Page Tab Header

Saturday, July 11, 2015

Istri Tak be-Rahim

Istri Tak Be-rahim

Ramadhan 2015.
 
Untuk yang kesekian kalinya Bimo ribut mulut dengan Vina istrinya. Selama tiga tahun pernikahan mereka, rasanya tak pernah luput dari cekcok bilateral. Entah itu cuma masalah sepele atau besar, tapi semua akan bermuara kepada sebuah tuntutan; keturunan! Seperti malam itu, gara-gara Bimo kembali pulang terlalu larut yang menurut Vina sudah mulai keseringan.
Sebagai istri yang kerap dirundung kecemasan, rasanya tak salah kalau ia menanyakan hal itu pada suaminya. Tapi apa yang dipikirkan Bimo justru malah sebaliknya. Dia berpendapat kalau istrinya mulai menaruh curiga yang berlebihan. Tak mempercayainya lagi sebagai suami setia dan bertanggung jawab. Dengan kata lain, mulai main api alias nyeleweng!
“Aku heran deh, kamu bawaannya curigaaaaa.. mulu! Kan sudah dibilang, akhir-akhir ini di kantor lagi banyak kerjaan. Masak enggak ngerti-ngerti juga, sih?” dengan nada tinggi Bimo menjelaskan komplain istrinya sambil melempar tas tangannya ke sofa di ruang tamu.
“Tak ada niatku menuduh, Mas. Aku kan cuma tanya, kok akhir-akhir ini pulang larut?!”
“Halah.. apa bedanya. Itu artinya kamu mulai curiga sama aku!”
Sebagai istri pengalah, ditambah di tubuhnya pun mengalir darah Jawa kental warisan orangtuanya, Vina tentu tak kuasa menahan bentakan Bimo malam itu. Mencoba membantah atau balas menghardik, tentu tak pernah terlintas di pikirannya. Di benaknya telanjur terdoktrin kata-kata para orang tua; istri yang baik, harus mengalah dan mendengar apa kata suaminya.
Makanya, kenyang diomeli, seperti biasa Vina hanya bisa membungkam mulut. Tapi hatinya sedih dibalut rasa panas. Ia hanya bisa meruntuki diri sendiri, mungkinkah nasib istri harus seperti dirinya sekarang? Omelan dan bentakan seolah jadi menu harian. Hanya karena ia belum bisa mengandung? Tak terasa, airmatanya mulai meleleh di pipi, bagaikan lilin kena api.
Bimo tau, Vina pasti akan menumpahkan kepiluan hatinya dengan menangis. Tapi emosi dan sikap tempramentalnya tak juga luluh. Sebaliknya, sambil duduk di sofa dan menyulut rokok putihnya ia melanjutkan omelan, “Jujur, aku bosan ribut melulu Vin! Aku nikahin kamu itu sebagai pendamping hidup dengan harapan bisa memberi kebahagiaan rumah tangga lewat anak-anak yang terlahir dari rahimmu. Bukannya malah jadi musuhku dengan pikiran negatifmu, mencurigai semua tindak tandukku!” Bimo mulai meracau.
Hati Vina tercekat mendengar itu. Airmatanya tambah meluap layaknya semburan lumpur PT Lapindo. Ia bisa meraba apa yang dimaksud suaminya. Ya, lagi-lagi urusan anak yang belum kunjung hadir di tengah-tengah mereka. “Kita sudah berusaha Mas. Tapi jangan selalu aku yang disalahkan. Mungkin memang Tuhan belum memberi izin saja!”
“Yah, kok malah Tuhan disalahkan! Kamunya sendiri gimana?” balas Bimo sengit.
“Lho Mas, kita kan sudah cek bersama dan kamu tahu, kalau kata dokter sementara ini belum bisa hamil dulu, karena memang ada kista di rahimku. Tapi kita masih punya harapan, asalkan rajin melakukan pengecekan dan berobat jalan!” kalimat Vina panjang terucap tanpa terpotong tarikan nafas, sementara bulir-bulir air hangat dari kelopak matanya masih mengalir.
Bimo tetap tak terenyuh. Egoisnya justru makin memuncak. Ia sadar betul dan merasa di atas angin, karena problem yang membuat mereka belum punya anak itu memang dari istrinya. “Iya, kalau penyakit itu tak merembet jadi masalah baru. Kalau lebih parah? Hmm... jangan-jangan apa yang aku khawatirkan selama ini bakal kejadian!”
Vina terdiam sejenak. Ia menatap dalam-dalam wajah Bimo sambil mencoba menyimak kata-katanya barusan. Tuduhan apalagi yang bakal keluar dari mulut Bimo? Setelah mengatur nafasnya menjadi lebih santai, ia lalu bertanya, “Maksudnya?”
“Akibat penyakit itu, rahimmu diangkat dokter! Otomatis, musnah sudah harapanku untuk menjadi ayah. Aku sudah tak punya kebanggaan lagi di lingkungan keluarga besarku yang notabene dikarunia banyak anak. Belum lagi di kantor, teman-teman sering meledek dan mengira aku mandul. Aku malu Vin, malu. Kalau begini jadinya aku menyesal menikahimu, karena sama saja kamu tidak punya rahim!”
“Mas....!” sebelum kalimat Vina rampung terucap, tubuh Bimo sudah menghilang di balik pintu kamar meninggalkan Vina yang masih mematung di ruang tamu dengan bibir bergetar-getar. Tapi tak lama, suara Bimo terdengar lagi dari kamar. “Sudah.. sudah.. percuma membahas ini, aku frustasi karena tak pernah ada hasilnya. Mending kamu siapkan makan malam. Karena kamu lebih pandai mengurus rumah ketimbang menyenangkan suami!”
Kata-kata yang sangat menyakitkan didengar seorang istri penyabar seperti Vina, dari seorang suami yang egois dan temperamental seperti Bimo. Vina hanya bisa bergumam, sedemikian hinakah dirinya di mata Bimo cuma karena belum bisa hamil? Sebaliknya di kamar, pikiran Bimo langsung terbersit ide untuk segera menyelesaikan masalah itu; menceraikan Vina.
***
Ternyata itu pun dibuktikan. Sebulan lalu, tanpa sengaja ia bertemu Dicky di salah satu kafe. Bimo yang saat itu sedang melepas kepenatan sehabis bertengkar dengan Vina, terduduk sendiri di sudut ruangan. Tiba-tiba Dicky datang menghampiri sambil berbasa-basi meminjam korek. Padahal ia tahu, Bimo saat itu tak sedang merokok, bahkan selama hidupnya sekalipun.
Namun Dicky punya pandangan lain yang tentu saja tak dimiliki pria-pria lain. Karena Dicky memang seorang gay. Pastinya, dia bisa menangkap peluang berkenalan terbuka lebar di sana. Buktinya, setelah gagal mendapat pinjaman korek, Dicky langsung memperkenalkan diri dan ia pun memulai percakapan. “Kayaknya lagi suntuk banget ya, Mas?” .
Bimo tak mengiyakan, juga tak menampik ucapan Dicky. Pikirannya yang memang lagi kusut, dengan lesu menatap ke arah Dicky. Lalu balik bertanya, “Dari mana Anda tau?”
Merasa dapat angin, Dicky pun makin bernafsu untuk ngobrol. Setelah menyeruput capucinonya di cangkir, ia lalu melanjutkan kata-katanya “Sorot mata tak bisa dibohongi. Lagipula, dari tadi aku perhatikan Mas cuma duduk menyendiri di pojok!” argumennya sambil meletakkan kembali cangkir minumnya di atas piring tatakan.
“Tapi tak selamanya menyendiri identik dengan orang yang sedang suntuk!” seloroh Bimo sambil ikut-ikutan menyeruput capucinonya.
Dicky tertawa kecil karena alasannya disanggah Bimo. “Oh, kalau gitu maaf. Ternyata saya salah. Mudah-mudahan Anda tak tersinggung!” kata Dicky salah tingkah.
Melihat itu, gantian Bimo yang tersenyum. “Enggak! Anda yang benar, kok. Pikiran saya memang lagi kacau. Biasa, masalah di rumah!” kata Bimo tanpa sungkan–sungkan menceritakan problem yang dihadapinya pada Dicky. Entah karena otaknya memang sudah buntu dan butuh teman komunikasi atau mungkin mulai terbius kharisma Dicky.
Pastinya, suasana mulai cair dan obrolan kian berlanjut. Dari soal rumah tangga, pekerjaan, tempat nongkrong sampai balik lagi ke urusan rumah tangga. “Berani menikah, berarti berani pula menghadapi masalahnya. Tapi bukan berarti kita harus menyesali, karena masih ada jalan keluar untuk membuat hidup kembali bergairah!” kata Dicky di akhir pembahasan mereka soal rumah tangga Bimo yang memanas.
Dari situ jelas tergambar, Dicky yang usianya lebih muda dua tahun dari Bimo yang berumur 32 tahun, bukan sekadar ingin mencari teman ngobrol. Tetapi lebih dari itu. Toh, kalau motivasinya cuma pengin menjadikan Bimo sebagai sahabat biasa, kenapa juga ia mesti menanyakan masalah keluarga Bimo? Kenapa pula ia memberikan alamat kos-kosan hingga memberikan nomor HP-nya segala? Bahkan ia juga bersedia sebagai tempat Bimo curhat.
Pastinya, Bimo di mata Dicky punya nilai lebih. Apalagi kalau bukan melihat sosoknya yang macho. Tubuh lumayan atletis tergambar dari otot-otot lengan, pundak hingga bicep yang menyembul dari balik kemejanya. Ditambah kulit putih bersih dengan tatapan mata yang tajam. Kumis tipis dipadu jambang yang menghiasi wajahnya, tentu makin membuat Dicky ser...seran...
Sebaliknya, Bimo bisa mudah merespons Dicky karena memang ia merasa dapat teman ngobrol yang enak, menyenangkan. Bahkan dari obrolan panjang mereka itu, Bimo berkesimpulan kalau Dicky lebih bisa mengerti pikirannya, ketimbang Vina. Sesimpel itu kah? Tentu saja tidak. Karena di sini yang juga ikut bicara justru hasrat seks, di mana tiap lelaki punya kans disorientasi seks. Dan Bimo salah seorang yang punya benih itu untuk menjadi biseks.
Terbukti, berawal dari kafe itu, hubungan mereka berlanjut lebih serius. Entah hantu mana yang membisikkan mereka, hingga akhirnya terlibat hubungan dekat dan sangat dekat. Pastinya, tak ada niatan Bimo untuk mendapatkan anak dari Dicky, melainkan kesenangan. Keduanya pun makin intens bertemu. Tak cuma di kafe, tapi juga di kos Dicky.
Hingga akhirnya, Bimo tak kuasa untuk mengiyakan, saat Dicky mengajukan suatu pertanyaan, “Mas Bimo, kita udah sering ketemu. Terus terang, aku sayang kamu. Kamu mau kan jadi pacarku?” Pertanyaan itu didengarnya saat bertemu Dicky di kosan untuk yang kesekian kalinya dan hubungan mereka sudah berjalan sebulan.
Emosi dan kromosom X memang sudah benar-benar membutakan rasionalisasi Bimo. Cinta seakan tak mengenal hitam dan putih, baik atau buruk, benar atau salah. Selingkuh dengan sesama jenis pun rasanya dianggap wajar sebagai pelampiasan kekecewaan pada istrinya. Bagi Bimo yang memang punya bakat penyimpangan seks, cinta memang tak mengenal jenis kelamin. Yang penting kasih sayang! Pikirnya. Hmmm...
***
Tupai memang jago melompat. Tapi akhirnya bakal jatuh juga. Begitu pula Bimo, sepandai-pandainya berbohong pada Vina soal hubungan gelapnya dengan Dicky, akhirnya akan ketahuan juga. Semua terungkap tanpa perlu investigasi khusus layaknya reporter media massa mencari pembenaran soal korupsi pejabat. Sebaliknya cuma gara-gara Bimo sakit.
Saat hubungan gelapnya memasuki usia enam bulan, tiba-tiba Bimo terkapar di rumah. Suhu tubuhnya menembus angka 37° C. Sangat tinggi untuk ukuran demam karena flu. Vina, khawatir Bimo terserang gejala flu burung. Maklum, wabah ini masih mengganas di Indonesia. Ia pun panik. Kakak tertua Bimo yang ada di Jakarta, Mas Pram dan istrinya langsung dihubungi.
Syukurnya mereka bereaksi cepat. Bimo dibawa ke rumah sakit terdekat untuk penanganan darurat. Saat perjalanan menuju rumah sakit, Vina tak henti-hentinya melelehkan air mata sambil berdoa, semoga tak terjadi apa-apa pada suaminya. Apalagi melihat kondisinya saat itu benar-benar mengkhawatirkan. Layaknya mayat hidup, tubuhnya hanya tergolek lemas.
Tapi untunglah, hasil pengecekan dokter cukup membuat Vina bisa bernafas lega. Karena ternyata suaminya bukan flu burung. Hanya, ada radang di tukak lambung. Namun Bimo tetap harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Vina tetap bersyukur. Yah, sejujurnya, meski sering jadi bulan-bulan Bimo, ia sayang seratus persen dengan suaminya itu.
Namun sayang, kegembiraan Vina hanya sesaat. Karena di ruang dokter, ia mendengar penjelasan dokter Zaky perihal suaminya. Dari hasil pengecekan atas sampel darah Bimo, terkandung benih virus mematikan, HIV. “Apa? Bimo positif HIV?” hati Vina tercekat, seakan tak percaya dengan berita itu. Blaarrrrrrrrr.... kepalanya pun langsung pening. Perasaannya bercampur aduk. Bagaimana Bimo bisa kena, dari mana, kapan dan oleh siapa?
Pertanyaan-pertanya itu terus menggelontor di pikirannya. Apakah itu karena akibat ia sering jajan dengan pelacur-pelacur? Buat apa? Toh, kalau hanya untuk mencari ‘sebongkah’ daging itu, Vina pun merasa punya yang lebih bersih, sehat, terawat dan higienis. Pertanyaan-pertanyan bodoh terus menghujam di kepala, hingga ia pun tak bisa berkata-kata lagi.
Tapi apa mau dikata. Semua sudah terjadi dan tak bisa ditolak. Vina pun hanya bisa pasrah. Begitu pula saat Bimo terang-terangan mengakui perbuatan selingkuhnya dengan Dicky selama ini. “Maafkan aku Vin atas kebohongan selama ini!” bisiknya. Suara Bimo lirih, tetapi di ruang Mawar 301 rumah sakit itu, seakan terdengar jelas di telinga Vina.
Air mata Vina sudah kering. Ia tak mampu lagi menangis ketika melihat Bimo mulai menitikkan air mata. “Aku benar-benar berdosa telah menghianati perkawinan kita. Dan aku juga telah berdosa karena telah mengintimi sesama jenis. Aku malu... aku tak kuat lagi Vin, lebih baik aku mati!” suara Bimo terdengar parau dan terbata-bata.
Bagai patung candi, Vina tetap membisu saat Bimo menarik lengannya berusaha merangkul. “Maafkan aku juga kalau selama ini menganggap kamu wanita tanpa rahim. Aku benar-benar menyesal. Aku pasrah, apapun hukuman yang bakal kamu berikan!”
Masih dengan keyakinannya sebagai istri yang setia, berbakti kepada suaminya dan tentu saja tipikal wong Jowo kental, ia mau juga membalas rangkul suaminya. Lalu dengan lembut tapi mantap berbisik di telingan Bimo, “Aku tak perlu menghukummu Mas, karena aku cuma istri biasa yang tak punya rahim. Tuhan yang lebih berhak menyadarkan kamu lewat HIV positif!” Air mata Vina pun kembali berguguran bagaikan pohon pinus yang meranggas di musim kering.

No comments:

Post a Comment