis mereka berdua. Ular tidur tersebut telah bangun dengan perkasanya. Mulut kecil Paidjo tak lagi mampu menelan keseluruhan panjang tubuh kontol itu, Ketebalan tubuh setara dengan kaleng minuman ringan itu terasa sangat sempit berada di dalam rongga mulut Paidjo. Buah kelelakiannya pun semakin mengencang, bau lelaki semakin terasa intensitasnya. Kedua tangan Sadikin sudah berubah posisi memberikan navigasi bernafsu tinggi dibelakang kepala Paidjo yang tertutupi sarung tersebut. Kedua mahluk yang tak berpengalaman itu meningkatkan harmoni pergerakan mereka.“Ugh… ugh….” Sadikin terus mengerang.Tak lama kemudian sang ular naga mengamuk. Berulang kali ia memuntahkan cairan kenikmatannya di dalam rongga mulut Paidjo hingga ia tergulai lemas dalam kuluman dasyat itu. Tidak tahu berapa menit telah hilang dari hidupnya, Sadikin dibuat tak sadar terlena keajaiban langit ketujuh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Ketika ia membuka kelopak matanya, sarungnya telah tersingkap dan sebuah pemandangan indah tersaji. Paidjo sedang sibuk membersihkan hasil yang tersisa di kepala kontolnya dengan lidah kecilnya yang berbakat. Batang zakar yang melemas itu terus ia jilati, begitu pula dengan kedua buah kelelakian yang hangat itu.“Mas… burungmu itu benar-benar enak untuk disantap, apalagi dengan akhiran saus putih sebagai pemuas dahaga itu…”Sadikin tergeletak kembali di atas dipan. Ada senyum kecil dibibirnya. Tubuhnya terasa sangat lemas.ketika ia membuka kelopak matanya, sarungnya telah tersingkap. Paidjo sedang sibuk membersihkan hasil yang tersisa di kepala kontolnya dengan lidah kecilnya yang berbakat. Batang zakar yang melemas itu terus ia jilati, begitu pula dengan kedua buah kelelakian yang hangat itu.“Mas… burungmu itu benar-benar enak untuk disantap, apalagi dengan akhiran saus putih sebagai pemuas dahaga itu…”Sadikin tergeletak kembali di atas dipan. Ada senyum kecil dibibirnya. Tubuhnya terasa sangat lemas.



Setelah kejadian yang pertama itu nampaknya adik angkat saya, Paidjo, benar-benar terobsesi dengan kontolku. Tak perduli kapan dan dimanapun juga, setiap kali bertemu dengan saya, Paidjo selalu saja langsung ingin menyusu dari kontolku. Apa mungkin ketika ia masih bayi, ibunya kurang memberinya asi? Ya benar seperti anak sapi kecil saja. Bukannya saya tidak senang dengan hal ini, toh setiap pria pasti merasakan kenikmatan dan kepuasan jasmaniah yang satu ini.Namun, lama-kelamaan saya merasa bahwa ia tak lagi menghargai saya sebagai kakaknya. Sadikin sudah menjadi hanya sebagai pemuas obsesinya terhadap air mani saya. Barang yang sifatnya lebih pribadi lagi dari kemaluan seorang lelaki itu sendiri. Rupanya ia telah menganggap cairan kelelakian itu sebagai protein utama dari santapan rohani harian yang harus ia dapatkan.Bayangkan teman-teman hampir setiap kali saya membuka mata ketika terbangun, wajahnya yang lucu itu sudah setengah jalan mengulum kontol saya. Selalu saja sarung saya sudah tersingkap untuk memberikan Paidjo keleluasaan bergerak. Terkadang saya seperti merasa diperkosa saja. Dan kegigihannya tak akan dapat diputuskan begitu saja. Ketika saya haus dan harus mengambil minum saja, ia tetap tak melepaskan isapan kenyalnya dari kemaluan saya. Ia takkan berhenti sampai mendapatkan imbalan susu kental dari kantung pelir saya itu.Paidjo bahkan dengan rajinnya selalu memasakkan hidangan untuk saya. Walaupun terdengar mulia, sebenarnya ini merupakan bentuk keegoisannya. Dia tidak mau saya repot-repot memasak sehingga saya dapat langsung duduk saja di bangku sehingga adikku yang bandel itu langsung dapat menyelusup ke bawah meja dan menyibakkan sarung saya untuk minta disusui lagi.Mungkin karena aktifitas hormon priaku meningkat drastis beberapa bulan belakangan ini berkat “bantuan” Paidjo, sayapun merasa bahwa bebuluan di sekujur tubuh saya makin timbul dan menyerbak lebih lebat lagi. Untung saya termasuk perkasa mungkin ya. Kantung pelir saya terus menerus berproduksi sebagai pabrik alami untuk memuaskan napsu dahaga adik saya itu. Rasanya kepala kontolku itu tidak pernah berstatus dalam keadaan kering belakangan ini. Dalam satu hari bisa belasan kali lidah dan mulutnya yang berbakat itu beraksi di sana.Kejadian yang membuat saya nekad bertanya kepada saudara-saudara ini adalah bahwa beberapa hari belakangan ini, Paidjo bahkan tidak bisa ditahan untuk minta terus disusui bahkan ketika saya sedang membuang hajat di jamban belakang gubug saya. Saya merasa bahwa dia sudah termabuk napsu dan hal ini harus dihentikan.Pertamanya ya memang sederhana saja, kebetulan siang itu setelah istirahat dari laut, perut saya tiba-tiba berhasrat untuk buang hajat. Segera saja saya berlari ke jamban di belakang. Saya gulung saja sarung kesayanganku itu di pinggang sebelum saya berjongkok. Belum lewat dua menit saya menikmati kesendirian itu, tiba-tiba Paidjo membuka pintu jamban yang tingginya memang hanya sepinggang saya.“Mas Dikin, saya mbok diajak…. Udah kepingin nyusu lagi nih…”“Wah Dik, tunggu sebentar di gubug ndak bisa? Nanti ehm… ta’ kasih air mani yang banyak deh, Mas janji…”Tidak memperhatikan perkataan saya, Paidjo langsung berlutut di depan kontolku. Bahkan aroma hajat yang menusuk itupun tak ia perhatikan lagi. Jemarinya langsung menimang kepala kontolku yang besar itu. Ia mengelus-elusnya sebentar sebelum langsung melahapnya seperti biasa. Memang pengalaman yang aneh, buang air sembari menerima kobaran napsunya. Aneh tapi nikmat lho teman-teman. Rasanya lega sekali, dapat dua-duanya, crot di belakang kemudian crot di depan juga. Tapi ya itu, aneh saja. Sudah beberapa hari ini dia terus mengikuti saya hingga ke jamban seperti itu.“Kamu ndak takut keciprat hajatku?”“Ndak… yang penting dapat susu…”Kenapa ya? Perutnya itu seakan tak pernah terpuaskan oleh air mani saya? Dan apa yang membuat saya lebih bingung lagi? Paidjo tak pernah mau saya sentuh atau telanjangi. Katanya ia malu dengan saya. Memang saya harus bisa maklum dengan sifatnya yang memang masih bocah. Tapi bagaimana ini?Lama-lama tubuh saya lemas juga harus memberikan enerjiku sebanyak itu perharinya. Karena sudah tidak tahu harus saya apakan lagi, pada suatu malam saya putuskan untuk memperbincangkan masalah ini dengan kawan-kawan saya sesama pemuda nelayan. Saat saya melaut adalah satu-satunya saat saya bisa terbebaskan dari cengkraman napsu Paidjo.“Wah ena’e piye yo Mang? (enaknya bagaimana ya Mang)”“Walah aku yo bingung ne’ ngadepin bocah sing ora keno dikandani ngono… (aku juga bingung menghadapi bocah yang tak dapat diberitahu itu)”Lima sekawan itu mendengarkan persoalan Sadikin dengan serius. Rata-rata dari mereka malah terkesan iri bahwa Sadikin mendapat pelayanan seperti itu. Kemudian secara tak sengaja ide itu muncul…(Garis Pembatas Jeda……..)“Malem Mas mari masuk… sudah saya hidangkan santapan malam untuk lima orang seperti yang Mas Sadikin minta tadi siang…”Setelah semuanya duduk di dipan, Sadikin membuka pembicaraan:“Gini lho Dik… terus terang saja Mas Sadikin sudah bercerita tentang kegemaran kamu menelan air mani itu kepada sahabat-sahabat Mas ini…”Paidjo langsung terdiam, wajahnya hampir pucat.“Lho, ndak papa kok Dik, kita semua kan temannya Mas Dikin, jadinya memang harus saling membantu…” ujar Iswanto.“Jadi gini lho… supaya tubuh Mas Dikin tetap kuat, terkadang ia juga butuh beristirahat kan? Nah, kami hanya ingin bilang bahwa kalau Mas Dikin sudah lelah, kami berempat ini juga bersedia menyusui ‘dik Paijo lho…”Sadikin kemudian beranjak duduk di belakang Paidjo dan kemudian mengusap-usap rambut bocah yang lembut itu. Paidjo masih terkejut mendengar tawaran dari kakak-kakak ini yang kini semuanya sedang menyandarkan diri di dinding. Sadikin kemudian memeluknya dari belakang selayaknya kakak terhadap adiknya sendiri.Keempat pria gagah di hadapan mereka perlahan mulai menapakkan kaki mereka di dipan dan perlahan menyibakkan harta karun yang paling berharga dari balik sarungnya masing-masing.“Tuh liat… ndak kalah bagus tho? Sekarang kamu punya empat mainan tambahan, seneng ndak Dik?”Paidjo mengangguk sembari terkesima menyaksikan empat kontol pria yang berbentuk sangat indah itu terpampang di hadapannya untuk dimainkan.Mereka menghabiskan dua jam sebelum waktu mereka melaut malam itu dengan bermain kartu di meja makan. Tubuh-tubuh kekar yang kini sudah bertelanjang bulat mengibarkan aroma kelelakian yang dasyat di gubug kecil itu. Paidjo dengan cekatannya melayani mereka semua dari bawah daun meja. Kedua tangan lembutnya masing-masing meremas batang-batang keras kakak-kakak barunya itu sementara salah satu dari mereka mendapatkan pelayan khusus dari mulutnya. Dengan sabar mereka menantikan gilirannya masing-masing.Mereka hanya bermain kartu tiga ronde malam itu. Karena dalam setiap rondenya Paidjo berhasil dengan sukses memaksakan kelima lelaki itu untuk menyerahkan air maninya, maka ronde keempatpun diputuskan untuk tidak dilanjutkan. Mereka mungkin akan kehilangan tenaga untuk berlayar malam itu.“Sampai ketemu besok pagi ya Dik… sekarang kamu pulang dan tidur di rumah Bapakmu…”“Iya… makasih ya kakak-kakak semua!!” ujarnya tersenyum. Di pipinya masih berceceran banyak cipratan-cipratan sperma entah milik siapa tadi. Malam ini Paidjo dapat tidur dengan nyenyak karena ia sudah tiga ronde terkenyangkan oleh sup kental dari kelima pria tersebut.Sementara itu disebuah kapal nelayan:“Gila adikmu itu Kin!! Aku terus terang ndak bakal sanggup melayaninya setiap hari… ia jauh lebih bernapsu daripada istriku!”(Garis Pembatas Jeda……..)Dan gawatnya bagaimana teman-teman?Keesokan siangnya ketika saya terbangun dari istirahat saya, seperti biasa saya sudah menemukan mulutnya disibukkan oleh batang kelelakianku yang mengeras dengan sempurna itu.“Selamat siang Dik… bagaimana tadi malam? Kamu setuju ndak kalo kadang-kadang kamu bermain dengan mereka juga?”“Ndak mau ah Mas…”“Lho kenapa? Kan semuanya juga ganteng-ganteng dan burungnya besar dan kenyal juga?”“Iya tapi…”“Tapi apa?”“Yang lain susunya ndak seenak seperti punya Mas Dikin…” kemudian ia meneruskan aktifitasnya memerah kontol saya dengan jepitan bibirnya.Mampus saya...gawat ini, saya harus berbuat sesuatu” pikirku. “Sini dulu lho Dik, jangan ngenyot terus lah…Lihat itu bibirmu semakin hari jadi semakin merah dan tipis”“Ya bagaimana Mas? Orang botol susunya berurat kencang dan besar sekali!”“Udah lah… sini Dik…”“Nanti Mas sebentar dong, aku belum minum susu lagi hari ini…”Tanpa kompromi Sadikin kemudian menarik tubuh Paidjo dan mendudukkannya tepat di sebelahnya di atas dipan kayu itu. Air maninya masih memuncrat dengan deras dari lubang kecil di penghujung alat kelaminnya.Setelah nafasnya tenang sedikit, ia melanjutkan pembicaraannya,“Dik… dunia ini luas sekali adanya. Kamu kan masih muda. Banyak sekali hal yang dapat kamu pelajari di sana. Tidak cuman ngenyot susu aja Dik… Coba kamu pikirkan, apakah kamu mau jadi nelayan seumur hidupmu seperti kakek dan bapakmu? Apakah tidak ada hal-hal lain yang ingin kau rasakan?”“Kalau setiap hari kamu hanya belajar ngeyot susu terus, ya, ndak akan maju nantinya kamu Dik…”“Jadi maunya Mas Dikin bagaimana?” tatap bocah lucu itu.“Begini dik, saya sudah bicarakan dengan ayahmu tentang hal ini. Kamu harus melanjutkan sekolah.”“Tapi Mas di desa kita sudah tidak ada lagi sekolah lanjutannya…”“Makanya Mas mau ngirim kamu ke kota, supaya kamu bisa belajar banyak. Nanti bila sudah menjadi orang yang berhasil, kamu harus kembali ke desa ini untuk memajukannya…”“Lha di kota saya tinggal dengan siapa Mas?”“Aku sudah pikirkan hal itu. Minggu lalu waktu Mas menjual hasil laut di pasar, aku bertemu dengan langgananku Meneer Suryo dari kota. Kemudian saya berceritera panjang lebar tentang kamu Dik. Nah, karena ia dan istrinya hingga sekarang ini belum juga dikaruniai anak, mereka malah sangat mengharapkan kehadiranmu di sana. Bukan sebagai pekerja di sana. Tetapi sebagai anak didik mereka sendiri. Bagaimana Dik?”“Bapak sudah tau Mas?”“Sudah dan beliau sangat setuju sekali tentang hal ini…”“Mas setuju juga?”“Ya demi kemajuanmu Mas harus setuju lah…”Baru sekali ini saya merasa benar-benar kesepian. Tak ada lagi orang yang mau menerimaku di sampingnya. Bahkan Mas Dikin dan Bapak sendiripun sudah merelakan kepergian saya. Tidak apa, mungkin saya tidak berguna bagi mereka. Saya akan mengabulkan keinginan mereka.“Paidjo, kamu harus tegar. Kamu tidak boleh menangis…” ucap bocah itu dalam hati.“Baiklah Mas, kapan saya berangkat?” jawabnya lemas.“Malam ini juga. Saya akan antarkan adik kepada Meneer Suryo langsung ke kota lewat laut agar lebih cepat…”Secepat itukah mereka harus membuang saya?“Bergegaslah kamu pulang dik, pamit dengan Bapakmu. Aku akan menunggumu di atas kapal nelayanku tepat pada saat magrib tiba”Paidjo mengusapkan kepalan tangan kanannya di bibirnya yang masih bernoda cairan kejantanan kakaknya tadi. Ia merasa sangat sedih, tapi tetap saja ia membenahi pakaiannya dan melangkahkan kaki kecilnya pulang ke rumah Bapaknya.(Garis Pembatas Jeda……..)“Djo, ini semua pakaianmu sudah Bapak kemas di dalam karung goni ini. Belajarlah yang benar nak supaya nanti kamu bisa menjadi orang yang berhasil. Maaf Bapak tidak dapat membawakan apa-apa untukmu pada saat ini.”“Tidak papa Pak. Terimakasih atas doanya. Paidjo pamit dulu…”“Jangan lupakan Bapak dan orang kampung sini Djo!”Paidjo berhenti dari langkahnya, ia membalikkan tubuhnya ke arah gubug sederhananya itu. Ia tersenyum sedih dan melambaikan tangannya pada sang ayah. Tentang kapan ia akan kembali ke kampungnya tercinta ini saja ia tidak tahu, jangankan menerka tentang nasibnya di kemudian hari.

Mentari sore sudah hampir habis tertelan lautan luas pada saat ia menapakkan kakinya di pantai. Beberapa kawan sepermainannya sudah menunggunya di tepi kapal nelayan Sadikin. Sadikin sendiri nampaknya sedang sibuk memeriksa kesiap-layaran kapalnya.“Djo… baek-baek kamu ya di kota…”“Jangan lupakan kami….”Tangan kekar itu menariknya ke atas kapal. Sadikin yang baru saja mandi terlihat sangat segar dan tampan berbalutkan kemeja dan celana sederhana berwarna putih. Sisa-sisa cahaya mentari memantul di pundaknya yang kokoh. Bagaikan seorang malaikat ia terlihat.“Terimakasih teman-teman… sampai jumpa semuanya!!”Dan anak-anak kampung itupun mulai mendorong kapal itu kearah laut. Suara motor tua mulai terdengar dari belakang kapal.“Ah… kampung nelayan… doakanlah aku…..” ucapnya dalam hati.

“Mas Dikin, ini makan malamnya sudah saya siapkan…”“Yuk makan dulu…”Setelah sekitar satu jam mereka berada di laut, Paidjo baru dapat membuka suaranya kembali.Sadikin mematikan motor kapal dan membuang jangkar ke laut. Cahaya bulan mulai bersinar. Malam yang sangat cerah, tak ada angin yang bertiup. Kapalpun hanya terombang-ambing di tempatnya.“Nanti Mas Dikin rindu ndak dengan saya?”“Ya pasti lah Dik… masak ndak rindu? Adik sendiri?”“Sama lah Mas, apalagi terhadap burungnya yang besar itu…” kelakarnya.Mereka berdua tertawa sambil menikmati hidangannya.“Dik-dik… kamu ini lucu sekali orangnya…”“Mas, Meneer Suryo itu baik orangnya?”“Iya Dik, yang pasti dari cara berdagangnya saja, ia selalu bersikap adil walaupun dengan orang-orang kampung seperti kita ini. Kalau beliau tidak baik, masa saya nekat mengirimkan adikku kepada keluarganya di kota?”Setelah istirahat singkat itu selesai, Sadikin kembali menarik jangkar dan Paidjopun mengidupkan mesin motor itu.“Mas ini mesinnya sudah tua sekali?”“Iya dik, maklum lah, bekas dari kapal sekoci Belanda. Kalau baru Mas ndak akan mampu untuk membelinya…”Malam semakin larut. Dan udara terasa perlahan-lahan mendingin. Paidjo-pun mendudukkan dirinya disamping kemudi, dimana Sadikin sedang mengendalikan kapal ini. Iapun memeluk Sadikin dari samping.“Mas dingin Mas…”“Ambil sarungku dan kenakanlah. Setelah itu kamu duduk di sini”Paidjo melakukan perintah kakak angkatnya ini. Beberapa detik kemudian ia sudah duduk di pangkuan Sadikin.“Masih dingin ndak Dik?”“Ndak Mas… tapi…”Kemudian ia tersenyum nakal dan mulai menjulurkan tangannya di belakang tubuh remajanya.“Dik…”Jemarinya mulai meraba kelelakian Sadikin dari depan celana putih itu.“Mas… tolonglah… untuk terakhir kalinya saya ingin minum susu Mas Dikin…”Melihat tatapan mengiba dari adiknya itu ia tak kuasa menolak. Akhirnya ia berdiri tegap. Ia membiarkan Paidjo melucuti celananya. Seperti orang kampung kebanyakan pada jaman itu, Sadikinpun tidak mengenakan celana dalam. Ia membuka kakinya agar Paidjo dapat melepaskan celana itu seluruhnya. Seperti biasa, kelelakiannya tampak mantap menggantung tertidur di atas kedua buah zakarnya yang besar itu. Bau kelelakian mulai menyerbak.Kemudian ia duduk kembali sembari memegang kendali kapal tersebut.Paidjo berlutut dihadapannya. Jemari kecilnya mulai menimang buah zakar yang berat itu. Lama sekali ia menimang buah kenikmatan itu. Seakan membuang waktu ia hanya menatapnya.“Kenapa Dik?” tanya Sadikin.“Ndak papa Mas, saya hanya ingin mengingat dengan baik semua benda berharga milik Mas Dikin ini”Seakan dunia hanya milik mereka berdua, suasana di tengah laut malam itupun sunyi senyap. Tak satu suarapun kecuali degup nafas mereka berdua yang terdengar.Srek. Srek. Srek.Suara belaian tangan Paidjo terdengar ketika harus menyentuh bebuluan yang kasar di bawah buah kelelakian Sadikin. Jemari kecilnya membelai dengan halus. Ujung jarinya pun menjelajah dalam, ketengah hutan hitam yang lebih lebat tepat disekitar lubang dubur Sadikin.Tanpa satu kata yang terucapkan, batang tersebut mulai mengeras perlahan-lahan.Sementara tangan kirinya menyentuh permukaan lubang kebahagiaan itu, tangan kanannya mulai menggengam kontol kakak angkatnya dengan mesra. Benda tidur itupun terbangun dengan gagahnya. Kepalanya yang besar memantulkan remang-remang cahaya rembulan. Irama nafas Sadikin mulai bertambah cepat.Kini Paidjo menggenggam kelelakian itu dengan kedua belah tangannya. Ia mulai menciumi sekujur batang yang keras itu. Lidahnyapun mulai dengan perlahan ia julurkan. Dengan sangat perlahan ia menggiring ular itu melewati bibir kecilnya ke arah rongga mulutnya.“Arghhhh…..” Sadikin mengeluarkan desis kecil.Paidjo sangat menikmati santapan terakhirnya ini. Ia melakukan semuanya dengan perlahan-lahan. Ujung jemarinya masih berada di bawah buah raksasa itu mempermainkan dan membelainya dengan lembut. Jemarinya yang lain menggenggam dasar kokoh menara daging itu.Kini mulutnya ia benamkan di salah satu buah zakar itu. Bebuluan mulai mengusik rongga mulutnya. Tak lupa ia memberikan kasih sayang yang sama kepada buah zakar yang lainnya. Dengan mesra ia memisahkan kedua kantung hangat pria itu. Satu persatu ia genggam di tangan yang berbeda, sembari ujung jemarinya mengusap-usap daerah sensitip itu dengan pasti.Mulutnya kembali beraksi mengulum monster besar itu. Sadikin secara alami mulai menggerakkan bokongnya dan menghujamkan alat kelaminnya ke mulut Paidjo.Suara nafas mereka mulai tersenggal-senggal. Kedua buah zakar tersebut mulai beranjak naik kearah kehangatan tubuh Sadikin. Paidjo yang sudah sangat terlatih itu dengan sigap menanggapi keadaan.Ia berhenti dari gerakan maju-mundurnya. Dengan tetap menggenggam buah zakar Sadikin ia merelakan kakak angkatnya dengan birahi tingginya menghujami mulutnya dengan alat vital kebesarannya itu.Kesunyian malam terusik dengan teriakan Sadikin yang menggema…“Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhh…………..”Sadikin menikmati semburan demi semburan air mani hangat pria itu dalam mulutnya. Rasanya sangatlah manis dan nikmat. Obsesinya masih belum juga hilang. Sedikit demi sedikit ia menelan cairan kental itu melalui kerongkongannya yang kemudian langsung menghangatkan usus dan lambungnya.Karena volume semburan yang sangat besar, banyak cairan lelaki tersebut yang akhirnya mengucur melalui sela-sela bibirnya dan menetes melalui pipi kanannya.Sadikin terkapar di lantai kayu itu. Tubuhnya terasa lunglai seperti seluruh enerji kehidupannya sudah terserap oleh Paidjo. Bocah itupun membiarkan batang berwarna hitam kecoklatan itu melemas di dalam mulutnya. Ia merasa senang dapat membahagiakan kakaknya malam ini.Sadikin kemudian menarik wajah anak itu dan menciumnya. Ia masih dapat merasakan kentalnya cairan maninya di mulut anak itu. Aroma esensial Sadikin menyerbak dari gigi geligi kecilnya. Mereka terjebak dalam ciuman mesra itu cukup lama. Kemudian hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya menjadi kenyataan.Dengan mesra ia melucuti kemeja dan celana Paidjo. Entah mengapa kali ini ia tidak berontak seperti biasanya. Kemudian ia pun menanggalkan kemeja putihnya yang basah karena keringat.Ia menciumi sekujur tubuh jangkung anak itu dengan lembut. Mereka berbaring sebelah-menyebelah. Lidahnya tertanam dalam mulut Paidjo. Tangan kirinya membelai pinggang lembut Paidjo dan tangan kanannya merebak kedua belah kaki bocah itu dan membelai-belai kedua belahan pantat yang kenyal itu.Ketika lidahnya mulai membasahi dan menghangatkan puting kecil Paidjo, bocah tadi mengerang. Apalagi tangan kanannya kini mulai menjelajah menyisir daerah lubang kenikmatan Paidjo.Tubuh mulusnya mulai berkeringat. Sadikin sudah beranjak berada di bawahnya. Ia merasakan kedua tangan kekar Sadikin mulai menggiring kedua belahan pahanya naik.“Pegang Dik…”Punggungnya berkeringat dan bertumpu pada lantai keras itu. Ia kini memegang kedua kakinya sendiri di awang-awang sehingga kemaluan dan liang anusnya terbuka dengan jelas memancarkan keindahannya tepat di depan wajah Sadikin.Perlahan Sadikin mulai menjilati pahanya yang empuk. Kemudian ia mulai menciumi dan menjilati garis pemisah paha dan pantat anak itu.“Mas…” suaranya terdengar terengah-engah.Sedikit demi sedikit Sadikin menuju ke arah persimpangan jalan itu. Lidahnya kini ia sisirkan di atas anus bocah itu. Wewangian yang indah itu mulai tercium. Ia menjilatinya dengan mesra. Dan seperti bibir yang sedang dicium, bibir bawah itupun membuka dan mengatup dengan nikmatnya. Dengan paksa Sadikin mencoba memasukkan lidahnya kedalam liang yang membara itu. Paidjo mengalami kenikmatan yang luar biasa.“Dik, enak ndak?”“Jangan berhenti mas… tolong… Ayo masuki aku lagi…”Sepertinya bocah tersebut sedang terserang musim birahi. Sadikin menurutinya. Ia kembali menusuk-nusukkan lidahnya kedalam pembukaan hangat di lubang sempit itu.

“Benar-benar membuatku bernapsu…” pikir Sadikin. “Bocah ini masih perawan dan tak satu helai rambutpun kutemukan di sekitar kelamin dan duburnya…”Kemudian ia membasuhi jari tengahnya dengan ludahnya. Perlahan ia masukkan ke dalam dubur manis Paidjo. Sadikin mengerti dengan pasti bagaimana ia harus memainkan jarinya di sana. Hal itu membuat Paidjo terguncang-guncang sembari mengerang dengan penuh birahi.Sambil bermain dengan jemarinya di dalam lubang sempit itu, Sadikin menjilati buah zakar polos anak itu. Keduanya dengan mudahnya dia hangatkan di dalam rongga mulutnya. Lidahnya bermain dengan terampil membasahi seluruh kantung mani anak itu. Paidjo makin mengerang ketika dengan mudahnya Sadikin memasukkan seluruh kejantanan bocah itu di dalam mulutnya. Kepala jamurnya makin mengeras di sana. Ia menggerakkan mulutnya naik turun. Jarinya sudah berhenti melakukan gerakan maju-mundur di lubang itu.Sedotan-sedotan mesra mulai ia lakukan bertubi-tubi pada penis kecil itu. Jarinya mulai menggeliat di dalam anus panas Paidjo kembali. Ia tau bahwa saatnya sudah tiba.Cairan bening tersebut menghantam dinding mulut Sadikin, dengan mudah ia telan kesemuanya. Air mani bocah itu terasa sangat menawan pada indra pengecapannya. Tubuh Paidjo kembali terguncang-guncang secara alami hingga pada tetes terakhir yang dapat ia berikan untuk kakaknya.Kemudian ia menangis.“Lho kenapa Dik?”“Maaf Mas, barusan Paidjo ngga tahan lagi, Paidjo kencing di dalam mulut Mas…”“Hus ngawur kamu! Itu bukan air seni, tapi itu air susumu sendiri yang sering kamu ambil dari tubuh Mas Dikin.”“Wah rasanya senang sekali ya Mas…”“Memang benar, makanya Mas rela memberikan air susu Mas untukmu berkali-kali dalam sehari. Lho memangnya kamu belum pernah mengeluarkan air mani sebelumnya?”“Belum, baru kali ini Mas…”“Oh ya?”Jawaban polos itu terserap di pemikiran Sadikin dengan cepat. Kini napsu birahinya menjadi bangkit kembali.“Dik… sebelum berpisah Mas ingin memberikan sebuah kenang-kenangan buat kamu…”“Apa Mas?” tanyanya“Hmm, ini… Mas ingin meninggalkan benih Mas di dalam tubuhmu… Emm… kamu keberatan tidak bila Mas ingin bersetubuh denganmu?”Dengan kalimat itu Sadikin mulai membelai-belai putting Paidjo, ia menelusurinya jauh kebawah sembari menaik turunkan penis kecil itu di antara jari telunjuk dan ibu jarinya.“Emm… caranya Mas?”“Kamu capek ndak… masih mau main?”“Ya masih dong…”Di situlah letak kebahagiaan bocah lelaki pada awal masa remaja itu. Mereka dapat membangkitkan gairah mereka kapan dan dimanapun saja. Sadikin tersenyum ketika melihat bahwa bocah tersebut sudah mempertunjukkan ereksinya sekali lagi.Perlahan ia menarik anak itu ke atas kasur di lantai kayu itu. Sadikin mengajaknya berlutut di depannya. Ia menciumi leher dan pundak bocah itu dengan manja. Tangannya mempermainkan kedua puting Paidjo dengan ganas.Kemudian ia mendorong tubuh anak itu ke arah ranjang sehingga tangan dan kakinya menopang tubuhnya. Sekali lagi ia menciumi bokong anak itu dengan rakus sebelum ia mempermainkan jari-jemarinya kembali di kedalaman lubang kenikmatan itu.“Siap Dik…?”“Pelan-pelan Mas…”Kepala besar yang sudah licin berlumurkan liur itu mulai menerobos dinding perbatasan. Lubang perawan yang sangat sempit seperti tidak menginginkan adanya serangan. Dengan sangat perlahan ia memasuki tubuh Paidjo.Waktu terasa berhenti. Sinar rembulan semakin memuncak. Kesunyian semakin mencekam.Dengan cermat ia memperhatikan jepitan anus adik angkatnya itu. Bila terasa sudah agak santai, beberapa centimeter ia masukkan lagi. Limabelas menit telah mereka buang hingga akhirnya Paidjo dapat merasakan belaian bulu kelamin Sadikin pada bokong mulus dan kenyalnya. Kini batang monster itu sudah sepenuhnya masuk. Sadikin takut untuk bergerak. Ia takut menyakiti adik yang baru saja kehilangan keperawanan ini.“Sakit dik?”“Ndak Mas… monggo…” bocah itu berbohong. Ia akan melakukan apa saja untuk membahagiakan Sadikin. Air matanya menetes kembali. Tentu saja Sadikin yang dibelakanginya tidak mengetahui hal ini.Kemudian ia mulai memaju mundurkan batang raksasa itu di dalam lubang sempit Paidjo. Rongga anus remaja pria itu terasa nyeri dan lelah. Sadikin sudah menggagahinya hampir satu jam hingga saat ini. Ia mulai mempercepat pergerakannya. Terkadang batang itu tertarik keluar sepenuhnya untuk dihantamkan segera kedalam liang kecil itu. Pada saat itu justru keadaan berubah.Paidjo merasakan sensasi kenikmatan yang luar biasa. Ketika seluruh tubuh ular itu bergerak dengan kasar di dalam duburnya, penis kecilnya malah mengeras kembali. Berkali-kali kepala jamur raksasa itu menyentuh titik kenikmatannya, hingga pada akhirnya ia tak kuasa menahan kebahagiaan itu…“Aaaaahhhhhhhhhhhh……..” Paidjo mengalami orgasme yang kedua dalam malam itu. Ketika cipratan demi cipratan air maninya sedang mengucur keluar, otot-otot anusnya pun segera bereaksi dengan memijat, menyusu dan mencengkeranm alat vital Sadikin lebih erat lagi. Jepitan kencang itu dengan semena-mena telah memaksanya menuju nirwana ke tujuh malam itu. Tetes keringat mulai bercucuran dari peningnya. Ia mempercepat gerakannya, menurunkan tubuhnya sehingga bersatu dengan tubuh Paidjo. Gerakan Sadikin bertambah cepat sebelum menyemburkan seluruh cairan lembut dan kental nan hangat yang tersisa dari tubuhnya di dalam rongga anus Paidjo.Kehangatan yang luar biasa ia rasakan di dalam perutnya. Burung yang besar itu telah menamkan benih cintanya pada diri Paidjo. Dirinya terasa sangat penuh. Keduanya mengucurkan air mata. Baru saja cinta mempersatukan mereka, kali inipun mereka berpisah.Di kejauhan cahaya lampu dari pelabuhan tua itu mulai berpijar. Tanpa sadar perahu mereka dengan sendirinya telah menghantarkan mereka mencapai tempat tujuan.“Dik bangun…” ujarnya seraya memeluk bocah itu dengan kuat. Seperti tidak mau terputuskan oleh keadaan. Kelamin pria itu masih tetap dalam keadaan kokoh bersenggama dan bersarang di kedalaman liang hangat Paidjo yang kini mulai lelah.Paidjo membalikkan wajahnya dan memandangi wajah elok Sadikin dengan cermat. Sebentar lagi tak ada pria gagah perkasa yang akan terus melindunginya dan memberikan kenikmatan padanya setiap saat.“Tak lama lagi kita akan tiba di pelabuhan kota….”Paidjo belum pernah menginjakkan kakinya di sana. Kota pelabuhan itu dijuluki dengan nama SemarangKerlipan cahaya petromaks dari kapal nelayan dan rumah penampungan ikan di pelabuhan semakin terlihat. Denyut nafas merekapun semakin tersenggal-senggal.Sering kali memang hal ini dirasakan para pria pada umumnya. Walau benak tak mengijinkan, napsu birahi dimenangkan di atas segalanya.Kelaminnya yang masih mengeras di dalam rongga sempit itupun mulai ia panaskan kembali bak mesin kapal tuanya itu. Paidjopun tersenyum melihat keberingasan Sadikin.Kali ini pria itu menyetubuhinya tanpa belas kasih, hanya serangai kebinatangan yang terlihat. Ia menarik bokong Paidjo agar berdiri lebih dekat dan rapat, menurunkan pundak bocah itu ke kasur dan ia mulai menegakkan tubuhnya. Ia menaikki tubuh anak itu dengan napsu badaniah yang tak terelakkan. Belahan kakinya ia mantapkan pada pinggang kiri dan kanan Paidjo sementara ia menggerakkan alat kelaminnya memompa dan memompa semakin dalam dan kasar.Pantatnya yang keras dan bulat mulai mengucurkan keringat. Batang keras di dalam liang sempit itu mulai kegerahan. Cairan sebelumnya memudahkan pergerakan tiang kuat itu di dalam sana. Buah zakarnya-pun mulai mengeluhkan kelelahannya. Genggamannya meremas penis kecil Paidjo dengan ganas.Tak lama kemudian ia memuntahkan seluruh air maninya kembali di dalam tubuh bocah itu.“Hmmphh…hmpphhhh.. ahhh…..”Kenikmatan tingkat tinggi itu akhirnya disusul oleh erangan kecil Paidjo seraya ia hangatkan seluruh genggaman Sadikin dengan benih cintanya sendiri. Jepitan dasyat kembali terasa di sekeliling batang zakar pria itu sehingga ia dengan terpaksa memuncratkan cairan berwarna putih kekuningan itu sekali lagi….Akhirnya mereka berdua tergelepar di atas kasur tipis itu.Keramaian mulai terdengar dari kejauhan. Untuk terakhir kalinya pada malam itu mereka berciuman. Sebelum perlahan mengenakan pakaiannya masing-masing.Perlahan kapal itu mulai menyentuh bibir pelabuhan. Nampak beberapa nelayan bersiap berangkat untuk berlayar malam itu. Mereka menaikkan awak kapal, jala, perlengkapan lainnya dan santapan untuk persediaan. Ratusan kapal lainnya tampak tertambat pada tiang kayu yang menjulur ke atas permukaan air. Kapal besar dan kecil semuanya terayun ombak kecil di sana. Pemandangan malam itu tampak sangat megah bagi seorang anak desa yang baru pertama kalinya mengunjungi sebuah kota besar.Ketika harus berdiri dan mengenakan pakaian, Paidjo merasa liang duburnya menjadi sangat longgar dan sakit. Dua kali sudah Sadikin menanamkan benih kelelakiannya di sana malam ini. Rongga kecil itupun tampaknya tak cukup untuk menampung semuanya. Lelehan kental mulai terasa menetes dari bibir anusnya dan mengalir perlahan di bagian dalam pahanya.Cepat-cepat Sadikin menampung lelehan tersebut dalam mulutnya. Ia mengerahkan jari tengahnya di permukaan dubur Paidjo seakan menutup katup pembukaan lubang itu. Dengan kedua tanggannya ia kemudian menyatukan kedua belahan bokong bocah itu untuk menahan lelehan selanjutnya.Ia bersikeras bahwa benih kenikmatan itu tetap harus tertanamkan dalam diri Paidjo malam itu. Setelah berpikir beberapa saat ia mengeluarkan sebuah sapu tangan putih dari kantong celananya, melipat benda itu dengan kasar dan menyumbatkannya pada pembukaan dubur Paidjo yang sedang kelelahan itu.“Nah, sekarang Mas tidak perlu khawatir lagi. Sumbat sementara ini akan mengurangi rasa sakit di bokongmu Dik, benar ndak?”“Iya Mas”“Dan lagi… benihku jadi aman didalam tubuhmu malam ini Dik…”Paidjo tersenyum melihat kekonyolan kakaknya ini. Setelah mereka berpakaian, mereka berciuman lagi hingga kapal nelayan yang terdekat mulai melewati kapal mereka.

Dik kenalkan ini Meneer Suryo dan istrinya…”“Malam Pak, malam Bu…”“Nah mulai saat ini adik akan berada dibawah lindungan dan didikan mereka. Ngerti dik?”“Iya Kak…” air mata mulai berlinang.Perpisahan itu seperti perpisahan lainnya bukanlah suatu hal yang mudah. Pelumas di dalam duburnya membuatnya ia merasa tidak wajar ketika berjalan menjauhi kapal Sadikin.“Selamat tinggal Mas Dikin!” teriaknya.(Garis Pembatas Jeda……..)Mereka melalui jalan-jalan yang megah dihiasi pohon kelapa di tengah boulevard itu. Gedung-gedung besar berwarna putih. Pemandangan malam di kota Semarang pada tahun 1939.Mobil hitam bermesin besar itu memasuki salah satu kompleks di Simpang Lima. Obor-obor kecil disekujur kompleks pribadi itu menyambut kedatangan mereka. Rumah megah bergaya Jawa dan kolonial Belanda itu membuka dirinya untuk seorang Paidjo yang lusuh.“Nak, Bapak dan Ibu akan membicarakan tentang hal ini besok saja ya. Saat ini kamu tidur saja, tampaknya kamu sangat letih…”“Baik Pak… terimakasih sekali lagi…”“Jangan sungkan-sungkan Djo…”Seorang pelayan pria menhantarkan Paidjo ke ruang tidurnya. Koridor yang dihiasi cahaya lampu gas dan listrik itu menuju sebuah rumah kecil yang berpendopo di depannya.“Di sinilah Kang Mas akan tinggal…”“Sendiri?”“Tentu tidak, saya akan menemani Kang Mas…”“Mas sendiri namanya siapa dan mengapa harus menemani saya?”“Saya dipanggil Adhi dan sebagai abdi dalem dari Raden Mas Suryo sudah merupakan tugas saya untuk menemani Kang Mas”“Raden Mas Suryo?”“Iya, beliau adalah adik dari Bupati Semarang dan memang masih berdarah biru dari Keratonan Surakarta”“Oh ya?”“Raden Mas tidak suka menjabat dalam pemerintahan, ia lebih memilih untuk menjadi pedagang yang sukses.”Ia melewati sebuah ruang tamu dengan perabotan jati yang mewah diterangi sebuah chandelier dari tanah Eropah yang tergantung dari langit-langit tinggi ruangan itu. Di sebelah kirinya adalah ruang belajar dengan perpustakaan kecil yang dipenuhi dengan buku-buku berbahasa asing. Di sebelah kanannya ada sebuah ruang musik yang biasanya dipergunakan untuk minum teh dan bercengkrama. Adhi kemudian menunjukkan ruang tidurnya yang sangat luas. Hanya sebuah lemari pakaian dan ranjang besar lengkap dengan kelambunya mengisi ruangan itu.“Besar sekali tempat tidur ini…”“Dan satu lagi… kamar mandi Kang Mas tersembunyi dibelakang pintu rahasia ini…”Krieekkk. Tembok itu terbuka dan nampaklah sebuah ruang mandi yang seluruhnya terbuat dari batu marmer putih.“Mas Adhi harus menunjukkan bagaimana cara saya mempergunakan peralatan ini…” ujarnya sembari mengusap mata pancuran yang terbuat dari besi yang berlapiskan perak.“Di kampung saya ndak punya kamar mandi… kita mandi di pantai dan buang air di jamban dekat sawah…” Adhi tersenyum melihat keluguan tuan muda barunya.Tenaga gas menghangatkan air pada wastafel itu.“Wah segarnya…” ucapnya seraya membasuh wajahnya.“Selamat malam dan selamat istirahat Kang Mas…”“Katanya Mas Adhi akan menemani saya?”“Saya tidur di ruang tamu bila Anda membutuhkan saya…”Paidjo mengikuti langkah Adhi ke arah ruang tamu di mana abdi dalam itu menggelar selembar kasur kapuk tipis yang beralaskan tikar rotan.“Makasih Mas Adhi… selamat tidur…”“Sama-sama Kang Mas…”Ia membuka lemari pakaian itu. Di dalamnya berisi pakaian-pakain yang terbuat dari kain berkualitas dan sangat lembut di tangan kasarnya. Sarung batik yang mewah terlipat rapih di beberapa lacinya.“Wah, ngimpi apa saya semalam…”Ia membuka pakaiannya satu persatu. Kemeja… dan kemudian celana lusuhnya. Ia beranjak naik ke atas ranjang empuk raksasa itu. Menutup kelambu dan dengan segera ia terlelap tanpa mengenakan sehelai benangpun. Kain satin lembut itu telah memeluk dirinya sepanjang malam.(Garis Pembatas Jeda……..)Mentari baru saja beranjak dari timur ketika Adhi membuka pintu ruang tidur itu.“Selamat pagi Kang Mas…”“Sudah panggil saja aku Paidjo, jangan pake Kang Mas- Kang Mas segala…”“Maaf Kang Mas… saya tidak diperbolehkan memanggil nama saja…”Paidjo masih belum juga bergerak walaupun sudah menyambut panggilan Adhi.Ketika Adhi menyibakkan kelambu ia tampak sangat terkejut dengan kehadiran mahluk sensual di hadapannya.Tubuh Paidjo yang mulus sedang membelakanginya tengkurap dengan sebelah kaki terangkat. Kedua belahan pantat dan lubang anusnya yang tersumbat oleh sehelai sapu tangan itu menjadi pemandangan yang sangat merangsang bagi Adhi.“Ndak bangun sekarang Kang Mas? Lekas mandi karena sebentar lagi Kang Mas akan diundang untuk makan pagi bersama keluarga Raden Mas…”“Sebentar lagi saja… Mas Adhi… saya sedang menikmati lembutnya seprei mengkilap ini”“Baiklah… hmm, Kang Mas… itu ada saputangan yang, ehm, maaf, sepertinya menyumbat di bawah sana…” ujar Adhi malu-malu.“Wah iya, aku lupa. Kemarin malam sebelum berpisah, Mas Sadikin sahabatku telah menanamkan benihnya dua kali. Saya tidak ingin benih-benih tersebut meleleh keluar dari tubuhku”Saat itu juga Adhi dapat membayangkan apa yang baru saja terjadi pada anak lelaki ini.“Gini lho Kang Mas. Mungkin benih itu sangat berharga untuk Kang Mas. Namun sebenarnya itu lebih merupakan simbolisasi pemberian cinta saja. Karena cepat atau lambat Kang Maspun harus buang air dan cairan tersebut akan terdorong keluar bersamanya. Cairan kental itu mungkin harus keluar, tetapi benih cinta itu akan terus bersama Kang Mas di dalam hati…”“Wah, benar sekali Mas Adhi, lalu sekarang bagaimana?”“Apakah kemarin malam adalah malam pertama Kang Mas menerima benih cinta?”“Benar.”“Kalau begitu, biarkanlah saya mencabut sumbat ini dan membersihkannya untuk Kang Mas.”Tangannya terasa hangat membelah kedua bokong empuk Paidjo. Dengan perlahan Adhi mengelus daging kenyal tersebut sedikit-demi sedikit menuju pembukaan lubang duburnya.Dengan jarinya yang lembut ia membuka bokong tersebut sehingga terlihat dengan jelas di muka wajahnya saat ini. Ia membuat lingkaran-lingkaran kecil mengelilingi bibir tersumbat itu agar Paidjo dapat merasa santai dan lebih membuka dirinya. Sedikit demi sedikit sapu tangan putih itu ia lepaskan dari cengkraman bibir yang luka itu. Keputihannya sudah ternodai oleh warna kuning dan sedikit warna merah darah dari bibir itu.“Ahhh… Pedih….” Jerit Paidjo.“Iya, Kang Mas luka di sini… harus saya obati segera…”Ia membiarkan cairan gemuk dan kental itu meleleh keluar dari anus Paidjo. Pemandangan itu sangat erotis. Adhi pun merasa kelelakianya sudah mulai mengeras.“Dorong sedikit Kang Mas.”Dengan sangat telaten ia membersihkan semua sisa birahi dan luka dari malam sebelumnya.“Mari ke kamar mandi…” ajaknya.“Silahkan sekarang Kang Mas duduk di sana dan cobalah untuk membuang hajat. Karena setelah bersih baru saya benar-benar dapat mengobati luka di sana…”“Dengan Mas Adhi di sini? Saya malu ah”“Wah ini sudah tugas saya sehari-hari, kan kita sama-sama lelaki, mengapa musti malu bukan? Dan lagi saya sudah melihat tubuh indah Kang Mas telanjang bulat sejak pagi ini”Adhi mulai mengisi air panas untuk memandikan Paidjo, sedangkan bocah itu langsung terduduk di jamban model Eropa dan menuruti permintaan abdi dalamnya.Siapapun yang ingat akan saat pertama kehilangan keperawanannya pasti akan setuju dengan Paidjo pada pagi hari itu

“Liangku terasa sangat longgar sehingga susah untuk mendorongnya keluar Mas Adhi…”Kemudian Adhi mengambil sebuah botol berisi minyak telon. Ia mengurapi perut Paidjo dengan lembut untuk menghangatkannya. Nampaknya usapan hangat itu berpengaruh pada napsu birahi bocah itu. Penis kecilnya mulai bangun kembali.“Weh… bangun Kang Mas!” ujar Adhi seraya tersenyum.Paidjo hanya menunduk malu.Setelah selesai iapun segera dibersihkan dengan seksama oleh Adhi sebelum melangkah ke bak mandi berisi air hangat dengan mahkota mawar yang mengambang di sana-sini. Perlahan Paidjo dituntun masuk ke bak mandi yang ditanamkan di tengah ruang luas itu. Lubang pantatnya masih terasa nyeri akibat serangan bertubi-tubi dari Sadikin tadi malam.Untuk pertama kalinya ia merasakan betapa nikmatnya layanan dan perabot yang bisa kita nikmati dengan uang. Tubuhnya dimandikan dengan cermat, sabun berbusa mewah yang diimport dari Perancis membersihkan semua debu yang melekat pada tubuhnya bertahun-tahun ini. Beberapa macam sikat dipergunakan untuk membersihkan anak desa ini dengan baik.“Aw, sakit Mas Adhi…”“Maaf, menggosoknya terlalu kasar ya…”Setelah mandi dan dikeringkan dengan handuk yang tebal, Adhi memberikan sebuah kemeja putih bergaya Eropa untuk ia kenakan. Sebelum ia mengenakan celana panjang berwarna khaki itu, Adhi menahannya.“Kang Mas, saya harus memberikan pengobatan pada lubang tersebut dahulu agar cepat sembuh dan membaik”“Baiklah…”Adhi menuntunnya kembali ke kamar mandi. Ia meminta Paidjo untuk duduk menghadapnya di atas meja besar di samping kanan wastafel.“Bisa mundur sedikit Kang Mas?”Perlahan Adhi menidurkan tubuh Paidjo di meja besar itu dan ia menaikkan kedua pahanya yang harum itu sehingga lubang duburnya terbuka lebar untuk dinikmati. Kemudian ia mengambil sebuah balsam dingin yang selanjutnya ia lulurkan pada jari tengahnya.“Mungkin masih agak nyeri ya Kang Mas…” katanya memberikan peringatan sebelum memasukkan jari tersebut perlahan-lahan ke dalam lubang yang luka itu.“Awww…”“Maaf Kang Mas…”Ia menambahkan balsam dingin itu pada jarinya dan kemudian memaju-mundurkan ruas tersebut di dalam anus Paidjo.“Enak Kang Mas?”“Iya hehe… adem rasanya….” Penis kecilnya mulai bangkit kembali.“Wah tentu saja pria tidak bisa memulai harinya dengan kelamin yang bangkit Kang Mas… mari saya bantu…”Tanpa permisi Adhi mulai mengulum kelamin Paidjo yang terasa nikmat di mulutnya. Jarinya ia keluarkan dari dubur anak itu supaya tidak terjadi iritasi lebih lanjut. Kini balsam dingin itu ia oleskan perlahan pada permukaan bibir yang koyak itu. Sensasi yang nikmat menyerang Paidjo.Adhi yang berusia dua-puluh-satu tahun itu sudah sangat terampil menghisap batang zakar Paidjo. Ia mengerti kapan saatnya harus mempercepat gerakannya, kapan harus memperlambatnya. Tentu saja, Adhi sudah bekerja di sana sejak ia berusia tiga-belas tahun. Ia sudah sangat terlatih untuk memuaskan para lelaki penguasa rumah itu sejak ia kecil.“Mas Adhi… saya… saya….”Ia memuncratkan cairan birahinya langsung di dalam mulut Adhi. Dengan sabar Adhi menunggu hingga tuan mudanya tuntas dan puas sebelum ia menelan seluruh air kenikmatan itu melalui kerongkongannya.Senyum kecil menghiasi wajahnya. Ia menyukai tuan muda barunya ini.Dengan bersiul santai ia membersihkan kemaluan Paidjo dengan seksama sebelum memakaikan celana dalam, menepuk pantat kenyalnya, dan menariknya kembali untuk berdiri dan mengenakan celana.(Garis Pembatas Jeda……..)Tidak hanya Adhi, kesahajaan dan keramahan Paidjo dengan cepat membuatnya diterima oleh seluruh rumah tangga RM Suryo.Selama beberapa bulan sejak kehadirannya ia telah belajar berbagai hal. Cara bersikap yang baik, cara makan yang baik, berbicara dalam bahasa Jawa halus, bahasa Arab, bahasa Indonesia (sesuai dengan Sumpah Pemuda) dan pengenalan bahasa Belanda. Kini ia dapat menulis kaligrafi dengan halus, menunggang kuda dengan anggun, dan bertukar pikiran selayaknya ia dilahirkan di dalam keluarga terpelajar.Ibu Suryo sendiri yang mengajarinya kesemuanya itu karena ia adalah guru yang paling baik untuk penanaman pendidikan dasar. Untung saja beliau memiliki murid yang cerdas seperti Paidjo. Tahun depan ia akan didaftarkan pada sekolah menengah pertama milik Belanda. Dirinya harus siap disetarakan dengan lulusan sekolah dasar Eropa.“Djo, ayo latihan bahasa Belanda lagi sama Ibu. Sekolahmu itu susah sekali masukknya. Dan bisa mendaftar biasanya hanya keturunan Belanda, keluarga ningrat, atau dari kalangan pengusaha besar….”. Kata Ibu Suryo ia pendam dalam batinnya.“Saya harus bisa…” ucapnya dalam hati.Raden Mas sangat membantu kemajuannya, begitu pula saudara-saudara angkatnya (putra-putri dari saudara kandung RM Suryo) di rumah besar itu. Matematika, sejarah, bahasa, musik dan olah raga.Mereka benar-benar mendidik dan membesarkannya bak buah kasih mereka sendiri. Tiga bulan kemudian ia tak nampak berbeda dengan anak juragan lainnya dari kota Semarang.

Begitu banyak hal yang harus ia kuasai sehingga obsesinya terhadap air susu priapun tidak terlalu menganggu pikirannya. Karena bila dahulu ada Mas Sadikin yang akan memuaskannya, kinipun Paidjo mempunyai Mas Adhi untuk melepaskan dahaga birahinya.Ketika malam tiba dan seluruh penghuni kompleks terlelap. Ia akan membantu Adhi mempersiapkan ranjangnya. Kemudian seperti biasa ia melepaskan pakaian Adhi secara perlahan-lahan dan mulai menciumi bibir tipisnya. Jejaka muda nan rupawan itupun akan ia kecupi seluruh tubuhnya, mainkan puttingnya dengan lidahnya yang hangat, dan ia akan mengendus ketiak lebatnya dengan mesra.Beberapa minggu sekali Adhi akan mencukur bersih bebuluan yang mulai tumbuh di sekitar ketiak, kelamin dan lubang dubur Paidjo. Karena ia ingin Paidjo terlihat muda untuk selamanya. Untung saja remaja pria itu belum juga ditumbuhi bebuluan pada wajahnya.Setelah dibasuh dengan sabun dan air hangat, Adhi akan segera menikmati hasil cukurannya yang sempurna. Ia menelentangkan Paidjo tengkurap di ranjangnya. Menyibak kedua belah bokong bundarnya. Dan mulai mengendus dan menjilati kemulusan dubur remaja pria itu. Begitu juga dengan ketiak dan batang zakarnya yang mulai membesar dengan bertambahnya usia.Setiap pagi dengan rajin Adhi memijat-mijat batang kekerasan Paidjo dengan sabar dengan kepercayaan bahwa hal itu dapat menambah ukuran dengan lebih cepat. Pada malamnya ia akan membuat Paidjo bergelinjang ketika lidahnya yang cekatan membuat batang belia itu memuncratkan isi hatinya. Setelah itu ia akan dengan sabar dan penuh kasih sayang menunggangi Paidjo selama beberapa jam hingga mereka kelelahan. Bahkan ukuran kelamin Adhi yang hampir serupa dengan Mas Sadikinpun tidak lagi menyakitinya. Sepertinya penetrasi yang dilatihkan hampir setiap malam itu membuat dinding lubang kecil itu terbentuk untuk dapat menerima batang kenikmatan itu dengan baik.Ia akan menikmati tubuh tuan mudanya hingga titik kenikmatan itu datang di penghujung malam. Kemudian iapun selalu meninggalkan benih kejantanannya dalam liang dubur Paidjo, sehingga ketika subuh tiba dan batang itu sudah mulai melemas di sana, lelehan kental itu akan dengan perlahan mengalir keluar dari anusnya.Adhi tak lagi tidur di ruang tamu. Tetapi ia selalu menemani Paidjo setiap malam. Paidjo pun akan mendapatkan protein harian rohaninya dari Adhi di pagi hari ketika mereka berdua mandi bersama.“Kang Mas… aduh…” ujarnya tak tertahankan lagi.Paidjo menerima semburan kental yang nikmat itu dengan santai sembari terus memaju mundurkan kepalanya.“Kang Mas… cukup…”Paidjo tidak perduli, ia harus mendapatkan madu kehidupan itu sebanyak-banyaknya.Begitulah hari-hari Paidjo di rumah RM Suryo, sampai pada suatu hari berita itupun tiba…“Kang Mas… ayah Kang Mas di desa telah meninggal tadi malam karena sakit di rumahnya…”

Bergegas ia mengemasi pakaiannya untuk segera memberi penghormatan pada ayahnya di kampung. Ketika ia tiba di ruang jamuan Keluarga Suryo, keduanya nampak prihatin dengan berita buruk ini.“Pak, Bu, saya pamit untuk pemakaman ayah di kampung…”“Baiklah Nak, mobil sudah saya suruh berjaga di depan…”“Saya naik kereta saja Pak, setelah itu akan ada dokar yang menjemput dari kampung saya menurut kabar dari Mas Adhi. Saya akan merasa malu dan tidak pantas kembali ke desa saya dengan mobil mewah Bapak”“Baiklah bila itu keinginanmu…”“Kami turut berduka cita Nak…”Perjalanan kereta berlangsung dengan cepat dan tanpa halangan. Perjalanan diteruskan ke arah laut dengan dokar. Tarikan kuda pada dokar itu mulai melambat ketika masuk ke wilayah kampung nelayannya. Di sana tanah liat bercampur dengan pasir dan lumpur sehingga menjadikan dokar itu terasa lebih berat dan kesat.Dari sana ia melihat upacara sedang berlangsung. Kemudian tanpa pikir panjang ia langsung berlari menuju pantai untuk memberikan penghormatan kepada ayahnya untuk yang terakhir kalinya. Tradisi masyarakat setempat adalah memulangkan warganya yang sudah tiada untuk kembali ke laut.“Ayah….”Dengan terengah-engah ia mengucapkan doa dan syahadat sembari ikut mendorong sampan kecil itu menyusul mentari yang sebentar lagi hilang dari ufuk cakrawala.(Garis Pembatas Jeda……..)Kampung itu masih terlihat seperti sebelumnya. Tidak ada hal baru yang terjadi di sana. Waktu seakan melupakan tempat terpencil itu. Seminggu sudah ia membereskan gubug kecil ayahnya dan merapikan barang-barang peninggalannya.Kini ia sudah tak mempunyai siapa-siapa. Mas Sadikin sudah bekerja di Jepara. Untung Paidjo menuruti permintaan ayahnya yang terakhir. Kini ia memiliki sebuah keluarga baru yang mencintainya.Kesedihannya masih belum berakhir ketika ia mengendus hawa yang familiar merasuki ruangan itu.“Halo Dik!” Sadikin tersenyum sedih menyapanya.Mereka berbicara dalam bahasa Jawa yang diterjemahkan sekiranya demikian:“Bagaimana kabarnya Mas?”“Saya baik-baik saja. Baru saja saya tiba dari Jepara, beritanya terlambat sampai di telinga saya… Turut berduka cita ya Dik… kamu sendiri gimana?”“Ya saya masih sedih Mas. Ayah yang membesarkanku sendirian tanpa ibu. Semua jasa-jasanya akan saya kenang seumur hidup saya…”“Kamu betah di Semarang Dik?”“Tentu saja, mereka begitu baik padaku”“Dan mereka mengajarimu dengan baik pula Dik! Tata bahasa yang kau pergunakan sudah tinggi, seperti engkau terlahir di balik dinding Keraton Demak”“Memang keluarga Keraton Demak itu masih bersaudara dengan Ibu Suryo Mas… dan Keraton Surakarta ada hubungan darah dengan RM Suryo sendiri…”“Wah, hidupmu terjamin pasti Dik…”“Mas sendiri bagaimana ini? Saya dengar sudah berhenti menjadi nelayan?”“Iya, saya sekarang menjadi mandor proyek bangunan di Jepara. Gajinya lumayan untuk mencukupi hidup sehari-hari lah Dik. Tapi sebelumnya saya ada berita baik yang harus saya bagi dengan Adik…”“Apa itu Mas?”“Bulan depan saya akan menikah dengan Warti…”“Warti anaknya Pak Rahmat tetangga kita?”“Iya…. Tadinya aku juga ndak mau Dik pas kita dijodohkan…”“Tapi ia sering datang membawa makanan dan berceritera kepadaku” lanjut Sadikin“Setelah saya terbiasa tanpa kehadiranmu Dik, lama-kelamaan saya mulai bisa menerima perhatian baik dari Warti… Dua bulan yang lalu ia ikut saya ke Jepara untuk mencari pekerjaan. Kini ia menjadi penjaga toko di pasar besar. Ia titip belasungkawa untuk Dik Paidjo”“Terimakasih Mas…”:“Kapan kamu kembali ke Semarang dik?”“Saya sudah hampir satu minggu di sini, rencananya besok saya akan kembali…”“Wah terburu-buru sekali Dik?”“Saya harus banyak belajar untuk bisa lolos ujian sekolah menengah Belanda Mas…”“Wah, kagum saya padamu Dik… umm, kalo begitu… umm, malam ini… Dik Paidjo mau menemani saya di sebelah?” tanyanya dengan manja.“Untuk apa Mas?” Paidjo tersenyum sambil menjawab pertanyaan tadi dengan pertanyaan.“Yah, untuk melepas kangen-kangenan lah…. Terakhir kali sebelum saya menikah Dik…”“Baik lah…”(Garis Pembatas Jeda……..)Sambil mengelus rambutnya yang hitam berkilau, Sadikin bercerita tentang pekerjaannya, tentang Warti dan tentang hidupnya sepeninggal Paidjo. Iapun banyak bertanya tentang kehidupan baru remaja itu.Pembicaraan itu berlangsung dengan santai. Mereka baru saja selesai bercinta. Air kental yang nikmat itu baru saja ia sembahkan bagi Paidjo di dalam liang anusnya.“Ngomong-ngomong Dik… tiga bulan ini kamu banyak latihan ya?” ujarnya bercanda.“Iya Mas… dengan Mas Adhi, yang mengurusi keseharianku”“Pantes sekarang kamu makin pandai bercinta untuk memuaskan hasrat lelaki”Satu jam kemudian hasrat itu kembali membara. Untung saja Adhi sudah mempersiapkan Paidjo dengan baik. Tentu saja dengan penuh kebinalan dan keganasan Sadikin menungganginya kembali bagaikan binatang buas dari hutan belantara.Hal ini mengingatkan Paidjo pada malam terakhir di atas kapal nelayan…Ia menarik bokong Paidjo agar berdiri lebih dekat dan rapat, menurunkan pundak bocah itu ke kasur dan ia mulai menegakkan tubuhnya. Ia menaikki tubuh anak itu dengan napsu badaniah yang tak terelakkan. Belahan kakinya ia mantapkan pada pinggang kiri dan kanan Paidjo sementara ia menggerakkan alat kelaminnya memompa dan memompa semakin dalam dan kasar.Dengusannya bagaikan kuda liar pada musim kawin. Sebelum akhirnya iapun menyerah pasrah kepada kepiawaian permainan Paidjo. Kali ini tidak hanya semburan… tetapi bagaikan waduk yang retak… air maninya mengalir deras mengosongkan kantung zakar pria itu terus menerus selama beberapa detik. Ia kemudian terjatuh di atas tubuh sensual Paidjo. Tubuhnya menggelinjang seperti kerasukan roh halus. Mulut ular itu masih terus memuntahkan madu kehidupan yang nikmat dari buah pelirnya.(Garis Pembatas Jeda……..)Satu tahun penuh ia berada di kota Semarang. Pendidikannya yang baik di rumah RM Suryo telah mempersiapkan dirinya untuk hari yang bersejarah ini.“Nak semoga sukses ya ujian masuknya…”“Terimakasih Pak, Bu…”Dua setengah jam yang melelahkan itu akhirnya memberikan hasil tepat satu minggu kemudian.“Paaaak…. Bu…. Aku diterima di Santo Loyola!!!”Mereka langsung bersembahyang bersama-sama, karena akhirnya hasil jerih payah mereka berbuah juga. Acara syukuran mereka adakan pada malamnya dengan mengundang seluruh petinggi kota Semarang.(Garis Pembatas Jeda……..)“Di mana ya saya pernah melihat dia?” tanya Paidjo penasaran.Setiap pulang sekolah dengan sepeda sederhana itu, ia selalu melewati Istana Gubernuran, yang kala itu dijabat oleh Gubernur Van Hoeve.Wajah tampan prajurit asing itu setiap hari ia lewati dari depan pos penjagaannya.Setiap hari pula ia bertanya pada dirinya sendiri,“Sebelum ini saya sudah pernah berbincang-bincang dengan beliau. Tapi, di mana ya saya pernah melihat dia?”Sudah lebih dari satu bulan mereka beradu pandang dari titik yang sama. Saling melempar senyum dan sapaan kecil.“Selamat siang!”“Apa kabar?” dalam bahasa Belanda.Prajurit asing itupun mungkin tak beda jauh usianya dengan dirinya. Mungkin seusia dengan Adhi. Tubuhnya yang tinggi dan kekar menarik perhatian Paidjo. Matanya yang biru bagaikan magnet yang mengundang Paidjo untuk mencium bibirnya yang menawan. Kulitnya pun tidak seperti bangsa kulit putih lainnya. Pria itu terlalu banyak menghabiskan waktu di bawah terik mentari Semarang sehingga kulitnya berwarna coklat tua kemerahan. Sesekali Paidjo melihatnya sedang melepaskan helm prajuritnya karena terlalu panas. Rambut pendeknya yang coklat tua tidak terusik tertiup angin. Serdadu muda penjaga pos keamanan istana itu terus bermain di dalam benaknya.Rasanya ia sedang jatuh cinta.(Garis Pembatas Jeda……..)“Garis bahu yang kokoh itu tidak salah lagi” batin Paidjo.“Selamat malam Lady Ambassador…”“Selamat malam Mister Surjadi…”Kini sebagai tuan muda dari Karesidenan Semarang, iapun mempunyai kewajiban sosial yang tinggi. Ia sedang berada di kastil peristirahatan Ambassador Bavaria di pegunungan dekat kota Salatiga. Nampaknya para tamu yang hadir saat itu agak canggung berpesta pora di kastil itu. Pesta itu adalah pesta terakhir yang akan diadakan keluarga ambassador. Hari itu Bavaria baru saja kehilangan martabat dirinya setelah dipaksa bergabung dengan Jerman dibawah pemerintahan Hitler.Para pejabat dari Sumatera, seluruh pulau Jawa dan dari Ibukota Batavia semuanya hadir di sana untuk mengucapkan selamat jalan pada keluarga duta besar. Mereka membahas tentang hal-hal yang menyedihkan. Perang sebentar lagi akan berkobar di tanah Eropa dan seluruh dunia akan merasakan imbasnya. Belum lagi serdadu Dai Nippon milik Kerajaan Jepang telah berhasil menguasai Mongolia, Cina dan Korea. Mereka terus bergerak ke tenggara benua Asia, setelah tidak berhasil menguasai Muangthai.Dengan setelan pakaian kenegaraan yang mewah perlahan-lahan Paidjo melepaskan diri dari tugas perbincangan tingkat tingginya. Pandangannya hanya tertuju kepada seseorang prajurit tampan yang sedang berbincang dengan rekan-rekannya di tangga pendopo kastil itu. Ia berpura-pura tak sengaja melewati kerumunan pemuda asing yang gagah itu.“Hey kamu!” panggil pemuda pujaannya.“Hey apa kabar?” jawab Paidjo dengan fasih.“Teman-teman sebentar ya, saya ingin berbicara dengan kawan lama saya ini…” ia permisi dan menarik dirinya.Mereka berdua berjalan santai mengelilingi air mancur besar di tengah taman cantik itu. Gemerlap lampu dari kota Semarang terlihat sangat indah di tepi bukit itu.“Sudah makan?” ujarnya membuka pembicaraan.“Sudah, kamu sendiri? Sepertinya sibuk sekali melayani pembicaraan para tamu agung kita kali ini?”“Ya benar… boleh saya tau namamu?”“Karl” ucapnya singkat.“Saya…”“Paidjo… melihat kamu setiap hari membuat saya sangat ingin mengetahui lebih banyak tentang kamu” ia tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya.“Iya benar. Kamu sudah tau tentang asal saya yang dari kampung itu?”“Sudah, semua orang iri padamu di ruangan itu. Kamu terlihat sangat aristokratik. Tidak seperti orang yang di besarkan di kampung nelayan.”Mereka berdua tersenyum.“Kamu mengawal Gubernur Van Hoeve malam ini?”“Ya kebetulan saya menjadi supir pribadinya untuk acara ini”“Oh begitu… eh, saya lapar nih. Ndak papa kan nemenin saya makan sate sebentar?”“Silakan… pesta baru saja dimulai, pasti mereka akan melanjutkannya hingga larut malam”“Ya… misteri itu sudah terjawab sekarang!”“Hah?”“Di mana saya melihatmu untuk pertama kalinya?”“Masak kamu tidak ingat? Di pesta kamu sendiri, ketika syukuran diterima di sekolah menengah!”“Sejak itu saya tidak dapat melupakan wajahmu Karl.”Karl tertunduk dan tersipu malu. Mereka berjalan perlahan menuju gerbang kastil itu. Semerbak wangi bakaran sate ayam menggugah hidung mereka. Tukang sate pikulan itu selalu berjualan di depan pagar kastil jika pesta sedang berlangsung di sini. Sang pedagang tau bahwa banyak officer-officer muda yang lebih meminati sate dagangannya daripada sampanye dan hors-d’oeuvre yang mewah tetapi tidak mengenyangkan di dalam kastil.Benar juga.“Apa kabar Pak Kamsi?”“Baik Den… mesen seperti biasa?”“Kamu mau juga Karl?”“Ya tentu saja…”“Dua ya Pak buat temen saya ini juga!”“Rame Den, pestanya di dalam?”“Rame sekali Pak. Hari terakhir Mister Ambassador ada di Pulau Jawa. Dagangan laris Pak?”“Ya alhamdulilah begitu Den. Tuh serdadu asing lagi pada duduk di rumput menikmati dagangan saya. Ada yang nambah lho Den…”“Oh ya?”“Balik lagi ke pesta terakhir Mister Ambassador, pantes ya plat mobil dari Batavia banyak juga yang terlihat.”Sembari duduk di pinggir jalan, mereka berdua menikmati hidangannya sambil bercengkrama. Kemudian Karl membisikkan sesuatu kepada Paidjo.“Djo, akhir pekan ini kamu mau kemana?”“Belum tahu Karl. Kenapa?”“Nonton bioskop yuk di dekat Gubernuran. Ada film komedi baru masuk dari Hollywood tuh…”“Oh ya judulnya apa?”“Wah, saya sendiri juga belum tahu. Kayaknya bagus sih…”“Jadi ini kencan?” bisik Paidjo di telinga Karl.“Hmm… ya begitulah….” Keduanyapun lalu tersenyum.“Setiap siang kamu melewati pos jaga saya… Rasanya bagaikan melihat oasis di tengah padang pasir Sahara…”“Ah gombal”“Deh… ngga percaya dia…..” Karl mempercepat langkahnya mengikuti Paidjo yang berjalan kembali ke arah kastil.“Djo… kamu mau liat preview dari film itu nggak?”“Preview?”“Sini…”Karl menariknya ke belakang sebuah pohon cemara yang sangat rimbun.“Begini previewnya…” ia memandu tangan kiri Paidjo menuju kemaluannya.“Hmm.. bagus juga previewnya… Hmmm?” ujarnya terkejut.“Kamu suka?”“Hmm… wow… Ya Tuhan…. Besar sekali!”“Sshhh…diem dong… nanti ketahuan…”Paidjo mulai memijati keperkasaan lelaki itu dari depan celana hijau militernya. Batang tersebut sudah keluar dari celana dalam Karl dan kini melintang di paha kirinya di dalam balutan celana ketat militer itu.“Karl, besar sekali ini… boleh saya buka celanamu? Aku benar-benar ingin bersamamu malam ini!!”Kemudian Karl menepiskan tangan Paidjo dari alat kelamin kuda jantan itu.Dengan santai ia mencubit bokong Paidjo dan beranjak meninggalkannya, tetapi sebelumnya ia sempat berbisik di telinga remaja pria itu:“Darling… Memang kau pikir aku wanita macam apa?” ujarnya seraya meledek kekasih barunya.“Ha?”Sesuai janjinya Karl datang tepat pukul 10 di pagi hari Sabtu itu. Suara deru sepedamotor perang itu seperti gelegar petir yang mengacaukan keheningan kompleks kediaman keluarga Suryo.“Hai apa kabar?” sapa Paidjo.“Semuanya baik Paidjo, saya rindu sekali padamu....”“Iya saya juga Karl, gimana? Mau pergi sekarang? Tapi filmnya khan baru diputar jam satu siang nanti?”“Gak papa... kita pergi ke Salatiga dulu, kita pergi ke Pak Kamsi makan sate lagi yuk?”“Wah, ketagihan gini...Lho dia khan hanya berjualan pikulan di malam hari?”“Ngga, aku tau dia punya warung di depan rumahnya pada siang hari”“Gila, tau dari mana?”Jalan yang kebanyakan masih tanah tak beraspal itu tidak memberikan halangan yang berarti bagi motor besar itu. Tak lama kemudian mereka sudah bercengkrama dengan Pak Kamsi di warung satenya di tepi pegunungan itu. Namun tak disangka, langitpun berubah muram seketika. Gulungan kumulus mulai terlihat saling kejar mengejar dari balik gunung.“Jo, cepetan balik ke Semarang yuk? Bentar lagi hujan nih...”“Okeh... kita bayar Pak Kamsi dulu...”“Siap? Aku mau ngebut nih, pegang erat-erat ya...”Tanpa dikomandopun Paidjo sebenarnya sudah memeluk tubuh Karl yang kekar itu dari sadel belakang. Ia menyenderkan kepalanya ke punggung pemuda Belanda itu.Tetes air hujan mulai membasahi bumi. Motor itupun segera melaju seakan ingin mendahului takdiran alam. Tetapi apa boleh buat, pada setengah perjalanan kembali ke Semarang hujan mengguyur dengan derasnya. Tubuh merekapun segera basah kuyup. Karl memperlambat kecepatan motornya dan menepi ke arah sebuah pohon beringin besar yang sekiranya dapat memayungi mereka untuk sementara.Pria itu segera melompat dari motor sembari menarik lengan Paidjo untuk segera berlari ke arah perlindungan di bawah pohon.“Jo, kamu baik-baik saja? Tubuhmu menggigil!”Iapun segera duduk di akar beringin itu dan mendekap Paidjo ke dadanya.“Tubuhmu panas Jo! Kamu harus segera melepaskan pakaian basah ini. Kalau tidak kamu akan terserang demam karena hypothermia”Bocah itu sudah hampir pingsan, ia hanya terdiam saja ketika Karl melucuti seluruh bahan pakaian yang menempel di tubuhnya.“Aku harus menghangatkanmu saat ini, maaf, saya terpaksa melakukan ini.”Dengan cekatan prajurit itupun menelanjangi dirinya sendiri hingga tak satu benangpun menempel di tubuh kekarnya. Ia kembali duduk di akar pohon itu, membuka dirinya, kemudian menarik Paidjo dan membenamkan bocah itu dalam pelukannya yang hangat.Sesekali ia dapat merasakan tubuh Paidjo yang menggigil kedinginan. Segera ia mengusap-usapkan telapak tangannya yang hangat di sekujur punggung dan paha Paidjo untuk mengeringkannya.“Maaf saya merepotkan” ujar Paidjo dengan suara yang melemah.“Ssshhh, diam saja kamu... beristirahatlah dalam pelukanku...” kemudian ia membelai-belai kepala Paidjo dengan kasih sayang.Guyuran hujan lebat itu hampir tidak terasa dibawah naungan pohon besar itu. Paidjopun tak lama terlelap dengan irama hujan dan kehangatan kekasih disampingnya.Sekitar dua jam kemudian badai itupun berlalu. Mentari memberikan senyum hangatnya sekali lagi. Melihat kesempatan baik itu, perlahan tanpa membangunkan Paidjo, Karl membopong tubuh sahabat kecilnya itu ke arah padang rumput tak jauh dari tempat mereka beristirahat tadi.Kehangatan sang surya semakin terasa.“Mungkin ini bisa menghangatkan dia....” pikir Karl.Ia membaringkan tubuh Paidjo di rerumputan dan membiarkan kehangatan dunia ini merasuki tubuh anak itu. Sesudah itu ia segera mengambil pakaian basah mereka berdua dan menjemurnya di ranting-ranting pohon sekitar tempat itu. Ia menangkap sekelibat keajaiban alam ketika sedang menjemur helai pakaian yang terakhir.Tiba-tiba sahabat kecilnya membalikkan posisi tidurnya. Tubuh kuning langsat Paidjo seakan berkilauan dan memantulkan cahaya keemasan dari sang Surya. Anak itu masih juga polos dan nyaris tidak ditumbuhi bulu sedikitpun pada tubuh indahnya. Posisi bokongnya benar-benar menggemaskan. Seakan kepanasan, Paidjo tanpa sadar melipat sebelah pahanya, memberikan sedikit pemandangan menakjubkan atas pasangan buah zakarnya yang lembut dan menggiurkan. Garis-garis tegas menandai kebundaran dan kekenyalan pantat remaja putra itu. Bola-bola cahaya seakan mengambang di atas kemontokan bokong bocah itu.Tanpa ia sadari, Karl mulai merasa terangsang oleh pertunjukkan alam ini. Suhu tubuhnya turut meningkat dengan datangnya kembali sang mentari bersama rangsangan ini. Peluh mulai menetes dari keningnya. Iapun berjalan ke arah di mana Paidjo tergeletak dengan segala daya tariknya.Ia segera berbaring di belakang Paidjo dan perlahan mendaratkan kecupan demi kecupan ringan di pundak sahabatnya itu. Jemari kekarnya mulai menggerayangi kemontokan bokong indah itu. Ia terus membelai dan membelai dengan mesra. Ruas jari tengahnya ia gosok-gosokkan pada belahan pantat Paidjo. Jari manis dan telunjuknya secara refleks melonggarkan jepitan kenyal bokong anak itu. Perlahan tapi pasti ruas jari tengahnya mulai menyentuh bibir anus yang bebas dari bebuluan di sana. Gesekan demi gesekan mulai membuat bibir kecil itu terasa hangat dan lembab. Keringat bercampur pelumas alami mulai membasahi daerah itu. Ia menghabiskan waktu dengan santai dan tak tergesa-gesa. Sedikit demi sedikit batang kelelakian Paidjopun mulai mengeras atas rangsangan ini.Kecupannya ia lanjutkan hingga di leher anak itu. Kemudian ia memutuskan untuk memandikan daun telinga Paidjo dengan bibirnya. Ketika lidahnya mulai memasuki rongga telinga yang sensitip itu, Paidjo kemudian mengeluarkan erangan kecil.“Mmmphhh.....”Kejantanan Karl sudah mencapai titik kesempurnaan. Kepala penis yang berbentuk seperti buah jeruk itu sudah menggeliat kepanasan keluar dari perlindungan kulit fulup yang tak tersunat itu.Paidjopun akhirnya terbangun karena tikaman-tikaman ringan kelelakian Karl pada punggungnya.“Tidur enak sayang?” sapa Karl.“Iya... rasanya enak sekali...” penis remaja putra itupun sudah bangkit maksimum pada saat tersebut.“Say, tubuhmu ini benar-benar menyihirku...”“Oh ya?” balas Paidjo tak percaya...“Bolehkan kujelajahi tubuh indahmu saat ini?”“Terserah kamu sayang...”“Bangun yuk...”Ia membimbing remaja itu kembali ke arah pohon beringin besar itu. Kini fungsinya berubah menjadi tempat berteduh terhadap sengatan mentari yang mulai mengganas kembali.“Jo, coba kamu panjat dahan rendah itu...”Paidjopun menuruti instruksi kekasihnya.“Cukup, jangan naik terlalu tinggi, nanti aku tak dapat meraihmu dari sini.”“Lalu sekarang?”Karl meletakkan kedua tangan Paidjo pada batang beringin sebagai sarana yang dapat anak itu pegang.“Coba renggangkan kaki kananmu... ya... taruh di dahan yang itu. Dan kaki kirimu di dahan yang... ini.... Oke, sekarang pegang pohon ini erat-erat dan coba kau turunkan tubuhmu perlahan seperti hendak berjongkok....”Karl kemudian menghela nafas panjang.“Indah sekali bokongmu ini Jo...”Paidjo dalam keadaan mengangkang dan ia memberikan pemandangan anusnya yang menakjubkan tepat di depan wajah Karl. Pemuda Belanda itu ia buat takjub dengan keahliannya mengendalikan bibir anus kecilnya sehingga menciptakan kerlingan-kerlingan yang sangat merangsang.Seperti ditarik oleh magnet yang berdaya tinggi, Karl bergerak mendekati bibir bawah tersebut. Ia meletakkan kedua tanggannya sedemikian rupa sehingga semakin membuka belahan pantat yang paling pribadi itu. Dengan mesra ia segera memberikan kecupan pertamanya di sana.Paidjo segera mengerang kembali.Hidung mancung pemuda Eropa itu mengendus-endus dengan seksama pada daerah itu. Hangatnya hembusan nafas Karl semakin merangsang Paidjo.“Ah, aroma yang sangat merangsang Jo. Wewangian lezat yang tak tertandingi sayangku!” ujar Karl.Iapun segera menyapukan lidah hangatnya dalam bentuk lingkaran-lingkaran kecil. Mulai dari sekeliling garis pembelah tersebut, hingga perlahan memfokuskan diri pada liang kenikmatan yang sempit itu.“Cium bibirku Jo!!” Karl memerintahkan Paidjo untuk mendorong bibir anusnya keluar hingga menyentuh bibir Karl. Dari sana lubang kecil nan hangat itu ia paksa buka dengan lidahnya yang menggeliat dengan satu arah tujuan.Kemudian ia menepuk-nepuk bukaan anus nan indah itu dengan mesra menggunakan ujung jari tengahnya sebelum ruas jari itu ia dorong masuk untuk merasakan medan pertempuran yang sesungguhnya.Sembari memasuki lubang sempit itu dengan jari tengahnya, Karl membalikkan tubuhnya dan masuk ke bawah selangkangan Paidjo.Seluruh penis bocah itu dapat ia benamkan dalam rongga mulutnya tanpa masalah. Dengan perhatian yang tinggi ia mulai memaju-mundurkan kepalanya. Paidjo mulai mengeluarkan desah-desah kenikmatan.Batang bocah itu menegang dengan dasyatnya. Sodokan jemari Karl pada liang anusnya pun mulai bekerja dengan baik. Titik prostatnya telah terstimulasikan sedemikian rupa.Karlpun tahu saatnya akan tiba segera.Tubuh Paidjo kemudian langsung menggelinjang berkali-kali seiring irama semburan air maninya yang ia muntahkan langsung ke dalam tenggorokan Karl hingga memenuhi rongga mulut pria asing itu.Tubuhnyapun mulai melemas, genggaman tangannya di pohon mulai goyah. Karl segera menangkap Paidjo sebelum ia terjatuh bebas dari dahan tersebut.“Enak say?” tanya Karl sembari tersenyum mesra.“Banget!!!!”“Manimu juga enak sekali rasanya say...”“Oh ya?” tanya Paijo manja sembari menggengam penis raksasa kekasihnya yang masih bervoltase tinggi itu.Seperti yang sudah ia perkirakan sebelumnya. Mulut kecilnya hanya mampu mengulum kepala jeruk berwarna merah muda pucat itu. Ular naga itu terlalu besar untuk distimulasikan secara oral.“Karl, kamu duduk di sini deh...”Perlahan Paidjo berjongkok berhadapan dengan wajah pacar barunya itu dan langsung menuju target. Ia mencoba menduduki kelelakian yang tebal dan besar itu.“Pelan-pelan say...” wanti Karl karena ia tak ingin menyakiti Paidjo.Waktu terasa berjalan sangat lambat. Memerlukan proses yang tidak sedikit hingga akhirnya batang perkasa itu dapat terselimuti dengan total oleh jonjot otot liang Paidjo yang senantiasa meremas dan menyusui itu.“Ah.... sempit sekali kamu Jo... nikmat rasanya....” ujarnya bahagia sembari membuka-tutup kelopak matanya.Walaupun ukuran Karl ini terbilang yang terbesar yang pernah memasuki rongga kenikmayan bocah itu, tetapi Paidjo sangatlah terlatih untuk dapat membahagiakan siapapun pasangannya.Remaja itu mulai menaik turunkan bokongnya dengan tegas. Lengannya ia pelukkan di sekitar leher Karl sembari menciumi bibir pria Belanda itu dengan napsu yang membara.Merekapun berganti posisi dengan rebahan di sisi tubuh mereka. Karl dengan perkasa tetap menggenjot dari belakang. Jemarinya yang kasar membuat puting Paidjo yang sensitip terangsang dengan tegang, sementara ia tetap mengendalikan otot anusnya sehingga terus menggeloyoti penis pria asing itu dengan kesatnya.“Huh.... huh....”Bebuluan kasar pada pangkal paha Karl seakan menusuk buah pelir dan bagian belakang lainnya ketika pria itu membenamkan seluruh zakar perkasanya di dalam lubang nan sempit itu.Tubuh Paidjo terasa sangat penuh oleh serangan misil berukuran raksasa itu. Tak lama kemudian Paidjo mendapatkan kepuasan badaniah tertinggi sekali lagi.“Aaaaaaahhhhh.......” bocah itu menjerit kegirangan.Bersamaan dengan itu jepitan bokongnya semakin mengeras dan memeras buah zakar Karl untuk mengeluarkan benih cintanya pada saat itu juga. Tubuh mereka terguncang-guncang hingga beberapa saat.Tanpa disadari sperma Belanda yang ia hasilkan kebanyakan akhirnya terbuang melalui celah kecil di rongga sempit itu. Ukuran raksasa itu telah menghabiskan seluruh tempat penampungan yang seyogyanya tersedia. Cairan kental berwarna putih-kuning itu telah berubah menjadi buih yang menodai seluruh selakangan mereka berdua. Cairan itu perlahan menetes turun dari buah zakar mereka.Untuk Paidjo pribadi, mungkin kenikmatan inggil seperti ini belum pernah ia rasakan hingga tingkat yang baru saja mereka lalui. Tanpa dapat mengeluarkan sepatahkatapun, ia langsung tergolek lemas di dalam dekapan Karl dan tertidur lelap.Tidak halnya dengan Karl pemirsa. Ia sangat menikmati permainan ini. Kenikmatan luar biasa yang sangat jarang ia dapatkan.Karl menghabiskan sore yang hangat itu dengan menyetubuhi anak itu berkali-kali sampai iapun tak kuasa menahan letih walaupun napsu tetap menguasai. Sementara Paidjo terlelap lemas dan tanpa sadar merelakan tubuhnya dipakai untuk pemuasan birahi kekasihnya.Setiap setengah hingga tiga-perempat jam sekali, sayup-sayup terdengar teriakan orgasmik dari pria Belanda itu dari kedalaman pegunungan itu. Pelangi terlihat indah menaungi Salatiga.(Garis Pembatas Jeda……..)Setiap pria yang sudah berkenalan dengan Paidjo akan berubah menjadi maniak. Tidak tahu ada unsur magis apa yang dimiliki oleh bocah itu. Hal yang samapun terjadi pada Karl.Mulai dari kencan pertama mereka yang sangat menegangkan di pengunungan, Karl kini dapat tanpa malu-malu mengajak Paidjo berkencan di mana saja.Mereka pernah melakukannya di gardu jaga Karl, di dalam wc umum, bahkan di semak-semak tepi jalan yang ramaipun mereka sudah tidak perduli.Walaupun sepertinya nuansa birahi yang selalu menonjol, ternyata sudah dua tahun belakangan ini mereka bersama. Sebentar lagipun Paidjo akan lulus ujian sekolah menengah. Mereka berdua sudah tak terpisahkan lagi. Antara cinta dan napsu belaka sebagai pengikat yang membingungkan setiap pihak ketiga yang penasaran.(Garis Pembatas Jeda……..)Untuk ulang tahunnya yang ke tujuhbelas, Raden Suryo, menghadiahkan sebuah bungalow kecil menghadap ke lepas pantai tepat di luar pelabuhan yang kini dikenal dengan nama Tanjung Mas. Paidjo diijinkan untuk tinggal di sana asalkan tetap ditemani oleh Adhi sang abdi dalem.Seiring dengan bertambahnya usia, secara alami bebuluan sudah terlihat tumbuh di tubuh Paidjo. Masalahnya Karl tidak menyukai hal itu. Ia menginginkan tubuh Paidjo tetap belia seperti saat pertama ia jatuh hati pada sahabat mudanya ini.Maka dari itu setiap beberapa minggu sekali Adhi akan disibukkan dengan ritual menghabisi bebuluan di sekujur tubuh Paidjo dengan alat pencukur sederhana.Sama seperti yang terjadi pada malam yang hangat di permulaan tahun ini. Karl sudah tidak sabar untuk menikmati hasil kerajinan tangan Adhi. Ia melebarkan selangkangannya dan sudah mulai meremas-remas kontolnya itu sejak beberapa jam yang lalu karena ia sangat terangsang oleh pemandangan ritual pencukuran bulu yang dilaksanakan oleh Adhi. Apalagi pada saat itu adalah tugas terberat abdi dalem itu, yaitu membuat bokong Paidjo yang sudah beranjak dewasa itu bisa mulus kembali seperti bayi. Pupuran bedak diberikan untuk memperhalus cukuran. Bibir anus yang terbuka itu seakan sudah memanggil penis Karl untuk segera melakukan tugasnya di sana. Karl semakin bernapsu memerah keperkasaaannya.“Kapan selesainya sih Dhi?”“Sebentar lagi Meneer....”“Aduh udah ndak tahan nih...”“Sabar ya Meneer...”Seperti minggu-minggu sebelumnya yang juga sudah pernah terjadi. Karl mendekati mereka.“Waduh nanti jadi lama selesainya Meneer...”Pria tegap dan tinggi itu menyingkapkan sarung yang dikenakan Adhi ke atas, kearah punggung abdi dalem itu, dan mulai meraba-raba lubang anus abdi dalem itu di sana.“Maaf Dhi... saya sudah tidak tahan lagi.”Ia kemudian naik ke atas ranjang bersama mereka. Mendorong tubuh Adhi ke depan sehingga, anusnya terbuka dalam pemandangan. Iapun langsung menancapkan keperkasaan raksasanya itu di sana.Karl tidak perduli dengan dubur Adhi yang tidak tercukur, karena ia tidak berniat untuk menciumi dan memuja dubur Adhi seperti yang ia lakukan pada Paidjo yang merangsang itu.Hantaman-hantaman yang kuat membuat Adhi tidak bisa bekerja dengan baik menghabisi seluruh bebuluan halus yang menumbuhi sekitar liang kenikmatan Paidjo. Akhirnya ia memutusnya untuk mengulum penis tuannya yang juga sudah menjadi kemaluan lelaki sejati saat itu. Kepala dan batang zakar itu tidak semudah dahulu berkeliaran di dalam rongga mulut Adhi.Karl semakin meninggi gairahnya. Ia menunggangi Adhi seperti hewan liar yang sedang birahi.Tiba-tiba di atas kepala mereka terdengar suara mesin pesawat yang sedang terbang rendah. Dan bukan hanya satu pesawat saja yang mereka dengar. Keterkejutan itu belum berakhir ketika suara desingan bom udara mulai terdengar dari langit. Ledakan bertubi-tubi mereka rasakan bagai gempa bumi dalam skala richter yang tertinggi.Kemudian sirene militer dari pos jaga di pelabuhan mulai mengaung membisingkan siapa saja.Dengan tubuh telanjang itu, mereka segera bergegas menuju balkoni untuk melihat apa yang sedang terjadi dan wajah mereka menampakkan ketakutan yang tidak dibuat-buat. Jantung mulai berdegub kencang.Beberapa armada perang angkatan laut berbendera Mentari Terbit itu bergerak perlahan menghimpit pelabuhan Tanjung Mas. Disertai dengan ratusan pesawat tempur yang bergerak berputar-putar seperti lalat di atas langit Semarang.Suara penyiar radio dalam bahasa Indonesia terdengar berkobar-kobar:“Saudara-saudara satu jam yang lalu kota Surabaya sudah direbut oleh Jepun dari tangan Belanda. Mereka ini mungkin yang akan membebaskan kita dari penjajahan VOC selama tiga setengah abad ini!!”Wajah Karl berubah pucat.Bersama dengan Paidjo dan Adhi mereka bertiga berlari menghindari mortir menuju ke Simpang Lima, kediaman keluarga Suryo.Di tengah jalan Karl seakan sudah dijemput oleh satu batalyon prajurit Belanda entah mau apa mereka.“Karl ayo naik, kita tidak bisa menang dalam serangan dadakan ini. Gubernur kita sudah memutuskan untuk menyerah mentah-mentah kepada Jepun daripada terjadi pertumpahan darah”“Tapi... saya....”“Cepat naik, daripada dibunuh mereka, lebih baik kita kembali ke Belanda!!”Dengan itu mereka menarik Karl ke atas truk tentara itu tanpa bisa memberi penjelasan apapun untuk Paidjo kekasihnya. Malam itu merupakan hari terakhir Karl di Indonesia, sekaligus hari terakhir bagi keduanya untuk bersua sebagai kekasih.Paidjo hanya bisa tertegun di tengah kepanikan masa melihat Karl yang berangsur-angsur hilang di kejauhan.“Kang Mas, maaf hal ini harus terjadi, tetapi sebaiknya kita segera bergegas ke rumah Raden Mas, agar kita dapat berlindung di sana”Adhi menarik lengan Paidjo yang dengan tegar menerobos kumpulan kekisruhan keadaan. Ia tak mengganti ekspresi wajahnya yang masih terkejut itu. Tetapi diam-diam air mata menetes ke pipinya ketika mereka berlari dan berlari seabad lamanya.(Garis Pembatas Jeda……..)Betapa terkejutnya mereka ketika sampai di tujuan, mereka menemukan rumah keluarga Suryo sudah diduduki oleh tentara Jepang. Seluruh penghuni lama sedang dikumpulkan di halaman depan kompleks keluarga tersebut. Dari kejauhan Adhi dan Paidjo dapat melihat bapak dan ibu sedang diinterogasi seseorang yang terlihat berpangkat.Sayup-sayup akhirnya mereka mengerti bahwa rupanya salah satu jendral angkatan laut yang sedang meluncurkan serangan terhadap kota Semarang ini, berkeinginan untuk tinggal di sana dengan cara apapun. Rumah yang sangat mewah dan berada di jantung kota Semarang. Mungkin di antara para jendral itu nantinya akan saling gontok-gontokan sendiri untuk memperebutkan rumah Suryo ini.“Kang Mas, mau ngapain?” cegah Adhi ketika Paidjo mulai beranjak dari persembunyian mereka.“Saya harus bertemu bapak ibu Dhi...”Paidjo melangkah dengan gagah berani dan pasti. Benar saja, ia sudah menjadi pria sejati pemirsa.Di bawah acungan puluhan laras senapan ia mendekati bapak dan ibu angkatnya ke arah sang Jendral.Dalam bahasa Jepang pria itu menghardik,“Siapa kamu? Ada perlu apa?”“Nama saya Paidjo dan saya adalah anak dari Bapak dan Ibu Suryo!”Kemudian sang Jendral berjalan mendekati Paidjo. Ia mengamati tubuh anak itu dengan seksama sembari mengitari pria muda itu. Setelah itu ia memanggil ajudannya dan berbisik sedikit.“Aduh Pak, mau diapakan anak kita itu?”“Tenang Bu... tenang...”Paidjo yang sudah dua tahun belakangan ini diberikan guru privat oleh Ibu Suryo untuk belajar bahasa Jepang mengerti dengan pasti apa yang mereka inginkan. Tanpa diberi aba-aba ia menatap sang Jendral dan menuturkan kalimat berikut ini dalam bahasa Jepang yang tanpa cacat:“Ya, saya bersedia... asalkan, kau tinggalkan keluarga saya baik-baik di sini.











No comments:

Post a Comment