Istri Tak Be-rahim
Ramadhan 2015.
Untuk yang
kesekian kalinya Bimo ribut mulut dengan Vina istrinya. Selama tiga tahun
pernikahan mereka, rasanya tak pernah luput dari cekcok bilateral. Entah itu
cuma masalah sepele atau besar, tapi semua akan bermuara kepada sebuah
tuntutan; keturunan! Seperti malam itu, gara-gara Bimo kembali pulang terlalu
larut yang menurut Vina sudah mulai keseringan.
Sebagai istri
yang kerap dirundung kecemasan, rasanya tak salah kalau ia menanyakan hal itu
pada suaminya. Tapi apa yang dipikirkan Bimo justru malah sebaliknya. Dia
berpendapat kalau istrinya mulai menaruh curiga yang berlebihan. Tak
mempercayainya lagi sebagai suami setia dan bertanggung jawab. Dengan kata
lain, mulai main api alias nyeleweng!
“Aku heran
deh, kamu bawaannya curigaaaaa.. mulu! Kan sudah dibilang, akhir-akhir ini di
kantor lagi banyak kerjaan. Masak enggak ngerti-ngerti juga, sih?” dengan nada
tinggi Bimo menjelaskan komplain istrinya sambil melempar tas tangannya ke sofa
di ruang tamu.
“Tak ada
niatku menuduh, Mas. Aku kan cuma tanya, kok akhir-akhir ini pulang larut?!”
“Halah.. apa
bedanya. Itu artinya kamu mulai curiga sama aku!”
Sebagai
istri pengalah, ditambah di tubuhnya pun mengalir darah Jawa kental warisan
orangtuanya, Vina tentu tak kuasa menahan bentakan Bimo malam itu. Mencoba
membantah atau balas menghardik, tentu tak pernah terlintas di pikirannya. Di
benaknya telanjur terdoktrin kata-kata para orang tua; istri yang baik, harus
mengalah dan mendengar apa kata suaminya.
Makanya,
kenyang diomeli, seperti biasa Vina hanya bisa membungkam mulut. Tapi hatinya
sedih dibalut rasa panas. Ia hanya bisa meruntuki diri sendiri, mungkinkah
nasib istri harus seperti dirinya sekarang? Omelan dan bentakan seolah jadi
menu harian. Hanya karena ia belum bisa mengandung? Tak terasa, airmatanya
mulai meleleh di pipi, bagaikan lilin kena api.
Bimo tau,
Vina pasti akan menumpahkan kepiluan hatinya dengan menangis. Tapi emosi dan
sikap tempramentalnya tak juga luluh. Sebaliknya, sambil duduk di sofa dan
menyulut rokok putihnya ia melanjutkan omelan, “Jujur, aku bosan ribut melulu
Vin! Aku nikahin kamu itu sebagai pendamping hidup dengan harapan bisa memberi
kebahagiaan rumah tangga lewat anak-anak yang terlahir dari rahimmu. Bukannya
malah jadi musuhku dengan pikiran negatifmu, mencurigai semua tindak tandukku!”
Bimo mulai meracau.
Hati Vina
tercekat mendengar itu. Airmatanya tambah meluap layaknya semburan lumpur PT
Lapindo. Ia bisa meraba apa yang dimaksud suaminya. Ya, lagi-lagi urusan anak
yang belum kunjung hadir di tengah-tengah mereka. “Kita sudah berusaha Mas.
Tapi jangan selalu aku yang disalahkan. Mungkin memang Tuhan belum memberi izin
saja!”
“Yah, kok
malah Tuhan disalahkan! Kamunya sendiri gimana?” balas Bimo sengit.
“Lho Mas,
kita kan sudah cek bersama dan kamu tahu, kalau kata dokter sementara ini belum
bisa hamil dulu, karena memang ada kista di rahimku. Tapi kita masih punya
harapan, asalkan rajin melakukan pengecekan dan berobat jalan!” kalimat Vina
panjang terucap tanpa terpotong tarikan nafas, sementara bulir-bulir air hangat
dari kelopak matanya masih mengalir.
Bimo tetap
tak terenyuh. Egoisnya justru makin memuncak. Ia sadar betul dan merasa di atas
angin, karena problem yang membuat mereka belum punya anak itu memang dari
istrinya. “Iya, kalau penyakit itu tak merembet jadi masalah baru. Kalau lebih
parah? Hmm... jangan-jangan apa yang aku khawatirkan selama ini bakal kejadian!”
Vina terdiam
sejenak. Ia menatap dalam-dalam wajah Bimo sambil mencoba menyimak kata-katanya
barusan. Tuduhan apalagi yang bakal keluar dari mulut Bimo? Setelah mengatur
nafasnya menjadi lebih santai, ia lalu bertanya, “Maksudnya?”
“Akibat
penyakit itu, rahimmu diangkat dokter! Otomatis, musnah sudah harapanku untuk
menjadi ayah. Aku sudah tak punya kebanggaan lagi di lingkungan keluarga
besarku yang notabene dikarunia banyak anak. Belum lagi di kantor, teman-teman
sering meledek dan mengira aku mandul. Aku malu Vin, malu. Kalau begini jadinya
aku menyesal menikahimu, karena sama saja kamu tidak punya rahim!”
“Mas....!”
sebelum kalimat Vina rampung terucap, tubuh Bimo sudah menghilang di balik
pintu kamar meninggalkan Vina yang masih mematung di ruang tamu dengan bibir
bergetar-getar. Tapi tak lama, suara Bimo terdengar lagi dari kamar. “Sudah..
sudah.. percuma membahas ini, aku frustasi karena tak pernah ada hasilnya.
Mending kamu siapkan makan malam. Karena kamu lebih pandai mengurus rumah
ketimbang menyenangkan suami!”
Kata-kata
yang sangat menyakitkan didengar seorang istri penyabar seperti Vina, dari
seorang suami yang egois dan temperamental seperti Bimo. Vina hanya bisa
bergumam, sedemikian hinakah dirinya di mata Bimo cuma karena belum bisa hamil?
Sebaliknya di kamar, pikiran Bimo langsung terbersit ide untuk segera
menyelesaikan masalah itu; menceraikan Vina.
***
Ternyata itu
pun dibuktikan. Sebulan lalu, tanpa sengaja ia bertemu Dicky di salah satu
kafe. Bimo yang saat itu sedang melepas kepenatan sehabis bertengkar dengan
Vina, terduduk sendiri di sudut ruangan. Tiba-tiba Dicky datang menghampiri
sambil berbasa-basi meminjam korek. Padahal ia tahu, Bimo saat itu tak sedang
merokok, bahkan selama hidupnya sekalipun.
Namun Dicky
punya pandangan lain yang tentu saja tak dimiliki pria-pria lain. Karena Dicky
memang seorang gay. Pastinya, dia bisa menangkap peluang berkenalan terbuka
lebar di sana. Buktinya, setelah gagal mendapat pinjaman korek, Dicky langsung
memperkenalkan diri dan ia pun memulai percakapan. “Kayaknya lagi suntuk banget
ya, Mas?” .
Bimo tak
mengiyakan, juga tak menampik ucapan Dicky. Pikirannya yang memang lagi kusut,
dengan lesu menatap ke arah Dicky. Lalu balik bertanya, “Dari mana Anda tau?”
Merasa dapat
angin, Dicky pun makin bernafsu untuk ngobrol. Setelah menyeruput capucinonya
di cangkir, ia lalu melanjutkan kata-katanya “Sorot mata tak bisa dibohongi.
Lagipula, dari tadi aku perhatikan Mas cuma duduk menyendiri di pojok!”
argumennya sambil meletakkan kembali cangkir minumnya di atas piring tatakan.
“Tapi tak
selamanya menyendiri identik dengan orang yang sedang suntuk!” seloroh Bimo
sambil ikut-ikutan menyeruput capucinonya.
Dicky
tertawa kecil karena alasannya disanggah Bimo. “Oh, kalau gitu maaf. Ternyata
saya salah. Mudah-mudahan Anda tak tersinggung!” kata Dicky salah tingkah.
Melihat itu,
gantian Bimo yang tersenyum. “Enggak! Anda yang benar, kok. Pikiran saya memang
lagi kacau. Biasa, masalah di rumah!” kata Bimo tanpa sungkan–sungkan
menceritakan problem yang dihadapinya pada Dicky. Entah karena otaknya memang
sudah buntu dan butuh teman komunikasi atau mungkin mulai terbius kharisma
Dicky.
Pastinya,
suasana mulai cair dan obrolan kian berlanjut. Dari soal rumah tangga,
pekerjaan, tempat nongkrong sampai balik lagi ke urusan rumah tangga. “Berani
menikah, berarti berani pula menghadapi masalahnya. Tapi bukan berarti kita
harus menyesali, karena masih ada jalan keluar untuk membuat hidup kembali
bergairah!” kata Dicky di akhir pembahasan mereka soal rumah tangga Bimo yang
memanas.
Dari situ
jelas tergambar, Dicky yang usianya lebih muda dua tahun dari Bimo yang berumur
32 tahun, bukan sekadar ingin mencari teman ngobrol. Tetapi lebih dari itu.
Toh, kalau motivasinya cuma pengin menjadikan Bimo sebagai sahabat biasa,
kenapa juga ia mesti menanyakan masalah keluarga Bimo? Kenapa pula ia
memberikan alamat kos-kosan hingga memberikan nomor HP-nya segala? Bahkan ia
juga bersedia sebagai tempat Bimo curhat.
Pastinya,
Bimo di mata Dicky punya nilai lebih. Apalagi kalau bukan melihat sosoknya yang
macho. Tubuh lumayan atletis tergambar dari otot-otot lengan, pundak hingga
bicep yang menyembul dari balik kemejanya. Ditambah kulit putih bersih dengan
tatapan mata yang tajam. Kumis tipis dipadu jambang yang menghiasi wajahnya,
tentu makin membuat Dicky ser...seran...
Sebaliknya,
Bimo bisa mudah merespons Dicky karena memang ia merasa dapat teman ngobrol
yang enak, menyenangkan. Bahkan dari obrolan panjang mereka itu, Bimo
berkesimpulan kalau Dicky lebih bisa mengerti pikirannya, ketimbang Vina.
Sesimpel itu kah? Tentu saja tidak. Karena di sini yang juga ikut bicara justru
hasrat seks, di mana tiap lelaki punya kans disorientasi seks. Dan Bimo salah
seorang yang punya benih itu untuk menjadi biseks.
Terbukti,
berawal dari kafe itu, hubungan mereka berlanjut lebih serius. Entah hantu mana
yang membisikkan mereka, hingga akhirnya terlibat hubungan dekat dan sangat
dekat. Pastinya, tak ada niatan Bimo untuk mendapatkan anak dari Dicky,
melainkan kesenangan. Keduanya pun makin intens bertemu. Tak cuma di kafe, tapi
juga di kos Dicky.
Hingga
akhirnya, Bimo tak kuasa untuk mengiyakan, saat Dicky mengajukan suatu
pertanyaan, “Mas Bimo, kita udah sering ketemu. Terus terang, aku sayang kamu.
Kamu mau kan jadi pacarku?” Pertanyaan itu didengarnya saat bertemu Dicky di
kosan untuk yang kesekian kalinya dan hubungan mereka sudah berjalan sebulan.
Emosi dan
kromosom X memang sudah benar-benar membutakan rasionalisasi Bimo. Cinta seakan
tak mengenal hitam dan putih, baik atau buruk, benar atau salah. Selingkuh
dengan sesama jenis pun rasanya dianggap wajar sebagai pelampiasan kekecewaan
pada istrinya. Bagi Bimo yang memang punya bakat penyimpangan seks, cinta
memang tak mengenal jenis kelamin. Yang penting kasih sayang! Pikirnya. Hmmm...
***
Tupai memang
jago melompat. Tapi akhirnya bakal jatuh juga. Begitu pula Bimo,
sepandai-pandainya berbohong pada Vina soal hubungan gelapnya dengan Dicky,
akhirnya akan ketahuan juga. Semua terungkap tanpa perlu investigasi khusus
layaknya reporter media massa mencari pembenaran soal korupsi pejabat.
Sebaliknya cuma gara-gara Bimo sakit.
Saat
hubungan gelapnya memasuki usia enam bulan, tiba-tiba Bimo terkapar di rumah.
Suhu tubuhnya menembus angka 37° C. Sangat tinggi untuk ukuran demam karena
flu. Vina, khawatir Bimo terserang gejala flu burung. Maklum, wabah ini masih
mengganas di Indonesia. Ia pun panik. Kakak tertua Bimo yang ada di Jakarta,
Mas Pram dan istrinya langsung dihubungi.
Syukurnya
mereka bereaksi cepat. Bimo dibawa ke rumah sakit terdekat untuk penanganan
darurat. Saat perjalanan menuju rumah sakit, Vina tak henti-hentinya melelehkan
air mata sambil berdoa, semoga tak terjadi apa-apa pada suaminya. Apalagi
melihat kondisinya saat itu benar-benar mengkhawatirkan. Layaknya mayat hidup,
tubuhnya hanya tergolek lemas.
Tapi
untunglah, hasil pengecekan dokter cukup membuat Vina bisa bernafas lega.
Karena ternyata suaminya bukan flu burung. Hanya, ada radang di tukak lambung.
Namun Bimo tetap harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Vina tetap bersyukur.
Yah, sejujurnya, meski sering jadi bulan-bulan Bimo, ia sayang seratus persen
dengan suaminya itu.
Namun
sayang, kegembiraan Vina hanya sesaat. Karena di ruang dokter, ia mendengar
penjelasan dokter Zaky perihal suaminya. Dari hasil pengecekan atas sampel
darah Bimo, terkandung benih virus mematikan, HIV. “Apa? Bimo positif HIV?”
hati Vina tercekat, seakan tak percaya dengan berita itu. Blaarrrrrrrrr....
kepalanya pun langsung pening. Perasaannya bercampur aduk. Bagaimana Bimo bisa
kena, dari mana, kapan dan oleh siapa?
Pertanyaan-pertanya
itu terus menggelontor di pikirannya. Apakah itu karena akibat ia sering jajan
dengan pelacur-pelacur? Buat apa? Toh, kalau hanya untuk mencari ‘sebongkah’
daging itu, Vina pun merasa punya yang lebih bersih, sehat, terawat dan
higienis. Pertanyaan-pertanyan bodoh terus menghujam di kepala, hingga ia pun
tak bisa berkata-kata lagi.
Tapi apa mau
dikata. Semua sudah terjadi dan tak bisa ditolak. Vina pun hanya bisa pasrah.
Begitu pula saat Bimo terang-terangan mengakui perbuatan selingkuhnya dengan
Dicky selama ini. “Maafkan aku Vin atas kebohongan selama ini!” bisiknya. Suara
Bimo lirih, tetapi di ruang Mawar 301 rumah sakit itu, seakan terdengar jelas
di telinga Vina.
Air mata
Vina sudah kering. Ia tak mampu lagi menangis ketika melihat Bimo mulai
menitikkan air mata. “Aku benar-benar berdosa telah menghianati perkawinan
kita. Dan aku juga telah berdosa karena telah mengintimi sesama jenis. Aku
malu... aku tak kuat lagi Vin, lebih baik aku mati!” suara Bimo terdengar parau
dan terbata-bata.
Bagai patung
candi, Vina tetap membisu saat Bimo menarik lengannya berusaha merangkul.
“Maafkan aku juga kalau selama ini menganggap kamu wanita tanpa rahim. Aku
benar-benar menyesal. Aku pasrah, apapun hukuman yang bakal kamu berikan!”
Masih dengan
keyakinannya sebagai istri yang setia, berbakti kepada suaminya dan tentu saja
tipikal wong Jowo kental, ia mau juga membalas rangkul suaminya. Lalu dengan
lembut tapi mantap berbisik di telingan Bimo, “Aku tak perlu menghukummu Mas,
karena aku cuma istri biasa yang tak punya rahim. Tuhan yang lebih berhak
menyadarkan kamu lewat HIV positif!” Air mata Vina pun kembali berguguran
bagaikan pohon pinus yang meranggas di musim kering.
No comments:
Post a Comment